Monday, April 29, 2013

Multiply Ditutup, Positif atau Negatif?

English version

Dalam 2 hari ini tidak putus-putusnya wartawan dari berbagai media mengontak saya untuk bertanya tentang ecommerce. Semuanya akibat berita tentang penutupan Multiply yang mengejutkan semua yang berkecimpung di industri Internet. Pertanyaan yang paling sering diajukan ke saya adalah "Bagaimana kondisi ecommerce di Indonesia?" dan "Bagaimana pandangan tentang ditutupnya Multiply di Indonesia dan dampaknya terhadap ecommerce di Indonesia?" Saya coba tuangkan opini saya di sini.

Bagaimana kondisi ecommerce di Indonesia? 

Kondisi ecommerce di Indonesia saat ini sangat bagus. Di tahun 2012, pengguna Internet berjumlah lebih dari 60 juta. Dari semua pengguna Internet, sekitar 5% pernah melakukan transaksi barang secara online, artinya ada 3 juta orang Indonesia yang sudah pernah berbelanja online. Angka ini di luar pembeli tiket pesawat, hotel dan konser yang tentunya lebih tinggi lagi. Proyeksi pengguna Internet menjadi 80 juta di tahun 2014 dan adopsi ecommerce mencapai lebih dari 10%, maka akan terjadi lonjakan konsumen online sebesar 8 - 10 juta orang. Angka rata-rata transaksi online saat ini berkisar di 100 - 200 ribu per transaksi. Jika asumsi konsumen online ini melakukan lebih dari satu transaksi per tahun, maka nilai transaksi ecommerce mencapai 1 - 3 Trilyun dengan sangat mudah. Dan adopsi Internet masih akan tumbuh signifikan dalam 5 tahun mendatang seperti halnya adopsi mobile di antara tahun 2000 - 2010.

Dari nilai di atas terlihat bahwa pertumbuhan Internet dan adopsi perilaku belanja online hanya menunggu waktu untuk menjadi sangat besar.

Bagaimana pandangan tentang ditutupnya Multiply di Indonesia dan dampaknya terhadap ecommerce di Indonesia?

Untuk memahami ini, sebaiknya membaca ulasan model bisnis ecommerce di bagian bawah tulisan ini.

Keputusan untuk menutup Multiply saya lihat berdasarkan pertimbangan strategis dari perspektif investasi dan bukan dari pertumbuhan ecommerce.

Keputusan untuk menutup Multiply agaknya mempertimbangkan bahwa di setiap terjadinya transaksi, mereka melakukan subsidi dan makin banyak transaksi, maka makin tinggi tingkat kerugian yang diderita oleh Multiply. Potensi pendapatan model marketplace dibanding dengan biaya per transaksi masih memerlukan waktu panjang untuk tercapainya arus kas yang positif. Berbeda dengan Tokobagus, di mana makin banyak yang melakukan listing, makin tinggi revenue yang mereka dapatkan karena dengan model media.

Dari kacamata investasi, biaya edukasi pasar melalui marketplace jauh lebih lambat monetisasinya dibanding dengan model media. Secara jangka panjang, baik marketplace dan media sama-sama akan memiliki database merchant yang banyak. Jika merchant sudah mendapatkan benefit transaksi dari ecommerce, maka tidak akan terlambat bagi Tokobagus untuk membuat model marketplace.

Dari sisi industri, penutupan Multiply ini akan memberikan dampak akan banyak SDM berkualitas yang tiba-tiba tersebar ke seluruh ecommerce dan berbagi pengetahuan dan pengalaman menjalankan ecommerce. Kondisi serupa saya alami ketika saya mundur dari Plasa.com dan tim awal yang pernah saya bentuk sekarang menjadi leader di berbagai ecommerce dan perusahaan Internet. Begitu pula ketika Yahoo membubarkan Koprol dan Detik diakuisisi Trans group, industri makin berkembang karena adanya proliferasi talenta yang punya pengetahuan dan pengalaman tinggi.

SDM berkualitas ini kini mendapatkan opsi untuk bekerja di perusahaan lain ataupun membentuk startup baru di bidang ecommerce. Investor tentu lebih percaya kepada mereka yang sudah punya pengalaman menjalakan bisnis serupa.

Oleh karena itu saya sangat optimis bahwa ecommerce akan makin berkembang di Indonesia!

Model Bisnis Ecommerce: Marketplace vs Online Retail

Ada perbedaan signifikan antara marketplace dan online store. Untuk memudahkan pemahaman, marketplace kita analogikan sebagai mal sedang online store dianalogikan sebagai toko ritel. Model marketplace yang paling populer di dunia adalah eBay dan Alibaba, sedang model online retail adalah Amazon.

Di eBay, model bisnisnya adalah mereka mendapatkan revenue dari dua hal, listing fee dan final value fee atau transaction fee. Listing fee ini dikenakan kepada merchant atau penjual untuk setiap produk yang dimunculkan di eBay. Penjual akan tetap membayar listing fee terlepas barang laku atau tidak. Sedang transaction fee atau final value fee akan dikenakan oleh eBay jika terjadi transaksi yang besarannya berupa persentase atas nilai barang yang terjual. Karena eBay memiliki Paypal, mereka masih akan mendapatkan fee yang ketiga atas layanan escrow atau pembayaran yang dilakukan melalui Paypal. Model ini peka atas transaksi gelap yang diselesaikan di luar eBay, sehingga eBay memberikan sanksi keras atas merchant jika ketahuan melakukan penyelesaian transaksi di luar eBay. Dengan model ini maka yang disebut sebagai revenue oleh eBay bukanlah total nilai transaksi, tetapi listing fee dan final value fee/transaction fee yang diterima eBay. Karena eBay tidak memerlukan inventori dan semua layanan dilakukan oleh merchant, maka profit eBay sangat besar dibanding dengan Amazon.

Amazon menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, di mana Amazon memperlakukan semua pemasok barang sebagai supplier. Amazon mematok margin atas transaksi barang yang dilakukan di Amazon. Di dunia ritel, pakaian dan buku bisa memiliki margin 40% bahkan lebih, namun elektronik, gadget dan komputer margin hanya berkisar 5%. Dengan mengambil margin, maka yang disebut revenue oleh Amazon adalah seluruh nilai transaksi barang. Dengan model ini maka nilai revenue Amazon sangat besar. Tetapi karena biaya operasional atas inventori, resiko barang hilang dan biaya melayani pelanggan yang amat besar maka profit Amazon sangat kecil.

Alibaba menggunakan pendekatan yang mirip dengan eBay tetapi dengan perbedaan yang signifikan. Model marketplace business to business dari Alibaba sangat membutuhkan layanan seperti proses verifikasi penjual, layanan customer service antar bahasa dan banyak lagi jasa mediasi. Alibaba tidak mengenakan biaya dari nilai transaksi tetapi dari jasa yang ditawarkan oleh Alibaba kepada para penjual. Model ini menjadi sustainable bagi Alibaba karena mereka mendapatkan recurring income atau fee terus menerus dari penjual karena jasa-jasa yang diberikan Alibaba.

Barang-barang yang dimiliki oleh online retail ada yang sifatnya konsinyasi atau beli putus. Konsinyasi digunakan jika tingkat kunjungan online retail sudah tinggi dan supplier yakin barangnya laku jika dititipkan ke online retail. Beli putus dilakukan dengan pertimbangan bahwa online retail menginginkan barang yang sifatnya eksklusif dengan mempertimbangkan faktor resiko barang tidak laku.

Di dunia offline model marketplace ini serupa dengan pasar dan mal, sedang online retail ini digunakan oleh perusahaan serupa Sogo dan Matahari.

Model Bisnis Ecommerce Indonesia

Multiply menggunakan model marketplace seperti halnya Tokopedia. Model marketplace ini mendapatkan revenue dari nilai transaksi atau dari layanan premium member. Pendapatan dari model ini kecil dibanding dengan nilai transaksi dan biaya yang dilakukan mereka besar karena adanya biaya operasional perusahaan dan marketing. Dalam kasus Multiply, mereka melakukan subsidi atas transaksi dengan adanya layanan pengiriman gratis.

Blibli, Lazada dan Bhinneka menggunakan model online retail di mana mereka mengambil margin yang relatif lebih tinggi daripada model marketplace yang hanya mengambil transaction fee.

Perusahaan seperti Tokobagus dan Berniaga menggunakan model media seperti halnya pasang iklan baris di koran. Model ini tidak mengambil dari biaya transaksi, tetapi dari listing yang dilakukan oleh setiap penjual. Dalam kondisi ecommerce yang masih pagi di Indonesia, model ini cukup sederhana dan penjual langsung merasakan manfaat jika mereka membayar premium dan ditampilkan sebagai listing premium.