Showing posts with label music. Show all posts
Showing posts with label music. Show all posts

Sunday, March 04, 2012

Java Jazz

Java Jazz is getting more crowded, can't enjoy it that much...it's just too many people.

Dave Koz is still the best entertainment...really know how to connect with audience. He brings Phil Perry and Bandung acoustic group on stage.

Thursday, March 10, 2011

Java Jazz – Ketika Jazz menjadi Lifestyle dan Ekspresi Gaya Hidup


Berbondong-bondong ke Java Jazz lumrah bagi penduduk Jakarta. Ratusan ribu orang tumpah ruah melihat sajian festival Jazz yang digelar di JIE Kemayoran selama 3 hari ini. Mulai dari Santana hingga George Benson. Fariz RM melantunkan Sakura dan Barcelona, hit di akhir 80 an dihadiri ribuan orang yang asyik melantunkan lagu ini bersama. Java Jazz menghidupkan kembali genre musik yang tadinya hanya disematkan oleh sebagian orang sebagai musik para intelektual.

Perbedaan signifikan dengan Jakarta Jazz, pendahulu Java Jazz adalah jajaran musisi yang tampil dan bagaimana sajian festival ini dikemas. Di Jakarta Jazz, targetnya adalah pendengar jazz hard core, di mana semua line-up artis adalah mereka yang memang dikenal di dunia Jazz. Hanya mereka yang benar-benar musisi Jazz yang laik tampil di sini.

Di Java Jazz sangat liberal di dalam memilih jajaran artisnya. Pop kreatif  adalah sebutan bagi musik pop yang bernuansa jazz. Banyak artis Indonesia yang memiliki sentuhan musik pop kreatif mendapatkan panggung di mana mereka berjumpa dengan fansnya. Kahitna, Marcell, Fariz adalah contohnya. Pendatang baru seperti RAN, Pandji, Maliq & The Essentials pun berjaya tampil di panggung.

Jazz pun diterjemahkan secara bebas menjadi gaya hidup urban di mana genre musik ini mempersatukan para penduduk Jakarta untuk sekedar datang berkumpul bersama teman, makan-makan, berfoto dan sajian musik ringan. Jazz tidak lagi harus memiliki beban menjadi musik serius yang hanya bisa didengarkan oleh para pendengar Jazz sejati.

Mereka yang datang mengikuti konser Santana bahkan baru kenal siapa dia ketika mengikuti konser tersebut. Mereka yang datang melihat George Benson bertujuan untuk mengenang lagu nostalgia masa muda. Mereka yang bersantai melihat Fourplay mulai dari dewasa hingga anak-anak. Mereka yang mendengar New York Voices malah baru mengenalnya meskipun group ini sudah berusia 23 tahun. Mereka yang takjub mendengarkan Sandhy Sandoro juga baru tahu bahwa Indonesia memiliki musisi jazz handal dari negeri sendiri.

Ketika Jazz diterima sebagai lifestyle, tidak ada yang tabu bagi Jazz untuk dipahami ulang bahwa musik adalah untuk semua orang. Ajang ini menjadi kesempatan untuk bertemu, berkenalan dan belajar apa itu musik Jazz tanpa pretensi Jazz hanya untuk para intelektual. Java Jazz memperkenalkan musik Jazz untuk semua orang.

Dengan membuka Jazz ke pasar yang lebih besar, kini Java Jazz menghidupi ekosistem urban yang sarat dengan konsumerisme. Acara ini mampu memikat pelbagai kepentingan, mulai dari brand seperti Axis, BNI hingga penjaja makanan dan minuman sekelas Starbucks pun membuka stand kagetan di arena Java Jazz. Sebaliknya JakJazz yang berumur lebih panjang akhirnya menjadi kalah pamor karena tidak lagi mampu akrab dengan pasar yang lebih luas.

ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)

Friday, June 05, 2009

Industri Kreatif Perlu Ekosistem

VIVAnews - Industri kreatif di tanah air dapat dibangun dengan menciptakan ekosistem industri. Terutama hubungannya antara industri kreatif tersebut dengan industri telekomunikasi. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Komite Telekomunikasi Kadin, Anindya Bakrie.

"Sebagai contoh, ringbacktone (RBT). Bagi label company, sekitar 60-65 persen pendapatan mereka diperoleh dari RBT per bulannya," kata Anindya. "Kalau tidak ada RBT, dalam dua tahun terakhir mereka sudah bubar," ucapnya.

Anindya menyebutkan, RBT di dalam industri telekomunikasi merupakan salah satu layanan value added service (VAS). "Peluang pertumbuhan industri kreatif ada di sini," ucapnya.

Source: Vivanews

"Perlu diketahui, sekitar 7 hingga 8 trilun CAPEX (belanja modal) operator, 40 persennya dialokasikan untuk program layanan pada konsumen," kata Anin, "Itu termasuk promosi dan VAS," ucapnya.

Menurut Anindya, berdasarkan laporan terakhir, unique subscriber handset atau pelanggan layanan seluler mencapai 80 juta orang di seluruh Indonesia. Artinya, baru 40 persen dari total populasi penduduk Indonesia yang menggunakan layanan seluler. "Ini merupakan potensi yang cukup besar untuk menumbuhkan industri kreatif," ucap Anin. "Tentunya hal ini juga perlu didukung dengan regulasi yang tepat."

Anindya menyatakan, pemerintah seharusnya bisa menyiapkan regulasi yang pas untuk dapat membangun industri kreatif ini. Terutama agar mereka tidak terus terhambat berbagai masalah seperti HAKI, atau hak cipta.

Sunday, May 24, 2009

American Idol 2009 prediction: Adam Lambert wins over Kris Allen


Who will win in American Idol 2009?

According the search trend in Google and Youtube, Adam Lambert will wins hands down to Kris Allen.

When I search in Youtube, the suggestion system show Adam keyword when we type 'American Idol'



Looking further through keyword tool provided by Adwords, keyword search on 'Adam Lambert' compare to 'Kris Allen'.




Hitwise intelligence, the leading search analysis company also find out the same finding



Is search truly reflects people insight towards the winning result of American Idol? Let's see...

Monday, December 08, 2008

Workshop showcases the future of digital arts

Source: Jakarta Post

I Wayan Juniartha , The Jakarta Post , Denpasar | Thu, 12/04/2008 10:48 AM | Surfing Bali

The darkened front yard of Suicide Glam Clubhouse on Sunday evening gave way to an intoxicatingly pumping melody as Gung De Wirakusuma (DJ Ay-ik) began channeling his moods into a fully wired digital turn table.

The sounds that escaped the speakers were those of Tech House, a genre of electronic music that fuses the soulful end of house music with the driving minimalism of techno music. The sounds resided on the atmospheric plane of techno with splashes of intricate rhythm-rattling, shaking and grinding near the edge of trance.

As the audience began to be mesmerized by the novice DJ's skills and taste, renowned videographer Ridwan Rudianto wasted no time working his magic with images and compositions.

His fingers danced on the keyboard of his Giga RAM-charged laptop, sending digitized cues and orders to the processor brain to unleash sequences of moving images to the awaiting screen before him.

Over the next 20 minutes, Wirakusuma and Rudianto conversed with each other through a non-verbal language embraced by an increasing number of the world's youths. The language was not based on words, phrases or sentences, but on beat, rhythm and melodies on one side, and images, colors and compositions on the other side.

There were times when Wirakusuma controlled the conversation; introducing new beats and presenting new harmony while Rudianto became an obedient listener, providing the beats and harmony with matching visual interpretations.

Yet, here and there, it was Rudianto who demanded to be heard, projecting haunting images and captivating compositions to the screen; and Wirakusuma responded joyfully, setting a melodic repertoire to illustrate Rudianto's points.

As the two young proteges of the digital faith immersed themselves in the word-less dialogue, the audience stood in awe of the lively collaboration.

Wirakusuma and Rudianto were formally introduced to each other just 10 minutes prior to the start of their performance. In that short period, both installed their equipment and informed each other about what they wanted to achieve -- and how they intended to achieve it.

However, the importance of the collaboration lied far beyond the instant nature of their initial encounter.

The collaboration, part of the Bali Creative Power 2008's Video Deejay and Digital Deejay Workshop, reflected the increasingly closer rapport between digital technology and creative arts.

"Digital technology coupled with information technology has provided artists with infinite possibilities, possibilities that previously only existed in our dreams. With this technology at our disposal, we are literally entering a creativity Terra Incognata," the host of the workshop, Marlowe Bandem, said.

Rudolf Dethu, the owner of Suicide Glam and a patron of the island's modern music, shared similar sentiments.

"The rise of digital technology, the ease of access to information and knowledge, will inspire a shift of paradigms in the art world. The technology provides larger spaces as well as better tools and means to express ourselves creatively," he said.

In the words of Wirakusuma, digital technology had enabled the artist to focus on the important things and not be distracted by less significant factors.

"I don't have to worry whether the beat is matching when I play three tracks at the same time. I could concentrate more on doing on-the-spot re-mixing, playing acapella, introducing samples and manipulate the effects. The result, a truly authentic live production that reflects the artist's personal mastery of techniques, as well as musical originality," he detailed.

Yoyo (VJ Uncle Joy), whose cartoon characters breathe a fresh air into the country's realm of video deejaying, said the collaboration between VJ and DJ was an inevitability since the public had demanded a more complete aesthetic experience that encompassed various sensory perceptions.

"A VJ is a person who re-interprets the sound and gives it more depth. His creation should be a repertoire of images suggesting an expanded view or deeper exploration of the driving force of the sound," he said.

Both Rudianto and Yoyo said in order to maintain the aesthetic contents of the DJ's and VJ's creations, the artists should create original materials and incorporate local themes and issues into their works.

For Dethu, the collaboration on that night was a sign of things to come for the country's art. The future art, he said, was a world of intertwined fates and collective creativity facilitated by the most modern of technology.

"As the nightspots of Bali turn into the central stage of the island's tourism and, more importantly, the communal playground of the island growing urbanized youths, digital arts, a new medium of expression, will increasingly became the preferred tool of expression for the island's future generation," he said.

"In the future, digital technology will not only influence DJs and VJs, but also dancers, painters and sculptors."

The workshop was part of the two-day Bali Creative Power 2008, a gathering of the island's creative industry's thinkers and players.

Thursday, September 18, 2008

Benjamin Zander: Classical music with shining eyes


Since 1979, Benjamin Zander has been the conductor of the Boston Philharmonic. He is known around the world as both a guest conductor and a speaker on leadership -- and he's been known to do both in a single performance. He uses music to help people open their minds and create joyful harmonies that bring out the best in themselves and their colleagues.

His provocative ideas about leadership are rooted in a partnership with Rosamund Stone Zander, with whom he co-wrote The Art of Possibility.

"Arguably the most accessible communicator about classical music since Leonard Bernstein, Zander moves audiences with his unbridled passion and enthusiasm."
Sue Fox, London Sunday Times

Reblog this post [with Zemanta]

Sunday, August 17, 2008

Cerita dibalik Logo baru WartaJazz.com

Jika melewati pergantian tahun, orang-orang biasanya membuat resolusi tentang hal-hal yang ingin dikerjakan atau dicapai. Buat kami di Wartajazz, resolusi itu dibuat dan dieksekusi saat kami mensyukuri Delapan tahun perjalanan kami mengisi waktu anda mencari informasi tentang Jazz (di) Indonesia maupun mancanegara.

Perubahan menjadi lebih baik dari hari-hari yang telah lalu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW dalam ajaran agama Islam, mengisyaratkan langkah yang ingin kami tempuh pula. Berikut ini cerita dibalik perubahan logo Wartajazz.com setelah digunakan selama delapan tahun.

Tahun 2000

Saat memutuskan hadir dalam edisi web-zine - istilah yang kerap dipakai kala itu, kependekan dari web magazine (sebagian mengistilahkan portal -red) - WartaJazz.com menggunakan warna ungu muda dan tua yang divariasi sebagai one-color-scheme atau satu turunan warna dan hitam untuk tulisan “The Ultimate Jazz Source for Indonesian Jazz Lovers”.

Logo yang dibuat menggunakan font face BankGothic ini menghiasi banyak media termasuk iklan festival jazz semacam Java Jazz atau Jak Jazz di Indonesia atau konser semacam Fourplay/Yellowjackets selain banyak kegiatan jazz lainnya.

Namun belakangan persoalan muncul karena logo sering tampil invisible karena bentuknya yang memanjang, sehingga ketika disandingkan dengan logo media partner lainnya, logo tersebut terlihat sangat kecil selain memakan tempat/space yang cukup lebar.


Tahun 2008

Dalam beberapa pertemuan penulis melakukan diskusi dengan Arief “Ayip” Budiman, desainer yang merupakan penggagas Bali Jazz Forum untuk mengembangkan logo baru. Ada beberapa alternatif yang ditawarkan sebagai konsep seperti berikut:

#Draft ke 1 (pengembangan pertama)

#Draft ke 2 (pengembangan pertama)

Konsep ini kemudian oleh Penulis dikembangkan dalam beberapa variasi bentuk tipografi dan warna.

#Draft ke 1 (pengembangan kedua)

#Draft ke 2 (pengembangan kedua)

Logo ini kemudian oleh Penulis dikirimkan kepada Irvan Noe’man, pakar, mentor dalam bidang desain, pemilik BD+A Design Consultant yang tersohor itu, juga seorang penikmat jazz tulen - apalagi dengan nama belakang Noe’man (ayah beliau Achmad Noeman yang mendirikan radio jazz di bandung, KLCBS -red).

Komentarnya saat itu adalah

Saya ingin melihat di WartaJazz,

  • Kesan harus Otoritatif - sebab informasi nya selalu AKURAT
  • tapi jangan terlalu formal
  • expresikan ROH Improvisasi-nya

Bila mungkin, di coba satu ronde lagi (untuk kedua versi tersebut diatas) pasti akan ketemu yang lebih menarik!.

Pada saat yang bersamaan Ecodezign, atau mas Eko demikian saya kerap memanggilnya, juga mengajukan usulan logo Wartajazz yang baru. Ia mengirimkan dua draft desain melalui email dari kantornya (baca: rumahnya) di Semarang. Untuk informasi saja, Ecodezign merupakan pemenang lomba logo Bali Jazz Festival dan menyisihkan 700an karya saat itu. Ia pernah bekerja di Petakumpet, sebuah biro iklan dari kota Gudeg, Yogyakarta. Saat mas Eko mengirimkan logo berikut, ia sedang menggarap Radio Suara Sakti Semarang yang pernah memproklamirkan diri sebagai radio Smooth Jazz.

Kedua logo ini - berbasis komentar kang Irvan, demikian saya kerap menyapanya, diolah kembali. Ada dua alternatif yang kali ini dilampirkan dengan contoh aplikasi pada media kaos - sebagian bagian dari rencana pengambangan divisi merchandise.

#Draft Desain 1 (pengembangan ke 3)

#Draft Desain 2 (pengembangan ke 3)

Contoh aplikasi draft desain 1 pengembangan ke 3 pada kaos.

Contoh aplikasi draft desain 2 pengembangan ke 3 pada kaos.

Sebelum mengirimkan kepada Irvan Noeman kembali, Penulis terlebih dahulu mengirimkan draft desain ronde kedua ini kepada Ayip dan Ecodezign untuk dimintai komentar mereka. Ayip tidak memberikan komentar khusus saat kami berdiskusi tentang beberapa kegiatan yang secara kebetulan kami berkolaborasi, namun Ecodezign dengan spontan menjawab, “keren mas” lewat Yahoo Messenger. Ayip berkomentar “Aku akan ke Jakarta besok”, ujarnya via SMS.

Rupanya tidak mudah untuk meminta jawaban kali kedua ini, karena kang Irvan sedang sibuk menghadapi persiapan kegiatan Helar Festival yang digelar selama sebulan penuh (Agustus 2008) dikota Bandung dan ikut pula dalam kegiatan 1001 Inspiration Design, sebuah kegiatan kreatif yang mengetengahkan pameran dan seminar di Senayan City Jakarta.

Namun lewat social utility Facebook, ia akhirnya menjawab. “Ketemuan yuk, Rabu, 23 Juli 2008, di Blitz Megaplex jam 2 siang”. Ayip yang berada di Jakarta pada hari yang sama, segera dikontak dan diajak oleh Penulis bertemu Kang Irvan.

Penulis mempersiapkan 2 lembar print-out draft diatas, lengkap dengan contoh aplikasi pada kartunama dan Wartajazz Edisi PDF.

Saat bertemu di Blitz Megaplex, kang Irvan rupanya ditemani oleh Andi S. Boediman, pimpinan Digital Studio, sebuah pusat pendidikan desain grafis (silakan klik http://www.digitalstudio.co.id), dan Djoko Hartanto, pemilik dan pengelola majalah suplemen otak kreatif, Concept (klik http://www.conceptmagz.com). Sebuah kesempatan yang berharga, karena para pakar sedang berkumpul.

#Keterangan foto: Kiri-Kanan, Djoko Hartanto, Irvan Noeman, Penulis dan Ayip
#Terima kasih pada Andi S. Boediman yang mengabadikan moment penting ini.

Setelah berdiskusi akhirnya diputuskanlah logo Wartajazz.com yang baru sesuai dengan kriteria yang disampaikan oleh Kang Irvan pada awal tulisan ini.

Dan logo ini akhirnya resmi diluncurkan pada tanggal 08-08-08, pukul 08.08pm, dalam sebuah acara bertajuk “Celebr8th WartaJazz Anniversary” dalam rangka merayakan 8 tahun perjalanan WartaJazz bertempat di Cafe au Lait, Jl. Cikini Raya No. 17 Jakarta.

Bersamaan dengan itu pula, desain website WartaJazz.com juga mengalami facelift, atau berganti muka. Kini, anda bisa memberikan komentar pada artikel-artikel yang kami publikasikan, selain bisa pula langsung mengirimkan artikel anda. Soal tampilan website yang baru dan Syukuran 8th Wartajazz.com, akan kami posting dalam artikel terpisah

So apa komentar anda mengenai logo WartaJazz.com yang baru???

Monday, June 09, 2008

Indonesia Masih Dicap Negara Pembajak, Pemerintah Tak Bisa Melindungi

Source: Kompas
Minggu, 4/5/2008 | 00:12 WIB

MUSI, seperti pernah dikatakan Menteri Perdagangan RI Marie Elka Pangestu, merupakan industri kreatif Indonesia yang sangat potensial. Sayangnya, hingga kini musik sebagai kegiatan kreatif masih dihantui pembajakan yang makin marak.

Departemen Perdagangan RI mendefinisikan industri kreatif berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.

Musik menjadi salah satu industri kreatif karena berkaitan dengan proses penciptaan, produksi, distribusi dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik. Ironisnya, seiring dengan tumbuh suburnya industri musik Tanah Air, pembajakan makin marak dan semakin terang-terangan dilakukan oknum tak bertanggung jawab.

"Negara kita masih ada di deretan negara pembajak, bahkan stigma publik internasional terhadap Indonesia sebagai negara pembajak masih melekat sampai sekarang walaupun tidak sepenuhnya benar. Pembajak itu hanya sebagian kecil oknum yang tidak bertanggung jawab," kata James F Sundah, selaku Ketua Bidang Teknologi Informasi, Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI).

Pencipta lagu Lilin-lilin Kecil itu mengatakan Indonesia sudah hampir kalah oleh pembajakan. Stigma internasional tentang pembajakan itu merugikan para pemusik yang menjadi potensi kreatif indonesia.

"Akhirnya kita kena imbas embargo di tingkat internasional. Di Asia Tenggara, kita cuma jadi bahan pembalasan karena karya musisi negeri mereka dibajak di Indonesia, maka karya kita juga dibajak," ujar James yang tak lelah menyuarakan perang terhadap pembajakan.

Penyanyi jebolan grup band Dewa 19, Ari Lasso mengaku gerah dengan pembajakan dan produknya dijajakan secara terang-terangan. "Ibarat jamur, aksi pembajakan sudah menyebar kemana-mana. Bahkan di depan kantor polisi produk bajakan dijual begitu saja, harapan saya hukum harus ditegakkan," katanya.

Sementara itu Ketua Umum PAPPRI, Dharma Oratmangun mengatakan pembajakan kaset dan cakram padat makin parah. Perbandingannya 10:90, artinya 10 persen orisinil dan sisanya barang bajakan. Berdasarkan hasil survei PAPPRI, pada dua tahun lalu jumlah barang bajakan sebesar 80 persen dari total produksi rekaman musik yang beredar di pasar.

PAPPRI, lanjutnya, sudah bekerja sejak UU No.19/2002 tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) masih dibahas materinya sampai perangkat hukum itu diundangkan tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaannya

Peran Pemerintah
Selanjutnya James F Sundah mengatakan perang terhadap pembajakan tidak bisa dilakukan kalangan musisi saja. Pemerintah juga punya peran besar dalam upaya memerangi pembajakan dengan menggunakan perangkat hukum yang ada.

"Kalau pemerintah menggolongkan musik sebagai industri kreatif maka dibenahi dulu dong masalah yang ada," kata pria kelahiran Semarang, 1 Desember 1955 ini. Di negara lain, lanjutnya, pekerja seni dihargai dan dilindungi dengan hak cipta, sedangkan di Indonesia yang memiliki perangkat hukum ternyata perlindungan belum dilaksanakan sepenuhnya.

James yang April lalu diundang ke Bali dalam forum internasional tentang HAKI oleh salah satu lembaga bentukan PBB, mendapat berbagai tanggapan dari sejumlah negara peserta tentang maraknya pembajakan di Indonesia.

"Vietnam dan beberapa negara Amerika Latin yang diundang waktu itu menyatakan kebingungan karena Indonesia memiliki perangkat hukum yang bagus tapi tidak bisa melindungi industri kreatif dari pembajakan. Di negara mereka saja belum ada Undang-undang HAKI," ujarnya menjelaskan.

Dalam simposium yang diikuti 35 negara itu, James menyampaikan salah satu rekomendasinya agar stigma dunia internasional tentang pembajakan dihapuskan. "Karena sebenarnya yang membajak bukan orang Indonesia seluruhnya kan, pelakunya hanya segelintir oknum dan pemerintah tidak sanggup menanganinya," tuturnya.

James mengungkapkan Indonesia memiliki potensi di bidang musik yang sangat luar biasa. Ribuan jenis musik etnik tersebar di berbagai daerah namun lama-lama diakui sebagai milik bangsa lain karena ketidakberdayaan pemerintah dalam melindunginya.

"Kita punya ribuan akar musik etnik yang tidak dimiliki negara lain, namun perlahan karena stigma sebagai negara membajak terlanjur melekat dan negara ini tidak bisa mengurusi, akhirnya banyak negara lain mengklaim musik itu sebagai miliknya," ujar pria berdarah Manado ini.

Sebenarnya, kata james, di tingkat internasional banyak musik Indoensia digunakan sebagai musik ilustrasi film, ilustrasi iklan, dan menjadi inspirasi untuk menciptakan lagu-lagu asing. Ia mencontohkan lagu My Heart Will Go On yang dinyanyikan Celine Dion dalam film Titanic.

"Sebenarnya kalau mau menyimak dengan seksama, lagu itu mengandung unsur lagu keroncong. Tapi sayangnya banyak pihak tidak mau menyatakan itu diambil dari musik Indonesia. Kebanyakan di labelnya dituliskan ’Asian Music’, padahal maksudnya ya Indonesia," katanya.

Demikian halnya dengan musik angklung yang menginspirasi banyak musikus dunia menciptakan karya. Para musisi itu, menurut James, hanya mencantumkan bamboo music saja tanpa menyebutkan bahwa musik bambu yang dimaksud adalah angklung dari Indonesia.

Kebangkitan
"Kita tidak pesimis, meski pembajakan menggila dan pemerintah belum menunjukkan perannya memerangi pembajakan. Tahun ini merupakan 100 tahun kebangkitan nasional dan masih ada celah yang bisa digunakan para musisi Indonesia untuk bangkit melawan pembajakan," katanya.

Teknologi digital disebut James sebagai jawaban dari keresahan dan keprihatinan para musisi dan penyanyi terhadap pembajakan. "Ini pencerahan, sebuah cahaya baru yang muncul dari teknologi digital, misalnya melalui Youtube, dan cara lainnya," ujar James.

Melalui teknologi digital, lanjutnya, dunia bisa melihat karya-karya musisi dan penyanyi Indonesia. Meskipun pembajakan membuat Indonesia terjebak ibarat "katak dalam tempurung", kini musisi bisa menawarkan musiknya hingga ke tingkat internasional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. "Kalau kita kuasai teknologi, maka upaya untuk bisa bangkit dengan karya-karya terbaik akan bisa terwujud," tambahnya.

Upaya memerangi pembajakan juga dilakukan PAPPRI lewat sikap proaktif menangkap para pembajak. Caranya, menyampaikan pada pihak berwenang tentang titik-titik di mana pembajak memproduksi ataupun menjual.

"Tetapi sayangnya, saat digrebek tahu-tahu sudah keburu hilang. Pembajakan di Indonesia memang sudah mengakar cuma kita harus optimis. Sekarang suasana memang sudah gelap, tapi kita masih harus tetap optimis," katanya.

Adanya perlindungan HAKI dalam musik Indonesia, katanya, akan memberi dampak yang besar, selain dapat meminimalkan pelanggaran hak cipta, juga akan terjadi perimbangan yang adil terhadap akses-akses ekonomi. (ANT)