Saturday, February 18, 2012
Polygon bike design competition
Friday, December 03, 2010
Inspiration from Korea
Sunday, September 13, 2009
Sunday, June 07, 2009
Think Big with Design
Monday, December 08, 2008
Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Branding
Hari itu saya mengisi penuh tangki mobil saya. Pada saat membayar sejumlah uang sesuai yang tertera di meteran, saya mulai merenungkan ‘value’ uang yang saya bayarkan. Beberapa tahun yang lalu, jumlah uang yang sama bisa saya gunakan untuk 3 kali mengisi bensin! Wow! Inflasi berjalan begitu cepat. Hari-hari ini memang bukan hari yang mudah. Seorang klien saya yang baru saja kembali dari berpameran di Drupa (sebuah pameran terbesar industri percetakan) mengeluhkan: “Pameran ini pameran Drupa tersepi yang pernah ada. Hal ini ditandai juga dengan sedikit sekali orang Amerika yang datang ke sana,” lanjutnya. Krisis memang bukan hanya milik kita. Sejak minyak melambung menjadi begitu mahal, krisis telah menjadi milik dunia!
Dalam aksara ideogram China krisis ditulis (weiji) bisa dilihat menjadi dua bagian yaitu: bahaya dan kesempatan. Intinya adalah: kesempatan kita untuk melangkah maju selalu ada. “Out of chaos comes order”, ada kesempatan di dalam setiap krisis. Dunia memang selalu berubah, “Nothing endures but change,” ujar Heraclitus sang filsuf. Karenanya kesempatan selalu ada. Yang penting kita harus sigap dalam menghadapi perubahan.
Apakah profesi desainer berubah? Jelas! Seorang dosen dan senior saya pernah bercerita, di masa mudanya, sangat mudah mencari uang dengan menjadi desainer. Dengan penghasilannya dia bisa mencicil rumah di daerah kelapa gading yang sampai kini masih ditinggalinya. Bagaimana desainer muda yang baru bekerja sekarang? Dalam acara kumpul rekan-rekan desainer, selalu ada saja curhat tentang keadaan yang sangat ‘tough’ menjalankan bisnis hari-hari ini. Mereka mengeluhkan standar harga, kompetisi yang tidak sehat, dsb. Kalau saya buat daftar curhat teman-teman akan sangat panjang rasanya. Profesi desainer berubah ke arah yang lebih baik?
Tapi saya tidak mau berpanjang-panjang dengan penjabaran krisis yang ada. Yang pasti semua orang pasti merasakannya, baik langsung maupun tidak langsung. Yang saya mau bahas di sini adalah tentang peluang yang kita bisa dapatkan.
Untuk dapat menang dari persaingan yang ada, selalu harus ada competitivenes advantage. Dan keunggulan kompetitif ini selalu merupakan keunggulan nilai (value advantage). Manusia sebagai mahluk yang berbudi luhur, menempatkan nilai sebagai pemahaman terdalam atas apa yang terjadi di sekitarnya. Nilai setiap orang akan berbeda satu sama lainnya, dan nilai manusia yang satu akan mempengaruhi nilai manusia lainnya.
Desainer pada dasarnya memang seorang pencipta keindahan, dan keindahan inilah sebuah nilai. Nilai keindahan ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai kepuasan, pencapaian diri, nilai ekonomi, dsb. Tapi seringkali nilai ini berbeda antara desainer dan klien, yang menyebabkan tidak akurnya klien dan desainer. Desainer menyalahkan klien tidak punya taste, kampungan, sok tahu. Klien menyalahkan desainer sok jual mahal (“Kerjain gini gua juga bisa”), keras kepala, tidak bisa diatur, sok tahu. Sebenarnya dari masalah tadi terlihat jelas bahwa masalah sebenarnya bukan pada objek desain karya desainer. Di balik hubungan desainer dan klien banyak hal yang mengarah pada berbedanya standar nilai dari desainer dan klien. Ada perbedaan harapan antara desainer dan klien. Seorang desainer atau perusahaan desain hebat yang sanggup menempatkan diri di posisi teratas dalam bisnis adalah desainer yang sanggup mengkomunikasikan nilai, baik nilai dirinya maupun perusahaannya, dan mampu menerjemahkan nilai tadi menjadi bahasa yang sama dengan kebutuhan klien. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap harapan ’nilai’ ini dari kedua belah pihak.
Nah, kalau kita berbicara tentang penciptaan ‘value’ ini, kita tidak mungkin tidak membicarakan Brand dan Branding. Brand dan Branding pada intinya adalah penciptaan nilai suatu entitas, bisa berupa produk atau jasa, bagi khalayaknya. Coba lihat Brand apa yang melekat pada kita sehari-hari. Mulai dari makanan, minuman, baju, tas, film, musik, tokoh politik dsb. Brand tadi telah melalui proses Branding, baik melalui proses yang sadar maupun tidak sadar. Mengapa kita memilih Brand A dibanding Brand B? Mengapa kita menyukai Brand C dibanding Brand D. Mengapa kita benci produk yang satu tapi fanatik dengan produk laiinya? Renungkanlah sedikit. Biasanya banyak hal yang bisa kita dapatkan dari pengalaman dengan Brand di sekeliling kita.
Jadi kembali ke poin di atas, bagaimana desainer dapat menang dari kompetisi di tengah krisis karena hebatnya persaingan, buruknya daya beli, dsb, dsb? Desainer atau perusahaan desain harus melakukan Branding, sebuah harga mutlak! Desainer harus menciptakan sebuah nilai. Inilah yang saya kira menjadi dasar seorang desainepreneur! Designpreneur adalah desainer yang bisa menciptakan nilai, terutama nilai ekonomi!
Selama ini desainer kebanyakan memang telah menciptakan nilai, tapi hanya sebatas ‘nilai tambah’, sebuah value added. Kita ambil contoh desain sebuah kemasan. Dengan kemampuannya seorang desainer mengolah kemasan menjadi menarik, menggugah konsumen untuk melihat, mengkomunikasikan kegunaannya, menciptakan identitasnya, dan membujuk emosi konsumen agar membeli atau mengkomsumsi produk tertentu. Value sebenarnya dari sebuah produk adalah zat materiil, atau pengalaman dari penggunaan benda tersebut. Desain hanya berfungsi sebagai ‘tambahan’ nilai dari benda yang dikemasnya.
Lalu apakah desainer sebagai value creator? Kita ambil contoh Apple yang menjadi merek fanatik di kalangan desainer. Apple bukan pencipta pertama mp3 player. Apple juga bukan pencipta pertama music player portable (yang sudah dimulai Sonny dengan walkmannya). Tapi Apple menciptakan suatu pengalaman mendengarkan musik baru. Kita dapat mencermatinya dari cara apple mengkomunikasikan Ipod. Apple tidak pernah mengkomunikasikan secara besar-besaran seberapa besar kapasitas harddisk ataupun memory yang dapat ditampung setiap gadget-nya. Alih-alih mengatakan 4 GB, 8 GB,dst, apple lebih suka mengatakan 1000 songs, 20000 songs, 40000 songs. Apple mengerti kebutuhan terdalam konsumennya, mempunyai perpustakaan musik pribadi yang menemani kemanapun konsumennya pergi. Ini salah satu contoh penciptaan value. Manakah yang lebih cepat dicerna? Memiliki alat dengan 160 GB atau memiliki lagu 40000 judul yang bisa kita putar setiap saat?
Jadi apakah bedanya value additor dengan value creator? Value additor hanya menambahkan nilai. Desainer dengan sikap value additor bersifat pasif menunggu order, menunggu brief yang ada, dan membangun experience desain dari benefit lainnya. Seorang Value creator menciptakan sebuah kebutuhan hidup dengan desainnya, membangun experience khalayaknya lewat desain, dan menciptakan kesempatan baru berdasarkan prediksi, wawasan, intuisi, perhitungan dan pengalamannya. Seorang designpreneur adalah seorang value creator.
Saat saya memulai profesi desainer bertahun-tahun lalu, saya berlatih keras menjadi desainer profesional yang baik. Saya melatih diri saya lewat pengalaman formil dan non formil untuk dapat menerjemahkan sebuah komunikasi menjadi sebuah desain yang komunikatif namun estetis. Seiring pengalaman, saya sadar bahwa desain yang baik akan jauh lebih bernilai jika integritas diri sang desainer tertuang di dalam desain tersebut. Integritas ini meliputi wawasan, persepsi, perspektif, cara berpikir, cara bersikap, strategi, dsb, yang pada intinya adalah penuangan keseluruhan sang desainer. Dari situ saya merasa perlu banyak hal yang harus kita perlengkapi dalam menjalankan profesi sebagai desainer. Dalam perjalanannya saya mengenal mengapa wawasan Brand dan Branding merupakan suatu wawasan yang mutlak jika kita ingin mengembangkan diri menjadi seorang desainer yang advance. Dari situ saya mulai menyelami bidang ini hingga saat ini.
Ternyata, brand dan branding adalah lautan yang sungguh begitu luas. Begitu dinamis, fleksibel, dan banyak hal yang tidak pernah baku. Kita dapat melihat Brand dan Branding dari berbagai sudut, dari sisi marketing, desain, psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dsb. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan banyak sumber tentang hal ini, dan menemukan bahwa Brand dan Branding melibatkan banyak hal: emosi, pikiran, kecerdasan, analisa, intuisi yang tajam, wawasan, serta kepekaan terhadap banyak hal.
Kebetulan saya juga seorang pengajar. Saya mencintai dunia ajar mengajar. Untuk mempelajari sesuatu dengan baik, kita dapat memulai mempelajari bahasa yang digunakan dalam disiplin tertentu. Kalau kita mau mempelajari ekonomi, kita harus memulainya dengan mempelajari istilah-istilah ekonomi. Kalau kita mau belajar bermain saham, kita harus tahu benar arti istilah-istilah ‘bullish’, ‘bearish’, ‘rebound’, dsb. Dengan mengenal istilah-istilah ini kita akan mudah untuk berkomunikasi di dalam komunitas disiplin tersebut. Begitu juga kalau kita mau belajar ‘Brand dan Branding’. Tentunya kita harus mengenal istilah-istilah yang sering dipakai dalam ‘Brand dan Branding’. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan istilah istilah ini dari berbagai sumber, mulai membanding-bandingkannya, menarik kesimpulan dan menuangkannya dalam KAMUS BRAND.
Semoga dengan mempelajari istilah-istilah di dalam kamus ini merupakan suatu langkah awal dalam mengembangkan kapasitas kita dalam pemahaman Brand dan Branding.
Akhir kata, mari kita berubah, menuju ke masa depan yang lebih baik. Mulai dari merubah ‘Value’ kita, mulai dengan memperluas wawasan kita, dan mulai mempelajari istilah-istilah dalam Kamus Brand serta mendiskusikannya. Kelak kita akan melihat dampaknya yang luar biasa.
Friday, May 23, 2008
Ron Eglash: African Fractals
"Ethno-mathematician" Ron Eglash is the author of African Fractals, a book that examines the fractal patterns underpinning architecture, art and design in many parts of Africa. By looking at aerial-view photos -- and then following up with detailed research on the ground -- Eglash discovered that many African villages are purposely laid out to form perfect fractals, with self-similar shapes repeated in the rooms of the house, and the house itself, and the clusters of houses in the village, in mathematically predictable patterns.
As he puts it: "When Europeans first came to Africa, they considered the architecture very disorganized and thus primitive. It never occurred to them that the Africans might have been using a form of mathematics that they hadn't even discovered yet."
His other areas of study are equally fascinating, including research into African and Native American cybernetics, teaching kids math through culturally specific design tools (such as the Virtual Breakdancer applet, which explores rotation and sine functions), and race and ethnicity issues in science and technology. Eglash teaches in the Department of Science and Technology Studies at Rensselaer Polytechnic Institute in New York, and he recently co-edited the book Appropriating Technology, about how we reinvent consumer tech for our own uses.
"Next time you bump into one of those idiots who starts asking you questions like, 'where is the African Mozart, or where is the African Brunel?' -- implying that Africans do not think -- send them a copy of Ron Eglash’s study of fractals in African architecture and watch their heads explode."
mentalacrobatics.com
Sunday, May 18, 2008
Paola Antonelli: Design as Art
Since she stepped back from practicing architecture in order to focus on writing about design, teaching and curating gallery exhibitions, Italian native Paola Antonelli has become a force to be reckoned with in the design world. Working at the Museum of Modern Art in New York since 1994, she now heads up the gallery's Architecture and Design department and has worked on shows such as "Humble Masterpieces," which celebrated traditionally unheralded design icons such as the paperclip; "Safe," considering issues of protection, and "Workspheres," a look at contemporary workplace design.
Ever mindful that the majority of visitors to MOMA are attracted by artists such as Picasso and Matisse, Antonelli works to ensure that if they do stumble across a design-related show, they'll be both entertained and enlightened. Her latest book is Exit to Tomorrow: World's Fair Architecture, Design, Fashion 1933-2005.
"Paola Antonelli’s goal is to insistently promote design’s understanding, until its positive influence on the world is fully acknowledged."
World Technology Network
Saturday, May 10, 2008
DSCollege Student Showreel (Design|Animation|Filmmaking)
DS College student Exhibition Opening
Design student portfolio showcase
Animation student portfolio showcase
Filmmaking student portfolio showcase
Event video coverage
Friday, April 18, 2008
Sun Tatoo
Source: Yu-Chiao Wang
Inspired by the Moldy Body Object.
Sun Tattoo is a soft stencil which can be used for making the tattoo pattern on the skin by sunshine. It's better to use it with sunless tanning cream.
Thursday, April 03, 2008
APEC Poster Competition

2008 APEC ICT Poster Competition
Organized as the first event of the project, 2008 APEC ICT Poster Competition highlights the educational outreach effort of the project. With the theme of “ICT for Hope,” the event will provide interested citizens of all twenty-one APEC member economies an opening to convey their thoughts about how we can use ICT to better our lives, while preventing and curtailing the negative side effects that may accompany the rapid advancement of ICT.
The event will accept entries until May 12, 2008. A total of USD $18,000 will be awarded to thirty-seven winners across the Asia Pacific, including one Grand Prize winner, who will receive a cash prize of $5,000. Winning posters will be exhibited in APEC member economies during the second half of the year, including the 2008 APEC host Peru.
In order to maximize the educational impact of the event, local promotions led by interested organizations, institutions, government departments as well as schools and individual practitioners in the member economies will be greatly appreciated. Promotional materials will be provided in seven languages including English, Spanish, Chinese, Indonesian, Korean, Thai, and Vietnamese and will be distributed to partner orgnizations. Downloadable files are also available on the project website at www.apecict.net.
For more information on the project and opportunities for collaboration, please visit project website at www.apecict.net or email us at hanah@ktcf.or.kr.
Tuesday, October 23, 2007
Hotel Fox
Hotel FOX
Untuk melakukan launching Volkswagen Fox, 21 artis internasional di bidang desain grafis, urban art dan ilustrator mengubah Hotel Fox di Copenhagen menjadi hotel paling menarik yang menawarkan creative lifestyle.
61 rooms, 21 artist, 1,000 ideas
Setiap ruangan merupakan karya seni. Mulai dari desain komik hingga desain grafis. Dari street art hingga manga Jepang. Anda akan menemukan bunga, monster, karakter, dll.
Ini merupakan tempat di mana seluruh peserta acara, media dan penduduk kota berkumpul di Project Fox.
The idea, the project, the partners, the transformation...
Lihat video Project Fox
Thursday, April 19, 2007
Kongres Adgi 2007: Program Lokomotif Industri

Kongres Adgi 2007 yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2007 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, mencatat bahwa Adgi sebagai organisasi desain grafis untuk para profesional akan dibawa untuk mewakili profesi desain grafis sebagai profesi yang terhormat.
Sebelumnya Adgi dipimpin oleh Presidium yang teradiri atas Danton Sihombing (Inkara Design), Hermawan Tanzil (Leboye), Lans Brahmantyo (Afterhours), Hartjarjo B. Wibowo dan Andi S. Boediman (Digital Studio). Selama setahun bertugas, aktivitas Adgi bertujuan untuk memberikan awareness tentang organisasi dan bertujuan membangun industri desain grafis.

Ketua baru terpilih adalah Danton Sihombing memiliki program Lokomotif yang akan menjadi rencana kerja Adgi ke depan. Terdapat 3 program yang menjadi rencana kerja Adgi. Program upstream membuat analisa dan perencanaan kebijakan terhadap industri. Program midstream adalah program komersial untuk menghasilkan dana operasional melalui kerjasama dengan pihak ketiga. Program downstream adalah membangun chapter-chapter asosiasi desain di berbagai kota.
Sukses untuk mas Danton dan seluruh tim Adgi!

Wednesday, August 30, 2006
IDE Awards @ Petasan Grafis
Moralitas Pers, Dolanpiade, Batik Illusion, Peranakan Idealis
Source: Imajineo
IDE AWARDS Ide Awards adalah kompetisi kreatif Mahasiswa dengan bingkai nasionalisme. Tujuan lomba ini sangat mulia, menggali kembali nasionalisme yang dikomunikasikan melalui ide-ide kreatif. Lomba ini dibagi tiga tema, yaitu:
- Kemasan Makanan Tradisional Indonesia (eksplorasi kemasan dodol durian, tape ketan)
- Acara/Event (promosi tari-tarian daerah, recital, gamelan);
- Destination Branding (mengolah program komunikasi visual suatu tempat, seperti pantai, museum, wisata, tempat bersejarah) yang menarik di Indonesia.
- Dolanpiade, dari Digital Studio Jakarta (Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifky Zulkarnain, Welly Caslin).
- Peranakan Idealis, dari Institut Kesenian Jakarta (Irvan Muaia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin AL Kaff, Muhammad Rizki Lazuardy).
- Lurjuk, dari Universitas Petra Surabaya, (Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan)
- Batik Illusion, dari Universitas Bina Nusantara, (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya Kartika, Natalia)
- Moralitas Pers, dari Universitas Bina Nusantara, (Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia, Tafrian)
Friday, August 18, 2006
Packaging Design. Silent Salesman No More!
Today market is cluttered with competing brands and media, marketers have to exploit all angles of a brand's experience with the consumer. Given the various media choices and market fragmentation, marketing tools are being reviewed, and more emphasis is being put on packaging.
Packaging has often been called the 'silent salesman'. Packaging can be the source of visual inspiration. Packaging is essential in creating the brand image that comes to mind when discussing a brand. So, it is time the silent salesman was silent no longer.
Packaging Design as Competitive Strategy
Once economic crisis hit throughout Asia, Indonesia is severely hit by this turmoil. The short-term side effect has been a temporary slowdown in domestic demand and economic growth. And a good business sentiment is needed to improve the market climate.
Some of the changes in consumer behavior when economic crisis happened is that everybody will have to lower their standard of living – for example, somebody who used to use liquid soaps will use bar soaps and somebody who used to use bar soap will use ‘sabun colek’.

With previous experience facing economic crisis in various country, Blue Band quickly anticipate this problem. Since the packaging cost is prohibitively expensive compare to the packaged goods, tin packaging will have to be changed to carton packaging.
The packaging should also act as a point of sales since in rural and remote area the product will be self-displayed in small kiosk as the main distribution point. People will buy margarine by weight instead of buying them in a package. A simple design solution is crafted using a longer flap for the top flange and put a graphic that is used as a self-display.
Unluckily, bakery expressed their concern since changing the package will affect margarine flavor as their utmost selling point.
Then the packaging design serves the purpose for keeping the brand competitive and self sustain during the economic crisis. Today Blue Band has retained its leadership as the leading brand in margarine.
Packaging Design as Storytelling
What makes multinational brands want to cater to market that has a very low per capita consumption. It means large untapped potential!

Before the concept story unfold, it started with various possible direction. Packaging plays an important role to define the visual direction for the story. It is then adapted to various application such as point of sales, range card and other promotional items.
Through activities, media, promotion and packaging, Unilever engage 360° marketing strategy to create a personal experience for the consumer. In this case, packaging become one of the end vehicle to fulfill kid’s imagination in enhancing the experience.
Millward Brown was hired to evaluate the strategy and its effectiveness. This study then used as a base for the next year strategy.
Within the past 7 years, Wall’s compound annual growth in Indonesia has replaced Thailand as the brand development center. The packaging design was then adopted as the visual direction and inspiration for other countries, such as Thailand and Singapore.
Packaging Design as International Gateway
A cassava chip is a slim slice of a cassava deep fried or baked until crisp. This chips serve as an appetizer or snack. Commercial varieties are packaged for sale, usually in bags. The simplest chips are simply cooked and salted, but manufacturers can add a wide variety of seasonings. Cassava chip is considered an export commodity.
Kusuka is created as a strategy to optimize factory production cycle. Instead of using common distribution channel, this product is spread through Mum’s network because the factory won’t be able to commit the product continuous supply. This unique distribution methods quickly become ‘word of mouth’ strategy and people start looking for the product.

The final design solution use combination of yellow and green to create a very appetizing look. Client’s favorite element is the use of the product photo from above. With the new design, consumer quickly identify Kusuka as the leading brand in cassava chip.
Even the big brand curiously and continuously watch this new player and before long, they started to copy the product. Some of the key feature that keep Kusuka as the leading brand is the product experience, unique distribution point and fresh look packaging design.
At the moment, Kusuka enjoys a high growth demand in local market and started become an export darling. It has just been introduced to Phillipines and distributed to various other countries through Alibaba.com, the leading global trader website.

Trends towards healthier eating and an increasing interest in more organic products are the key reasons for the growth in fruit juice market. Healthy living is a growing trend and people just can't get enough of these kinds of products. It was then a commodity product and takes times to prepare. And consumers are demanding high quality premium products.
Based on this idea, Mama Roz brand is created. Starting with the name, it signifies the product is prepared by human being in a warm environment, freshly produce and prepared everyday to the consumer door. The identity gives a living brand personality. The use of warm color and stylized photo illustration engage an emotional relationship towards the brand promise.

This key identity then defines the whole campaign, from packaging to advertising. Consistent look and feel communicates the brand promise in a credible and convincing way.
The future lies in an integration of harmonized solution media channels and communication. We are talking about marketing communications, point of sales materials, retail environments and packaging.
To create a complete brand experience, every single product communication activity will become an important tool within a total brand communications arsenal. The packaging could no longer be a silent salesman.
* This article will be published in international packaging magazine.
Andi S. Boediman is an award winning designer living in Jakarta – Indonesia. His design is awarded The Best Creative Graphic Design by IdN (International Design Network) and has been exhibited in Singapore, Hongkong, USA. His works has been published by PIE Books, Japan. He is the founder of Admire – Integrated Marketing Communication (www.admire.co.id), which serves international clients such as Unilever, Timezone and many others.
Tuesday, March 22, 2005
Innovation & Activation as a Strategy for Brand Leadership
Brand bukanlah logo dan brand bukanlah produk. Apa yang membedakan produk dan brand? Produk diciptakan di pabrik, sedang brand diciptakan di benak manusia. Ketika kita menyebut pasta gigi, Pepsodent dan Close Up adalah brand yang teringat, ketika kita menyebut ayam goreng, KFClah top of mind-nya.
Jadi brand adalah gut feeling kita tentang suatu produk, bukan apa yang yang ingin diungkapkan oleh si pemilik brand, tetapi persepsi dari konsumen tentang brand.
Benak manusia hanya mampu mengingat 2 - 3 brand di setiap kategorinya. Oleh karena itu beragam cara untuk membuat brand menjadi stand-out. Cara paling mudah adalah dengan membuat brand untuk harga murah, contoh, Attack menyerang Rinso, Avanza diposisikan menduduki pangsa mobil murah menggantikan Kijang yang naik kelas.
Metode lain adalah dengan memperkecil kategori, jika Pepsodent adalah brand untuk pasta gigi keluarga, maka ada Close Up untuk pasta gigi remaja. Jika ada KFC untuk ayam goreng, maka ada Suharti, Fatmawati dan Pemuda untuk ayam goreng lokal.
Menciptakan kategori baru juga merupakan salah satu solusi, seperti halnya Irex untuk pria sejati dan Extra Joss untuk penambah tenaga, padahal perbedaannya hanyalah tingkat konsentratnya. Salah satu brand yang cukup piawai membius adalah Pocari Sweat – pengganti ion tubuh. Masih ingat minuman yang rasanya asin manis…? Ya benar, oralit tepatnya! Pocari Sweat adalah oralit dengan tambahan ‘gas’. Nah sekarang silakan nikmati minuman ini setelah Anda tahu.
That’s the power of brand!
Diferensiasi
Salah satu metode paling kuat untuk menciptakan brand adalah diferensiasi, silakan dibaca sebagai ‘Apa sih bedanya?’ Diferensiasi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dari produk, bentuk, layanan dan distribusi. Masih banyak hal lain yang bisa dideferensiasi seperti halnya packaging, iklan, dll.
Dari segudang obat batuk, yang satu untuk batuk kering, yang lain batuk berdahak, ada pula obat batuk yang tidak bikin ngantuk. Jika ada biangnya, buat apa pilih botolnya, menandakan diferensiasi dari sisi ‘bentuk produknya’. Banyak produk jamu yang saat ini perlu mengalami perubahan bentuk karena tuntutan zaman, misalnya jamu dalam bentuk kaplet, atau cairan. Masih ingat Komix yang menggunakan sachet ketimbang botol? Saat saya tanya ke konseptor Komix dan Extra Joss kenapa punya ide brilyan memilih sachet, jawabannya adalah ‘Karena kita nggak punya mesin botol!’
Jika Anda harus datang ke Pizza Hut untuk makan, Domino Pizza menggaransi 15 menit pizza terkirim ke rumah, ini adalah contoh diferensiasi distribusi. Studi kasus paling sukses mungkin adalah becak dari Walls, di mana kita nggak perlu mencari toko ice cream, tetapi ice cream akan datang ke rumah Anda.
Ketika saya datang ke Hard Rocks di eX – Plaza Indonesia, si pelayan begitu sok coolnya berjongkok dengan dagu nempel di meja sambil bersiul-siul nunggu kita mesen. Wow, that’s diferensiasi dari sisi layanan, begitu menyebalkan buat saya, tapi mungkin pas buat pasar orang-orang sok cool di seluruh Jakarta! Buktinya rame tuh!
Siklus Produk
Ketika produk mulai diperkenalkan, orang selalu bertanya ‘Apa itu?’ berikutnya adalah ‘Bisa ngapain tuh?’, dilanjutkan dengan ‘Gue demen nggak tuh?’ yang terakhir adalah ‘Gue musti punya, it’s so damn cool!’.
Ketika produk baru diperkenalkan, semua orang bertanya buat apa sih, di sini kita mengkomunikasikan ‘What it is!’ Dengan What it does’ kita memperkenalkan fungsi dan keuntungan produk, misalnya Blue Band memberikan resep2 bagaimana membuat berbagai menu menggunakan margarin, Aqua menganjurkan minum 3 liter sehari, prinsipnya adalah increase usage. Perlu diingat, mandi, cuci rambut dan sikat gigi setiap hari adalah konsep yang diperkenalkan oleh consumer product seperti P&G di abad 20. Seabad lalu, kita melakukan hal ini mungkin seminggu sekali.
Ketika produk menjadi komoditi, kita mulai memilih berdasarkan perasaan, muncullah Pepsi ‘the next generation’ minuman untuk generasi muda yang mudah diidentifikasi dengan musik sebagai tanda zaman. Coca Cola yang kehilangan banyak pasar membalas dengan ‘the real thing’, ini baru yang aslinya, bukan ikut-ikutan!
Siklus berikutnya adalah ketika brand telah menjadi identitas. Bos-bos berkeliling menggunakan Harley Davidson untuk mengidentifikasi ‘big boys toys’. Hanya yang benar-benar desainer yang menggunakan Apple. Jika Mercedes identik dengan ‘bos gedhe’ maka BMW sebagai ‘mainan eksekutif muda sukses’. Di sini brand mengajak untuk Join the Club. Kampanye A Mild yang aneh dan nggak nyambung banget itu karena mencoba untuk masuk ke posisi ini.
Kondisi pasar dan segmentasi akan menentukan strategi yang kita gunakan.
Innovation

Dari sekian banyak inovasi di dunia, hanya sedikit yang mampu bertahan hidup dan muncul sebagai produk konsumen. Inovasi produk diikuti oleh para innovator dan early adopter, mereka yang ‘mau memahami teknologi’. Tetapi para early dan late majority selalu akan menunggu hingga ‘teknologi yang mengerti Anda’. Laggards adalah mereka yang ngotot tidak mau mengikuti teknologi.
Produk berada pada siklus early dan late majority ketika kita tidak perlu menjelaskan apa itu produk, contoh: handphone dan Internet sekarang berada pada siklus ini. Tetapi database Oracle dan SAP akan tetap untuk para innovator dan early adopter karena mereka hidup dari niche market.
Ketika berada di siklus innovator dan early adopter, product leadership selalu bisa dijual dengan harga premium karena itu adalah nature dari market ini seperti halnya komputer SGI. Market ini selalu membutuhkan solution provider karena merekalah yang akan menggabungkan berbagai teknologi untuk menjadi solusi siap pakai.
Intel adalah contoh perusahaan yang mampu melakukan innovation terus menerus. Innovation tidak berarti teknologi harus kompatibel dengan masa lalu, seperti halnya teknologi AMPS, GSM dan CDMA pada handphone, atau Wordstar dan Miscrosoft Word untuk software pengolah kata. DuPont yang terkenal dengan Lycra (bahan stretch), Teflon dan CFC (chloro fluoro carbon, bahan AC) merupakan contoh perusahaan kimia yang selalu muncul dengan innovation dan ketika produk mulai menjadi komoditi, mereka akan menjualnya karena profit terlalu kecil.
Activation
Ketika produk masuk ke pasar mainstream, maka harga harus relatif murah, sangat mudah digunakan dan ditandai dengan servis atau distribusi yang baik. Di seluruh rangkaian siklus adopsi ini, ketiga faktor, produk, servis dan distribusi harus dipilih dua dari tiga.
Innovation pada siklus ini terjadi untuk membuat produk lebih mudah atau lebih murah. Sedang activation kita lakukan untuk brand agar dikenal masyarakat. Agar menjadikan Biore pore pack relevan dengan masyarkat, activation dilakukan dengan menggunakannya as a fashion statement di eX, semua orang yang masuk ditempelin biore di hidungnya. Activation Panther dilakukan dengan lomba irit, Lux dengan fashion show, rokok dengan konser musik. Pertanyaannya adalah ‘Does it always work?’
Activation ditujukan untuk membangun brand awareness, membuat terjadinya product trial dan menjalin relationship dengan customer dan distributor. Semua events, sampling, dll, hanyalah alat. Orang akan bosan dengan metode yang sama dilakukan berulang-ulang. Jadi yang harus disusun adalah core value dari brand dan mencari metode yang selalu segar di dalam kampanye komunikasi.
Dengan fragmentasi media dewasa ini, activation tidak bisa memisahkan above atau below the line communication, tetapi bagaimana menciptakan total campaign yang mengkombinasikan berbagai media dengan model 360º communication. Media bisa broadcast seperti televisi, koran, majalah, radio, bisa juga sponsorship pada acara musik, fashion, dll, bahkan acara public relation yang menghadirkan publisitas tinggi seperti memecahkan rekor dunia. Dengan konsep media neutral campaign, media bisa sangat kreatif, seperti happening art jamur berlari-larian di seputar Hotel Indonesia untuk kampanye Daktarin atau stiker promosi Snapple – minuman segar rasa buah di Amrik yang ditempel pada buah segar beneran. Sebagian orang menyebutnya dengan ambience media.
Brand Steward
Banyak model hubungan kerja antara pemilik brand dan agensi. Pemilik brand bisa menyerahkannya kepada perusahaan Integrated Marketing Communication, di mana agensi ini bisa memiliki seluruh tim secara inhouse atau mereka menjadi organizer dari agensi khusus lain yang menangani masing-masing elemen komunikasi.
Alternatif berikutnya adalah perusahaan memiliki brand steward yang mengorganisasikan seluruh elemen ini, bisa sebagai posisi brand manager, marketing manager/director atau dipegang oleh CEO langsung.
Analogi terbaik posisi brand steward adalah ibarat seorang sutradara film dan konduktor musik, mampu menggabungkan berbagai elemen untuk menghasilkan satu kesatuan komunikasi yang harmonis.
Consumer Insight
Dengan memahami consumer insight, Sampoerna Ijo menerjemahkan ‘mangan nggak mangan asal ngumpul’ menjadi kampanye yang berhasil. Tetapi adaptasi ‘kalo nggak ada lu nggak rame’ malah bergeser dari consumer insight yang sebenarnya.
Kampanye ‘Pria punya selera’ yang lebih ke pria pernah digeser ke selera dengan iklan yang menunjukkan ke selera masa kini, menjemput cewek pake pesawat, bermain basket tanpa melihat, dll. Mungkin ini too smart untuk target marketnya sehingga kini kembali ke kampanye semula.
Brand Leadership
Agar brand menjadi tetap relevan, brand perlu mengambil sikap leadership. Mereka tidak bertanya dan menunggu permintaan dari pelanggan, tetapi brand menunjukkan apa yang konsumen mau. Sony dengan walkman, Apple dengan iPod, merupakan contoh konkrit hal ini. Lux melakukan kesalahan dengan meminta publik untuk mengatakan siapa yang pantas menjadi Bintang Lux. Lux sebagai brand leader kini menunjukkan leadershipnya dengan memilih dan menunjuk seseorang menjadi Bintang.
Brand leaders don’t ask people what they want, but they tell them what people want!
Further Study:
Brand Gap – Marty Neumeier
Crossing the Chasm – Geoffrey Moore
Differentiate or Die – Jack Trout
Eveolution – Faith Popcorn
Sunday, October 24, 2004
Interview by Packaging Magazine
J. Awalnya saya mengalami bahwa untuk terjun ke industri diperlukan skill dan knowledge khusus yang ternyata tidak bisa dipenuhi hanya dengan belajar di sekolah. Selain itu, rekan-rekan di industri juga banyak mengalami kesulitan karena kurang adanya sosialisasi tentang pengetahuan produksi yang baik.
Pengalaman yang kita dapatkan di lapangan tersebut sangat berharga untuk bisa di-share ke pelaku industri maupun para pemula yang ingin terjun. Ini adalah alasan yang memicu kita mengembangkan pendidikan computer graphic.
T. Kendala apa yang Anda hadapi pada saat pertama membuka training center?
J. Kita membuka training center dengan hanya modal semangat :), jadi tidak punya pengalaman management, marketing, dll. Kendala awal yang muncul adalah proses sosialisasi dan marketing, kemudian berlanjut ke standarisasi (modul dan pengajar), dan setelah itu adalah administrasi dan sistem. Yang belakangan berhubungan dengan SDM.
T. Kontribusi apa yang sudah disumbangkan Digital Studio selama membuka training center ini?
J. Kita memiliki Workshop dan College, di mana workshop ke arah pelatihan singkat (skill) dan College adalah program panjang 16 bulan yang menggabungkan skill dan knowledge. Lulusan workshop saat ini sudah lebih dari 5000 orang di Jakarta, Surabaya, Bandung. Sedang untuk College berjumlah sekitar 200 orang.
T. Kendalah apa yang masih dimiliki dalam rangka mengembangkan training centre ini, baik ke bidang yang lain atau meluaskannya ke berbagai daerah lain?
J. Untuk pengembangan ke daerah lain, kendala terbesar adalah standarisasi pengajaran, sedang untuk pengembangan ke bidang lain, kendalanya adalah dibutuhkan research dan development serta usaha introduksi yang tidak kecil ke masyarakat.
T. Hal apa yang masih Anda cita-citakan dan belum tercapai? Mengapa?
J. Secara jangka pendek adalah pengembangan ke daerah lain. Saat ini kita memilih secara bertahap karena perkembangan yang terlalu pesat sangat menyulitkan dari sisi pengembangan SDM dan supervisi kualitas.
Secara jangka panjang, kita memiliki potensi ke beberapa aspek, seperti sebagai partner SDM dalam skala yang lebih luas, konsepnya seperti human resource center, di mana kebutuhan perusahaan dan SDM masing-masing bisa kita jembatani. Berikutnya kita bisa memasuki sebagai project center, di mana kita mempertemukan buyer dan seller project kreatif.
Rencana-rencana semacam ini sebaiknya memang dilakukan bertahap karena kita sendiri masih harus melakukan uji coba pasar.
T. Anda juga membuat design grafis dari packaging Walls (Unilever). Bagaimana di usia muda Anda sudah mendapatkan kepercayaan untuk pekerjaan penting dan dari perusahaan yang sangat bereputasi tersebut?
J. Terjadinya krisis ternyata memberikan banyak tantangan baru, klien saya yang sebelumnya banyak di real estate banyak mengalami krisis. Perusahaan consumer goods seperti Unilever yang besar bisa memberikan kesempatan kepada kita karena mencari desain yang bagus dengan harga reasonable.
Sebagai tambahan informasi, di awal kita diberi tantangan untuk implementasi logo Walls yang membutuhkan banyak detail teknis di berbagai media seperti freezer, kendaraan dan pabrik. Inilah yang menumbuhkan kepercayaan dari mereka.
Kepercayaan tersebut kini berlanjut dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan packaging di Asia Tenggara dan ada desain kita yang sudah digunakan secara regional.
T. Pendapat Anda mengenai desain kemasan di Indonesia pada umumnya?
J. Kita perlu melihat dalam wacana yang lebih luas bahwa masih banyak perusahaan di Indonesia yang berada di fase manufacture yang product oriented, padahal kini dibutuhkan perusahaan yang berorientasi kepada market dengan menciptakan brand. Perlu diingat bahwa product is created in the factory and brand is created in the mind.
Packaging sebagai salah satu ujung tombak pemasaran bukan sekedar bungkus, tetapi bagian dari consumer touching point yang mengkomunikasikan positioning dan diferensiasi produk serta mampu menciptakan impulse buying.
Oleh karena itu, kita bukanlah sekedar desainer, tetapi strategic partner yang perlu memahami seluruh proses produk dan marketing secara holistik. Hanya dalam posisi ini kita bisa memiliki bargaining dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan yang lebih baik.
Salah satu aspek yang belum tergali adalah riset perilaku konsumen yang terintegrasi dalam proses desain. Di sini bisa ditawarkan solusi kepada klien, mulai dari riset awal, proses desain hingga pengujian di lapangan.
Secara umum, proses berpikir desainer masih dalam skala sempit dan hanya masalah estetis dan teknis yang jadi perhatian. Dari sisi klien, proses berpikir hanya melihat dari sisi produk dan bukan dari sisi marketing.
Desain kemasan di Indonesia pada umumnya ditangani oleh 4 kelompok:
- Bagian desain pabrik (in house desainer)
- Desainer atau bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan
- Studio desain dengan penekanan pada grafis
- Perusahaan periklanan
T. Apakah terdapat kesulitan dalam pengambilan keputusan mengenai spesifikasi desain, dll. Komunikasi yang kurang baik dari berbagai pihak tersebut?
J. Sebenarnya hal ini tergantung pada skala project dan klien. Ada perusahaan yang memiliki in-house designer yang cukup kompeten, tetapi ada pula yang hanya diarahkan untuk support.
Pada perusahaan multinational yang cukup besar, spesifikasi packaging biasanya ditentukan terlebih dahulu karena menyangkut biaya produksi. Kemudian inhouse design menyiapkan technical specification dan diberikan kepada designer luar untuk dijadikan sebagai patokan.
Untuk perubahan minor dan brand extension product, banyak dilakukan oleh inhouse design daripada diberikan ke pihak luar. Tetapi untuk product baru, mereka lebih cenderung mengundang pitch beberapa agency untuk mendapatkan fresh perspective.
Desainer bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan memulai dari batasan teknis dan mencari alternatif desain yang mungkin. Klien yang mereka layani umumnya perusahaan yang product oriented di mana cost produksi menjadi hal utama. Cukup sering desain kurang dipertimbangkan dari sisi marketing.
Studio desain grafis biasanya memberikan rancangan yang lebih menarik dengan konsentrasi pertimbangan estetis. Tantangan yang dihadapi perusahaan grafis adalah masalah teknis yang bisa diatasi melalui komunikasi dari awal dengan pihak produksi packaging serta klien.
Pada perusahaan periklanan, diskusi diawali dengan konsep marketing dan baru masuk ke packaging sebagai bagian dari integrasi komunikasi. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah teknis produksi.
Jadi setiap kelompok desainer selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Semuanya ini bisa diatasi dengan komunikasi berbagai pihak dari awal.
T. Adakah desain Anda yang mendapat kesulitan untuk mewujudkannya (teknik cetak kurang dikuasai percetakan, tinta yang tidak memadai kualitasnya, kertas yang itu itu saja adanya, dll?


Biasanya kesulitan teknis banyak dialami saat menyiapkan final artwork karena packaging punya batasan teknis yang cukup banyak, misalnya persiapan bleed, desain yang tidak boleh terputus karena akan dicetak secara continuous, reproduksi warna-warna khusus, pengetahuan bahan biasanya mempengaruhi pemuaian, penggunaan raster (halftone screen) yang tepat dan banyak lagi.
Desainer untuk packaging mutlak memahami proses produksi tersebut untuk membuat rancangan yang implementable dan hasilnya memuaskan klien, desainer dan produksi.
T. Apa saran Anda untuk memperbaiki kondisi tersebut ?
J. Sinergi berbagai pihak akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap seluruh industri. Dari sisi produsen pengemasan, bisa dibuat sosialisasi tentang proses kerja dan batasan teknis baik kepada klien maupun desainer.
Dari sisi desainer, sebaiknya memahami proses packaging tidak sekedar dari estetis, tetapi melihat dari sisi marketing dan branding. Mereka juga bisa mempelajari hal-hal teknis produksi. Sebagai lembaga pendidikan mungkin bisa mempertemukan antara para pelaku industri ini untuk saling sharing tentang proses produksi.
Sunday, August 08, 2004
Quo Vadis Komvis?
Memang inilah gelombang ketiga era komunikasi dan informasi yang sudah diramalkan oleh Alvin Toffler. Paradoks besar dalam era ini adalah dengan makin tingginya tingkat globalisasi, makin tinggi individualisme, artinya kebutuhan untuk be different makin besar. Makin banyaknya produk yang ditawarkan akibat komoditisasi, makin perlu penciptaan brand yang membedakan satu produk dengan lainnya, sekaligus mendorong pertumbuhan komunikasi yang makin multichannel.
What is Brand?
Brand is not what you say it is, it is what they say it is.
Brand bukanlah apa yang kita bilang, tetapi adalah apa yang orang lain bilang. Dalam hal ini brand bukanlah sekedar produk atau logo, tetapi keseluruhan persepsi tentang produk/jasa. Komunikasi memainkan peranan amat penting dan hanya melalui komunikasi persepsi terhadap brand bisa dibentuk. Keuntungan yang ditawarkan oleh gelombang industrialisasi adalah kita memiliki demikian banyak pilihan. Brand memudahkan konsumen membedakan pilihan yang satu dengan yang lain.
Di dalam industri kreatif, fungsi brand lebih dari sekedar membedakan, tetapi menciptakan kontinyuitas pengalaman, sebagai contoh Disney, mulai dari menonton filmnya, orang membeli merchandise, mengunjungi Disneyland dan menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Ini yang mendasari orang mengkoleksi merchandise Hardrock padahal barang serupa tanpa brand bisa dibeli jauh lebih murah. Hanya satu produk yang bisa memiliki harga paling murah, produk lain membutuhkan brand.
Komoditisasi Produksi
Negara pengekspor terbesar ketiga dunia saat ini dipegang oleh Cina. Dengan perkembangan ekonomi di atas 2 digit, Cina menjadi produsen mobil terbesar kelima dunia mengalahkan Jerman, mereka menjadi produsen handphone terbesar dunia hanya melalui market lokalnya. Dengan daya tarik sumber daya manusia yang demikian banyak dan murah, perusahaan-perusahaan memindahkan produksinya ke Cina untuk mendapatkan harga murah. Peralihan ini mengakibatkan merosotnya produksi di berbagai negara. Lulusan di bidang manufacturing dan engineering di berbagai negara maju kesulitan mencari pekerjaan akibat hal ini.
Industri Kreatif
Kebalikan dengan merosotnya komoditas, industri kreatif mampu berkembang dengan pesat. Amerika menjadi pemimpin dengan lebih dari 7% berasal dari industri kreatif. Industri yang meliputi film, video, musik, publikasi dan software ini berkembang 360% dalam waktu 20 tahun. Di Inggris industri kreatif ini berkembang 16%, jauh di atas rata-rata perkembangan ekonomi yang hanya 6%. Riset yang dilakukan oleh beberapa negara menunjukkan bahwa perkembangan ini mendorong terbentuknya konsep Ekonomi Kreatif yang akan menjadi strategi persaingan global di masa depan.
Beberapa negara telah mengantisipasi hal ini. Hongkong mempersiapkan West Kowloon Project yang dirancang oleh arsitek kenamaan Norman Foster yang mengintegrasikan kawasan untuk seni, entertainment dan kebudayaan. Korea memiliki Seoul Digital Media City yang dipersiapkan sebagai kompleks inovasi dan pusat produksi yang berfokus pada broadcasting, film, game, musik dan e-learning. Dubai mempersiapkan TECOM (Technology, Electronic Commerce and Media Free Zone) yang mencakup Dubai Internet City. Irlandia tidak ketinggalan dengan konsep Digital Hub yang menjembatani project new media melalui riset, pengembangan dan pembelajaran di kawasan Dublin.
Belajar dari Singapore
Negara tetangga Singapore kini menargetkan untuk menggandakan 3% industri kreatif menjadi 7% dari total GDP di tahun 2012. Strategi besar Singapore adalah Renaissance City, Media 21 dan Design Singapore. Dengan konsep ini Singapore mempersiapkan diri dari sisi infrastruktur untuk menjadi media hub dan kreator konten. Pembentukan organisasi MDA (Media Development Authority) menjadi fasilitator seluruh industri dan asosiasi terkait untuk bekerja sama. Dengan program ini, pemerintah Singapore menyediakan berbagai program bagi masyarakatnya yang ingin menekuni bidang kreatif, seperti menyediakan bea siswa, sponsor bagi sekolah untuk program kreatif, insentif pajak bagi industri kreatif, dan banyak lagi.
Hubungan G to G (government to government) dengan New Zealand mengirimkan tenaga kerja Singapore ke Weta, kreator film Lord of the Ring. Kerjasama dengan Jepang, memberikan kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan game. Bahkan Pixar yang populer dengan Finding Nemo juga memiliki cabang di Singapore untuk talent scouting (pencari bakat).
Trend Pendidikan
Tidak heran jika minat terhadap edukasi dan profesi bergeser. Film, broadcast, iklan, animasi, multimedia dan desain menjadi icon baru model pendidikan favorit. Banyak universitas mainstream menyediakan pendidikan komunikasi dan komunikasi visual untuk menjawab kebutuhan ini. Jika ditanya mengapa memilih bidang tersebut, banyak yang belum memahami sepenuhnya apa itu komunikasi visual dan bidang profesi apa yang bisa diterjuni setelah lulus nanti. Tidak sedikit yang memilih dengan alasan bahwa ‘komvis lagi favorit’ dan‘temen-temen gaul’ memilih bidang tersebut.
Booming pendidikan ini ternyata tidak diimbangi oleh meratanya SDM, infrastruktur dan informasi. Sangat banyak tantangan dihadapi oleh berbagai pihak yang terlibat. Dari sisi industri, lulusan komvis masih belum memenuhi kebutuhan industri, baik dari sisi skill maupun conceptual thinking. Dari sisi akademis, tidak tersedianya pengajar dan referensi cukup. Dari sisi pemerintah, standar kurikulum yang sudah dibakukan tidak lagi bisa menjawab tantangan kebutuhan industri dan perkembangan zaman.
Perbedaan Komunikasi Visual dan Grafis
Istilah komunikasi visual, singkatnya komvis digunakan belakangan ini menggantikan jurusan desain grafis. Di dalam komunikasi visual ini dipelajari semua bentuk komunikasi yang bersifat visual seperti desain grafis, periklanan, multimedia dan animasi. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan grafis murni. Periklanan dipelajari dalam konteks desain, bukan komunikasi marketing dan penciptaan brand. Multimedia dipelajari dalam konteks tampilan dan pelengkap desain, bukan interaksi manusia dengan komputer. Animasi dipelajari dalam konteks penciptaan gerak yang menarik, bukan untuk bertutur dan bercerita. Dalam hal ini konsentrasi utama adalah desain grafis yang diimbuhi bidang-bidang lain sebagai pelengkap.
Mengacu pada pendidikan komunikasi visual yang mature seperti Amerika, terdapat dua lembaga berbeda yang menyediakan pendidikan serupa. College atau Academy yang ditargetkan untuk menciptakan praktisi desain, memisahkan Graphic Design, Advertising, Multimedia dan Animation menjadi bidang-bidang yang dipelajari secara terpisah. Universitas yang lebih berorientasi akademis dan melahirkan pemikir banyak menggunakan istilah Visual Communication. Kedua lembaga ini tetap terakreditasi untuk meluluskan sarjana, baik setingkat Undergraduate (setara S1) atau Graduate (setara S2).
Konsep Pengetahuan

source: Understanding Comics – Scott McCloud
Scott McCloud dalam bukunya Understanding Comics membuat segitiga peta pengetahuan yang memiliki 3 sudut. Sudut pertama adalah, abstraksi, komposisi - yang dekat dengan desain dan seni murni. Sudut kedua adalah realita – yang dekat dengan ilustrasi dan fotografi. Sudut terakhir adalah bahasa, simbol, semiotik – yang dekat dengan komunikasi. Meskipun demikian, semua disiplin ilmu melibatkan ketiga puncak ini.

Kebutuhan Dunia Industri
Kebutuhan marketing dan komunikasi berawal dari strategi. Konsep strategis yang awalnya digunakan oleh agensi periklanan Inggris ini disebut dengan account planning atau strategic planning. Tugasnya sangat analitis untuk menemukan letak masalah, kebutuhan komunikasi, apa yang perlu dikomunikasikan, kepada siapa dan bagaimana komunikasi disampaikan dan hasil akhirnya dirangkum dalam brief singkat. Brief ini diberikan kepada creative director yang memimpin departemen kreatif. Melalui brainstorming dengan seluruh tim kreatif, akhirnya didapatkan ide-ide desain dan eksekusi iklan.

Masalahnya adalah kedua departemen ini membutuhkan dua kemampuan yang benar-benar berbeda, di satu sisi analitis, di sisi lain kreatif, di satu pihak membutuhkan otak kiri, di pihak lain otak kanan. Dalam hal ini dibutuhkan jembatan antara logic dan magic, antara strategi dan desain.
Tantangan berikutnya adalah untuk melakukan eksekusi desain, saat ini sangat dibutuhkan pemahaman teknologi komputer. Skill komputer ini biasanya memberikan kesempatan awal untuk terjun ke industri. Pada awalnya kita membutuhkan skill yang cenderung vertikal dan baru kemudian menjadi pengetahuan yang lebih horizontal. Artinya untuk masuk ke bidang tertentu, perlu dipelajari secara intensif satu pengetahuan secara mendalam dan setelah teknis tidak menjadi hambatan, baru seseorang bisa memperluas pengetahuan dan wawasannya ke bidang-bidang yang lain.
Hal ini cukup menyulitkan bagi siswa untuk mempelajarinya karena setiap orang biasanya memiliki dasar kemampuan berbeda. Buktinya bisa dilihat bahwa siswa yang berbakat menggambar, belum tentu komposisi desain grafisnya menarik. Siswa yang kemampuan menulis dan komunikasinya bagus, sering tidak diimbangi kemampuan menggambar yang baik. Untuk membentuk manusia yang utuh, perlu dipelajari seluruh pengetahuan ini.
Tantangan Akademis
Langkanya SDM (sumber daya manusia) menjadi tantangan terbesar di sisi akademis. Jika para pengajar tidak pernah terjun ke industri menghadapi kasus-kasus yang sebenarnya, akan sulit membagikan pengetahuan dan wawasan yang praktis. Salah satu solusi adalah dengan mengundang praktisi secara berkala di lingkungan akademis untuk mengadakan lokakarya dan seminar meskipun tetap ada keterbatasan waktu. Alternatif berikutnya adalah dengan mengajak siswa dan pengajar terlibat langsung di dalam proyek yang sebenarnya. Faktor lokasi menjadi isyu yang cukup penting mengingat bahwa belum tentu industri sudah terbentuk di berbagai kawasan sehingga kesempatan untuk mendapat wawasan langsung ini menjadi diskriminatif secara geografis.
Hambatan dari Pemerintah
Indonesia saat ini memiliki jumlah sekolah salah satu yang terbanyak, sayangnya tidak semua sekolah ini terbukti mengeluarkan lulusan berkualitas. Cukup banyak di antaranya yang sekedar memberi gelar. Oleh karena itu pemerintah menutup izin sekolah-sekolah baru dan memberi batasan yang lebih ketat kepada sekolah-sekolah bermasalah. Sisi positifnya adalah ini merupakan langkah konkrit membuat standar yang lebih baik, tetapi sisi negatifnya ini juga membatasi kesempatan bagi sekolah berkualitas lahir dan bertumbuh.
Batasan lain yang diberikan oleh pemerintah di dalam pembukaan bidang studi baru adalah sekolah harus memiliki beberapa pengajar S2. Karena bidang komunikasi visual ini terbilang baru, pengajar S2 masih langka, akibatnya terjadi komersialisasi gelar untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Belum lagi persyaratan pengajar harus bergelar, padahal praktisi-praktisi terbaik cukup banyak yang berasal dari lapangan dan tidak pernah mengeyam pendidikan yang relevan sebelumnya.
Dengan makin cepatnya perkembangan teknologi, makin banyak pula disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh industri. Di sisi lain, ada pula batasan setiap pembukaan bidang studi atau jurusan baru sudah harus memiliki preseden sebelumnya. Tentu antara fleksibilitas dan kontrol ini menjadi bersinggungan yang sangat membatasi kemampuan merespon perkembangan.
Standar kurikulum antara pemerintah dan yang boleh diatur sendiri adalah 40-60. Cukup tingginya muatan pemerintah ini pada akhirnya membebani siswa dengan pelajaran yang tidak mereka butuhkan dan sekolah terpaksa menambahkan banyaknya pelajaran tambahan agar siswa mencapai standar kualitas yang lebih baik. Akibatnya waktu belajar menjadi lama dan siswa banyak membuang waktu mempelajari hal-hal yang tidak dibutuhkan.
Visi Pendidikan
India telah membuktikan mampu bersaing di pasar dunia dengan teknologi informasi, Thailand dengan periklanan, Korea dengan game dan elektronik, Cina dengan manufacturing dan Singapore tengah bersiap-siap menghadapi tantangan industri kreatif yang menjadi trend besar dunia. Indonesia punya potensi besar dari sisi SDM dan banyaknya bakat yang sudah terbukti dari karya cipta seni yang mendunia. Tetapi potensi ini tidak akan berkembang tanpa kesempatan dan dukungan.
Sangat dibutuhkan inisiatif pemerintah untuk turun tangan dan mengajak seluruh industri membangun bersama pendidikan di Indonesia. Langkah liberalisasi dengan memberikan insentif dan otonomi yang lebih luas sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
previously published at Kedaulatan Rakyat website