Melanjutkan tulisan saya tentang Regulasi Tanpa Insentif, belakangan ini beberapa kali saya berhadapan dengan isyu seputar e-commerce yang membuat saya berpikir panjang tentang kebijakan yang seharusnya ada dan bagaimana hal ini memberikan dampak kepada pelaku bisnis e-commerce.
September lalu Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) bersama Ditjen Pajak mengundang perusahaan e-commerce untuk menghadiri Seminar Perpajakan tentang Kebijakan E-Commerce. Di sini Ditjen Pajak akan menyusun kebijakan pajak seputar kegiatan e-commerce dan akan mensyaratkan sistem pendaftaran bagi seluruh perusahaan e-commerce. Semangat yang diusung oleh pemerintah adalah karena tingginya transaksi di e-commerce maka sudah selayaknya untuk diberlakukan pajak yang sama antara transaksi offline dan online.
AUSAID, dana bantuan Australia melakukan studi tentang kebijakan-kebijakan e-commerce dari Departemen Perindustrian dan mereka mencoba membantu memberikan masukan apakah kebijakan ini selaras dengan pengembangan industri dan sudah mempertimbangkan masukan para stakeholder e-commerce Indonesia.
Dailysocial dan TechinAsia, dua media Internet mengirim email tentang bagaimana pendapat saya tentang kebijakan pemerintah Indonesia bahwa e-commerce masuk menjadi daftar negatif investasi untuk investor asing. Setelah saya baca referensi yang ditunjuk, saya tidak menemukan konklusi yang sama. Jadi saya sarankan untuk mempelajari dan melakukan konfirmasi dengan BKPM sebelum mengambil kesimpulan sendiri.
Yang menjadi perhatian saya adalah banyaknya isyu e-commerce muncul tetapi belum ada perspektif holistik mengenai pengembangan industri sebelum berbicara tentang kebijakan.
Marilah kita memulai melihat siapa pelaku e-commerce di Indonesia. Mayoritas transaksi yang dilakukan di dunia online berawal dari Facebook, Blackberry atau antar pengguna situs seperti Kaskus, Tokopedia dan Tokobagus. Di dunia offline, analoginya adalah transaksi yang dilakukan antar teman, transaksi di kios-kios pasar dan juga transaksi di pinggir jalan dengan pedagang kaki lima atau transaksi dari kita melihat iklan baris di Pos Kota dan Kompas. Transaksi non formal ini mendominasi dunia Internet.
Transaksi berikutnya kita lakukan ketika membeli barang dari peritel online seperti Bhinneka, Lazada, Zalora, Blibli, Gramedia.com. Analogi di dunia offline adalah kita membeli barang dari toko elektronik seperti Electronic City, toko buku seperti Gramedia atau toko baju seperti Matahari. Transaksi jenis ini melibatkan perusahaan yang memang jelas memposisikan dirinya sebagai peritel formal.
Di kalangan peritel, kita mengenal traditional market dan modern market. Traditional market punya andil besar di dalam transaksi jual beli barang seperti halnya modern market. Traditional market berkembang organik kini sudah diikuti dengan tumbuhnya modern market yang kian berkembang dengan adanya modal besar. Trend yang sama saya melihat di dunia online, bahwa transaksi non formal antar komunitas dan individu kini mulai diikuti oleh transaksi oleh para peritel online.
Yang diharapkan oleh pemerintah adalah memberlakukan pajak atas seluruh transaksi online, baik formal maupun non formal. Peritel formal jauh lebih ditracking transaksinya karena pelaku bisnis adalah perusahaan yang mau melakukan transaksi secara terbuka. Bagi transaksi non formal sulit dideteksi transaksinya karena dilakukan melalui berbagai medium, baik secara online, email, telepon atau bahkan pertemuan langsung. Ini sama halnya dengan berusaha memajaki transaksi antar ibu-ibu arisan, transaksi pedagang kaki lima dan jual beli yang dilakukan setelah melihat iklan baris di koran.
Pajak atau Palak?
Indonesia adalah negara yang cukup kuat bertahan terhadap gonjang ganjing ekonomi makro dunia. Hal ini terjadi karena konsumsi dalam negeri Indonesia sangat besar dibanding dengan perdagangan luar negeri. Pendapatan pemerintah sangat mengandalkan pajak dalam negeri daripada transaksi perdagangan luar negeri. Pajak dalam negeri memberikan kontribusi lebih dari 70% pendapatan negara. Hal ini membuat pemerintah sangat agresif di dalam menerapkan kebijakan pajak. Terbukti pendapatan pemerintah dari sisi pajak tumbuh lebih dari 2x lipat dari kurun waktu 2007 ke 2013.Bagi para pengusaha, pajak adalah biaya yang akan membebani konsumen dan penjual, jadi dalam hal ini dengan makin agresifnya pemerintah menerapkan kebijakan pajak, akan makin tinggi biaya transaksi. Meskipun pengusaha memahami bahwa pajak adalah keharusan, sebagai komponen biaya maka pajak adalah hal yang seharusnya dihemat. Perbedaan kepentingan ini sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah, karena jika hanya berpikir kepentingan sepihak adalah tidak kondusifnya iklim industri dan ekonomi biaya tinggi.
Industri e-commerce mulai mendapatkan tractionnya di tahun 2011, ketika Internet user mencapai 20% dari total populasi Indonesia. Perkembangan ini diikuti oleh penyedia jasa keuangan seperti payment gateway dan bank mulai ramai-ramai masuk ke dunia e-commerce di tahun 2012. Di tahun 2013 ini, para penyedia jasa pengiriman dan logistik mulai fokus di industri e-commerce. Jadi semua komponen pendukung e-commerce sudah mulai lengkap dan akan memberikan kenyamanan kepada para pembeli. Industri e-commerce ini mirip dengan bayi yang berkembang sehat tanpa disusui oleh siapapun.
Tantangan yang muncul malah isyu tentang kebijakan dari pemerintah tentang e-commerce mulai muncul di tahun 2013 karena pemerintah melihat lahan baru untuk sumber pendapatan pajak. Ini selayaknya orang tua yang melihat bayi sehat ini dan kini bersiap-siap untuk minta susu dari bayi ini.
Pertanyaan yang diajukan oleh AUSAID kepada saya apakah saya mau membantu membuat kebijakan untuk e-commerce Indonesia dan apakah orang yang ditunjuk untuk membuat kebijakan ini sudah tepat. Jawaban saya untuk yang pertama adalah saya TIDAK TERTARIK untuk terlibat di dalam proses membuat kebijakan ini. Saya adalah pengusaha, bukan pembuat kebijakan. Yang kedua adalah siapapun yang ditunjuk untuk membuat kebijakan adalah tidak akan berguna jika semangatnya adalah berusaha untuk mengambil manfaat atas industri daripada bagaimana membangun industri.
Ibarat pak Ogah yang tidak pernah membangun jalan, tetapi selalu menjadi peminta-minta di pengkolan karena merasa itu adalah haknya, itulah persepsi yang saya tangkap dari semangat memajaki industri e-commerce.
Menurut saya, yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu adalah membuat road map industri digital. Visi besar apa yang dimiliki pemerintah tentang industri ini dan bagaimana akan mencapai visi ini. Pengusaha seperti saya akan dengan senang hati memberikan masukan atas apa yang bisa dicapai Indonesia dengan dukungan pemerintah. Indonesia tidak kekurangan orang yang punya kepandaian dan memiliki visi. Gerakan Diaspora yang sudah diinisiasi dalam 2 tahun belakangan membuktikan bahwa Indonesia punya banyak manusia unggul yang siap untuk membangun negeri ini.
Di rezim Orde Baru kita mengenal Repelita 30 tahun, di mana setelah 30 tahun Indonesia akan tinggal landas. Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh para Kementrian Perindustrian, Perdagangan, Kominfo dan Perpajakan menurut saya belum memiliki rancangan industri holistik yang akan memberikan kesempatan bayi e-commerce untuk tumbuh menjadi dewasa baru kemudian melakukan kontribusi terhadap pendapatan negara. Hingga saat ini saya belum melihat adanya inisiatif untuk merancang road map industri digital yang akan menumbuhkan industri ini secara signifikan.
Ketika sudah ada road map industri, saya yakin akan banyak peran serta dari seluruh stakeholder untuk bisa membangun industri ini bersama-sama. Kebijakan yang muncul pasti punya semangat yang kondusif untuk membangun industri dan pengusaha juga tidak keberatan melakukan kontribusi kembali dari hasil keringat mereka untuk pajak. Pemerintah perlu menunjukkan kontribusi konkrit apa yang dilakukan untuk pengembangan industri sebelum memberlakukan pajak.
Saya tidak tahu bagaimana cara pemerintah untuk mulai memberlakukan pajak untuk transaksi online. Yang saya usulkan adalah memberlakukan pajak final atas transaksi melalui layanan jasa pembayaran dan atau pengiriman. Contoh konkritnya adalah kartu kredit memberlakukan 2%-3% dari transaksi. Kontribusi yang mereka berikan jelas, pembayaran dilakukan dengan mudah dan penjual tidak keberatan menambahkan ini di dalam komponen biaya transaksi.
Layanan pembayaran resmi yang disediakan jasa keuangan saat ini mensyaratkan semua penjual online untuk memiliki PT dan NPWP, padahal mayoritas transaksi dilakukan antar konsumen yang tidak semuanya memiliki kelengkapan ini. Persyaratan ini bukannya mempermudah tetapi malah mempersulit proses transaksi. Dengan adanya pajak final, maka pemerintah bisa mendapat manfaat dari transaksi e-commerce ini tanpa mengganggu ekosistem transaksi non formal yang saat tumbuh secara organik.
Selain itu, yang harus disiapkan adalah kebijakan investasi. Pelaku e-commerce kecil sulit menjangkau kapital karena sering tidak memiliki jaminan yang bisa menjadi agunan ke bank untuk menjadi modal usaha. Pola angel investment dan venture capital menjadi alternatif menarik bagi pelaku industri kecil karena yang ditukar oleh pengusaha adalah nilai ekuitas perusahaan. Problem yang muncul di sini adalah undang-undang PT tidak mengenal valuasi atas hak kekayaan intelektual, jadi jika terjadi suntikan dana oleh investor akan sulit dijustifikasi karena valuasi perusahaan terpaksa menggunakan basis modal disetor. Ini sangat berpihak kepada pemilik modal dan tidak berpihak kepada pengusaha.
Dari sisi investasi, tidak banyak alternatif pendanaan yang bisa mendorong investasi di industri digital, oleh karena itu perlu adanya kebijakan sehingga pengusaha kecil bisa mendapat investasi dari angel investment dan venture capital tanpa bayang-bayang daftar negatif investasi. Adanya kesempatan yang terbuka bagi para investor untuk menjual kembali ekuitas mereka ke institusi lain membutuhkan perangkat hukum dan regulasi yang inklusif baik bagi pemilik modal dari lokal maupun internasional.
Industri e-commerce memerlukan pemimpin yang punya visi, bukan pemimpi. Kita butuh pemimpin bijak, bukan tukang palak!