posted at Creative Circle mailing listQ: Kami sangat khawatir bhw mhs. kami mendapat terlalu banyak teori, terlalu banyak mata kuliah sejarah (sejarah seni rupa indo. sej. kebudayaan indo. ilmu budaya dasar) titipan depdiknas, namun di lapangan tidak bisa apa-apa. Tapi saya terus terang masih kabur: dimana tepatnya gap itu terjadi. Saya berpikir mungkin sudah waktunya kuliah kerja praktek waktunya diperpanjang sehingga jadi fifty-fifty dengan kuliah di kampus? Ini baru ide liar saja. Karena bagaimanapun saya yakin learning by doing itu sangat banyak manfaatnya. Katanya sekolah-sekolah tinggi teknik di jerman banyak mengunakan metode itu, entah betul atau enggak.A: Metode sekolah dan bekerja saya lihat diterapkan di Canada. Jika di Amrik, biasanya dibuat dalam bentuk internship atau magang dan durasinya hanya 6 bulan.
Jika melihat materi sejarah, bukan kurikulumnya saja yang salah tetapi penyampaian dan batasan materinya. Materi sejarah tidak diperlukan jika seseorang hanya perlu terjun sebagai seorang junior desainer misalnya, tetapi dengan target DKV S1 yang mempersiapkan siswa terjun sebagai ahli madya, sejarah mutlak diperlukan. Masalahnya sejarah yang diberikan tidak relevan dengan kebutuhan industri. Materinya mungkin bisa sejarah tipografi, sejarah desain grafis dan sejarah advertising, bukan sejarah seni rupa, ibd, isd, dll. Yang paling problem menurut saya adalah cara penyampaian. Penyampaian saat ini adalah dosen 'memberitahu' dan menyuruh siswa 'menghafalkan' sejarah.
Sebagai seorang sarjana, bukan 'what' yang kita perlu kita pelajari, tapi 'why'. Bukan hafalannya, tetapi alasan dan impact dari sejarah tersebut. Meminjam dari fisika, bukan tahu definisinya, tapi tahu relationshipnya. Ini membutuhkan pemikiran kritis yang tidak bisa didapatkan dari lecture satu arah. Siswa perlu didorong untuk mengevaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Bukan dosen bilang bahwa kita harus mengikuti panduan pendapat salah satu buku. Tugas dosen adalah katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi/sudut pandang lain.
Sebagai seorang mahasiswa, saya hanya bisa membaca mungkin 1-2 buku saat studi per semester (akibat cukup banyak tugas). Sekarang saya bisa membaca sedikitnya 1-2 buku per bulan. Tentu wawasan dan perspektif kita makin terbuka. Taufik Ismail sangat concern dengan hal ini dan ia kini sedang mempromosikan agar siswa menengah paling tidak harus membaca buku lebih banyak. Apakah ini kita pernah terapkan di dunia komunikasi visual? Apakah membahas content, membuat resensi dan mengevaluasi sudut pandang orang lain telah menjadi bagian dari pengajaran? Berapa buku yang dibaca oleh dosen? Berapa yang dibaca oleh siswa?
Model pendidikan terbaik tentu adalah model 'apprentice', di mana 'guru kencing berdiri' dan 'murid kencing berlari', 'monkey see monkey do'. Inget Star Wars? Model Obiwan Kenobi mengajarkan ilmunya kepada Luke Skywalker. Pertanyaan berikutnya adalah apakah seluruh pengajar sudah memiliki pengalaman dan wawasan yang cukup. Apakah sekolah sudah memiliki environment yang benar?
Seperti halnya Bauhaus, sekolah merupakan 'living laboratory' bukan tempat 'belajar teori'. Siswa didorong untuk bereksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya. Saya belum pernah melihat ada sekolah yang bisa menghasilkan output wacana (teori, buku, eksplorasi, percobaan, dll) yang demikian impactful terhadap perkembangan seni dunia. Bauhaus sendiri merupakan sekolah yang memberontak terhadap model pendidikan konvensional. Bauhaus ditutup oleh Hitler karena dianggap terlalu idealis dan membahayakan.
Jika kita mau memperoleh skill estetis dan komunikasi yang baik, seharusnya lebih berorientasi ke tipografi ketimbang fine art. Pelajaran rupa dasar tidak diperlukan di sekolah desain komunikasi visual. Semua temuan dari Bauhaus tercatat dengan rapi di berbagai buku, mulai dari tugas, eksperimen, kesimpulan, dll. Tapi kita di Indonesia mencoba 'reinvent the wheel'.
Kurikulum kita telah berumur 20 tahun dan tanpa pernah ada satu perubahan, padahal dunia komunikasi visual telah banyak memiliki medium baru yang membutuhkan language baru, vocabulary baru, technical knowledge baru. Kurikulum seharusnya dianalisa dan diperbarui paling tidak setahun sekali, meskipun minor. Ini yang saya alami di sekolah saya dulu. Tiap tahun ada pelajaran yang dibuang atau ditambah meskipun sifatnya minor. Paling tidak
siswa akan siap dan nggak obsolete saat ia lulus.
Q: satu hal lagi: kini banyak program studi dkv (seperti dkv untar) bertebaran. tentu saja alasannya "just duit". Namun masalahnya kami tidak membuka program studi fine art (seni murni)yang bisa mengajarkan kepekaan estetik dan kreativitas secara intensif. sehingga mhs dkv yang kurang kreativitas dan kepekaan estetiknya, hanya jadi mahasiswa dkv yang teoritik.A: Saya tidak terlalu setuju dengan pendapat ini. Dasar pendidikan desain komunikasi visual di Indonesia memang awalnya dibentuk dan disusun oleh orang-orang yang punya latar belakang fine art sehingga ini pun terbaca dari outputnya. Ada sekolah-sekolah yang cenderung menciptakan siswa yang kuat di teori misalnya ITB sehingga mereka cocok untuk terjun ke dunia advertising yang membutuhkan banyak proses berpikir konseptual. Ada pula sekolah yang banyak mendidik 'rasa' atau kepekaan estetik seperti halnya IKJ dan Trisakti sehingga mereka cocok untuk terjun sebagai graphic desainer/seniman.
Latar belakang fine art akan mendidik siswa memiliki 'kepekaan' terhadap visual. Tetapi jika ditilik dari latar belakang graphic design, Indonesia sangat berbeda dengan Eropa. Graphic Design berawal dari tipografi, bukan fine art, yang sudah lahir sejak Gutenberg. Di Eropa dan Amerika, tipografi menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan graphic design, sehingga menghasilkan desainer-desainer yang sangat kuat berpegang pada konsep 'You can't not communicate' (Kamu tidak dapat untuk tidak berkomunikasi). Lahir desainer yang kuat sekali konsep komunikasinya khususnya dari Inggris, Jerman dan Swiss. Indonesia cenderung terpengaruh oleh perkembangan fine art, seperti halnya dengan Eropa Timur. Di sini pendidikan banyak berorientasi pada visual seperti ilustrasi dan konsep-konsep estetis. Secara umum, Amerika banyak berorientasi pada Eropa yang menggunakan tipografi (contoh:
School of Visual Arts di NY yang dimotori oleh Saul Bass, Paul Rand dan Milton Glaser). Belakangan saja trend dekonstruksi dari literatur dan arsitektur masuk mempengaruhi desain grafis. Beberapa sekolah di situ yang memberikan kebebasan bereksplorasi adalah
Art Center College of Design (didirikan oleh tokoh advertising) dan
Cranbrook (didirikan oleh arsitek).
Di Eropa, pelajaran advertising dan graphic design dicampur menjadi satu. Di Amrik ini dipisahkan, bahkan Advertising dan Copywriting juga masih dipisahkan. Hasilnya, desainer Eropa lebih generalis dan mampu mendesain mulai dari brosur sampe stand pameran. Di Amrik, desainernya cukup spesialis, ada packaging designer, ada brochure designer. Ini juga bukan maunya si desainer, tapi nature dari pasar sehingga sekolah mengikuti model tersebut.
Perkembangan belakangan ini cukup banyak diwarnai oleh sekolah yang berorientasi pada skill teknis seperti TAFE di Australia (contoh:
Billy Blue) , atau Polytechnic di Singapore (ct: Ngee An), Malaysia (Lim Kok Wing), juga bahkan di Canada (ct:
Vancouver Film School). Di Amrik, ini nggak pernah jadi mainstream, karena kebutuhan pasarnya cukup demanding bahwa desainer perlu menuntaskan studi 4 th. Untuk advertising, Chicago banyak memiliki sekolah-sekolah advertising yang hanya berdurasi 2 tahun dan hasilnya bahkan lebih baik dibanding mereka yang studi 4 th. Di Asia & Australia, model pendidikan ini berkembang luas karena selain menawarkan pendidikan yang lebih pendek dengan hasil yang lebih konkrit, lagipula kebutuhan/nature dari industri juga berbeda.
Nature pendidikan yang praktis-pragmatis berbeda dengan model pendidikan teoritis-eksperimental. Akademi/Sekolah Tinggi dibuat untuk tujuan pelajaran praktis-pragmatis. Universitas dirancang untuk pendidikan teoritis-eksperimental. Outputnya juga berbeda, Akademis/ST dirancang menghasilkan praktisi. Universitas bertujuan menciptakan akademisi, pendidik, teoritisi. Pendekatan studinya juga berbeda, di Akademi/ST lebih instruksional, sedang di Universitas lebih menciptakan environment yang
mendorong terciptanya teori dan eksperimen.
Melihat kondisi Indo saat ini, mungkin pendekatan Akademi/ST lebih diperlukan daripada pola Universitas. Tetapi dengan kegilaan memburu gelar, kelihatannya Universitas lebih menarik publik sebagai lingkungan belajar. Dengan kondisi ini, mungkin kita perlu mere-invent model kurikulum kita dan menciptakan standar baru.
Q: Memang untuk tau dimana persisnya gap antara industri dan pendidikan perlu waktu dan usaha bersama antara dua dunia yang saling membutuhkan tsb. kapan mas sumbo buat seminar "pendidikan dkv dan industri" dan kita undangin para petinggi iklan dan desain grafis indonesiaA: Di Amrik, ada
Siggraph yang diadakan tiap tahun untuk konferensi dunia computer graphic. Selain eksplorasi, eksperimen, pencapaian dari industri dikemukakan di sini, para edukator dan praktisi juga berkumpul untuk mempresentasikan 'kurikulum' ideal menurut mereka. Di sini tidak dicari suatu 'musyarawah untuk mencapai mufakat' tetapi lebih kepada output apa yang ingin dihasilkan sekolah tersebut. Sekolah-sekolah kemudian bisa mengadopsi sebagaian, seluruh atau menolak kurikulum tersebut. Tapi kuncinya bukan kita menciptakan model pendidikan seragam seperti pabrik. Pembentukan kurikulum ini malah menjadi nilai tambah sehingga sekolah bisa memiliki 'positioning'.
Di Singapore kemaren, ada salah satu sekolah mengundang para desainer terkenal untuk melakukan diskusi terbuka yang bisa dinikmati oleh para siswanya (ala dagelan diskusi politik di TV Indonesia). Materi tersebut dimuat di majalah Designer (keluaran asosiasi desainer grafis di Singapore) sehingga bisa menjadi satu wacana baru dan bermanfaat untuk kalangan praktisi maupun akademisi. Tujuan acara tersebut kelihatannya tidak mencari satu jawaban, tetapi mengemukakan berbagai pandangan dan perspektif. Balik lagi kepada tujuan yang ingin dicapai sekolah nantinya, apakah setiap pendapat tersebut mau dimasukkan atau diambil yang sesuai dengan tujuan sekolah.
Dulu, pendidikan diberikan one on one, tetapi ini mahal dan hanya bisa untuk orang-orang kaya. Model pendidikan seperti pabrik yang diadopsi pemerintah Indonesia atau bahkan pendidikan dunia ini berasal dari Prusia (baca: Jerman) yang tujuannya adalah membentuk masyarakat pekerja. Dengan model rantai kerja (seperti pabrik), kita dididik secara standar. Model ini menyamaratakan cara belajar setiap orang, yang agak lambat dipaksa cepat dan yang cepat dipaksa lambat. Yang kurang dianggap bego. Yang pinter dipasung.
Australia memberikan satu solusi yang menarik. Mereka menciptakan suatu sistem rantai pendidikan yang memungkinkan orang untuk belajar berdasarkan kecepatan dan kemampuan yang ia miliki. Misalnya diciptakan ada tingkat 1, 2 dan 3. Kemudian ada a dan b. Untuk siswa yang pas-pasan, mereka menyelesaikan 1a, 2a dan 3a. Untuk siswa yang superior, mereka bisa mengambil 1b, 2b dan 3b. Salah satu persoalan yang mungkin timbul dengan model ini adalah terciptanya 'ego' bahwa saya lebih baik. Tapi ini menurut saya sesuai dengan kondisi pasar yang memang kompetitif.
Saat ini,
Digital Studio lebih menganut model politeknik yang cenderung praktis-pragmatis. Tetapi kami juga sedang mempersiapkan kurikulum yang diarahkan kepada model teoritis-eksperimental. Dari pengalaman saya melihat bahwa pendidikan pendek (1-2 tahun) mampu membekali siswanya secara skill dan siap terjun ke industri. Tetapi pendidikan pendek semacam ini ternyata masih belum cukup untuk mengubah perilaku mahasiswa menjadi masyarakat pembelajar ataupun memiliki sikap profesional tetapi tetap humble. Universitas yg 4 th lebih cocok untuk menciptakan environment tersebut. Ini seperti membekali pelajar kita dengan senjata. Mereka pintar menembak, tetapi kadang masih ngaco karena kurang dewasa.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio