Monday, June 03, 2002

Dekonstruksi Kurikulum DKV discussion

posted at Creative Circle mailing list

Sumbo Tinarbuko
Dominasi KURNAS harus mulai dipangkas dan lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual.

Andi S. Boediman
Setuju banget. Mungkin jika ada standar, ini hanyalah mata pelajaran inti, misalnya tipografi, computer graphic. Dan ini menggantikan IBD, ISD, Pancasila, dan pelajaran maha ajaib lainnya.

Sumbo Tinarbuko
Kemudian anggota konsorsium seni dan desain (yang konon merupakan institusi penentu kebijakan terkait dengan pendidikan tinggi seni dan desain) perlu ditambah dengan dewan pakar yang benar-benar mengerti, memahami dan mengetahui perkembangan DKV. Personil dewan pakar diambil dari dosen dan praktisi dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan DKV.

Andi S. Boediman
Saya baru denger ada konsorsium semacam ini. Daripada melakukan restrukturisasi dari organisasi yang susah dijangkau, mungkin lebih baik para akademisi dan praktisi berkumpul untuk menyusun/mempresentasikan apa yang sudah dihasilkan hingga saat ini dan kemudian menjadi wacana bagi semua sekolah lain.

Sumbo Tinarbuko
Sistem rekrutmen dosen harus terjaga kualitas dan wibawanya. tidak asal comot. Demikian pula sistem penerimaan mahasiswa baru di lingkungan perguruan tinggi DKV tidak waton banyak. Ini menjadi tidak efektif dalam proses belajar mengajar. Saya pernah mengajar matakuliah DKV I disebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 orang untuk setiap klasnya. Jelas jumlah sebesar itu menjadi tidak efektif dan sulit terjadi proses dialogis antara pihak dosen dengan mahasiswa. Saya tidak tahu bagaimana di UNTAR, BINUS, Pelita Harapan, Paramadina Mulya ....

Andi S. Boediman
Dari sisi bisnis, ini memang sulit. Jika kita mematok bahwa di kelas paling banyak 15 orang misalnya, maka pendapatan sekolah mungkin cukup berat dari sisi pengadaan fasilitas. Atau jika siswa memang hanya dipangkas dalam jumlah sedikit, maka terpaksa biaya pendidikan meningkat.

Oleh karena itu sekolah memiliki positioningnya sendiri saat ini. Untuk mainstream, universitas tetap menjadi pilihan utama. Ini bukan cuma sekedar kualitas tetapi lebih kepada kebutuhan untuk mendapatkan gelar. Bermunculnya beberapa sekolah dengan model singkat merupakan alternatif bagi mereka yang melakukan pendekatan politeknik.

Problem math equation demikian, sekolah bagus, jumlah murid sedikit, kurikulum progresif, fasilitas lengkap, pembimbang semua dari kalangan praktisi, maka terpaksa harganya mahal. Untuk menyiasatinya, satu-satunya cara adalah meletakkan murid sebanyak-banyaknya dalam satu kelas karena variabel ini yang paling gampang diatur :)

Berikutnya, pihak industri dituntut peran aktifnya untuk membantu pihak perguruan tinggi DKV dengan misalnya secara berkala memberikan pencerahan terkait dengan pembuatan perancangan konsep kreatif, perencanaan media dll.

Sumbo Tinarbuko
Selain itu saya mengusulkan agar industri periklanan ranking Top Ten menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dikumpulkan menjadi Advertising Foundation guna diberikan kepada insan periklanan muda, dosen

Andi S. Boediman
Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Ada baiknya dibentuk foundation tersebut dibentuk oleh sekolah, praktisi dan vendor. Saya tidak setuju dengan model menodong/meminta-minta kepada salah satu pihak. Ini haruslah merupakan suatu program bersama yang dibuat dengan visi yang benar, didanai bersama dan dimanfaatkan bersama.

Sumbo Tinarbuko
Selain memberikan beasiswa kepada insan periklanan dan dosen desain komunikasi visual/periklanan, Advertising Foundation ini juga mencetak CD yang berisi pemenang lomba iklan (Citra Pariwara) di Indonesia dan di luar Indonesia berikut konsepnya untuk diberikan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan desain komunikasi visual dan periklanan agar perkembangan tersebut bisa disikapi dan diadaptasi di lembaga pendidikan tersebut.

Andi S. Boediman
Produksi CDnya sih bisa menjadi satu profit center yang dananya malah bisa digunakan sebagai funding untuk edukasi ke lingkungan akademis. Saya yakin produksi CD semacam ini banyak diminati siswa, apalagi kita minta kepada mahasiswa untuk menghargai karya cipta kita sendiri dengan membeli dengan harga pantas, bukan membajak :)

Sumbo Tinarbuko
Saya bawakan data visual berupa iklan bank Mandiri dan iklan kartu Hallo. Mahasiswa saya minta me-redesign iklan tersebut dengan pendekatan gaya futurisme, bauhaus, konstruktivisme dan beggarstaff. Hasilnya didiskusikan, dan dipresentasikan. Hasil yang dicapai: mahasiswa mengetahui perkembangan sejarah desain grafis dan penerapan berbagai isme desain grafis itu dalam konteks kekinian

Andi S. Boediman
Ide-idenya bagus. Saya melihat konteks serupa diaplikasikan di School of Visual Arts - New York. Siswa diminta mendesain gerbong kereta api yang bisa menunjukkan Warhol, Picasso, Madonna, dll, a la iklan Absolut Vodka. Hasilnya spektakuler.

Saya pikir terobosan kurikulum semacam ini perlu direkam dalam bentuk buku atau online sehingga menjadi satu wacana yang bisa diadaptasi dan diaplikasikan oleh sekolah-sekolah lain.

Sumbo Tinarbuko
Justru Mas Adit (UNTAR) dan kawan-kawan perguruan tinggi desain dari Jakarta: BINUS, Paramadina Mulya, InterStudy DKV S-1, IKJ, Pelita Harapan plus shortcourse desain komunikasi visual yang lebih tepat menjadi penyelenggara. Saya akan dengan senang hati membantu.

Andi S. Boediman
Mungkin sedikit berbeda dengan di Yogya yang lebih 'guyub'. Di Jakarta masih sulit untuk menjalin komunikasi antar 'petinggi' sekolah. Saya juga ingin menjalin suatu forum bersama di mana masing-masing dari kita bisa mempresentasikan hasil pencapaian kita selama ini, baik dari kurikulum, terobosan-terobosan baru, menjalin kerjasama, dll, seperti laiknya Siggraph di Amrik.

No comments:

Post a Comment