KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO / Kompas Images Kegiatan komunitas Openlab ketika berkumpul dengan berbagi ilmu baru di Common Room, Jalan Kyai Gede Tapa, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/9) malam. Selain sharing ilmu dan software musik baru, mereka juga mendemokan musik baru mereka di hadapan anggota komunitas lainnya. |
Sebagai industri, sebagian besar subsektor industri kreatif Indonesia masih pada tahap sangat awal pembentukannya. Untuk menjadi sebuah industri kreatif yang berdaya saing, perjalanan masih sangat panjang. Demikian pula pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, sangat banyak.
barat kereta api, menurut Innovation Consultant Creative Industry Evangelist yang juga Direktur Digital Studio Workshop Andi S Boediman, Indonesia sekarang ini baru memiliki lokomotifnya, yakni para wiraswasta (entrepreneur) di bidang kreatif. Sementara platform, yakni rel dan gerbongnya, belum ada.
Dari pengalaman di negara-negara lain, untuk membangun suatu basis industri kreatif yang solid dan platform (supply chain platform) yang berkelanjutan yang mampu mentransformasikan dari gagasan (kreativitas) menuju konsumen sebagai pasarnya, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilalui. Mulai dari proses seleksi, penguatan kapasitas (capacity building), pematangan di inkubator, mempertemukan dengan distributor, mengawinkan dengan pemberi modal, sampai membangun pasarnya.
Dari tahapan pengembangan industri, menurut pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung, Togar Simatupang, kita juga baru pada tahap pertama, yakni tahap menyadarkan (pengenalan), sebelum kemudian masuk ke tahap mengembangkan (investasi), membangun industri berdaya saing, dan mengupayakan keberlanjutannya.
Kalangan pelaku industri kreatif, seperti produser film dari Kalyana Shira Film Nia Dinata dan Ketua Jurusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Kusen Dony Hermansyah, menekankan pentingnya membangun fondasi yang mantap lebih dulu sebelum mengembangkan lebih lanjut industri kreatif di Indonesia. Fondasi di sini, terutama, adalah sumber daya manusia atau modal manusianya.
Tanggung jawab menyiapkan SDM ini terutama ada pada perguruan tinggi. Sayangnya, di Indonesia itu belum terjadi. Togar mengakui, kampus kalah dibandingkan dengan ”Universitas Google” dan penerbit buku teks dalam mengembangkan pengetahuan sebagai komoditas.
Selama ini, pengetahuan ditransfer ke mahasiswa tanpa melihat konteksnya di dunia nyata. Kampus semata menjadi pabrik yang hanya mencetak lulusan, bukan menghasilkan sarjana yang mampu berkontribusi. ”Kampus menjadi menara gading yang telah kalah pamor dibandingkan dengan perusahaan dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat,” ujarnya.
Menurut Nia Dinata dan Kusen Dony, masalah utama di industri kreatif seperti industri film adalah pendidikan filmnya. Di Indonesia, sekarang ini baru ada satu sekolah film formal di Indonesia, yakni IKJ. India yang industri filmnya maju punya 30 sekolah film dan Korea tujuh sekolah film.
”Pendidikan merupakan basis paling utama yang harus dikuatkan dulu. Salah satu kunci sukses industri film nasional adalah tersedianya SDM, pekerja film yang profesional, sesuai standar internasional. Ini membutuhkan ruang pendidikan film dengan kurikulum sesuai standar internasional pula,” ujar Nia.
Sekarang ini tokoh sinema bisa dikatakan hanya segelintir. Juga belum banyak sutradara dan penulis skenario yang memiliki ”suara jernih”, lantang, serta orisinal dalam berkarya.
Dari sisi bisnis, baru segelintir produser film yang mampu menyeimbangkan dua kepentingan, yakni mentransformasikan kreativitas sutradara dan penulis skenario menjadi bernilai ekonomis serta memiliki production value dan content yang bisa dipertanggungjawabkan.
Persaingan usaha yang sehat juga belum terbentuk karena terbiasa dengan keberadaan pemilik tunggal bioskop yang tak memberi tempat pada karya sinema loka. Pemilik fasilitas produksi dan pascaproduki juga belum memiliki alat produksi yang bisa dikatakan cukup memadai.
Belum kondusif
Kalangan pelaku industri melihat belum cukup kondusifnya iklim usaha di industri kreatif. Peran pemerintah belum berjalan. Dari sisi regulasi, tak jarang kebijakan pemerintah sendiri justru menjadi kendala utama berkembangnya industri kreatif ini, termasuk perundang-undangan, perpajakan, perizinan.
Pelaku usaha juga mengeluhkan kendala seperti promosi, akses pembiayaan, dan sulitnya memperjuangkan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI).
Pengusaha senior Benny Soetrisno menceritakan pengalamannya dengan seorang pekerja kreatif yang mendapatkan kontrak dari perusahaan Walt Disney, AS. Kontrak kerja itu ternyata tidak laku dijadikan jaminan kredit di bank-bank nasional.
Padahal, kredit ini dibutuhkan sebagai modal untuk pengerjaan proyek animasi tersebut. ”Setelah ditolak banyak bank di Indonesia, akhirnya anak muda ini justru bisa mengerjakan proyeknya dengan jaminan kontrak itu dari bank di Singapura,” ujar Benny.
Wakil Direktur Utama Bank BNI Felia Salim mengakui, sosialisasi yang lebih luas tentang potensi ekonomi industri kreatif masih amat diperlukan oleh kalangan perbankan nasional. Menurut Felia, perbankan di Indonesia sudah cukup akrab dengan produk industri kreatif yang tangible seperti kerajinan.
Namun, dukungan kredit bagi usaha kreatif yang berangkat murni dari gagasan, seperti animasi, masih menjadi hal baru bagi perbankan. ”Padahal, di Hongkong, industri film berkembang pesat juga karena ada dukungan perbankan yang memadai untuk pembuatan film,” ujar Felia.
Belum adanya kesamaan visi di antara para pemangku kepentingan, termasuk di dalam pemerintah sendiri, banyak dikeluhkan oleh para pelaku industri. Dalam kasus industri film, misalnya, belum semua departemen dan juga DPR yang bertugas membina film paham luar dalam soal visi industri kreatif. (nmp/day/tat)
No comments:
Post a Comment