Tayangan berjudul ”My Forest's Tears” berdurasi delapan menit itu diputar seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4), saat membuka pemaparannya tentang industri kreatif. Sejak diunggah oleh panelis tahun lalu di situs YouTube, tontonan audio visual itu mendapat apresiasi dari berbagai belahan dunia dan diputar sebagai pembuka dalam beberapa kongres PBB yang terkait dengan perubahan iklim.
Itulah kekuatan kreativitas, dasar dari industri kreatif. ”Industri kreatif
tak bisa mati selama manusia masih hidup dan berkarya. Industri ini pabriknya adalah pikiran dan hati manusia,” kata panelis.
Kini, kegundahan terhadap krisis ekonomi dunia menggiring berbagai pihak untuk menoleh potensi ekonomi yang bersumber dari kekayaan kreativitas manusia, yaitu bagaimana kreativitas, pengetahuan, dan akses informasi disatukan dengan aspek ekonomi, budaya, teknologi, dan aspek sosial di semua level, makro maupun mikro.
Berdasar laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Creative Economy Report 2008, selama kurun 2000-2005, pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa berbasis industri kreatif rata-rata 8,7 persen per tahun.
Ekspor dunia dari industri kreatif pada tahun 2005 sebesar 424,4 triliun dollar AS, sementara pada tahun 1996 hanya 227,5 triliun dollar AS. Permintaan produk industri kreatif berkembang pesat. Bagaimana Indonesia menangkap peluang ini?
Secara global, Indonesia belum menjadi pemain penting untuk produk keseluruhan industri kreatif, kecuali lukisan di urutan ketiga setelah China dan Thailand dengan ekspor 83 juta dollar AS (2,92 persen dari global) tahun 2005.
Dari sisi kontribusi terhadap ekspor nasional, peranan industri kreatif Indonesia masih kecil. Selama 2002-2006, kontribusi industri kreatif di Indonesia rata-rata Rp 79,08 triliun, atau 4,74 persen dari total nilai PDB nasional.
Angka ini cenderung meningkat, mencapai 8 persen pada 2006 (Rp 45,13 miliar). Angka ini masih di bawah rata-rata negara berkembang, yang kontribusinya mencapai 29 persen dari total ekspor tahun 1999 dan 41 persen tahun 2005.
Ketika dunia dilanda resesi global, menghantam hampir semua sektor di Tanah Air, terutama manufaktur yang diproduksi massal dengan orientasi ekspor, ceruk pasar untuk industri kreatif di Indonesia justru terbuka. Khususnya industri kreatif yang berbasis pada kreativitas desain dan berbahan baku lokal.
Sebagai contoh, sejumlah factory outlet (FO) di Bandung yang kesulitan mengekspor produknya kini diserbu pembeli dalam negeri yang dulunya belanja barang bermerek di luar negeri. Bahkan, pembeli dari negeri jiran, Malaysia, banyak juga yang ramai-ramai ke Bandung.
Jika selama ini perdagangan pernak-pernik dan pakaian di Indonesia didominasi oleh barang impor, termasuk barang bekas yang diimpor, kini bisnis distro yang berbasis kreativitas desain menjadi pengisi ceruk pasar itu. Pengetatan impor pakaian jadi oleh pemerintah, khususnya pakaian bekas, menjadi berkah bagi bisnis distro ini.
Fenomena produk distro yang berdasar elemen industri kreatif berbahan baku lokal dengan orientasi pasar lokal menjadi tawaran untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat saat menghadapi krisis.
Secara terpisah, Creative Entrepreneur Ideopoliz yang juga Direktur Digital Studio Workshop Andi S Boediman mengatakan, beberapa konsumen besar di bidang desain, percetakan, dan kemasan yang dulu memakai jasa industri kreatif skala multinasional kini beralih ke pelaku industri kreatif skala kecil dengan alasan pengetatan anggaran.
”Percetakan massal skala besar memang turun, tapi variannya dan pelaku yang mendapat order bertambah. Karena itu, UKM industri kreatif banyak limpahan order, khususnya di bidang desain dan kemasan,” kata dia.
Panelis mengungkapkan, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia sangat menjanjikan, mengingat besarnya kekayaan budaya kita. Dalam seni pertunjukan, misalnya, musik gamelan telah dipertontonkan sejak awal pencanangan kebudayaan populer dalam Festival Debussy yang pertama kali, berbarengan dengan peresmian Menara Eiffel di Paris, Perancis, tahun 1889.
”Ini contoh pengakuan dunia internasional terhadap budaya Nusantara yang telah berlangsung sejak lama,” kata dia.
Good will dan dedikasi individu-individu dari luar negeri yang ”jatuh cinta” kepada kesenian Indonesia tidak sedikit. Individu-individu seperti ini banyak yang membantu menghubungkan kesenian Indonesia ke berbagai institusi filantropis di dunia.
Selain institusi Smithsonian/Folkway, yayasan yang bergerak di bidang permuseuman di Amerika Serikat, yang mensponsori rekaman 20 volume compact disk ”Music of Indonesia”, pendekatan antarindividu seniman Indonesia dengan ”pencinta” seni Indonesia di luar negeri telah menghasilkan produk kultural yang spektakuler di pentas dunia.
Pementasan teater I La Galigo yang disutradari oleh Robert Wilson adalah salah satu contohnya. Karya klasik Bugis di Sulawesi ini mendapat sentuhan good will seorang pembuat film independen, Rhoda Grauer. Ia menulis script dan meyakinkan Robert Wilson untuk menyutradarainya.
Film Grauer sendiri dibantu pembiayaannya oleh sejumlah lembaga filantropi. Biaya latihan untuk pementasan termasuk musik yang dikerjakan Rahayu Supanggah (pengarah musik I La Galigo) juga dibantu lembaga filantropi.
”Ini adalah salah satu ceruk pasar yang bisa dimanfaatkan industri kreatif seni pertunjukan yang berbasis kekayaan budaya tradisional,” kata panelis.
Namun, sejauh ini, ekonomi kreatif di Indonesia tumbuh dengan mengandalkan lobi-lobi personal. Campur tangan pemerintah sangat minim, untuk dibilang tidak ada.
Andi S Boediman mengatakan, pemerintah belum memberi dukungan yang memadai untuk pengembangan industri kreatif. ”Program- program pemerintah terkait industri kreatif hanya slogan kosong,” kata dia.
Industri kreatif di Indonesia, menurut Andi, banyak dijalani orang-orang muda kreatif. Namun, upaya mereka kerap menghadapi tantangan, terutama masalah modal. Selain permodalan, perkembangan industri kreatif juga dihadapkan pada soal lemahnya pengembangan kapasitas.
Andi menekankan pentingnya membangun landasan berpijak bagi pengembangan industri kreatif di Indonesia. ”Industri kreatif di Indonesia bergerak hanya mengandalkan pelaku, tapi tanpa rel dan landasan yang jelas,” kata dia.
Dari pengalaman di negara lain, untuk membangun suatu basis industri kreatif yang solid dan berkelanjutan yang mampu mentransformasikan dari gagasan menuju konsumen sebagai pasarnya, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilalui. Mulai dari proses seleksi, penguatan kapasitas, pematangan di inkubator, mempertemukan dengan distributor, hingga dengan pemberi modal, sampai membangun pasarnya. Pemerintah semestinya bisa mengambil peran ini.
Hi Pak Andi, saya numpang kasih comment ya...
ReplyDelete"pemerintah belum memberi dukungan yang memadai untuk pengembangan industri kreatif" --> betul banget, jadi inget dengan film nasional "Denias" yang sangat indah itu, banyak menyorot keindahan alam Papua. Film itu murni dibuat oleh sineas, tanpa bantuan sedikit pun dari Pemda/pemerintah. Padahal, mnrt saya pribadi, film itu bisa banget jadi ajang promosi Papua.
Contoh lain, di Korea dan Jepang industri game sangat maju, bahkan ada sekolah nya. Di Indonesia, banyak pemain game dianggap hanya membuang-buang waktu saja.
Semoga industri kreatif di Indonesia bisa tumbuh subur dan di support pemerintah.