posted at DKV-ITB mailing list
Arief Adityawan
Iya tuh saya sering bingung kalo melihat terobosan-terobosan para seniman dalam desain, seperti Starck (desain produk) atau seniman-seniman polandia yang ngedesain poster yang keren-keren. Di Indonesia saya liat juga banyak misalnya aja: para pedesain jagoan yang ngebangun dkv-itb lalu jadi dosen-dosen pertama, banyak yang berlatar belakang pendidikan fine art. Emang sih kalo kita liat asal-usul desain itu dari fine-art ya enggak perlu heran ya... Tapi yang jadi pertanyaan saya: jangan-jangan ada yang salah dengan sistem pendidikan desain kita ? Atau itu sekedar akibat sistem industri moderen yang menaungi desain, sehingga membuat desainer jadi sangat praktikal?
Andi S. Boediman
Ada perbedaan pendekatan dari sisi komunikasi dan dari sisi fine art. Dari sisi komunikasi, desain adalah tentang berkomunikasi. You can't not communicate adalah jargonnya. Hampir semua sekolah desain bersandar pada ini. Sebaliknya dari sisi fine art yang cenderung eksperimental, siswa diajarkan semangat untuk 'mencari hubungan'.
Dengan perbedaan pendekatan semacam ini, fine art selalu berada di garda depan usaha mengeksplorasi, mencoba dan menemukan hal-hal yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tetapi yang ditawarkan tidak selalu berupa solusi. Muncul seniman-seniman grafis hebat dengan semangat ini.
Dari sisi komunikasi, tidak kalah banyak desainer top dan hebat yang menguraikan dan menjawab hal-hal yang tadinya tidak terjawab melalui solusi desain.
Mana benar mana salah? Saya pikir dua-duanya benar dan berhak eksis.
Arief Adityawan
2. Tanggung jawab sosial
Kalo kita mau sok ngebuat tahapan perkembangan desain dalam sejarah DKV Indonesia misalnya, menurut saya DKV di indonesia memasuki satu tahap peran yang baru ketika masa reformasi (yang sekarang sudah mati - kata cak Nur), yaitu peran sosial-politik. Kita liat banyak banget elemen grafis yang berperan dalam pergerakan mahasiswa sampe Pemilu 99. Konon cerita fotografer Anatara, ada lembaga penelitian Belanda yang menugaskan fotografer Indonesia untuk dokumentasikan elemen grafis mulai dari stiker, spanduk, poster selama reformasi 1998 tersebut. Kalo cerita teman saya itu bener, dalam faktor pendokumentasian orang indonesia ketinggalan lagi.
Tapi terlepas dari itu semua, kita enggak perlu buat dikotomi desain yang idealis/komersial. Kalo menurut saya yang penting, apapun karya seorang desainer selama bisa dipertanggungjawabkan dalam konteks sosial-budaya maka desain itu sudah masuk kategori desain yang benar secara etik.
Andi S. Boediman
Ini semangat yang dilontarkan oleh Stefan Sagmeister dan Neville Brody di Fresh Conference. Tetapi tidak semua desain punya fungsi yang sama. Tetap ada kebutuhan berkomunikasi dari sisi korporat misalnya. Etika desain sendiri tidak pernah dikupas dan disetujui bersama sebagai salah benar. Anyway kan kita hidup di alam post-mo :) Bukan salah benar, tapi kita sendiri terbuka terhadap adanya perbedaan pendapat.
Elwin Mok
Jepang cahaya asia. :-) Tapi saya juga kecewa bahwa selain Jepang, bagian Asia lain nggak kebagian tempat. Saya lihat desain Hongkong sangat menonjol. Di belakangnya Singapore dan Phillipine juga punya desain-desain interaktif yang cukup kuat.
yg gue tau cuman Stefan sagmeister (dari pratt lho..). Gak tau ini suatu kebetulan ato bukan, tapi gue ngeliat ada kemungkinan para lulusan seni ini justru lebih besar curiosity-nya utk bereksperimen dgn media baru
Andi S. Boediman
Kenyataannya memang demikian. Graphic design ditujukan untuk komunikasi. Padahal di dalam karya eksperimental lebih membutuhkan keberanian, curiosity dan semangat 'what if'. Fine art dimulai dengan mental seperti itu.
Elwin Mok
Neville Brody udah tua. Presentasinya gak segarang desain-desainnya. dan kata ugi, istrinya Black 100%, tambah Cyan 40% malah.he he he. intermezzo aja.gosip celebritis desainer.hua ha ha ha
Andi S. Boediman
Saya ngeliat desainer kayak Sagmeister dan Brody udah berubah sikap. Kalo dulu berani berbuat, kini berani bertanggung jawab. Sayangnya presentasi Brody lebih cenderung retorik yang bersifat pertanyaan terbuka dan tidak disertai solusi seperti yang disampaikan oleh Sagmeister.
Elwin Mok
dari pure graphic hanya Stefan sagmeister dan Neville brody. Yg jawab, akhirnya si Stefan, namun jawabannya menurut gue klise aja. Bahwa desain grafis gak akan mati. dst-nya.
Andi S. Boediman
Saya lihat ada unsur time dan interactivity yang kini memperkaya vocabulary desainer. Tetapi graphic design dan tipografi masih panjang umurnya.
Elwin Mok
Terlepas dari masalah eksistensi/pengakuan tsb, gue pribadi sih berpendapat bahwa memang pure graphic design jelas gak akan punah. Cuman memang gak begitu hype lagi. Yah karena memang media baru udah muncul di depan mata, dan tantangan-tantangan berkesperimennya terbuka besar banget.
Andi S. Boediman
Sebagai desainer Indo, ini masih susah, karena saya belum ngeliat desainer Indo yang bagi waktu untuk idealis dan komersil, apalagi bikin eksperimen, mendokumentasikan dan mempublikasikannya.
Elwin Mok
Kalo mo ditarik balik ke strategi institusi pendidikan desain, menurut gue sih mau gak mau dynamic media ini harus jadi pertimbangan. Emang sih setan coding harus ditaklukan. Karena ketika penguasaan basic dynamic media (penguasaan user interface, logika, actionscript mendasar flash,
Andi S. Boediman
Mutlak, di luar udah memasukkan ini di kurikulum. Tinggal di uni Indo
diadakan terobosan.
No comments:
Post a Comment