Interview oleh Steven Haryanto (MWMag)
Digital Studio adalah merek yang terjabarkan dalam beberapa bidang usaha: kursus singkat (Digital Studio Workshop), kursus/sekolah 1 tahun (Digital Studio College, Yayasan), dan firma desain (Digital Studio Design, PT). Kantor utama workshop ada di daerah Cideng Jakarta Pusat, sementara college di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Selain dua pusat ini, rencananya DS akan masuk ke outlet-outlet Magnet Interaktif, minimal 3 cabang baru di tahun 2002 yaitu di Kelapa Gading, Kuningan, dan Panglima Polim. Di kota kembang Bandung DS juga sudah mulai beroperasi sejak Mei lalu. Dan mungkin DS akan berekspansi lagi ke Yogyakarta dan Surabaya. Targetnya tahun 2002 memang ingin membuka cabang di setidaknya 3 tempat di luar Jakarta.
Di dalam dunia desain grafis dan animasi Indonesia, nama DS cukup ternama. Ini kemungkinan karena DS giat mengembangkan brand, mulai dari kampanye iklan yang terfokus, serta berbagai workshop dan seminar yang sering diadakannya. Dan faktor terbesar mungkin karena perintis dan pemilik usahanya, Andi S. Boediman, adalah salah satu tokoh desain grafis yang sudah beken dan masih aktif. Berikut ini wawancara editor mwmag Steven Haryanto dengan beliau.
sh: Selamat siang, Pak Andi. Saya akan mulai dengan DS Workshop. Anda menggunakan kata ‘workshop’ sebagai merek. Bagaimana konsep workshop ini?
asb: Workshop artinya adalah melatih secara hands-on dan praktikal. DS bukan yang pertama kali punya gagasan memberikan workshop kepada publik, tetapi DS adalah yang pertama kali memposisikan diri pada kategori computer graphic.
Sementara di DS College untuk yang lebih mendalam dan teoritis. Begitu? Lalu ada pula DS Design. Saya dengar Anda mulai dari firma desain dahulu sebelumnya?
Ya, DS sebagai perusahaan desain dimulai pada Januari 1996, yang saya gagaskan sebagai perusahan yang memberikan jasa kreatif dengan menggunakan teknologi paling akhir. Itu yang memberikan definisi dari nama DS sendiri. Dari sejak awal, gagasan inovasi dan kreatif menjadi dasar pemikiran yang ingin ditawarkan kepada kliennya.
Dari buku Photoshop Special F/X yang saya tulis sewaktu kuliah, saya sering diundang oleh beberapa pihak untuk memberikan training di bidang computer graphic. Dari sini muncul gagasan untuk melembagakan bentuk training tersebut sehingga bisa mengakses lebih banyak lagi audience.
Di awal 2000, DS Workshop terbentuk dengan konsep untuk menciptakan standar industri computer graphic arts. Di mana setiap orang punya kesempatan untuk mempelajari disiplin ilmu tersebut.
Bagaimana ketiga usaha DS ini berinteraksi? Semua independen atau ada saling tumpang tindih?
Secara operasional, ini diatur secara independen. Secara internal hanya departemen human resource, finance, dan accounting yang bisa diatur secara sentralisasi.
Berapa total lulusan DS Workshop & DS College sejauh ini?
Untuk DS Workshop sekitar 750 siswa di tahun 2000 dan 800 siswa di tahun 2001. Saya prediksi sekitar 900–1000 siswa di tahun 2002. Untuk DS College baru sekitar 30 orang yang lulus di angkatan pertama dan kedua. Untuk angkatan ketiga yang sedang berjalan ada sekitar 70 siswa.
Sudah cukup banyak juga. Apa strategi Anda agar bisa berkembang hingga sampai sekarang ini?
Strategi publikasi adalah dengan menetapkan brand yang kuat sebagai pemimpin kategori computer graphic. Ini bisa dibaca dengan mulai munculnya kompetitor khususnya di tahun 2002. Tapi ini tentunya sangat menggembirakan karena tujuan utama dari DS sendiri adalah menciptakan standar computer graphic. Jika kita harus bekerja sendirian untuk mengedukasi pasar tentunya sangat berat, jadi dengan masuknya kompetitor tentunya akan membuat pasar lebih bergairah dan memilih yang terbaik.
Sejak awal, target pasar orang-orang kreatif berjiwa muda menjadi konsentrasi Digital Studio, sehingga kampanye ‘Jangan Cuma Sok Jago’ muncul. Kampanye ini sangat sukses terbukti dari besarnya awareness dan penjualan yang bisa diraih. Bahkan muncul cukup banyak kampanye tiruan yang menggunakan gaya serupa. Ini tentunya malah menguntungkan DS karena kita di awal yang menentukan tren tersebut.
Untuk ke depan, tentu saja Digital Studio punya strategi untuk masuk di berbagai pangsa pasar, mulai dari low-end hingga high-end. Di low-end, Digital Studio bekerja sama dengan Magnet dan berbagai pihak untuk memperkenalkan dunia computer graphic kepada publik yang mungkin masih awam. Di middle yang menjaring para praktisi, Digital Studio didukung oleh para profesional yang kompeten. Di high-end, Digital Studio menjadi Authorized Training Center untuk Macromedia dan Alias|Wavefront dan Adobe sedang dalam proses.
Di pasar daerah, Digital Studio sudah siap dengan konsep franchise yang membuka kesempatan luas bagi semua pelaku industri untuk terjun ke edukasi computer graphic melalui standar kurikulum, layanan hingga operasional Digital Studio yang tentu akan terus diperbaiki secara terus menerus.
Saat ini Digital Studio sudah menjadi ‘top of mind’ di mana begitu ingat computer graphic, pasti ingat Digital Studio. Ini merupakan posisi yang akan tetap kita pertahankan. Tentunya di market share kita juga harus menjadi yang terbesar.
Dari jumlah siswa yang banyak tersebut, tentunya Anda sudah bisa melihat seperti apa potensi dan karakteristik orang-orang kita/Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?
Dari sisi kreativitas, bahkan orang Indonesia punya talent yang luar biasa. Masalahnya malah mereka tidak tahu bagaimana kreativitas tersebut digali untuk mampu menjawab kebutuhan konkrit.
Untuk keuletan, menurut saya masih sangat kurang. Untuk kejujuran dan moral, ya mungkin kita sendiri bisa menilai bahwa kita masih menempati urutan teratas negeri bajakan. Ini tentunya bukan cuma satu atau dua orang yang bertanggung jawab.
Problem dari SDM di Indonesia adalah kemampuannya di dalam melakukan standarisasi. Di dalam operasional, kemampuan ini penting untuk mencatat setiap pekerjaan, hasilnya dan kemudian dituangkan dalam bentuk Standard Operating Procedure. Ini yang seharusnya diperbaiki secara terus menerus sehingga akan menghasilkan satu rangkaian kerja yang produktif dan standar. Satu hal negatif yang sering muncul adalah setiap orang cenderung merasa nyaman di setiap posisi dan kurang tertarik untuk mengembangkan dirinya. Dorongan self improvement masih sangat kurang.
Untuk kemampuan komunikasi juga kurang terasah, tetapi dari latihan dan praktek di lapangan, perlahan-lahan masalah ini tidak sulit diatasi.
Bagaimana profil siswa DS? Paling banyak dari kalangan mana?
Saat ini kurikulum Digital Studio sesuai untuk praktisi dan mahasiswa, perbandingan sekitar 50 : 50. Dengan kurikulum baru, diharapkan Digital Studio akan masuk ke pasar pelajar.
Untuk College, peminat terbesar datang dari mereka yang sudah bekerja daripada lulusan SMA, proporsi sekitar 70 : 30.
Materi/program apa yang paling banyak diminati?
Untuk di workshop polanya cukup beragam, Web banyak diminati oleh praktisi, animasi dan graphic design oleh mahasiswa. Untuk di College yang memiliki 3 jurusan (3D Animation, Web Design dan Graphic Design), 3D Animation punya peminat terbesar, Graphic Design kedua dan terakhir adalah Web Design.
Bagaimana kinerja lulusan lembaga Anda?
Untuk Workshop, saat ini kita hanya memberikan skill teknis secara software. Untuk mereka bekerja, ini tentunya bergantung pada masing-masing pribadi untuk mengembangkan potensinya.
Untuk College, kelihatannya masalah utama adalah pada umur. Dari hasil didikan Digital Studio yang hanya 1 tahun, para siswa merasa cukup puas bahwa mereka menguasai skill teknis yang baik secara singkat dan bisa langsung bekerja. Tetapi karena beberapa masih cukup muda, ada masalah sikap yang mereka hadapi saat mereka bekerja. Analoginya adalah memberikan senjata pada orang muda. Bukan masalah kemahirannya, tapi apa yang akan diperbuat dengan senjata tersebut.
Anda kuliah di mana? Lalu apakah ada pendidikan lain? Dengar-dengar Anda juga hobi dan sekolah film, apa benar?
Saya kuliah Arsitektur di Universitas Kristen Petra Surabaya, lulus tahun 1994. Setelah itu saya mulai bekerja sebagai computer graphic animator. Kemudian kesempatan studi lanjut di Academy of Art College, San Francisco di penghujung 1994 hingga awal 1995 memberikan pengetahuan di bidang Graphic Design & 3D Animation. Selalin itu saya juga menyempatkan untuk belajar Multimedia di San Francisco State University dan Video Production di Bay Area Video Coalition. Sekembalinya dari San Francisco, saya bekerja lagi sebagai animator dan coproduser video.
Di tahun 1999, saya belajar film production di New York Film Academy selama 2 bulan sebelum punya gagasan untuk mengembangkan DS Workshop.
Ada rencana menerapkan ilmu film-making yang Anda miliki?
Ada, di DS College saat ini sedang dikembangkan beberapa kurikulum lain lebih dari yang sekarang. Misalnya, judul program akan kami tambahkan dari 3D Animation menjadi 3D Animation & Visual Effects. Graphic Design menjadi Graphic Design & Motion Graphic. Di kemudian hari bisa saja ditambahkan fotografi, broadcastr, film, ilustrasi, advertising, dan disiplin ilmu lain yang relevan?
Sejauh ini DS bisa dibilang leader dalam training computer graphic. Adakah rencana ekspansi misalnya ke pemrograman, untuk meraup lahan training yang ada?
DS tidak akan masuk ke pemrograman, database, networking, dll. DS adalah computer graphic. Strategi fokus dan positioning DS akan menghilangkan kerancuan di benak audience tentang identitas DS.
Boleh disebutkan tidak, yang Anda anggap saingan utama sekarang siapa saja?
Sementara ini DS masih belum melihat kompetitor yang serius di dunia computer graphic. Cukup banyak perusahaan yang berkecimpung di dunia training masih tidak melakukan spesialisasi, akibatnya jadi gado-gado.
Sekarang Anda paling sibuk mengerjakan apa di DS?
Strategi bisnis yang mencakup marketing, sales, pengembangan, finance, dll. Selain itu juga mencermati pasar untuk kebutuhan inovasi produk.
Bagaimana prospek pendidikan TI di Indonesia menurut Anda?
Saya tidak bisa mengatakan dari sisi TI, karena DS tidak bergerak di situ. Yang pasti di dunia computer graphic, kebutuhannya cukup besar dan sangat cerah.
Terima kasih wawancaranya. (sh)