J. Awalnya saya mengalami bahwa untuk terjun ke industri diperlukan skill dan knowledge khusus yang ternyata tidak bisa dipenuhi hanya dengan belajar di sekolah. Selain itu, rekan-rekan di industri juga banyak mengalami kesulitan karena kurang adanya sosialisasi tentang pengetahuan produksi yang baik.
Pengalaman yang kita dapatkan di lapangan tersebut sangat berharga untuk bisa di-share ke pelaku industri maupun para pemula yang ingin terjun. Ini adalah alasan yang memicu kita mengembangkan pendidikan computer graphic.
T. Kendala apa yang Anda hadapi pada saat pertama membuka training center?
J. Kita membuka training center dengan hanya modal semangat :), jadi tidak punya pengalaman management, marketing, dll. Kendala awal yang muncul adalah proses sosialisasi dan marketing, kemudian berlanjut ke standarisasi (modul dan pengajar), dan setelah itu adalah administrasi dan sistem. Yang belakangan berhubungan dengan SDM.
T. Kontribusi apa yang sudah disumbangkan Digital Studio selama membuka training center ini?
J. Kita memiliki Workshop dan College, di mana workshop ke arah pelatihan singkat (skill) dan College adalah program panjang 16 bulan yang menggabungkan skill dan knowledge. Lulusan workshop saat ini sudah lebih dari 5000 orang di Jakarta, Surabaya, Bandung. Sedang untuk College berjumlah sekitar 200 orang.
T. Kendalah apa yang masih dimiliki dalam rangka mengembangkan training centre ini, baik ke bidang yang lain atau meluaskannya ke berbagai daerah lain?
J. Untuk pengembangan ke daerah lain, kendala terbesar adalah standarisasi pengajaran, sedang untuk pengembangan ke bidang lain, kendalanya adalah dibutuhkan research dan development serta usaha introduksi yang tidak kecil ke masyarakat.
T. Hal apa yang masih Anda cita-citakan dan belum tercapai? Mengapa?
J. Secara jangka pendek adalah pengembangan ke daerah lain. Saat ini kita memilih secara bertahap karena perkembangan yang terlalu pesat sangat menyulitkan dari sisi pengembangan SDM dan supervisi kualitas.
Secara jangka panjang, kita memiliki potensi ke beberapa aspek, seperti sebagai partner SDM dalam skala yang lebih luas, konsepnya seperti human resource center, di mana kebutuhan perusahaan dan SDM masing-masing bisa kita jembatani. Berikutnya kita bisa memasuki sebagai project center, di mana kita mempertemukan buyer dan seller project kreatif.
Rencana-rencana semacam ini sebaiknya memang dilakukan bertahap karena kita sendiri masih harus melakukan uji coba pasar.
T. Anda juga membuat design grafis dari packaging Walls (Unilever). Bagaimana di usia muda Anda sudah mendapatkan kepercayaan untuk pekerjaan penting dan dari perusahaan yang sangat bereputasi tersebut?
J. Terjadinya krisis ternyata memberikan banyak tantangan baru, klien saya yang sebelumnya banyak di real estate banyak mengalami krisis. Perusahaan consumer goods seperti Unilever yang besar bisa memberikan kesempatan kepada kita karena mencari desain yang bagus dengan harga reasonable.
Sebagai tambahan informasi, di awal kita diberi tantangan untuk implementasi logo Walls yang membutuhkan banyak detail teknis di berbagai media seperti freezer, kendaraan dan pabrik. Inilah yang menumbuhkan kepercayaan dari mereka.
Kepercayaan tersebut kini berlanjut dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan packaging di Asia Tenggara dan ada desain kita yang sudah digunakan secara regional.
T. Pendapat Anda mengenai desain kemasan di Indonesia pada umumnya?
J. Kita perlu melihat dalam wacana yang lebih luas bahwa masih banyak perusahaan di Indonesia yang berada di fase manufacture yang product oriented, padahal kini dibutuhkan perusahaan yang berorientasi kepada market dengan menciptakan brand. Perlu diingat bahwa product is created in the factory and brand is created in the mind.
Packaging sebagai salah satu ujung tombak pemasaran bukan sekedar bungkus, tetapi bagian dari consumer touching point yang mengkomunikasikan positioning dan diferensiasi produk serta mampu menciptakan impulse buying.
Oleh karena itu, kita bukanlah sekedar desainer, tetapi strategic partner yang perlu memahami seluruh proses produk dan marketing secara holistik. Hanya dalam posisi ini kita bisa memiliki bargaining dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan yang lebih baik.
Salah satu aspek yang belum tergali adalah riset perilaku konsumen yang terintegrasi dalam proses desain. Di sini bisa ditawarkan solusi kepada klien, mulai dari riset awal, proses desain hingga pengujian di lapangan.
Secara umum, proses berpikir desainer masih dalam skala sempit dan hanya masalah estetis dan teknis yang jadi perhatian. Dari sisi klien, proses berpikir hanya melihat dari sisi produk dan bukan dari sisi marketing.
Desain kemasan di Indonesia pada umumnya ditangani oleh 4 kelompok:
- Bagian desain pabrik (in house desainer)
- Desainer atau bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan
- Studio desain dengan penekanan pada grafis
- Perusahaan periklanan
T. Apakah terdapat kesulitan dalam pengambilan keputusan mengenai spesifikasi desain, dll. Komunikasi yang kurang baik dari berbagai pihak tersebut?
J. Sebenarnya hal ini tergantung pada skala project dan klien. Ada perusahaan yang memiliki in-house designer yang cukup kompeten, tetapi ada pula yang hanya diarahkan untuk support.
Pada perusahaan multinational yang cukup besar, spesifikasi packaging biasanya ditentukan terlebih dahulu karena menyangkut biaya produksi. Kemudian inhouse design menyiapkan technical specification dan diberikan kepada designer luar untuk dijadikan sebagai patokan.
Untuk perubahan minor dan brand extension product, banyak dilakukan oleh inhouse design daripada diberikan ke pihak luar. Tetapi untuk product baru, mereka lebih cenderung mengundang pitch beberapa agency untuk mendapatkan fresh perspective.
Desainer bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan memulai dari batasan teknis dan mencari alternatif desain yang mungkin. Klien yang mereka layani umumnya perusahaan yang product oriented di mana cost produksi menjadi hal utama. Cukup sering desain kurang dipertimbangkan dari sisi marketing.
Studio desain grafis biasanya memberikan rancangan yang lebih menarik dengan konsentrasi pertimbangan estetis. Tantangan yang dihadapi perusahaan grafis adalah masalah teknis yang bisa diatasi melalui komunikasi dari awal dengan pihak produksi packaging serta klien.
Pada perusahaan periklanan, diskusi diawali dengan konsep marketing dan baru masuk ke packaging sebagai bagian dari integrasi komunikasi. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah teknis produksi.
Jadi setiap kelompok desainer selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Semuanya ini bisa diatasi dengan komunikasi berbagai pihak dari awal.
T. Adakah desain Anda yang mendapat kesulitan untuk mewujudkannya (teknik cetak kurang dikuasai percetakan, tinta yang tidak memadai kualitasnya, kertas yang itu itu saja adanya, dll?
J. Cukup sering, misalnya dalam kasus label tub packaging Walls, digunakan tinta cetak metalik, saat itu solusinya adalah dengan menggunakan proof cetak, di mana kita mengalokasikan budget untuk membuat beberapa versi film, plat dan dijalankan di mesin cetak untuk mendapatkan hasil akhir yang dipilih klien.
Pada kasus lid Thick Shake Walls, rencana awal digunakan tinta CMYK pada plastik. Kemauan klien untuk mendapatkan warna coklat yang solid tidak bisa dipenuhi karena penggunaan separasi. Akhirnya diputuskan untuk menambahkan warna spot untuk coklat dengan mengalokasikan budget cetak tambahan.
Biasanya kesulitan teknis banyak dialami saat menyiapkan final artwork karena packaging punya batasan teknis yang cukup banyak, misalnya persiapan bleed, desain yang tidak boleh terputus karena akan dicetak secara continuous, reproduksi warna-warna khusus, pengetahuan bahan biasanya mempengaruhi pemuaian, penggunaan raster (halftone screen) yang tepat dan banyak lagi.
Desainer untuk packaging mutlak memahami proses produksi tersebut untuk membuat rancangan yang implementable dan hasilnya memuaskan klien, desainer dan produksi.
T. Apa saran Anda untuk memperbaiki kondisi tersebut ?
J. Sinergi berbagai pihak akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap seluruh industri. Dari sisi produsen pengemasan, bisa dibuat sosialisasi tentang proses kerja dan batasan teknis baik kepada klien maupun desainer.
Dari sisi desainer, sebaiknya memahami proses packaging tidak sekedar dari estetis, tetapi melihat dari sisi marketing dan branding. Mereka juga bisa mempelajari hal-hal teknis produksi. Sebagai lembaga pendidikan mungkin bisa mempertemukan antara para pelaku industri ini untuk saling sharing tentang proses produksi.
pak Andi, artikel bloggernya kok menurut saya agak panjang ya. apa bisa diperpendek?
ReplyDelete(lisda@narrada.com)
maaf pak andi..saya mau tanya, bapak diwawancara oleh majalah packaging apa ya pak?kebetulan saya mahasiswa tingkat akhir yang tertarik untuk mengambil skripsi mengenai semiotika packaging..dan saya masih bingung packaging dr produk apa yg menarik untuk disemiotikkan..mungkin bapak bisa membantu?dan kira2 referensi apa yang bisa saya gunakan?terima kasih sebelumnya.
ReplyDeleteyanuar budi (yanubudiha@i2.co.id)
Artikelnya bagus, Pak.
ReplyDeleteSangat berguna banget buat saya.
Saya sekarang lagi tertarik utk focus ke packaging n branding.
Sering2 post article ttg packaging n branding ya pak. saya tunggu.
Makasih
evelyn
www.missevelyn.nl
Thanks commentnya.
ReplyDeleteSilakan baca juga yang ini ya:
http://andisboediman.blogspot.com/2006/08/packaging-design-silent-salesman-no.html
Sukses ya,
Andi