Minggu, 4/5/2008 | 00:12 WIB
MUSI, seperti pernah dikatakan Menteri Perdagangan RI Marie Elka Pangestu, merupakan industri kreatif Indonesia yang sangat potensial. Sayangnya, hingga kini musik sebagai kegiatan kreatif masih dihantui pembajakan yang makin marak.
Departemen Perdagangan RI mendefinisikan industri kreatif berasal dari pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Musik menjadi salah satu industri kreatif karena berkaitan dengan proses penciptaan, produksi, distribusi dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik. Ironisnya, seiring dengan tumbuh suburnya industri musik Tanah Air, pembajakan makin marak dan semakin terang-terangan dilakukan oknum tak bertanggung jawab.
"Negara kita masih ada di deretan negara pembajak, bahkan stigma publik internasional terhadap Indonesia sebagai negara pembajak masih melekat sampai sekarang walaupun tidak sepenuhnya benar. Pembajak itu hanya sebagian kecil oknum yang tidak bertanggung jawab," kata James F Sundah, selaku Ketua Bidang Teknologi Informasi, Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI).
Pencipta lagu Lilin-lilin Kecil itu mengatakan Indonesia sudah hampir kalah oleh pembajakan. Stigma internasional tentang pembajakan itu merugikan para pemusik yang menjadi potensi kreatif indonesia.
"Akhirnya kita kena imbas embargo di tingkat internasional. Di Asia Tenggara, kita cuma jadi bahan pembalasan karena karya musisi negeri mereka dibajak di Indonesia, maka karya kita juga dibajak," ujar James yang tak lelah menyuarakan perang terhadap pembajakan.
Penyanyi jebolan grup band Dewa 19, Ari Lasso mengaku gerah dengan pembajakan dan produknya dijajakan secara terang-terangan. "Ibarat jamur, aksi pembajakan sudah menyebar kemana-mana. Bahkan di depan kantor polisi produk bajakan dijual begitu saja, harapan saya hukum harus ditegakkan," katanya.
Sementara itu Ketua Umum PAPPRI, Dharma Oratmangun mengatakan pembajakan kaset dan cakram padat makin parah. Perbandingannya 10:90, artinya 10 persen orisinil dan sisanya barang bajakan. Berdasarkan hasil survei PAPPRI, pada dua tahun lalu jumlah barang bajakan sebesar 80 persen dari total produksi rekaman musik yang beredar di pasar.
PAPPRI, lanjutnya, sudah bekerja sejak UU No.19/2002 tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) masih dibahas materinya sampai perangkat hukum itu diundangkan tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaannya
Peran Pemerintah
Selanjutnya James F Sundah mengatakan perang terhadap pembajakan tidak bisa dilakukan kalangan musisi saja. Pemerintah juga punya peran besar dalam upaya memerangi pembajakan dengan menggunakan perangkat hukum yang ada.
"Kalau pemerintah menggolongkan musik sebagai industri kreatif maka dibenahi dulu dong masalah yang ada," kata pria kelahiran Semarang, 1 Desember 1955 ini. Di negara lain, lanjutnya, pekerja seni dihargai dan dilindungi dengan hak cipta, sedangkan di Indonesia yang memiliki perangkat hukum ternyata perlindungan belum dilaksanakan sepenuhnya.
James yang April lalu diundang ke Bali dalam forum internasional tentang HAKI oleh salah satu lembaga bentukan PBB, mendapat berbagai tanggapan dari sejumlah negara peserta tentang maraknya pembajakan di Indonesia.
"Vietnam dan beberapa negara Amerika Latin yang diundang waktu itu menyatakan kebingungan karena Indonesia memiliki perangkat hukum yang bagus tapi tidak bisa melindungi industri kreatif dari pembajakan. Di negara mereka saja belum ada Undang-undang HAKI," ujarnya menjelaskan.
Dalam simposium yang diikuti 35 negara itu, James menyampaikan salah satu rekomendasinya agar stigma dunia internasional tentang pembajakan dihapuskan. "Karena sebenarnya yang membajak bukan orang Indonesia seluruhnya kan, pelakunya hanya segelintir oknum dan pemerintah tidak sanggup menanganinya," tuturnya.
James mengungkapkan Indonesia memiliki potensi di bidang musik yang sangat luar biasa. Ribuan jenis musik etnik tersebar di berbagai daerah namun lama-lama diakui sebagai milik bangsa lain karena ketidakberdayaan pemerintah dalam melindunginya.
"Kita punya ribuan akar musik etnik yang tidak dimiliki negara lain, namun perlahan karena stigma sebagai negara membajak terlanjur melekat dan negara ini tidak bisa mengurusi, akhirnya banyak negara lain mengklaim musik itu sebagai miliknya," ujar pria berdarah Manado ini.
Sebenarnya, kata james, di tingkat internasional banyak musik Indoensia digunakan sebagai musik ilustrasi film, ilustrasi iklan, dan menjadi inspirasi untuk menciptakan lagu-lagu asing. Ia mencontohkan lagu My Heart Will Go On yang dinyanyikan Celine Dion dalam film Titanic.
"Sebenarnya kalau mau menyimak dengan seksama, lagu itu mengandung unsur lagu keroncong. Tapi sayangnya banyak pihak tidak mau menyatakan itu diambil dari musik Indonesia. Kebanyakan di labelnya dituliskan ’Asian Music’, padahal maksudnya ya Indonesia," katanya.
Demikian halnya dengan musik angklung yang menginspirasi banyak musikus dunia menciptakan karya. Para musisi itu, menurut James, hanya mencantumkan bamboo music saja tanpa menyebutkan bahwa musik bambu yang dimaksud adalah angklung dari Indonesia.
Kebangkitan
"Kita tidak pesimis, meski pembajakan menggila dan pemerintah belum menunjukkan perannya memerangi pembajakan. Tahun ini merupakan 100 tahun kebangkitan nasional dan masih ada celah yang bisa digunakan para musisi Indonesia untuk bangkit melawan pembajakan," katanya.
Teknologi digital disebut James sebagai jawaban dari keresahan dan keprihatinan para musisi dan penyanyi terhadap pembajakan. "Ini pencerahan, sebuah cahaya baru yang muncul dari teknologi digital, misalnya melalui Youtube, dan cara lainnya," ujar James.
Melalui teknologi digital, lanjutnya, dunia bisa melihat karya-karya musisi dan penyanyi Indonesia. Meskipun pembajakan membuat Indonesia terjebak ibarat "katak dalam tempurung", kini musisi bisa menawarkan musiknya hingga ke tingkat internasional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. "Kalau kita kuasai teknologi, maka upaya untuk bisa bangkit dengan karya-karya terbaik akan bisa terwujud," tambahnya.
Upaya memerangi pembajakan juga dilakukan PAPPRI lewat sikap proaktif menangkap para pembajak. Caranya, menyampaikan pada pihak berwenang tentang titik-titik di mana pembajak memproduksi ataupun menjual.
"Tetapi sayangnya, saat digrebek tahu-tahu sudah keburu hilang. Pembajakan di Indonesia memang sudah mengakar cuma kita harus optimis. Sekarang suasana memang sudah gelap, tapi kita masih harus tetap optimis," katanya.
Adanya perlindungan HAKI dalam musik Indonesia, katanya, akan memberi dampak yang besar, selain dapat meminimalkan pelanggaran hak cipta, juga akan terjadi perimbangan yang adil terhadap akses-akses ekonomi. (ANT)
No comments:
Post a Comment