Peristiwa besar sedang terjadi di tanah air, Telkom memperkenalkan platform baru, pinjam istilah Agung Adi Prasetyo-CEO Kompas Gramedia, bak raksasa menggeliat, jika ia bergerak, apapun bisa terjadi.
Telkom akhirnya memperingati hari jadi pertamanya di usia ke 153, yakni 23 Oktober 2009, sebuah tanggal bersejarah atas pengoperasian layanan jasa telegrap elektromagnetik pertama, menghubungkan Batavia (Jakarta) dengan Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1856.
Telkom melakukan transformasi aspek-aspek fundamental yang diekspresikan melalui perubahan corporate identity dan mengukuhkan diri sebagai satu-satunya perusahaan telekomunikasi terintegrasi di Indonesia yang mencakup Telecommunication, Information, Media dan Edutainment–T.I.M.E.
Sambil menunggu puncak acara sosialisasi logo baru Telkom oleh Menkominfo, berdiri di samping saya adalah Agung Adi Prasetyo, CEO Kompas Gramedia yang memberikan kesan dengan komentar cukup dalam, “bak raksasa menggeliat, jika ia bergerak, apapun bisa terjadi.”
Banyak yang belum paham dengan strategi Telkom yang dari telephony dan broadband tiba-tiba menjadi perusahaan dengan konsep T.I.M.E (Telecommunication, Information, Media dan Edutainment). Apakah ini hanya sekedar jargon dan bagaimana wujudnya?
Mengamati konsep T.I.M.E, adalah membayangkan sebuah masa depan tumbuh kembangnya industri kreatif digital tanah air. Bagaimana tidak, dengan menyediakan fasilitas infrastruktur, menjaring ide-ide segar sebagai bagian dari proses co-creation, menjalin komunitas dan karya kreatif ke dalam mata rantai proses bisnis, maka benar-benar akan menjadi momentum di mana infrastruktur yang disediakan tak hanya akan dijual semata-mata sebagai komoditi. Tapi justru infrastruktur disediakan untuk menawarkan value added melalui dengan konten, media dan informasi yang bernilai ekonomi.
Prinsip Keadilan Distribusi Konten
Memahami supply chain management mengandaikan sebuah efisiensi dalam rantai distribusi. Melihat kondisi geografis Indonesia dengan wilayah luas dan gugus kepulauan, menguasai rantai distribusi adalah hal penting dengan di dalamnya harus tersedia infrastruktur pendukung.
Transportasi misalnya, insfrastruktur pendukung dalam rantai distribusi ini harus memenuhi persyaratan efektifitas dan efisiensi dengan memenuhi tuntutan seperti fleksibilitas, ketepatan jadwal, daya jangkau, faktor biaya, dan kesesuaian dengan apa yang didistribusikan. Peritel seperti Indomaret dan Alfamart, adalah contoh terapan supply chain management yang setidaknya sukses menyiasati rantai distribusi.
Bagi perusahaan telekomunikasi seperti Telkom, infrastruktur yang harus disediakan tentu saja yang berhubungan dengan distribusi produk komunikasi dengan tanpa mengabaikan setiap pihak terkait dalam rangkaian produk dan layanan yang akan didistribusikan.
Pada acara World Media Summit yang dihadiri eksekutif top media dunia, Presiden Hu Jintao mengungkap bagaimana campur tangan Negara dalam pengembangan visi media di China. Mereka siap membelanjakan USD 7,17 miliar untuk ekspansi multi medianya.
Rupert Murdoch, boss Wall Street Journal/WSJ, melihat hubungan industrial yang tidak sehat belakangan ini, di mana distribusi media/konten dianggap menguntungkan penyedia infrastruktur saja. Padahal ia memiliki keyakinan positif tentang era digital melalui ungkapan, “Within ten years, I believe nearly all newspapers will be delivered to you digitally.”
Jadi yang dibutuhkan media adalah prinsip keadilan dalam distribusi. Ini adalah peran Telkom sebagai penyedia infrastruktur distribusi untuk menjawabnya.
Peran Strategis Telkom
Kini, penting bagi semua untuk memahami bahwa media adalah konten yang memerlukan distribusi, dan kertas bukanlah jawabannya. Konvergensi media dan telekomunikasi terletak kepada perubahan value chain di mana distribusi konten utamanya akan melalui infrastruktur telekomunikasi. Ini adalah PR besar bagi perusahaan sekelas Telkom untuk memberikan solusi distribusi ini, artinya perusahaan telekomunikasi akan menjadi platform bagi distribusi informasi, media dan konten.
Ibarat bisnis pipa, saat ini perusahaan telekomunikasi sedang dalam proses tak hanya ikut bisnis pipa, namun masuk lebih dalam ke isi pipa melalui kemitraan strategis dengan para pelaku industri kreatif digital untuk mengisinya, infrastruktur berupa playground disediakan dan para pelaku industri kreatif digital adalah para pemainnya.
Jadi tak ada alasan mengatakan bahwa ketersediaan infrastruktur akan menjadi kompetitor yang akan segera menelan pelaku bisnis dalam mata rantai bisnis T.I.M.E . Justru, dengan berbagai media yang disediakan, terbuka peluang usaha padat karya bagi UKM atau insan kreatif cekak modal, dan kerjasama dengan distributor serta provider tetap terjalin baik. RBT misalnya, dengan adanya infrastruktur yang tersedia, maka artis, label, pencipta lagu adalah pihak-pihak yang akan mengisi.
Begitu juga dengan pengembang software, game, animasi bahkan penerbit media cetak atau penerbit buku yang akan melakukan transisi layanan kontennya ke online. Laku Telkom, akan membangkitkan industri kreatif digital dalam negeri, di masa depan, bisnis konten dan animasi bukan tidak mungkin akan menjadi idola.
T.I.M.E , adalah konsep media dengan ketersediaan infrastruktur sebagai fasilitas yang disediakan. Di dalamnya harus ada yang mengisi, dan Telkom berada di level distribusi. Teman-teman media cetak atau praktisi pers harus merapikan barisan untuk bermitra dengan perusahaan telkom atau sebaliknya, dengan peran sebagai news and content organization. Begitu pula dengan animator, advertising, kreator game, pengembang software.
Problem di dunia pendidikan nasional Indonesia misalnya, adalah terbatasnya distribusi guru-guru berkualitas. Nah, dengan aplikasi education 2.0 misalnya, problem itu teratasi. Bagi pelaku ritel kecil, akan mendapat kemudahan dengan hanya berlangganan melalui infrastruktur data yang sudah diimbuhi perangkat lunak point of sales. Bagi pecinta gaya hidup, tinggal berlangganan kanal game, musik dan film yang bisa diunduh kapanpun, di manapun dan harga terjangkau.
Sederhana, murah dan mudah, bukan?
Indigo Fellowship lahirkan Digitalpreneur
Sebagai program CSR untuk mendorong tumbuhnya industri kreatif digital di Indonesia, Telkom dengan program Indigo Fellowship 2009 ingin menciptakan Digitalpreneur. Indigo fellowship, sebagai inisiatif strategis Telkom, menjadi jawaban bagi keinginan pelaku industri kreatif digital untuk berkompetisi secara sehat untuk mewujudkan gagasan produk dan layanan ke publik. Pemenang mendapat modal untuk bekerja dan kesempatan mengikuti program inkubasi. Lebih dari itu, dengan menjadi fasilitator bagi industri kreatif digital di Indonesia, maka akan menghidupkan rantai proses bisnis industri kreatif berkesinambungan (sustainable).
Sustainabilitas atau kesinambungan yang akan dicapai, tentu saja melalui proses panjang yang harus dipahami oleh seorang entrepreneur di bidang ini, dalam berbagai tahapan. Pertama adalah tahap pengembangan dari ide menjadi solusi produk atau layanan, yang mana mereka diharapkan memiliki dana cukup untuk melakukan eksperimentasi terhadap model bisnis dan layanan. Setelah selesai tahapan ini, mereka perlu memiliki jalur distribusi atas produk atau layanan yang dikembangkan, sampai akhirnya akan tercapai model bisnis yang sustainable dan scalable.
Program Indigopreneur yang dilakukan pertama kali melalui Indigo Fellowship 2009, adalah membuka kesempatan bagi mereka yang baru memiliki gagasan ataupun model bisnis awal untuk dikembangkan. Para digital entrepreneur ini ditantang untuk membuat rencana bisnis yang konkrit dan bisa diimplementasikan. Selain fasilitas finansial sebagai seed capital atau modal awal bagi para pemenang lomba, mereka diberikan inkind facility pada saat mereka diinkubasi.
Evaluasi berikutnya membuka kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan potensi second round investment atau investasi tahap berikutnya, di mana kesempatan distribusi layanan melalui resource Telkom dibuka. Jadi untuk menciptakan mata rantai produk dan layanan yang sustainable, kini para entrepreneur langsung mendapatkan pijakan tanpa harus membangunnya sendiri.
T.I.M.E , Social Company?
Dalam konsep T.I.M.E yang kini dikembangkan Telkom yang mengubah diri dari perusahaan telekomunikasi menjadi lebih luas sebagai perusahaan infokom, akan memberikan solusi dari berbagai hal.
Selain menyediakan infrastruktur bagi pengembang dan kreator, kini keterlibatan komunitas dalam struktur akan membuat sebuah sistem berjalan secara berkesinambungan, karena dilakukan bersama-sama dan menguntungkan semua pihak. Infrastruktur tidak dijual sebagai komoditi, tapi konten lah yang dijual dan diintegrasikan dengan infrastruktur distribusi.
Melihat model di atas, transformasi Telkom dari perusahaan telekomunikasi menjadi infocomm company akan terwujud karena adanya integrasi pengembangan infrastruktur teknologi dan juga disertai dengan membuka kesempatan para digital entrepreneur untuk mulai berkiprah.
Pengembangan Corporate Social Responsibility [CSR] ternyata dapat menjadikan Telkom tak hanya sebuah perusahaan terbuka, PT Telkom Indonesia, Tbk. Tapi keterlibatan berbagai komponen kreatif, menggambarkan sebuah social company, di mana terjadi pemberdayaan unsur-unsur potensial dalam masyarakat. Bisa dikatakan, geliat Telkom dalam momentum transformasi bisnis ini, akan menggerakkan dunia media, informasi dan konten yang ke depan akan menjadi idola.
Telkom memiliki segudang ide dalam bisnis ini, apalagi jika Telkom RDC di manfaatkan dengan optimal untuk menghadirkan sebuah produk yg unik dan diterima oleh pasar.
ReplyDeleteAda satu titik kelemahan Telkom ketika mengeluarkan produk yaitu promosi yg dibuat hanya sekedar menjual barang, bukan mengedukasi pelanggan. Jika pelanggan telah teredukasi dengan baik, maka pelanggan pun akan bisa menilai produk siapa yang lebih berkualitas, Punya Telkom atau Kompetitor.