catatan dari GCOS–Global Conference on Open Source, 26-27 Oktober
Komunitas kreatif Bandung hidup dan berkembang karena adanya akses ke teknologi melalui internet dan jumlah komunitas anak muda yang cukup banyak termasuk di dalamnya ada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Inilah kesimpulan yang saya tarik dari perbincangan dengan Gustaff Hariman Iskandar dari Commonroom. Menjadi menarik karena Bandung yang telah menjadi Creative City, dengan karya tak hanya dinikmati masyarakat lokal, bahkan terkesan aneh, komunitas yang tak punya culture center, tak punya arena cukup untuk berekspresi, tapi siapa sangka para talent-nya beredar luas di dunia internasional? Mulai dari kriya seni klasik sampai kontemporer atau perpaduan keduanya.
Mahalnya perangkat lunak memaksa mereka menggunakan software bajakan, keterbatasan arena berupa pusat-pusat berekspresi dituangkan dalam arena tanpa batas di dunia maya melalui internet yang diakses mulai dari hotspot area atau warnet. Dan secara alami, proses pembelajaran terbentuk dengan sendirinya, seperti laiknya inkubator teknologi ala Silicon Valley.
Unik, ternyata seni budaya mampu melampaui batas-batas wilayah, di mana para insan kreatif melakukan konser, diskusi antar komunitas melalui acara kopi darat maupun lewat internet. Budaya Bandung adalah budaya urban, sehingga amat mudah untuk mengalir ke Jakarta atau bahkan Kuala Lumpur. Ini tercermin dari diskusi dari anak muda di Kuala Lumpur bahwa mereka harus menyempatkan diri ke Bandung untuk merasa dirinya cool.
Kota Yogyakarta bisa dikatakan sebagai sebuah kota dengan karakter yang mirip dengan Bandung dengan ciri khas yang berbeda. Komunitas di Yogya yang menjadikan gandhokan [kongkow] sebagai ajang tukar informasi, juga unjuk diri. Ini sangat mencerminkan budaya Jawa yang terbuka, sehingga mereka yang berasal dari Yogyakarta memiliki kepekaan atas budaya dan selera grass root, yang sangat membumi dan mudah menjadi getok tular di masyarakat Jawa.
Di kedua kota ini, Bandung dan Yogyakarta, lahir kreator-kreator baru, yang mampu mewakili budaya pop berasal dari Bandung, yang merepresentasikan wong cilik datang dari Yogyakarta. Kita memang kaya akan kreativitas!
Dilema Kreator
Pada akhirnya, proses berkreasi adalah untuk berekspresi. Yang membutuhkan tempat, dan ketika menjadi bernilai ekonomi, mereka butuh legitimasi.
Mereka yang kreatif bidang multimedia misalnya, terus berkarya sementara dihadapkan pada dilema mahalnya software legal ketika harus mencipta.
Dengan menyaksikan tayangan film animasi Big Buck Bunny yang digarap dengan Blender–software animasi open source, ke depan ada harapan baik bagi para kreator. Mulai dari software, waktu dan kreator, semua komponen dari film ini merupakan kontribusi bersama-sama dari komunitas open source. Bukti nyata dari spirit gotong royong di dalam dunia maya.
Adez Aulia dari IDS|international design school, mengamati bahwa demikian banyaknya komunitas kreatif underground di berbagai daerah, masih kesulitan dalam mengakses internet baik untuk mendapat informasi maupun berkompetisi menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas. Belum lagi ketika karya tersebut akan dijual, tentu dibutuhkan syarat bahwa karya harus menggunakan software legal. Ini adalah dilema bagi para kreator, proses belajar dibatasi oleh keterbatasan ekonomi.
Alhasil, workshop animasi Blender padat diikuti peserta meskipun bermodal laptop yang harus dibawa sendiri. Ini adalah usaha kemandirian yang patut dihargai.
GCOS: Sebuah Komitmen dan Dedikasi
Global Conference on Open Source yang digelar 26-27 Oktober lalu, mendapat apresiasi lar biasa dengan mendatangkan tamu dan pembicara dari 15 negara. Sunil Abraham misalnya, pembicara pada asal India untuk sesi Making Open Source The Driver for Development, merasa terkesan dengan sambutan masyarakat dan pemerintah Indonesia yang luar biasa, bahkan telah terbentuk komunitas open source di Indonesia yang cukup besar sehingga dapat menyelenggarakan GCOS. Sunil, juga bangga dapat berbicara di forum internasional bersama pembicara lain yang menurutnya seperti berbicara di India, karena disini juga berhadapan dengan problem dan karakteristik masyarakat yang hampir sama, butuh software murah untuk saving cost.
Kabar baik dari buah obrolan dengan Betti Alisjahbana mewakili AOSI [Asosisi Open Source Indonesia] dan Lolly Amalia selaku Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo, selain kedua belah pihak telah saling bertemu visi dengan melaksanakan GCOS secara bersama-sama, di antara kedua pihak telah ada kesepakatan saling membantu aplikasi Open Source di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi kendala profesionalitas AOSI dalam memberikan layanan sebagaimana tuntutan kebutuhan saat ini, Betti bahkan sedang dalam proses mengorganisir kekuatan-kekuatan di dalam AOSI untuk bernaung di dalam sebuah payung badan usaha profesional.
Onno W Purbo, penggiat open source, meyakini free open source software [FOSS] akan menjadikan Indonesia sebagai 'Knowledge Based Society'. Dan dari pihak pemerintah, telah dicontohkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) dalam penerapan eGovernment secara menyeluruh dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien untuk meminimalisir korupsi di lingkungan departemen dan pemerintahan.
Dalam bincang-bincang dengan Ditjen Aplikasi dan Telematika Depkominfo Ashwin Sasongko, ia mengandaikan Free Open Source Software seperti air mineral yang bisa diambil gratis dari pegunungan, tapi distribusi dan pengemasannya harus bayar.
Betti Alisjahbana berujar “Saya ingin memperkenalkan profesionalisme di dalam open source,” yang artinya menjadikan Open Source menjadi berkesinambungan. Perangkat lunak bisa gratis, tetapi proses support dan pembelajarannya haruslah dikelola secara profesional dan akan menjadi revenue stream bagi pelakunya.
Open Source adalah Pilihan untuk Kemandirian
Open Source adalah sebuah pilihan, demikian menurut Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo Lolly Amalia. Dan kepentingan pemerintah adalah memfasilitasi, mendorong pemakaian software legal yang sesuai kemampuan daya beli masyarakat. Pasca surat edaran Menpan bulan maret 2009 lalu, sudah ada sekitar 100 lebih pemerintah daerah yang mengajukan permohonan untuk menggunakan open source dan Depkominfo Bersama KNRT [Kementerian Negara Riset dan Teknologi] mengadakan pelatihan SDM mulai dari mengoperasikan software untuk perkantoran, sesuai kebutuhan administratif pemerintahan.
Apa yang dilakukan dalam sinergi Depkominfo, KNRT, Depdiknas, Menpan adalah sebuah komitmen, bahkan tertuang dalam program di mana pada Desember 2011 ditargetkan pengaplikasian open source di seluruh jajaran instansi dapat terwujud.
Keinginan pemerintah tersebut bukan pula tanpa dasar, dengan isu utama dalam open source adalah low cost, mencegah terjadinya pembajakan software, dan mampu memberikan keuntungan bagi Negara. KNRT misalnya yang secara bertahap mengaplikasikan open source sejak 2005, telah menghemat biaya pembelian lisensi sebesar 40% dan bisa ditingkatkan menjadi 60%.
Tak hanya menjawab kebutuhan kalangan UKM yang ingin berhemat memangkas biaya operasional namun tetap berada pada jalur legal, ternyata juga memberikan kontribusi penghematan anggaran bagi pemerintah Negara berkembang seperti Indonesia karena memberikan pilihan atas hegemoni perusahaan software.
Pemerintah yang telah memulai aplikasi open source meski hanya berbekal surat edaran Menpan, perlu meningkatkan komitmen dan dedikasinya dengan penerbitan regulasi lebih mengikat dan ’memaksa’ yang di dalamnya tak hanya berisi himbauan, namun juga proteksi. Dan jika Depkominfo dan Depdiknas dapat bersinergi melalui program pendidikan open source, akan menjadi awal yang baik memperkenalkan dan mengajarkan open source sebagai sebuah wujud kemandirian bangsa yang tak lagi terjajah secara teknologi.
Open source akan menghapus jejak Indonesia dari ranah pembajakan software propriety yang dari pengguna komputer di Indonesia diperkirakan hanya 4% menggunakan software legal.
Ketika kita masuk ke dalam era perdagangan bebas, kita perlu bebas dari rasa takut bahwa kita telah melanggar hak cipta dan tidak lagi bisa duduk sama tinggi dengan bangsa lain.
Menciptakan Adopsi FOSS [free open source software]
Mereka yang pertama kali menggunakan software open source seringkali enggan karena antarmuka baru, sehingga adopsi di dunia profesional menjadi relatif lebih sulit karena warisan sistem yang sudah teradopsi.
Dari pengalaman saya sebagai nara sumber pengembangan kurikulum SMK Grafika, Animasi dan Multimedia oleh Dikmenjur beberapa tahun lalu, ternyata membuahkan hasil luar biasa di mana siswa setingkat SMK telah mampu mengikuti World Skill Competition–lomba kompetensi tingkat dunia.
Untuk memulai adopsi baru, lebih mudah untuk menargetkan kepada generasi yang masih dalam proses belajar. Target utama adalah SMK yang dimulai dari pelatihan atas guru-guru SMK, dan para guru ini yang akan menyebarkan ke para siswa. Dukungan Diknas sangat diperlukan untuk menjadikan open source bagian dari pembelajaran SMK.
Dalam waktu 3 - 5 tahun, ketika jumlah mereka yang kompeten di bidang open source ini makin banyak, tentu perusahaan-perusahaan tidak lagi enggan untuk menggunakannya karena cukup banyaknya adopsi. Insentif tentunya bisa juga diberikan melalui award kepada institusi yang mengadopsi open source secara luas, baik dari kalangan media, edukasi, pemerintah maupun industri.
Berdasarkan data Sun Microsystems, sejak tahun 2008 telah terjaring komunitas OSS dari Java dengan lebih dari 15.000 pengguna dan hampir 10.000 pengadopsi pemula penggunaan OSS dari 150 perguruan tinggi serta 70 sekolah menengah. Tampaknya, aktifitas AOSI yang menyebarkan ribuan komputer dengan aplikasi FOSS ke sekolah-sekolah mulai terlihat hasilnya.
Free open source software menjadi solusi di tengah upaya menekan pembajakan software proprietary dengan memasyarakatkan software legal di sisi lain memungkinkan nilai tambah kompetitif di tengah proses membangun kemandirian bangsa.
No comments:
Post a Comment