Dulu saya berpendapat bahwa kualitas animasi dan film Indonesia demikian buruk sehingga saya berpikir kok ada yang tega bikin seperti itu ya.
10 tahun yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa sekian persen materi program di TV harus lokal, para akademisi dan praktisi sibuk membuat seminar apa yang harus dilakukan, gimana solusinya, dll. Tetapi si Punjabi tidak pernah mengikuti seminar-seminar ini dan dia sibuk mulai produksi sinetron kacangan yang kemudian merajai seluruh TV Indonesia.
Ketika saya pergi ke Singapore dan ngobrol dengan satpam di NTU (ITBnya Spore), dia tau banyak tentang Indonesia, tentang presiden, tentang kehebohan, bencana, dll. Saya heran akan hal ini dan dia bilang bahwa dia bisa menerima TV Indonesia di rumahnya. Dia punya relationship dan kecintaan sendiri terhadap Indonesia karena program2 TV yang ia tonton.
Ketika kita melihat generasi muda saat ini, mereka ternyata dijajah oleh Amerika karena Hollywood, McDonalds & Starbucks. Mereka juga dijajah oleh Jepang dengan manga yg dicetak 1,5 jt kopi setiap bulan & anime yang ada 100 episode setiap minggu di TV. Mereka dijajah Korea dengan Ragnarok yang mereka mainkan setiap hari sepulang sekolah. Bentuk penjajahan yang lebih powerful adalah penjajahan media, bukan penjajahan fisik. Kita hidup sebagai penduduk dunia yang sangat dipengaruhi oleh budaya global.
Ketika saya berpikir untuk going global dan mencari apa yang bisa kita ekspor, saya melihat bahwa setiap negara yang mampu menangani ekspor selalu punya industri dalam negeri yang mampu sustain kebutuhan dalam negerinya. Hongkong sudah punya industri film dalam negeri sebelum mengekspor John Woo dan Jacky Chan. India juga punya industri film paling banyak penontonnya, bahkan memiliki digital cinema terbanyak di dunia, setiap nonton bisa 1000 orang. Mereka mampu memproduksi hingga 300 film setahun, lebih dari Hollywood yang sekitar 100 film.
Agar Indonesia mampu menjadi pemain dunia, bukan hanya produk dan craft yang bisa dijadikan andalan. Jangka panjang, ekspor media merupakan bagian dari pembentukan pop culture yang memastikan kita menjadi bagian dari global supply chain yang memiliki produk dan budaya yang unik dan mampu mewarnai dunia.
Ketika berkaca terhadap hal ini, apa yang kita miliki hari ini? Ternyata kita memiliki dangdut, kita memiliki sinetron, kita punya pengguna mobile phone salah satu terbesar di dunia, kita punya musik Padi dan Peter Pan.
Oleh karena itu ketika KDI sukses, saya bertanya kepada TPI, bagaimana dengan ekspor. Mereka jawab: Sudah! Ekspor ke Malaysia. Padahal, apakah kita pernah berbangga terhadap Dangdut ini? Bagaimana dengan Denpasar Moon?
Ketika budaya lokal mulai tergilas oleh media modern, program seperti Lenong Rumpi mampu menyeruak dan memberikan warna segar di televisi. Demikian pula halnya dengan Transvaganza. It's so Indonesia. And everybody love them.
Apakah saya bangga terhadap sinetron Indonesia? Tidak. Tapi apakah industri ini self sustain? Iya. Apakah bisa diekspor? Bisa banget! Kita sudah ekspor TKI, tentu kita bisa ekspor budaya Indonesia melalui TKI ini. Sinetron ini bisa laku diputar di Arab, Hongkong, dan negara manapun yang menyerap TKI paling banyak dari Indonesia. Ini adalah strategi grass root untuk mewarnai budaya dunia.
Tanpa segudang film sinetron kelas kampung seperti Jin dan Jun, bagaimana para pendatang baru di sinetron bisa latihan dan dibayar murah. Tanpa duit dari industri sinetron kelas bawah ini, tidak mungkin artis tersebut mendaki dan menjadi Bella Saphira yang bisa main di Mega Sinetron. Kenapa ada Mega Sinetron yang bertabur bintang? Karena seluruh jajaran tangga industri sudah lengkap. Ada pasar dari bawah hingga ke atas. Kita perlu ini. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Punjabi yang menghujani kita dengan sinetron kelas rendah ini karena dari dia pula ada Mega Sinetron, dan ada bintang, dan ada ekspor, dan ada budaya Indonesia yang mampu berbicara menjadi bagian dari budaya dunia.
Apakah kita sebagai generasi muda perlu meniru jalan ini? Saya yakin industrinya sudah terbentuk, oleh karena itu, kita yang lebih muda tinggal menikmati hasilnya, penonton sudah ada. Biarlah kita berkarya yang terbaik untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan sekedar sinetron kampung, tapi juga penghasil film bermutu. Kita tidak perlu mencela yang sudah ada. Kita malah harus berterima kasih. Tinggal kita yang harus membuktikan.
Mungkin bisa dengan menginternasionalkan Padi dan Peter Pan. Mungkin dengan membuat cerita Pandawa dan Kurawa dalam bentuk anime. Mungkin dengan membuat Dangdut Club yang sophisticated kayak Starbucks.
Sejuta kesempatan, biarlah waktu yang membuktikan!
That's my opinion,
Andi S. Boediman
Sama dengan film kampungan bermodal bintang2 sexy kelas kepepet yang dipasok oleh Soraya di thn 90-an. Bertolak dari situlah insan muda mulai membuktikan eksitensinya dengan berbagai judul yang bisa ditonton seperti Pasir Berbisik, AADC, Jelangkung, dll... yang walaupun akhirnya tetap diikuti juga oleh film-film yang susah untuk ditonton keluaran "Sang Juragan" Sinetron. :)
ReplyDeleteGood prespective anyway...
Hmm... jd kepikiran.. tapi Dangdut Club vs Starbucks... ??? Hmmm kayaknya bukan gw banget deh ya... :)
ReplyDelete