Dunia animasi belakangan makin marak saja. Tengoklah toko-toko buku yang makin rajin mendisplai komik-komik animasi, ataupun tayangan televisi yang menghadirkan film-film jenis ini–kebanyakan hasil karya animasi luar negeri. Namun, harus diakui, dunia animasi di Tanah Air belum berkembang menjadi sebuah industri, berbeda dari kondisi di Jepang, Korea atau Malaysia. Padahal, banyak orang meyakini, dari segi kualitas, karya para animator lokal tak kalah bagus dibandingkan karya animator asing.
Keyakinan seperti itu setidaknya dipegang oleh Peni Cameron, yang kemudian rela berjibaku mengembangkan pasar animasi lokal. “Sejak kecil saya menyukai film animasi,” kata penggemar film animasi Mulan ini.
Kecintaan wanita kelahiran Surabaya, 13 September 1966, ini pada dunia animasi direalisasi dengan mendirikan PT Adianimas Cipta pada 1996. Maklum, saat itu pasar animasi mulai menggeliat, ditandai oleh bermunculannya perusahaan-perusahaan pembuat animasi. Salah satunya, Asiana Wang, yang sempat mempekerjakan lebih dari 300 animator. Sayangnya, eksistensi perusahaan animasi yang dirintisnya itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan badai krismon, pada penghujung 1998 Adianimas pun mesti gulung tikar.
Toh, semangat lulusan Arsitektur Institut Teknologi Indonesia ini tidak surut. Bersama 12 koleganya yang memiliki minat sama terhadap dunia animasi, Peni membentuk Asosiasi Industri Animasi & Konten Indonesia pada 2004. Peni duduk sebagai sekretaris jenderal. Agenda kerja dan kegiatan pun dirumuskan. Namun, dalam perjalanannya, tidak semudah yang dibayangkan. “Kami baru sadar, organisasi ini tidak bisa bergerak karena tidak punya dana. Industrinya kan belum tumbuh,” Peni menjelaskan.
Pada Juni 2006 Peni membentuk PT Citra Andra Media (CAM), dengan positioning sebagai inkubator industri konten. Fungsinya adalah mengemas, memasarkan, serta menjual produk animasi dan konten. CAM juga akan mengadakan pendidikan dan pelatihan buat para animator. “Idealisme kami, CAM bisa berperan serta dalam pengembangan dan penggerakan roda industri dan pendidikan animasi di Indonesia,” ujar Peni bersemangat. �”animator, rumah-rumah produksi, dan lembaga pendidikan animasi untuk memasarkan hasil karya animasi dan kontennya dengan kemasan yang memiliki daya saing kuat,” imbuh Hanitianto Joedo, Direktur Pengelola CAM.
Rencananya, CAM akan menggelar festival animasi terbesar di Indonesia. Namun, karena terkendala dana, Peni memutar haluan dengan menggelar road show di 12 kota, yakni di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Makassar dan Jayapura. Tujuannya, memperkenalkan dunia animasi dan peluang pengembangannya.
Dari kegiatan tersebut, ibu tiga anak yang gemar nonton dan traveling ini mengaku bisa bekerja sama dengan berbagai lembaga dan korporasi. Antara lain, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, sejumlah sekolah menengah kejuruan, kalangan perusahaan (Telkom, Nokia, Bank Mandiri, dan sebagainya), serta sejumlah stasiun TV lokal. Dengan SMK 5 Yogyakarta, SMK 14 Bandung dan SMK Malang, misalnya, CAM bekerja sama menyelenggarakan mata ajaran animasi dan konten.
Tak cukup di situ, Peni juga menggelar berbagai event. Di antaranya, CAM Award, Indonesia Creative Idol, serta aktivitas pemasaran ke kalangan korporat dan media. Tak ketinggalan, CAM pun mengikuti berbagai pameran animasi di luar negeri.
Rupanya, upaya Sekretaris Komisi Badan Pertimbangan Film Nasional ini berbuah hasil. Dengan didukung 15 karyawan, kini CAM telah menjadi inkubator bagi para animator dan studio animasi. Saat ini ada lima lembaga animasi yang bersedia mengikat kerja sama dengan CAM, antara lain Kojo Animal Bandung, SMK 5 dan KDEPP Malang. Bahkan, dengan KDEPP telah dibuat kontrak hingga 195 episode, dengan pembagian keuntungan 60 (untuk CAM) : 40. Menurut Peni, masih banyak studio animasi yang bisa diajak bergabung. Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 100-150 studio animasi.
Untuk pemasarannya, CAM telah menggandeng 25 stasiun TV lokal–di Tanah Air, total ada 70 stasiun TV lokal. Beberapa judul film animasi yang dipasarkan CAM — misalnya Kuci, Lihat Animasiku dan Catatan Dian — sedang diputar di beberapa TV lokal. “Target kami, dalam satu hari ada satu film animasi yang disiarkan TV lokal,” Peni menandaskan. Untuk mencapai target tersebut, imbuh Joedo, dalam setahun CAM perlu menyediakan 32 serial, dengan durasi 24 menit (satu serial = 13 episode).
Sepak terjang Peni juga mendapat apresiasi dari pihak lain. Pada Oktober 2007, Departemen Komunikasi dan Informatika RI menganugerahkan penghargaan pada CAM dalam ajang Indonesia ICT Award 2007. Bahkan, CAM dipercaya mewakili Indonesia pada ajang serupa di tingkat Asia Pasifik. Menurut Joedo, CAM bisa berhasil memenangi penghargaan tersebut karena model bisnis yang ditawarkannya, yang disebut Animart. Dalam model bisnis ini, CAM berperan selaku mediator antara animator, studio animasi dan TV lokal. “Mereka yang membuat, kami yang mencarikan pasarnya,” ujar Peni, seraya mengaku akan bahagia bila industri animasi bisa berkembang pesat di Tanah Air.
(SWA, No. 08/XXIV/17-29 April 2008)
No comments:
Post a Comment