Tuesday, August 07, 2007
Dinner with Karim Rashid
Wednesday, August 01, 2007
Salon Foto Indonesia 2007
Juri: Leo K.Hartana, ARPS :; Agus Leonardus, A.FPSI****: Tonny Djohan, ARPS, AFPSI**: Andi S.Boediman; Santoso Alimin,AFPSI**, EFPSI
Power of Jakarta - Mukri Sulaiman, A.FPSI (Tangerang)
MEDALI EMAS Special Award :KC Limarga
Saya selalu menikmati saat-saat berkumpul dengan para fotografer di Salon Foto. Ini kali kedua saya diminta menjadi juri. Kali ini dalam kategori Kreatif Inovatif (Sofcopy Digital).
Saya melihat peningkatan yang cukup signifikan dari beberapa tahun sebelumnya. Inovasi melalui efek digital tidak lagi sebatas filter, tetapi telah mampu memberikan makna atas visualisasi.
Proses penjurian selalu melalui beberapa tahap. Di tahap awal, kita berlima duduk melihat monitor dan memilih foto yang layak pamer atau tidak. Setelah melalui tahap ini, kita mulai memberikan nilai atas foto-foto yang masuk nominasi. Dari sekian foto terpilih, maka para juri memberikan rank atas foto dan kita saling berdiskusi dan bertukar pendapat mengapa memilih foto-foto tersebut. Terakhir, nilai tertinggi adalah berdasarkan angka yang diberikan oleh para juri. Bravo untuk pemenang Salon Foto 2007.
Stop Smoke- AdihtyaZen (Bandung)
MEDALI PERAK
Thursday, June 28, 2007
Diskusi Creative Industry in ICT
Source: CHIP Online
Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Teknologi nasional XII yang jatuh pada 10 Agustus 2007 nanti, Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia diskusi “Creative industry in ICT” di Indonesia. Diskusi yang diadakan pada tanggal 27 Juni 2007 lalu di Gedung BPPT2, Jakarta ini dipandu oleh Richard Mengko, staf ahli Menristek bidang teknologi pertahanan dan keamanan, serta menghadirkan pembicara Andi S. Boediman dari Digital Studio.
Diskusi juga menghadirkan tiga anak muda Indonesia yang telah telah memiliki nama di bidang creative industry. Ketiganya adalah Wahyu Aditya, pendiri sekolah Hello Motion yang bergerak pada dunia animasi 2D dan 3D; Bullit Sesariza, dari Matahari Studio; dan Yoris Sebastian, General Manager Hard Rock Café Indonesia. Ketiga orang tersebut menjelaskan berbagai keuntungan yang bisa didapat dalam creative industry. Oleh karena itu, mereka juga mengharapkan dukungan pemerintah dalam memajukan creative industry.
Industri Kreatif Terganjal Kendala
JAKARTA : Pernahkah anda men-dowload gambar lucu dari operator telepon genggam? Atau mengganti wallpaper telepon genggam atau komputer agar sesuai dengan tren saat ini? Sayangnya, buah karya kalangan yang bergerak di bidang industri kreatif tersebut belum mampu menyentuh pangsa pasar Indonesia yang sangat besar.
“Indonesia menempati urutan keempat di dunia dalam jumlah penduduk. Namun, pangsa pasar yang luas ini tidak tersentuh industri kreatif di dalam negeri, karena terganjal berbagai kendala,” ujar Andi S, Boediman, konsultan sekaligus wakil dari kalangan industri kreatif di sela-sela acara Ritech Expo Promotion ‘Industry Creative in Act’ di Jakarta, Rabu (27/6).
Kendala yang dihadapi, lanjut Andi, diantaranya masalah jaringan distribusi produk (industri film), serta sistem pembayaran (industri telekomunikasi). “Adanya monopoli, atau sistem pembayaran yang tidak sesuai dengan tarif sebenarnya, menghambat perusahaan produksi termasuk industri kreatif di dalamnya,” ujarnya.
Disisi lain, tidak adanya dukungan kuat dari pemerintah terhadap perkembangan industri kreatif. Hal ini, lanjut dia, dikarenakan pemerintah tidak menilai industri kreatif sebagai suatu potensi bisnis yang mampu mendatangkan pemasukan negara dalam jumlah besar. Berbeda dengan negara lain, pemerintahnya memberikan dukungan bagi perkembangan industri kreatif. “Contohnya Jepang, 60% media dikuasai komik dan animasi. Sedangkan, animasi di India diprediksikan 2030 menguasai dunia. Sedangkan di Indonesia hingga kini bahkan belum ada data mengenai industri kreatif,” ujarnya.
Perusahaan kreatif di dalam negeri, saat ini masuk dalam bagian dari perusahaan besar yang bergerak dalam bidang, penerbitan, pengepakan, dan promosi. ‘’Namun, bidang telekomunikasi khususnya mobile tengah dilirik kalangan perusahaan kreatif karena memiliki potensi besar untuk berkembang. Infrastrukturnya sudah lengkap. Tinggal membenahi sistem pembayarannya. Juga makanan dan kerajinan Indonesia,’’ ujarnya. (Lea)
Thursday, May 24, 2007
Web 2.0 Landscape
The proliferation of web 2.0 is similar to the technology growth of Internet when it was rolls out. The previous model is based on multimedia, now web 2.0 concentrate on service.
To understand more about web 2.0, get an easy understanding from Common Craft. This video is about social networking.
Saturday, May 12, 2007
1001 Inspiration @ Desain Grafis Indonesia
Source: Desain Grafis Indonesia
17-25 April 2007
“1001 Inspiration Design Festival”, sebuah acara berskala besar pertama di bidang komunikasi visual Indonesia (desain grafis, multimedia, animasi) yang diselenggarakan oleh majalah desain grafis Concept dan Digital Studio College. Acara yang digelar pada tanggal 17-25 April ini secara umum dipecah dalam dua bagian yaitu “Inspiration Light Up” (seminar kreatif menghadirkan pembicara luar dan dalam negeri, yang berlangsung 17-19 April di Crown Plaza Jakarta) dan Exhibition (memamerkan karya peserta kompetisi desain “1001 Cover Concept”, karya lulusan Digital Studio College, karya para desainer Inggris, serta acara hiburan lainnya), yang berlangsung 20-25 April di Senayan City Jakarta).
Sebagai bagian dari “1001 Inspiration Design Festival” majalah desain grafis Concept mengadakan kompetisi desain “1001 Cover Concept” yang bermaksud memecahkan rekor dunia ‘majalah dengan variasi cover terbanyak dalam satu edisi’. Kompetisi dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah ini (hadiah utama sebuah mobil Chevrolet-Kalos) diadakan dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada para desainer muda Indonesia untuk ikut merasakan menjadi pemecah rekor bersama-sama.
Total karya yang masuk berjumlah lebih dari 1300 karya, yang setelah didata dan dipilah, ditentukan 1001 pemecah rekornya. Pada tahap berikutnya tim intern Concept menyeleksi 208 karya yang dinilai unggul. Ke 208 karya tersebut disaring lagi hingga menjadi 101 semifinalis untuk kemudian dinilai oleh 5 juri yang terdiri dari Hanny Kardinata (Desainer Grafis Senior), Hermawan Tanzil (Creative Director LeBoYe yang mewakili Adgi-Indonesia Design Professionals Association), Mendiola B Wiryawan (Creative Director Mendiola Design yang mewakili FDGI-Forum Desain Grafis Indonesia), Vera Tarjono (Art Director Majalah Concept) dan Stefanus Aristo Kristandyo (Marketing Manager General Motor yang mewakili GM sebagai sponsor utama).
Penjurian yang berlangsung di Ruang Pamer Seni Rupa-Institut Kesenian Jakarta itu memilih 11 finalis, yang kemudian dipersempit hingga menjadi tiga pemenang, masing-masing sebagai juara pertama Daud Budi Surya Nugraha, juara kedua Marishka Cempaka Dewi dan juara ketiga Agra Satria.
Thursday, May 10, 2007
1001 Inspiration @ blogs
Source: Customxait


Source: Agung Pramudya's Blog
Saturday, April 21, 2007
Pameran Desain
Source: Kompas
Industri Kreatif Punya Potensi Besar
Jakarta, Kompas - Industri kreatif berpotensi besar untuk dikembangkan. Terlebih lagi saat ini terdapat kecenderungan gaya hidup yang memberi peluang betapa kemasan serta merek memberi nilai tambah tinggi.
Berbagai karya desain dipamerkan dalam acara "1001 Inspiration Design Festival" di Senayan City, 20-25 April 2007. Acara itu merupakan kerja sama British Council, majalah Concept, dan Digital Studio-School of Communication.
Industri kreatif dimaksud melingkupi bidang yang cukup luas, mulai dari muatan siaran televisi, film, animasi, desain produk, fashion, hingga situs internet. Seperti dikatakan Yudhi Soerjoatmodjo dari British Council, Jumat (20/4), sekitar 50 persen konsumsi di seluruh dunia berasal dari industri kreatif. Di Inggris, industri kreatif menjadi sektor kedua terbesar setelah perbankan dan menyerap banyak tenaga kerja. Industri kreatif berpotensi untuk dikembangkan dan trennya akan semakin menguat.
"Berbeda dengan industri berbasis minyak bumi atau sumber daya alam lain yang rentan habis jika dieksploitasi, industri kreatif justru tidak akan habis dan semakin berkembang," katanya.
Djoko Hartanto dari majalah Concept menambahkan, kreativitas menambah nilai dan mempertinggi harga karena di dalam desain ada unsur ide, emosi, dan inovasi. Industri kreatif juga tidak selalu identik dengan padat modal. "Tidak selalu dibutuhkan modal besar untuk memulainya karena yang terpenting kreativitas dan kompetensi sumber daya manusianya," kata Djoko.
Director Digital Studio College Andi S Boediman mengatakan, sebetulnya potensi industri kreatif di Indonesia sangat besar. Terlebih lagi terdapat berbagai daerah dengan berbagai budaya yang memperkaya dan melatarbelakangi kekhasan desainnya.
Hanya saja, permasalahannya masih kurang jaringan atau networking. Dia mengatakan, setiap tahunnya terdapat sekitar 2.500 lulusan dari sekitar 50 jurusan desain komunikasi visual di berbagai lembaga pendidikan, sementara peserta baru mencapai 30.000 orang setiap tahun. (INE)
Friday, April 20, 2007
1001 Inspiration @ Senayan City
Exhibition:
20-25 April 2007, Senayan City
1. Pameran dan Lomba 1001 cover Concept.
Alami sendiri bagaimana rasanya jadi pemecah rekor dunia. 1001 cover majalah yang berbeda dalam satu edisi? Mengapa tidak? Concept bikin gebrakan lagi dan kali ini menembus rekor dunia! Lihat karya-karya terbaik desainer muda Indonesia dan temukan siapa-siapa saja yang berhasil masuk ke dalam Hall of Fame pemecah rekor dunia ini dan bukan gak mungkin kamu adalah salah satunya. Jangan cuman hadir ... Ikut dan alami sendiri rasanya pengalaman sekali seumur hidup jadi pemecah rekor dunia ...
2. Digital Studio Fair
Kalo kamu kepingin tahu lebih banyak soal komputer grafis, seluk-beluknya, serta tips dan trik jitu maka kamu gak boleh melewatkan Digital Studio Fair. Simak karya-karya terbaik 50 orang jebolan Digital Studio College dari berbagai jurusan; Desain Grafi s, Advertising, Animasi, Multimedia dan Film.
3. Love and Money
Saksikan 160 karya terbaik 20 desainer top Inggris secara langsung! Sebut saja Zaha Hadid, Tom Dixon, Jamie Hewlett, Rockstar Games, dan masih banyak lagi! ‘Love & Money’ sendiri adalah pameran yang diselenggarakan oleh British Council dan telah berkelana di seluruh dunia; Jepang, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Thailand, Australia, dan New Zealand. dan kini hadir di Indonesia. Temukan indahnya karya-karya multi disipilin desain hasil kolaborasi antara seni dan komersial.
Thursday, April 19, 2007
Kongres Adgi 2007: Program Lokomotif Industri

Kongres Adgi 2007 yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2007 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, mencatat bahwa Adgi sebagai organisasi desain grafis untuk para profesional akan dibawa untuk mewakili profesi desain grafis sebagai profesi yang terhormat.
Sebelumnya Adgi dipimpin oleh Presidium yang teradiri atas Danton Sihombing (Inkara Design), Hermawan Tanzil (Leboye), Lans Brahmantyo (Afterhours), Hartjarjo B. Wibowo dan Andi S. Boediman (Digital Studio). Selama setahun bertugas, aktivitas Adgi bertujuan untuk memberikan awareness tentang organisasi dan bertujuan membangun industri desain grafis.

Ketua baru terpilih adalah Danton Sihombing memiliki program Lokomotif yang akan menjadi rencana kerja Adgi ke depan. Terdapat 3 program yang menjadi rencana kerja Adgi. Program upstream membuat analisa dan perencanaan kebijakan terhadap industri. Program midstream adalah program komersial untuk menghasilkan dana operasional melalui kerjasama dengan pihak ketiga. Program downstream adalah membangun chapter-chapter asosiasi desain di berbagai kota.
Sukses untuk mas Danton dan seluruh tim Adgi!

Tuesday, April 17, 2007
Inspiration Light Up @ Crowne Plaza
Inspiration Light Up
17-19 April 2007
Akhirnya pencerahan yang kamu nanti-nantikan itu hadir! Inspiration Light Up: Secrets from the Creative Maven dijamin akan membuat listrik dalam otak kanan kamu meloncat-loncat bahkan meletusletus layaknya petasan cina atau senapan mesin.
Inspiration Light Up berlangsung selama 3 hari di Crowne Plaza, Jakarta dan mengundang pembicarapembicara kondang dari luar dan dalam negeri. Sebut saja Birger Linke (Creative Director JWT Vietnam), Phil Mitchell (Infinite Frameworks), Patrick Cheah (DPC Design), Arief Budiman (Petak Umpet), Chirstian Tirtha & Lucas Ho (Progres Animation), Calvin Kizana (Elasitas), Djoko Hartanto (Concept), Andi S. Boediman (Digital Studio)
Di hari yang ke-3, Adobe juga akan berlaga di Seminar ini. Yang seru adalah seminar Adobe ini gratis! Ya, gratis untuk 100 orang pendaftar pertama. Jadi tunggu apa lagi? Segera daftarkan diri untuk pemesanan tiket dan bersiaplah untuk menerima pencerahan kreatif itu.
Saturday, April 07, 2007
Love & Money @ 1001 Inspiration
After its’ success at the Pelita Harapan University Design Week, the Love and Money exhibition is coming to Jakarta’s newest and most stunning mall, Senayan City.
Taking part in the 1001 Inspirations Design Festival, this once-in-a-lifetime exhibition feature over 160 designs items –from animations to architecture, from furniture to real scooter, and from computer games to jewellery.
It took over three containers to bring it to Indonesia.
Organised in partnership with the Digital Studio College and Concept Magazine, the exhibition showcases 20 of the most globally well-known and commercially successful UK designers. This includes Jamie Hewlett (creator of the Gorillaz), Rockstar Games (Grand Theft Auto), architect Zaha Hadid, designer Tom Dixon (Habitat), and fashion’s dynamic duo Eley Kishimoto.
The exhibition brought to Indonesia the most tangible proof of UK’s expertise and experience in developing a world-class creative economy and highlights the culmination of BC Indonesia’s 2006-2007 creative industry programmes.
Today, the creative industry is the second largest sector in the UK after banking, contributing £ 121.6 billion per year to the country’s economy.
The exhibition’s exciting five day programme includes talk show with Eley Kishimoto, the Digital Studio exhibition, and a Debenham’s fashion run. The 1001 Cover Concept competition, meanwhile, is to be awarded a prize by the Indonesian Record Museum as the only magazine featuring the most cover designs within one edition.
The festival and UK exhibition is garnering strong government and industry support with sponsorship by the Department of Trade, Indonesian Design Power, Chevrolet, Metro TV, Adobe, Senayan City, Hewlett-Packard, and various professional and media partners.
Designers exhibiting in Love & Money:
- 4Creative
- Adams Kara Taylor
- Ben Wilson Design
- Eley Kishimoto
- Established & Sons
- Foreign Office Architects
- Graphic Thought Facilities
- Industrial Facility
- Jamie Hewlett/Gorillaz
- Studio Myerscough
- Neutral
- Nexus Productions
- Penguin Books
- Rockstar Games
- Shaun Leane
- The Guardian
- Heatherwick Studio
- Tom Dixon Limited
- TopShop
- Zaha Hadid Architects
- UK Trade & Investment
- Design UK
Saturday, January 27, 2007
Seminar & Demo Rekayasa Foto Digital di Be Mall - Bandung
________________________
Source: Brave New Girl | Catatan Harian Kupu-kupu
Sabtu 27 Januari 2007 kemarin, aku dan temanku mengikuti Seminar Rekayasa Foto Digital dan Manfaatnya Bagi Kita di Be Mall - Bandung. Dengan pembicara : Andi S.Boediman (Digital Studio), KRMT Roy Suryo (Pakar Multimedia) dan Taufik Dasaad (Photografer Profesional & Principal ME Photography Courses).
Aku mengikuti seminar ini karena ada bahasan tentang Adobe Photoshop dan ingin melihat Roy Suryo secara langsung yang biasa dilihat di TV. Seru, karena suasana seminar dibuat senyaman mungkin. Dengan jumlah peserta yang hampir 500 orang. Dari jam 9.30 am - 5.00 pm, badan terasa sakit karena tempat duduknya tidak nyaman :D. Sedangkan aku pergi dari rumah jam 6.30 am, mengantar Aldi ke sekolah, lalu menjemput temanku dan langsung pergi ke Be Mall. Pulang ke rumah hampir jam 9 pm. Phew...capek he he he...
Lumayan aku sedikit lebih bisa menggunakan Adobe Photoshop sekarang. Karena tadinya aku hanya bisa menggunakan Adobe Imageready (kebalik ya huahaha). Lucunya pembicara Andi S.Boediman ternyata pengarang buku yang sempat bukunya aku pegang beberapa minggu lalu waktu pergi ke Gramedia. Sekarang aku tahu harus membeli buku yang mana :-].
Ketika giliran Bapak Roy Suryo yang menjadi pembicara, tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga sampai pada jam akhir seminar. Kurang durasinya, ingin nambah lagi, karena seru az mendengarkan beliau berbicara (diselingi dengan pengalaman2nya). Lucunya sehabis acara, para peserta berlomba minta tanda tangan & berfoto dengan beliau. Sewaktu diskusi dengan Uda via sms "Memang pantas beliau jadi pakar multimedia sejati". Bagaimana tidak, di akhir acara, beliau menampilkan gambar rumahnya dengan 7 buah parabola di atas atapnya. Salut, Pak :-). Kapan-kapan seminar di Bandung lagi ya, Pak, he he he...
Tuesday, November 14, 2006
Design That Works Seminar + ADGI Chapter Surabaya Launching
Source: Surabaya Design Forum
Surabaya 14 September 2006 'nov' mendapat kesempatan hadir di Seminar yang digabung dengan launching ADGI chapter Surabaya. Acara dihelat di Mandarin Oriental Hotel / Hotel Majapahit dengan menghadirkan nara sumber dan parade poster finalis ADGI dengan mengambil tema Light Up The Spirit !.
Seminar terbagi membagi beberapa sesi, dengan 3 orang speaker :
- Lans Brahmantyo ( After Hours Group ) Creativity that communicates
- Sakti Makki ( Makki-makki Branding Consult) Building powerful brand expression through strategic branding program
- Hermawan Tanzil ( LeBoYe ) Inside Graphic House-Inspiration+Mind+Soul
Overall acara berlangsung sangat hidup dan menarik, dari kapasitas maksimal ruang Balai Adhika full dengan semua peserta. Pertama kali setiap peserta harus registrasi ulang+mendapatkan kit dari para sponsor, lalu memasuki lorong parade poster dilanjutkan dengan pemotretan langsung untuk sertifikat.
Mr. Lans Brahmantyo sebagai speaker yang mendapat kesempatan pertama membawakan materi "Creativity that communicates" dengan membawakan beberapa portfolio diantara dari Istana Kepresidenan RI yaitu Rumah Bangsa Project. Dalam materi inti yang disampaikan adalah bagaimana sebuah karya creative tetap memiliki sebuah message atau mampu berkomunikasi.
Inventive | Getting the message across | |
Imaginative | ||
Experimental | ||
Artistic | ||
Expressive | ||
Innovative | ||
Inspiring | ||
Visionary | ||
Enterprising | ||
Resourcefull | ||
Selanjutnya disambung dengan coffe break, hhmmm... karena jumlah peserta cukup banyak untuk sesi yang satu ini dan makan siang nanti para peserta harus berjubelan, mengantri untuk mendapat camilan, kopi atau teh. Walalu begitu nampaknya semua tetap kebagian bahkan ada yang terlena sampai lupa bahwa waktu sudah memasuki saat Mr. Sakti Makki sudah akan memulai presentasinya.
Dari pengamatan 'nov' ' Building powerful brand expression through strategic branding program' mendapat perhatian serius dari peserta. Mr. Sakti Makki benar-benar sakti, dengan membawakan case study project rebranding Bank BTPN yang saat ini sedang ditangani oleh MakkiMakki Branding Consult. Proses-proses rebranding yang disampaikan sangat detail dan sayangnya materi tidak dapat dishare karena memang masih bersifat confidential coz project masih belum usai. Inti dari presentasi ini, dalam sebuah proses branding terdapat 3 aspek penting yang harus dilakukan dengan baik, yaitu Perilaku, Ekspresi dan Komunikasi dannnn untuk proses Ekspressi dan Komunikasi brand hampir dipastikan selalu terkait dengan aspek Desain.
Pengalaman Coffe Break pada jam sebelumnya nampak beberapa peserta cukup bisa belajar, begitu mengintip lunch sudah siap mereka curi start duluan agar tak perlu berdesak-desakan antri lunch.
Sebagai speaker terakhir Mr. Hermawan Tanzil ( LeBoYe) membawakan 'Inside Graphic House-Inspiration+Mind+Soul' sebuah presentasi yang menarik dengan membawakan beberapa portfolio yang telah mendapatkan penghargaan international. Inti dari yang ingin disampaikan adalah, Sebuah desain yang bisa membuat hidup lebih indah, kaya dan berarti, 'Design Is My Life - Hand, Brain, Heart'.
Dalam setiap sesi speaker selalu diberikan kesempatan tanya jawab yang benar2 dimanfaatkan peserta dengan baik. Sebagai akhir dari rangkaian acara adalah pembagian doorprize dari para sponsor + launcing ADGI Chapter Surabaya.
Awalmula ADGI Sby ini adalah komunitas desainer surabaya dengan initial IDEAS yang telah lama vakum demikian juga dengan ADGI Chapter Jkt yang pernah beberapa belas tahun vakum juga, namun alhamdulillah setelah direvitalisasi bangkit lagi dengan kegiatan-kegiatan yang sejatinya memang diperlukan para designer.
Dalam sela-sela seminar 'nov' mendapat kesempatan ngobrol gayeng dengan salah satu presidium dan team revitalisasi ADGI Andi S. Boediman.
Nov : Pak opo sih resep membentuk komunitas dan menjaga agar tetap hidup
ASB : Cuma 1 ..!! Komitmen..!!! untuk membentuk, menumbuhkan dan menciptakan komitmen itu juga butuh waktu. Kalau satu hal itu dapat dilakukan yang lain bisa jalan sendiri.
Nah itu mungkin PR besar buat SDF, ADGI atau komunitas apapun agar tetap bisa solid dan hidup.
Sipapapun dan apapun bentuknya semoga dapat saling mengisi, memberi, menciptakan kondisi yang baik bagi para designer. Light Up The Spirit !!
Sunday, October 22, 2006
Hobinomik
Dari Bandung hingga New York, pojok Yogyakarta hingga Perth, mereka melanglang dengan merdeka sembari memetik rezeki dari hobi. Jalan mereka adalah indie—independen—emoh terikat pada industri pasar. Jagat mereka selebar bola dunia, dipertalikan oleh seutas benang merah: kreativitas diri. Sambutlah mereka, Generasi Indie, yang kian melintas dunia.Datanglah ke Bandung, kapan-kapan. Sempatkan tengok bekas gudang tentara di Jalan Gudang Selatan—10 menit bermobil dari downtown Cipaganti yang sohor. Di kompleks kusam yang dipadati bangunan keropos itu, beberapa anak muda menghabiskan hidupnya selama lima tahun terakhir. Salah satu pojok gudang—silakan cek—mereka sulap menjadi ”nirwana kreativitas” bagi 347, ini distro, distribution outlet, terkemuka di Bandung yang telah menggapai Perth, Australia, New Zealand, Singapura.
Mereka menyewa sebidang lantai cukup luas di bekas gudang tentara itu. Tapi jantung Distro 347 berdebar di satu ruangan 35 meter persegi berdinding putih. Isinya, tiga desainer, satu laptop, satu set drum musik merah menyala—biasa digebuk di sela-sela kebosanan. Satu dispenser. Tiga meja, tiga kursi. Itu saja. Ah, ada beberapa majalah grafis. ”Ini tempat main gue, tempat otak terus bernyala,” ujar Dendy Darman, 33 tahun, pendiri Distro 347. Di dekatnya, duduk Yuriza Kenobi. Anli Rizandi ada di ruangan lain, sedang memencet-mencet telepon.
Dari ruangan itu, dari gudang itu, mereka bertamasya visual mengendus tren-tren di New York, London, Tokyo, sembari mengendalikan jaringan 347. ”Apa yang keluar di New York hari ini, bisa kami buat di hari yang sama di Bandung,” ujar Dendy dengan santai. Ribuan karya grafis rancangannya, kaus sampai sampul album band indie, kemasan kaus sampai kantong kresek, lahir di gudang tentara itu. Industri kaus terbirit-birit meniru rancangan mereka, yang berhasil menghidupkan komunitas pencinta produk indie. Setidaknya, di kawasan Bandung dan sekitarnya.
Kini berumur 10 tahun, omzet 347 menurut Dendy sekitar Rp 700 juta-Rp 1 miliar per bulan. Bercanda? Serius! Mereka mempekerjakan sekitar 50 karyawan. Ruang pamer sekaligus tokonya ada di Jalan Trunojoyo dan Jalan Citarum, Bandung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk subsidi kegiatan komunitas indie di berbagai kota: pameran foto dan desain, pentas musik, produksi majalah.
Bandung cuma satu jendela untuk mengintip derak komunitas indie yang kian menjalar di berbagai kota. Distro mereka ada di mana-mana. Sekitar 900 di Bandung, 500-an di Jakarta, dan 60 lebih di Yogyakarta. Lalu, Makassar, Medan, Surabaya.
Pelakunya rata-rata belia atau mengawalinya dari usia muda. Ada Chepoy, Andi Bogel, 24 tahun. Jelita, 19 tahun, Olip Reynaldis, 23 tahun. Memilih jalan indie, independen, mereka emoh didikte arus utama industri pasar dalam urusan produk dan kreativitas. Ekspresif, berani tampil beda, percaya seisi dunia bisa dirangkul, adalah beberapa cirinya. Mereka mewakili fenomena anak muda paling asyik saat ini: hobinomik. Dari hobi, duit dipanen. Dari hobi, rezeki dipanggil.
Hobinomik bukan istilah kosong.
Hasil penelitian terbaru ”Youthology”, yang digelar Ogilvy Public Relations di Jakarta, 2006, merekam denyut kehidupan anak muda kita. Selama ini boleh dikata belum ada riset komprehensif untuk menggambarkan ”anatomi” anak muda Indonesia—kini sekitar 44 juta jiwa atau 20 persen populasi. ”Kita cuma samar-samar mengerti mereka,” kata Wan Lie, anggota tim Ogilvy.
Riset digelar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Makassar, Medan, dan Yogyakarta. Total responden ada 385 pasang anak muda berusia 15-24 tahun. Mereka diwawancarai secara mendalam berkali-kali. Sebagian responden diikuti irama hidupnya secara intensif.
Hasilnya? Sebagian besar responden, 61 persen, menjalani hidup dengan gaya DIY—do it yourself dan do what you love. Pendek kata, gue banget. Kumaha aing, kata orang Bandung. Intinya, gue bisa bikin baju, sepatu, musik, aksesori, film, majalah. Apa saja yang disuka. ”Semangat independen, antikemapanan, menjadi tema utama anak muda,” kata Wan Lie.
Dan, hobinomik adalah muaranya.
Mayoritas responden, 92 persen, menjadi pelaku atau mengenal kawan kerabat yang memetik rupiah lewat hobi. Ada perancang busana, fotografi, pemandu sorak, perancang situs web, pemandu musik (disc jockey), sampai menjadi ilustrator film animasi dan melakukan modifikasi motor.
Penelusuran Tempo di lapangan mengukuhkan hasil riset Ogilvy. Hobinomik kencang bergerak, terutama pada komunitas bawah tanah (underground). Distro, yang menjamur beberapa tahun belakangan, salah satu patokannya. Toko khas anak muda ini tersebar sampai ke gang sempit, unjuk gigi di latar-latar urban.
Perkenalkan, Jelita Dian Andini dari Jakarta. Usia 19 tahun. Hobinya menggambar. Hobi ini ia tuang ke dalam rancangan busana elektrik mencolok dengan sentuhan segar ala Harajuku, gaya bebas ala anak muda Jepang. Dia dibutuhkan di prom night (malam perpisahan sekolah), pensi (pentas seni), acara bintang iklan klip video band, sampai kompetisi pencarian penyanyi pop. Dia menata busana para remaja sebelum naik panggung. Jelita dibayar, tentu saja—sekitar Rp 500 ribu per bulan dari urusan poles-memoles baju.
Dia juga bisa memaksa orang merogoh dompet lebih dalam. Baju-baju rancangannya dilepas di atas setengah juta rupiah per potong. Tahun lalu, ”Saya meluncurkan busana dengan label Nii Production,” kata si nona dengan bangga.
Dia dan ribuan anak muda lain yang mencemplungkan diri ke wilayah hobinomik menunjukkan satu hal: hukum besi ekonomi berlaku pada segala zaman. Pasar hobinomik terbuka luas karena ada permintaan. Satu hal, mereka tidak sudi didikte. Andy Bogel, 24 tahun, pemilik Distro Insomnia di Kemang, Jakarta Selatan, bilang: ”Setiap desain kaus atau baju maksimal kami buat dua lusin. Laku nggak laku, pokoknya segitu,” ujarnya kepada Tempo.
Filosofi do it yourself membuat anak-anak muda itu tak mudah terpikat oleh merek. ”Yang penting bukan merek, tapi gaya elo sendiri,” kata Aztri Wulandari, 19 tahun, mahasiswa Universitas Atmajaya, Yog-yakarta. Mengenakan baju bermerek, selain mahal, juga berisiko dikembari orang lain. Apatah lagi baju versi Mangga Dua. ”Itu baju sejuta umat. Nggak banget, deh,” kata Aztri. Walhasil, distro yang menjajakan segala macam kebutuhan anak muda—busana, musik, film, aksesori, majalah—menjadi alternatif segar.
Hobinomik pun mendapat tempat.
Ideologi gue banget juga membuat Jakarta bukan lagi kiblat tren anak muda. Sebagian besar responden riset Ogilvy, 62 persen, menyatakan sayonara kepada Jakarta sebagai pusat tren. Berkat televisi dan Internet, tren terbaru, baik yang arus utama (mainstream) maupun bawah tanah (underground) di London, New York, Milan, Tokyo, bisa diendus setiap saat.
Sayonara buat Jakarta membikin ciri khas lokal berkibar. Koleksi distro di Yogya, misalnya, desainnya lebih berani, warnanya lebih mencolok di-banding barang-barang keluaran Jakarta dan Bandung. ”Kami nggak mungkin merancang fashion ala distro di Bandung, yang sebagian besar orangnya berkulit kuning,” kata Aditya Dhenni, pemilik Distro Mail Box, Yogyakarta.
Di dunia indie, mereka merayakan keragaman.
Gustaff Iskandar, pengelola Bandung Center for Media Arts, berpendapat senada. ”Anak muda sekarang lebih menghargai perbedaan,” katanya. Mereka tumbuh dan mengalami dampak krisis ekonomi dan politik, 1998. Karya-karya beragam adalah jurus mereka untuk bertahan, survival. Meminjam istilah Gustaff, ”Mereka tidak terikat pada pakem konvensional.”
Alhasil, karya mereka tersedia bagi siapa saja. Yang gendut, buntet, langsing, hitam, kuning langsat, semua diberi tempat. Semacam ”antitesis” bagi industri fashion konvensional yang mengutamakan model ”kutilang darat”: kurus, tinggi, langsing, berdada rata.
Gustaff juga memandang anak muda sekarang punya ruang lebih untuk multi-identitas. Pagi jadi anak kuliahan, siang main di klub basket, malam ikut pengajian di musala. ’Dugem’ di klub malam pun bukan soal tabu. Kotak-kotak identitas menjadi lentur. ”Setiap orang menjadi individu yang unik dan berwarna,” Gustaff menambahkan.
Pada galibnya, mereka juga motor perubahan. Danny Satrio, redaktur majalah Hai, membenarkan bahwa anak muda abad ke-21 jauh lebih ekspresif dan percaya diri. ”Mereka nggak malu tampil, biarpun keahlian masih cethek,” kata Danny.
Para yunior ini, sebagian dari mereka adalah tulang punggung Generasi Indie, umumnya diperanakkan oleh ge-nerasi pascaperang. Orang tua mereka adalah saksi rezim pemerintahan Soeharto, yang menyeragamkan banyak segi kehidupan: sedikit berpikir melenceng dicap subversif. Taraf pendidikan dan ekonomi bertumbuh. Dan para senior tak sudi anak-cucu mereka tumbuh dalam kekangan. Walhasil, ”Mereka lebih demokratis, lebih santai, lebih longgar mengawasi anak-anak,” kata Darmanto Jatman, budayawan dan psikolog di Semarang, Jawa Tengah.
Aspek demografi dan budaya pop bisa digunakan untuk memotret perubahan karakter anak muda seperti yang dicontohkan Darmanto di atas. Diennaryati Tjokrosuprihartono, psikolog khusus remaja, di Jakarta, juga meyakini bahwa kepercayaan masyarakat membuat anak muda sekarang lebih kaya inisiatif dan percaya diri.
Diennar juga setuju bahwa anak muda era milenium lebih dinamis dan punya banyak pilihan menjalani hidup. Tapi, ”Tidak sedikit remaja yang terjerat narkoba, tawuran, seks bebas, dan bunuh diri,” katanya. Pendulum perubahan tidak melulu mengarah pada sisi cerah.
Remy Silado, pengelola Aktuil, majalah yang amat populer pada tahun 70-an, adalah salah satu saksi perubahan anak muda. Menurut Remy, sebelum tahun 60-an anak muda cenderung membebek tren luar negeri. Kiblat Amerika begitu kental hingga di zaman itu ada Gang Tangkiwood—meniru-niru Hollywood—di Jakarta Barat, tempat para seniman nongkrong. Grup-grup band ketika itu riuh menirukan gaya Beatles. A Riyanto manggung dengan berteriak ”ji, ro, lu, pat…auw..!”—terilhami pekikan John Lennon, ”one, two, three, four….auw…!”
Soal fashion juga tiru-tiru. Model baju diambil dari majalah yang dibeli kawan yang baru pulang dari luar negeri. Pernah pamor bintang film James Dean meroket dengan celana jins macho. Apa daya, di Bandung-Jakarta model begini belum beredar. Apa akal? ”Kami datang ke penjahit khusus, cari kain paling mirip, bikin celana jins,” kata Remy. Penyair Sutardji Chalzoum Bachri, kata Remy mengenang, waktu itu bangga sekali memakai jins van Bandung.
Lalu datang era 70-an dan 80-an. Iklim antikemapanan ala punk kencang bertiup. Grup band yang menomorsatukan disharmoni, seperti Velvet Underground dan The Sex Pistols, menjadi idola. Anak-anak muda mulai bergaya ngepunk dengan rambut jabrik—semangat yang masih terasa sampai kini. Beberapa pekan lalu sekelompok anak muda bergaya punk ditangkap polisi di Denpasar: mereka menyanyikan syair lagu yang menghina korps polisi.
Iklim tiru-meniru masih kental hingga dekade 1990 sampai sekarang. Tapi, hei, apa sih di dunia ini yang seratus persen orisinal? Menurut Dendy Darman, tren desain grafis terkini malah cut and paste. Ambil sedikit dari sini, gabungkan dengan itu. Beri bumbu kreativitas. Jebret…, jadilah gaya baru yang lebih segar.
Kiblat anak muda 90-an juga lebih luas. Grup F-4 dari Taiwan, manga (komik) Jepang, gaya hip-hop New York, band indie di London, kelompok punk di Jerman. Juga Yamasaki—klub olahraga ekstrem di kawasan urban Prancis. ”Maka, terjadilah demokratisasi gaya,” kata Danny Satrio. Vibrasi perubahan makin kuat oleh revolusi media. Teknologi penyiaran. Perangkat digital. Komputer dan Internet.
Bermodal beberapa puluh ribu perak, film pendek bisa dibikin—tentu dengan kamera pinjaman. Ini berbeda dengan tahun 70-an, kata Remy Silado, ketika anak muda bermimpi menjadi bintang film.
Pada 1995, stasiun televisi musik, MTV, melanda Indonesia. Jargon ”gue banget” yang diusung MTV pas betul dengan semangat muda. MTV rajin menayangkan klip video band indie yang tidak bernaung di bawah industri rekaman raksasa.
Dan… mampu membikin anak muda tergila-gila. Sheila on 7, Slank, Endank Sukamti, Superman Is Dead, semuanya sukses di panggung indie. ”Mereka menjadi ilham bagi anak-anak muda,” kata Danny Satrio.
Harus diakui, tidak gampang bersetia pada jalur indie. Ketika bendera sudah berkibar, orang mudah tergoda bergabung dengan selera pasar. Band indie berganti panggung mainstream, distro beralih ke factory outlet. Kekuatan pasar yang melibas komunitas indie bukan ceritera baru di jalur industri modern. Walau ada saja, seperti beberapa anak muda di gudang tentara itu, yang mencoba bertahan sedapat-dapatnya. Ini sepotong obrolan Tempo dengan Dendy di ruang pamernya di Jalan Citarum, dua pekan lalu:
+ Pernah mempertimbangkan alternatif produk massal untuk item-item baju terlaris?
- Tidak. Maksimal per desain 60 potong. Saya kan jualan attitude, bukan jualan baju.
+ Attitude siga kumaha, Kang. Yang bagaimana?
- Jadi diri sendiri! Nggak asyik kalau cuma membebek.
Saturday, October 07, 2006
International Young Design Entrepreneur 2006

Event yang diadakan oleh British Council ini menarik, intinya adalah mengundang para entrepreneur kreatif muda untuk unjuk kontribusi terhadap society. Dalam kategori desain termasuk di antaranya adalah desain, arsitektur/interior, produk, advertising.
Short listed finalis adalah:
Ridwan Kamil (1971, architect) is Principal of Urbane, an architecture and urban design studio in Bandung serving international design clients in Bahrain, Hong Kong, San Francisco, and Singapore. His current project is the super-block Rasuna Epicentrum in Jakarta. Ridwan is the Indonesian winner of IYCEY Design Award 2006. He is currently developing his Good Design is Good Business project in partnership with the British Council.
Andi Surja Boediman (1970, graphic designer) pursued film and multimedia production at the New York Film Academy and the Academy of Art College, San Francisco, USA. Starting his career in 1995/96 as a 3-D animator and Art Director, he went on to establish the successful Digital Studio Workshop in Jakarta in 2000. He is currently member of the presidium of the Indonesian Professional Graphic Design Association (ADGI).
Arief Budiman (1975, graphic designer) is currently Managing Director of Petakumpet in Yogyakarta. A graduate of Visual Communication Design from the Indonesian Arts Institute, he started the advertising agency with college friends and two computers. The company has since developed from a small graphic design boutique into a full-fledged professional creative company with a staff of 28.
Deny Willy (1975, product designer) is Director of the Apikayu corporation, which brings together innovation from design schools with the skill and local-material knowledge of traditional artisans. In 2004 the Apikayu became a legal business entity through the support of the Young Entrepreneur Start-Up programme (YES). The firm provides training and marketing service for SMEs, developing natural materials once-considered waste into saleable contemporary furniture and handicraft products.
Djoko Hartanto (1972, graphic designer) is principal and publisher of the graphic design magazine Concept since 2003. He obtained a Master’s Degree from the University of Technology and an Advanced Diploma in Graphic Design from the Billy Blue School of Graphic Arts in Sydney, Australia. He has worked in a number of companies in Australia and Indonesia as Business Partner and Art Director.
Kusprianto Oky (1977, architect) graduated from the Technical Faculty of the Parahiyangan Catholic University. He is co-founder and Principal Architect at APTA and Studio Habitat in Bandung. His studio collaborates with Habitat for Humanity in providing well-designed house for the underprivileged. Kusprianto’s love of books and art drove him to establish the Rumah Buku --a cafĂ©, library and discussion space that also screens independent films.
Leonard Theosabrata (1977, product designer) is creator of the Accupunto line of chairs, which won Germany’s Red Dot Design Award (2003), Italy’s Well tech Award (2006) and was exhibited at the Museum of Science and Technology during the Milan Fair 2006. A graduate of the Arts Centre College of Design Pasadena, USA, he is the force behind the DForm forum of young product designers and architects.
Wahyu Aditya (1980, interactive design) is Founder, President Director, Teacher, Principal, Animator, and Creative Designer of Hello; Motion Corporation. Graduating from Sydney’s KvB Institute of Technology interactive multimedia and animation school, he went on to work as freelance comic illustrator and TV animator. His brainchild, the 8-monthly Hello; Fest educates schools and universities students about the art of motion picture.
Wisman Tjiardi (1974, interactive design) is Director of PT. Netpolitan that produces e-learning, multimedia, and portal development. A graduating of the University of Applied Science in Aachen, Germany, he honed his skills as web designer and creative head at leading German multimedia companies. One of his company’s innovative designs is the Character Library for Rapid e-Leaning Courseware Development.
Pemenang di tahun 2006 adalah mas Ridwan Kamil.Saya sangat terinspirasi oleh semua orang yang menjadi finalis ini. Kita berkumpul, berkompetisi, tetapi saling belajar dan saling menginspirasi. Hasilnya adalah kita saling menjalin network dan berkolaborasi untuk mengerjakan proyek bersama-sama.
Tuesday, September 26, 2006
Budiman Boediman
Tulisan ini saya temukan melalui search di Internet. Menarik, karena menyangkut nama saya :)
_______________
Source: K.A.R.A
Bisa dibilang bahwa tokoh utama semester ini adalah Marketing! Bagaimana tidak? Dari 3 mata kuliah teori, ketiga-tiganya nggak jauh-jauh dari ngomongin Marketing. Di Tinjauan Desain Grafis (TDG), saya mendapatkan ilmu Through The Line (TTL), Below The Line (BTL), Above The Line (ATL),sampai Ambience Media. Di Perilaku Konsumen, tidak beda jauh. Sedikit banyak ada benang merahnya dengan TDG. Apalagi mata kuliah Manajemen Pemasaran. Amat sangat ada sangkut pautnya dengan marketing kan?
Semalam saya mendapat telepon dari Mbak di rumah. Ketika ditanya sedang apa, saya jawab saja belajar Marketing! Bisa ditebak, secara kompak saya dan Mbak Tita tertawa cekikikan. Duuhhh..gaya banget ya? Huhuhu..emang mudeng gitu?
Adalah Cakram, sebuah majalah periklanan,promosi dan kehumasan, yang menjadi buku belajar saya. Sebenarnya majalah ini sudah dibeli beberapa abad silam (apa iya?). Dan selama beberapa abad itu pula hanya menjadi penduduk pasif rak buku. Hanya tersentuh saat pertama kali membeli (mungkin). Satu hal yang paling saya suka dari majalah ini, dunia iklan. Pemenang adfest, lion cannes ad festival , saya dapat dari sini.
Dari Cakram juga saya mengetahui beberapa tokoh/praktisi/ahli/(pecinta?) dari dunia kreatif periklanan, promosi, humas dan sejenisnya. Masih dari Cakram, saya menjumpai 3 dari mereka yang masing-masing dari nama mereka mengandung unsur Budiman. Mereka yang saya maksud adalah Budiman Hakim, Arief Budiman dan Andi S. Boediman.
Kalau Bapak Budiman Hakim sedikit banyak saya sudah tahu. Beliau adalah salah satu pendiri MACS 909 Advertising Agency dan juga penulis buku periklanan berjudul "LANTURAN TAPI RELEVAN". Saya memberikan nilai empat plus untuk buku ini.
Lalu pertanyaan yang dibenak saya berikutnya ialah, Siapakah Arief Budiman dan Andi S. Boediman itu? Mari kita mencari jawabannya [melalui Cakram tentu saja].
Ternyata mereka berdua adalah finalis British Council International Entrepeneur of The Year Award 2006 . Arief Budiman ,seseorang dari Petak Umpet dan Arief S. Boediman ,seseorang dari Digital Studio.
Mereka bertiga adalah orang-orang dari dunia Kreatif!!
Tapi, kenapa semuanya berbau Budiman? Sayang sekali, nama saya tidak mengandung unsur Budiman.
Ini memang tidak ada hubungannya. Dunia kreatif dengan kesamaan unsur nama. Saya hanya ingin berbagi. Ternyata banyak sekali Budiman. Bisa tidak, mungkin tidak suatu saat nanti, akan ada unsur Sholihat di dunia 'itu' ? Semoga tidak hanya mimpi.
Oh iya, saya teringat sesuatu. Akhir-akhir ini iklan-iklan di TV kan berbau Puasa neh. Ada satu iklan minuman teh yang mengusung slogan, berbukalah dengan yang baik. Slogan, saya setuju. Tapi jujur, ada yang mengganggu saya. Kalau memang berbukalah dengan yang baik, berarti kita harus melakukan kegiataan berbuka secara baik juga kan? Di iklan itu, si model menggunakan tangan KIRI ketika meneguk minuman. Bukankah tangan KANAN lebih baik? [Hehehe..itu hanya pendapat saja.]
Selamat berpuasa!
Jangan lupa, berbukalah dengan yang dan secara baik. Heheheh..
Semangat ya, semua!!
Thursday, August 31, 2006
Sinetron Kampungan–Berdosa atau Berjasa!?
10 tahun yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa sekian persen materi program di TV harus lokal, para akademisi dan praktisi sibuk membuat seminar apa yang harus dilakukan, gimana solusinya, dll. Tetapi si Punjabi tidak pernah mengikuti seminar-seminar ini dan dia sibuk mulai produksi sinetron kacangan yang kemudian merajai seluruh TV Indonesia.
Ketika saya pergi ke Singapore dan ngobrol dengan satpam di NTU (ITBnya Spore), dia tau banyak tentang Indonesia, tentang presiden, tentang kehebohan, bencana, dll. Saya heran akan hal ini dan dia bilang bahwa dia bisa menerima TV Indonesia di rumahnya. Dia punya relationship dan kecintaan sendiri terhadap Indonesia karena program2 TV yang ia tonton.
Ketika kita melihat generasi muda saat ini, mereka ternyata dijajah oleh Amerika karena Hollywood, McDonalds & Starbucks. Mereka juga dijajah oleh Jepang dengan manga yg dicetak 1,5 jt kopi setiap bulan & anime yang ada 100 episode setiap minggu di TV. Mereka dijajah Korea dengan Ragnarok yang mereka mainkan setiap hari sepulang sekolah. Bentuk penjajahan yang lebih powerful adalah penjajahan media, bukan penjajahan fisik. Kita hidup sebagai penduduk dunia yang sangat dipengaruhi oleh budaya global.
Ketika saya berpikir untuk going global dan mencari apa yang bisa kita ekspor, saya melihat bahwa setiap negara yang mampu menangani ekspor selalu punya industri dalam negeri yang mampu sustain kebutuhan dalam negerinya. Hongkong sudah punya industri film dalam negeri sebelum mengekspor John Woo dan Jacky Chan. India juga punya industri film paling banyak penontonnya, bahkan memiliki digital cinema terbanyak di dunia, setiap nonton bisa 1000 orang. Mereka mampu memproduksi hingga 300 film setahun, lebih dari Hollywood yang sekitar 100 film.
Agar Indonesia mampu menjadi pemain dunia, bukan hanya produk dan craft yang bisa dijadikan andalan. Jangka panjang, ekspor media merupakan bagian dari pembentukan pop culture yang memastikan kita menjadi bagian dari global supply chain yang memiliki produk dan budaya yang unik dan mampu mewarnai dunia.
Ketika berkaca terhadap hal ini, apa yang kita miliki hari ini? Ternyata kita memiliki dangdut, kita memiliki sinetron, kita punya pengguna mobile phone salah satu terbesar di dunia, kita punya musik Padi dan Peter Pan.
Oleh karena itu ketika KDI sukses, saya bertanya kepada TPI, bagaimana dengan ekspor. Mereka jawab: Sudah! Ekspor ke Malaysia. Padahal, apakah kita pernah berbangga terhadap Dangdut ini? Bagaimana dengan Denpasar Moon?
Ketika budaya lokal mulai tergilas oleh media modern, program seperti Lenong Rumpi mampu menyeruak dan memberikan warna segar di televisi. Demikian pula halnya dengan Transvaganza. It's so Indonesia. And everybody love them.
Apakah saya bangga terhadap sinetron Indonesia? Tidak. Tapi apakah industri ini self sustain? Iya. Apakah bisa diekspor? Bisa banget! Kita sudah ekspor TKI, tentu kita bisa ekspor budaya Indonesia melalui TKI ini. Sinetron ini bisa laku diputar di Arab, Hongkong, dan negara manapun yang menyerap TKI paling banyak dari Indonesia. Ini adalah strategi grass root untuk mewarnai budaya dunia.
Tanpa segudang film sinetron kelas kampung seperti Jin dan Jun, bagaimana para pendatang baru di sinetron bisa latihan dan dibayar murah. Tanpa duit dari industri sinetron kelas bawah ini, tidak mungkin artis tersebut mendaki dan menjadi Bella Saphira yang bisa main di Mega Sinetron. Kenapa ada Mega Sinetron yang bertabur bintang? Karena seluruh jajaran tangga industri sudah lengkap. Ada pasar dari bawah hingga ke atas. Kita perlu ini. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Punjabi yang menghujani kita dengan sinetron kelas rendah ini karena dari dia pula ada Mega Sinetron, dan ada bintang, dan ada ekspor, dan ada budaya Indonesia yang mampu berbicara menjadi bagian dari budaya dunia.
Apakah kita sebagai generasi muda perlu meniru jalan ini? Saya yakin industrinya sudah terbentuk, oleh karena itu, kita yang lebih muda tinggal menikmati hasilnya, penonton sudah ada. Biarlah kita berkarya yang terbaik untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan sekedar sinetron kampung, tapi juga penghasil film bermutu. Kita tidak perlu mencela yang sudah ada. Kita malah harus berterima kasih. Tinggal kita yang harus membuktikan.
Mungkin bisa dengan menginternasionalkan Padi dan Peter Pan. Mungkin dengan membuat cerita Pandawa dan Kurawa dalam bentuk anime. Mungkin dengan membuat Dangdut Club yang sophisticated kayak Starbucks.
Sejuta kesempatan, biarlah waktu yang membuktikan!
That's my opinion,
Andi S. Boediman
Wednesday, August 30, 2006
IDE Awards @ Petasan Grafis
Moralitas Pers, Dolanpiade, Batik Illusion, Peranakan Idealis
Source: Imajineo
IDE AWARDS Ide Awards adalah kompetisi kreatif Mahasiswa dengan bingkai nasionalisme. Tujuan lomba ini sangat mulia, menggali kembali nasionalisme yang dikomunikasikan melalui ide-ide kreatif. Lomba ini dibagi tiga tema, yaitu:
- Kemasan Makanan Tradisional Indonesia (eksplorasi kemasan dodol durian, tape ketan)
- Acara/Event (promosi tari-tarian daerah, recital, gamelan);
- Destination Branding (mengolah program komunikasi visual suatu tempat, seperti pantai, museum, wisata, tempat bersejarah) yang menarik di Indonesia.
- Dolanpiade, dari Digital Studio Jakarta (Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifky Zulkarnain, Welly Caslin).
- Peranakan Idealis, dari Institut Kesenian Jakarta (Irvan Muaia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin AL Kaff, Muhammad Rizki Lazuardy).
- Lurjuk, dari Universitas Petra Surabaya, (Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan)
- Batik Illusion, dari Universitas Bina Nusantara, (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya Kartika, Natalia)
- Moralitas Pers, dari Universitas Bina Nusantara, (Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia, Tafrian)
Petasan Grafis Adgi
Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Adgi dengan Galeri Nasional berlangsung dari tanggal 16-30 Agustus 2006 dan dibuka secara resmi oleh Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu. Komponen pokok dari acara ini adalah “Ide Award 2006” sebuah kompetisi desain grafis yang menonjolkan sisi ke-Indonesiaan dari aspek kultur sosial, sejarah visual dan aspek rupa. Peserta terdiri dari 50 perguruan tinggi desain komunikasi visual di seluruh Indonesia.
Friday, August 18, 2006
Perang Harga!? No Way!
Bagian ke-2 dari tulisan Digital Printing
Teknologi sebagai Strategi
Munculnya teknologi baru selalu membawa perubahan pada peta industri. Teknologi desktop publishing mengizinkan banyak pemain baru terjun ke indutri desain dengan mudah. Digital camera melahirkan banyak fotografer muda yang bisa bersaing di kancah fotografi profesional. Lahirnya large format printing memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk terjun ke industri cetak.
Dalam hal ini teknologi membuat ajang permainan menjadi adil dan flat, karena pemain baru dan pemain lama bersama-sama berangkat dari titik awal. Ini seperti halnya handicap di dalam permainan golf. Oleh karena itu, dengan setiap perubahan teknologi, selalu muncul banyak pemain baru yang dapat menggeser posisi pemain lama.
Tetapi kondisi ini tidaklah berlangsung lama. Akan selalu muncul teknologi yang lebih baru dan lebih murah. Ketika teknologi menjadi komoditas, maka banyak faktor lain yang berperan. Sayangnya, kebanyakan pelaku industri selalu berbicara dengan harga sebagai satu-satunya solusi.
Penciptaan Nilai (Value Added)
Bagaimana kita memberikan nilai pada produk paritas seperti misalnya fotocopy dan cuci cetak foto? Mari kita belajar dari industri makanan dan minuman. Starbucks menjual kopi seharga puluhan ribu, padahal di warung mungkin hanya seribu rupiah. Banyak pelanggan menjadikan Starbucks sebagai meeting room dan ruang kerja dengan hanya secangkir kopi.
Melalui strategi lokasi kita meletakkan bisnis digital printing di area office building. Di sini kita tidak lagi berada di dalam bisnis digital printing, tetapi di dalam bisnis office solution. Kita bisa menawarkan beragam template proposal dan presentasi yang tinggal dipilih pelanggan. Harga premium bisa kita tawarkan sebagai solusi mendesain dan mencetak proposal yang menarik.
Banyak apotik dan laundry yang menyediakan jasa antar jemput. Bisa jadi strategi distribusi ini menjadi value added yang kita tawarkan pada digital printing. Jika komoditas yang berharga adalah waktu, mengapa belum ada perusahaan digital printing yang menggaransi ambil dan antar hasil cetak dalam 24 jam? Fedex menjadi salah satu perusahaan pengiriman terbesar di dunia dengan menjadikan overnight sebagai kata kunci. Domino Pizza menggaransi 15 menit pengiriman pizza atau gratis. Mungkin Anda bisa menggaji Spiderman untuk jaminan ini :-).
Jika desain seringkali menjadi jasa yang disediakan oleh digital printing sebagai keterpaksaan, mengapa tidak menjadikannya sebagai nilai tambah? Misalnya menawarkan paket pencetakan yang meliputi jasa desain sekian jam secara gratis dan file tetap disimpan oleh perusahaan digital printing untuk cetak berikutnya. Metode ini sudah digunakan oleh para fotografer wedding bertahun-tahun.
Masih banyak lagi cara-cara untuk memberikan nilai tambah. Kita bisa belajar dari berbagai industri lain.
Murah, Cepat, Bagus!
Semua pelanggan di dunia selalu berharap dari tiga hal ini: murah, cepat dan bagus. Tetapi sayangnya kita hanya bisa memberikan dua dari tiga. Satu-satunya cara untuk mendapatkan ketiganya adalah dengan ‘banyak.’ Dalam hal ini sudah tercapai economic of scale dan rutinitas produksi.
Prinsip Pareto mengatakan 80:20, yakni 80% pemasukan berasal dari 20% pelanggan. Oleh karena itu, privilege ini hanya kita tawarkan kepada pelanggan tetap yang sudah saling percaya dan melakukan pembelian secara rutin.
‘Tambah French Fries?’
Produk apa yang paling laku dan menguntungkan di restaurant? Nasi putih dan es teh. Tetapi apakah ada resto yang mempromosikannya? Hal ini karena keduanya merupakan komoditi dan fitur standar yang harus dimiliki setiap resto.
McDonald’s tidak pernah mempromosikan kentangnya, hanya burgernya. Pertanyaan paling menguntungkan yang mereka lontarkan kepada pelanggan yang membeli burger adalah ‘Tambah French Fries?’ Setelah menjual nilai tambah, kita perlu menawarkan kepada pelanggan berapa banyak produk komoditas yang mereka harapkan.
Foto kopi dan cetak foto merupakan contoh komoditas di industri digital printing. Pertanyaan yang lebih penting adalah nilai tambah apa yang bisa kita tawarkan kepada pelanggan? Waktu? Kualitas layanan? Lokasi? Jaminan keamanan? Solusi bisnis? Setelah itu barulah kita tawarkan produk komoditas sebagai layanan standar.
mySimon.com, sebuah situs yang memberikan komparasi harga produk membuktikan bahwa hanya 20% pelanggan yang memilih untuk membeli harga paling murah. Mayoritas pelanggan memilih membeli dari retailer yang mereka percaya meskipun harga lebih mahal. Dengan demikian, harga bukanlah satu-satunya strategi untuk berkubang di industri digital printing! Be creative! Be resourceful! Be entrepreneur!
*Artikel ini akan dipublikasikan pada Expre – Expo Preview FGD Expo
Terlibat atau Terlibas? Peluang Baru Industri Digital Printing
Kancah industri cetak belakangan ini menjadi marak dengan perkembangan teknologi digital printing. Mulai dari desain, fotografi hingga cetak kini sudah terhubung di dalam rangkaian proses digital.
Pergeseran teknologi selalu menciptakan peluang baru. Lahirnya digital photography memberikan jendela kesempatan bagi fotografer yang inovatif untuk memperkenalkan jasa ini dan mampu bersaing dengan pemain yang lebih senior. Lahirnya digital large format printing membuka peluang bagi pemain baru untuk terjun ke industri promosi yang sebelumnya hanya didominasi oleh billboard, spanduk dan baliho.
Desain dan Advertising
Bagi para desainer, pelaku dunia advertising dan marketing, teknologi digital printing mengizinkan untuk membuat desain dengan jumlah terbatas, seperti pembuatan undangan, menu, brosur untuk launching, dan banyak lagi.
Untuk pembuatan packaging, sertifikat dan label yang membutuhkan data variabel juga bisa dipenuhi oleh teknologi ini. Selain itu aplikasi proofing untuk memprediksi dan persetujuan klien juga dimungkinkan melalui akurasi dan konsistensi warna yang dihasilkan oleh digital printing.
Advertising belakangan ini mengalami masa sulit akibat munculnya media specialist. Banyak advertising agency yang beralih menjadi brand activation agency, di mana komunikasi disalurkan tidak lagi melalui media konvensional, tetapi melalui beragam titik sentuh. Salah satu medium yang bisa dimanfaatkan adalah direct marketing yang personalized, di mana kita bisa menjalankan mass customization untuk pelanggan.
Pracetak
Lahirnya CTP (computer to plate), digital proofing dan solusi Adobe Acrobat® ternyata memberikan dampak besar terhadap perkembangan dunia cetak dan pracetak. Beberapa perusahaan imagesetter telah meninggalkan produksi mesin ini. Nasib industri pracetak menjadi tanda tanya besar.
Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang bisa dipastikan bahwa jasa pracetak akan terlibas. Perusahaan pracetak perlu menemukan dirinya kembali. Salah satunya adalah dengan masuk ke industri digital printing.
Penerbitan
Saat ini jumlah judul buku yang diterbitkan makin bervariasi tetapi seringkali kebutuhan buku ini tidak dalam jumlah banyak. Kutukan 3000 adalah tantangan besar bagi penerbit karena buku harus dicetak dengan jumlah 3000 buah baru tercapai economic of scale. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teknologi digital printing untuk kebutuhan publikasi dalam jumlah terbatas. Beberapa contoh publikasi dalam jumlah terbatas ini adalah buku skripsi, modul pelatihan, riset marketing, proposal dan laporan. Selain itu juga buku untuk kebutuhan industri yang sempit misalnya kesehatan, teknis, dll.
Penerbit saat ini dihadapkan pada banyaknya buku yang tidak terjual hanya dihargai sebagai kertas bekas. Dengan teknologi on demand printing di mana pencetakan hanya dilakukan sebatas kebutuhan, maka teknik ini menjadi solusi saving cost yang sangat baik. Hampir 80% buku yang ada di dunia saat ini belum habis masa hak ciptanya tetapi sudah tidak beredar di pasaran karena jika harus dicetak ulang biaya minimum cetak sudah tidak sepadan. Sangat besar potensi pasar untuk revitalisasi isi buku melalui cetak on demand ini.
Percetakan
Persaingan yang amat tajam di industri percetakan sangat memberatkan bagi para pelaku industri. Beberapa metode yang dilakukan oleh pelaku industri cetak ini di antaranya adalah memilih pasar yang sempit dan banyak pula yang melakukan perang harga. Salah satu peluang yang terbuka lebar adalah melayani pasar yang lebih besar dengan digital printing.
Selain itu digital printing juga bisa dimanfaatkan sebagai teknologi proofing bagi klien sebelum pencetakan jumlah banyak dengan offset dijalankan.
Perubahan teknologi ini membuka kesempatan bagi percetakan untuk melayani pasar yang lebih luas karena dengan mengizinkan limit yang lebih kecil untuk jumlah cetak, tentu akan lebih banyak pelanggan yang tertarik untuk melakukan publikasi dan promosi.
Belum lagi dengan digital printing, down time mesin hampir tidak ada sehingga produktivitas bisa jauh lebih tinggi.
Fotocopy & Imaging
Harga dasar foto kopi dan digital printing sudah berimbang dan kualitas digital printing jauh di atas foto kopi. Dalam waktu tidak terlalu lama besar kemungkinan para pelaku industri foto kopi harus bergeser menggunakan teknologi digital printing. Teknologi foto kopi warna yang berkembang pesat di berbagai negara sudah dengan mudah direplikasi dengan hasil yang lebih baik oleh digital printing.
Dengan kemampuan direct to print, makin banyak perusahaan mempercayakan pencetakan dokumen ke supplier. Perusahaan besar seperti bank, telekomunikasi, consumer goods, dll saat ini sangat menekankan pentingnya training di mana semua modul training ini bisa disimpan secara digital dan dicetak bilamana perlu.
Digital Printing memberikan ruang gerak yang masih sangat luas bagi para pionir, pelaku bisnis dan entrepreneur yang memiliki visi bisnis yang tajam. Melalui digital printing, beberapa industri besar akan berevolusi dan terjadi konvergensi di berbagai bidang industri.
Masih terbuka luas peluang di industri digital printing. Ini adalah kesempatan emas untuk terlibat, bukan terlibas!
Andi S. Boediman
Sebagai entrepreneur, Andi mendirikan Digital Studio (www.digitalstudio.co.id)–sekolah computer graphics pertama di Indonesia dan Admire (www.admire.co.id)–integrated marketing communication dengan klien seperti Timezone dan Walls.
* Artikel dimuat di Expre – Expo Preview FGD Expo
Packaging Design. Silent Salesman No More!
Today market is cluttered with competing brands and media, marketers have to exploit all angles of a brand's experience with the consumer. Given the various media choices and market fragmentation, marketing tools are being reviewed, and more emphasis is being put on packaging.
Packaging has often been called the 'silent salesman'. Packaging can be the source of visual inspiration. Packaging is essential in creating the brand image that comes to mind when discussing a brand. So, it is time the silent salesman was silent no longer.
Packaging Design as Competitive Strategy
Once economic crisis hit throughout Asia, Indonesia is severely hit by this turmoil. The short-term side effect has been a temporary slowdown in domestic demand and economic growth. And a good business sentiment is needed to improve the market climate.
Some of the changes in consumer behavior when economic crisis happened is that everybody will have to lower their standard of living – for example, somebody who used to use liquid soaps will use bar soaps and somebody who used to use bar soap will use ‘sabun colek’.

With previous experience facing economic crisis in various country, Blue Band quickly anticipate this problem. Since the packaging cost is prohibitively expensive compare to the packaged goods, tin packaging will have to be changed to carton packaging.
The packaging should also act as a point of sales since in rural and remote area the product will be self-displayed in small kiosk as the main distribution point. People will buy margarine by weight instead of buying them in a package. A simple design solution is crafted using a longer flap for the top flange and put a graphic that is used as a self-display.
Unluckily, bakery expressed their concern since changing the package will affect margarine flavor as their utmost selling point.
Then the packaging design serves the purpose for keeping the brand competitive and self sustain during the economic crisis. Today Blue Band has retained its leadership as the leading brand in margarine.
Packaging Design as Storytelling
What makes multinational brands want to cater to market that has a very low per capita consumption. It means large untapped potential!

Before the concept story unfold, it started with various possible direction. Packaging plays an important role to define the visual direction for the story. It is then adapted to various application such as point of sales, range card and other promotional items.
Through activities, media, promotion and packaging, Unilever engage 360° marketing strategy to create a personal experience for the consumer. In this case, packaging become one of the end vehicle to fulfill kid’s imagination in enhancing the experience.
Millward Brown was hired to evaluate the strategy and its effectiveness. This study then used as a base for the next year strategy.
Within the past 7 years, Wall’s compound annual growth in Indonesia has replaced Thailand as the brand development center. The packaging design was then adopted as the visual direction and inspiration for other countries, such as Thailand and Singapore.
Packaging Design as International Gateway
A cassava chip is a slim slice of a cassava deep fried or baked until crisp. This chips serve as an appetizer or snack. Commercial varieties are packaged for sale, usually in bags. The simplest chips are simply cooked and salted, but manufacturers can add a wide variety of seasonings. Cassava chip is considered an export commodity.
Kusuka is created as a strategy to optimize factory production cycle. Instead of using common distribution channel, this product is spread through Mum’s network because the factory won’t be able to commit the product continuous supply. This unique distribution methods quickly become ‘word of mouth’ strategy and people start looking for the product.

The final design solution use combination of yellow and green to create a very appetizing look. Client’s favorite element is the use of the product photo from above. With the new design, consumer quickly identify Kusuka as the leading brand in cassava chip.
Even the big brand curiously and continuously watch this new player and before long, they started to copy the product. Some of the key feature that keep Kusuka as the leading brand is the product experience, unique distribution point and fresh look packaging design.
At the moment, Kusuka enjoys a high growth demand in local market and started become an export darling. It has just been introduced to Phillipines and distributed to various other countries through Alibaba.com, the leading global trader website.

Trends towards healthier eating and an increasing interest in more organic products are the key reasons for the growth in fruit juice market. Healthy living is a growing trend and people just can't get enough of these kinds of products. It was then a commodity product and takes times to prepare. And consumers are demanding high quality premium products.
Based on this idea, Mama Roz brand is created. Starting with the name, it signifies the product is prepared by human being in a warm environment, freshly produce and prepared everyday to the consumer door. The identity gives a living brand personality. The use of warm color and stylized photo illustration engage an emotional relationship towards the brand promise.

This key identity then defines the whole campaign, from packaging to advertising. Consistent look and feel communicates the brand promise in a credible and convincing way.
The future lies in an integration of harmonized solution media channels and communication. We are talking about marketing communications, point of sales materials, retail environments and packaging.
To create a complete brand experience, every single product communication activity will become an important tool within a total brand communications arsenal. The packaging could no longer be a silent salesman.
* This article will be published in international packaging magazine.
Andi S. Boediman is an award winning designer living in Jakarta – Indonesia. His design is awarded The Best Creative Graphic Design by IdN (International Design Network) and has been exhibited in Singapore, Hongkong, USA. His works has been published by PIE Books, Japan. He is the founder of Admire – Integrated Marketing Communication (www.admire.co.id), which serves international clients such as Unilever, Timezone and many others.