Minggu, 16 Maret 2008 | 01:24 WIB
Agni Ariatama dan Marselli Sumarno
Hari Film Nasional 30 Maret sudah menjelang. Hal-hal apa yang patut direfleksikan bertalian dengan kondisi perfilman kita dewasa ini?
Cerita-cerita lama tentang perfilman Indonesia antara lain: campur tangan yang berlebihan dari pemerintah (cq Departemen Penerangan) terhadap perfilman nasional; penyensoran film yang sangat ketat; friksi antara peredaran film nasional dan film impor di perbioskopan yang dikuasai oleh Kelompok 21; masalah bea masuk yang tinggi bagi bahan baku ataupun peralatan film.
Sedangkan cerita-cerita baru dari perfilman Indonesia antara lain: munculnya generasi muda perfilman yang bersemangat tinggi dalam berkarya, termasuk yang dibuat dalam format video digital; ada upaya dari pemerintah untuk meringankan atau membebaskan bea masuk bagi bahan baku dan peralatan film; adanya persaingan yang terbuka bagi perfilman Indonesia di perbioskopan di Kelompok 21 dan terlebih adanya jalur perbioskopan Blitz; posisi film di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Departemen Komunikasi dan Informatika.
Menurut hemat kami, dua isu besar dalam perfilman Indonesia sekarang adalah: siapakah yang memiliki kewenangan di bidang film dan perlu tidaknya peran Lembaga Sensor Film (LSF). Sejak dulu kewenangan di bidang film dipegang oleh Dewan Film Nasional, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Namun, BP2N yang sekarang ini sebenarnya tidak berbeda jauh peran dan fungsinya sebagaimana dulu waktu di bawah Departemen Penerangan pada zaman Orde Baru. BP2N hanya menjadi lembaga legislatif dan tidak memiliki sumber dana tersendiri yang memadai untuk membantu industri perfilman.
BP2N menjadi perpanjangan tangan negara untuk menangani bidang film pemerintah bisa berganti-ganti, demikian pula kebijakannya. Karena cakupan makna politisnya, kami merasa lebih tepat menggunakan kata ”negara” daripada ”pemerintah”. Apalagi, film ternyata tidak hanya terkait ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Departemen Komunikasi dan Informatika. Namun, juga ke masalah pengaderan sumber daya manusia (Departemen Pendidikan Nasional), permasalahan perburuhan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), masalah pajak dan permodalan (Departemen Keuangan), serta masalah distribusi dan pemasaran, baik dalam maupun luar negeri (Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan).
Dengan adanya departemen-departemen yang terkait dengan masalah film, BP2N akan memiliki peran dan fungsi yang lebih kuat. Pola keterkaitan lintas departemen seperti itu dipraktikkan pula di negeri-negeri maju di bidang perfilman mereka. Memang sudah ada upaya-upaya untuk mengaitkan departemen-departemen tersebut ke bidang film, tetapi seberapa jauh keterkaitan itu terwujud akan menentukan masa depan BP2N. Lebih jauh BP2N harus sanggup menggali sumber-sumber pendanaan untuk membantu industri film nasional, termasuk ke bidang pendidikan film.
Pemasung kreativitas
Menyusul soal peran LSF. Sampai sekarang masih terjadi pro-kontra yang tajam tentang perlu-tidaknya LSF. Dari sudut pandang pembuat film, sungguh pun sudah ada kelonggaran dalam berekspresi, tetapi keberadaan LSF masih dianggap sebagai pemasung kreativitas. Di lain pihak mereka yang tetap setuju dengan adanya LSF menyatakan, film yang diedarkan ke masyarakat jangan sampai menimbulkan friksi-friksi atau ekses-ekses negatif lainnya. Ada usulan jalan tengahnya adalah memosisikan LSF sebagai lembaga klasifikasi film. Artinya, memberi label ke setiap film, misalnya, label cocok untuk semua umur, patut ditonton oleh anak-anak dengan pendampingan orang tua, film untuk orang dewasa. Masalahnya jika terjadi protes masyarakat kepada film yang sedang diputar di bioskop, bagaimanakah proses hukumnya dan siapakah yang dikenai sanksi?
Sebagai contoh, film The Last Temptation of Jesus Christ (Martin Scorcese) diprotes oleh sebagian masyarakat Perancis. Perkara itu sampai masuk ke pengadilan dan pengadilan Perancis meloloskan film itu dengan alasan kebebasan kreativitas. Contoh-contoh kasus dalam penyensoran film di Indonesia cukup banyak untuk disebutkan di sini, tetapi pada umumnya tidak terselesaikan secara tuntas karena belum ada perangkat hukum yang mampu menyelesaikannya.
Isu siapa yang kompeten memegang kewenangan di bidang film dan peran LSF tersebut mau tidak mau akan mengubah isi Undang-Undang Film tahun 1992. Sudah ada RUU untuk menggantikan UU Film 1992 itu, tetapi sampai sekarang masih dalam pembahasan di DPR. Ada pula usulan-usulan RUU Film yang lain. Jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah bahwa undang-undang tersebut nantinya dapat diterima semua pihak, dengan catatan peran negara diwakili oleh lembaga yang potensial sebagaimana yang akan diatur dalam UU Film yang baru tersebut.
Pendidikan film
Kesimpulannya, keberhasilan industri film membutuhkan dukungan sinergi tiga pihak, yaitu dunia industri film atau dunia lapangan, peran negara, dan pendidikan film. Kita sudah membicarakan peran negara, sementara industri film berjalan tanpa terlampau mengindahkan keberadaan pendidikan film sebagai penghasil tenaga-tenaga terampil di bidang audio-visual. Akibatnya, tidak ada standardisasi profesi ataupun standardisasi teknis.
Selama ini Fakultas Film dan Televisi IKJ (FFTV IKJ) terus berusaha menjalin kerja sama dengan kalangan industri dan para karyawan film agar tercapai standardisasi profesi ataupun standardisasi teknis itu. Standardisasi profesi pernah diseminarkan oleh BP2N pada tahun 2006 dengan tujuan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Namun, masih banyak yang beranggapan kerja film tak bisa distandardisasikan. Padahal di Departemen Tenaga Kerja berdasarkan UU No 13/2003 I.1. 10, kompetensi kerja adalah kemampuan kerja individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Demikian halnya Departemen Komunikasi dan Informatika harus mengeluarkan regulasi standar teknik sebagai penjaga kualitas teknik yang berkembang di Indonesia ataupun di tingkat internasional.
Orang yang ingin belajar film tidak harus pergi ke sekolah film karena hal itu bisa dilakukan secara magang, kursus, diklat, otodidak, dan lain-lain. Pada masa lampau ada tempat pendidikan seperti Lingkaran Studi 1946, Cine Drama Institute 1948, Kementerian Penerangan, Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia), Kino Drama Atelier, serta ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Dan kami ingin menyodorkan potret FFTV IKJ sebagai sebuah sekolah film yang berdiri sejak tahun 1971. FFTV IKJ mengalami dilema harus menerima mahasiswa yang cukup banyak (150 orang per tahun) agar bisa bertahan hidup. Bantuan industri film ke FFTV IKJ masih sangat terbatas dan masih sangat kecil sekali bantuan negara kependidikan film. Padahal sistem pendidikan di FFTV sudah baik dan bahkan kurikulumnya bertaraf internasional, hal itu terlihat melalui perbandingan dengan sekolah-sekolah film yang tergabung dalam persatuan sekolah film dan televisi dunia (CILECT).
Pengelolaan perfilman sebagai industri memang suatu keharusan. Jadi sinergi industri film, negara, dan pendidikan akan menggairahkan industri film itu sendiri yang punya aspek-aspek permodalan, teknologi perfilman, SDM, serta distribusi dan penayangan film. Di aspek permodalan masih banyak pihak yang mau mensponsori pembuatan film, paling tidak dari produsen produk. Namun, jika industri filmnya betul-betul sehat pasti akan lebih banyak investor yang terjun ke bisnis film. Di aspek teknologi perfilman kita belum mampu mengembangkan teknologi perfilman, tetapi paling tidak kita bisa mendatangkan peralatan-peralatan yang mutakhir sekalipun asalkan tidak dibebani pajak bea masuk yang tinggi. Di aspek pendidikan bakat-bakat baru atau sumber daya manusia banyak bermunculan tidak hanya dari FFTV IKJ, tapi muncul dari berbagai kemungkinan lain. Sementara aspek distribusi dan pemasaran, seperti yang telah disinggung, telah ada persaingan yang lebih terbuka di perbioskopan.
Jika sehatnya sebuah industri film didukung oleh sinergi bisnis film, negara, dan sekolah film, sebagaimana yang terjadi di negara maju (contohnya Perancis), di negeri sosialis (contohnya China), dan di negara berkembang (contohnya India), marilah secara jujur mengakui bahwa sinergi tersebut belum terjadi untuk mendukung kemajuan industri film nasional. Sinergi ketiga pihak tersebut akan membuat industri film kita terjaga kualitas teknis, kualitas penggarapan, ataupun subyek garapannya. Pendeknya, mutu film terjaga dan akan mampu menembus pasar nasional ataupun internasional.
Globalisasi memang tak terelakkan dan pada zaman yang semakin mendunia ini kehadiran seni audio visual sebagai hasil kreasi industri kreatif ataupun industri budaya semakin nyata keberadaannya. Di tengah keterpurukan bangsa Indonesia di bidang politik, ekonomi, lingkungan hidup, olahraga, dan sebagainya, bidang kesenian masih punya peluang untuk terus berkembang dan bersaing demi kepentingan pencitraan bangsa. Jadi harus diakui bahwa untuk mengembangkan bidang kesenian, khususnya untuk memajukan industri film, tidak mungkin dilakukan secara sepihak-sepihak, tetapi harus dilakukan melalui suatu perpaduan kerja sama tersebut. Masih banyak persoalan di bidang perfilman dan hal itu memerlukan semangat solidaritas untuk menanganinya.
Agni Ariatama dan Marselli Sumarno Pengajar di FFTV IKJ
No comments:
Post a Comment