posted at Marketing Club mailing list
Sumardy
Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!
Andi S. Boediman
Yg saya lihat dari buku ini bukan sekedar PR dalam konteks sempit, tetapi merupakan kegiatan marketing dalam konteks lebih luas ketimbang penggunaan TV, print AD & radio. Mungkin source yg baik adalah buku Scientific Advertising yg ditulis Claude Hopkins. Kelihatannya ini buku Ad pertama yg ditulis di th 30-an. Di sini banyak sekali diungkapkan bagaimana advertising pada zaman itu punya tanggung jawab besar sekali. Ambil contoh: untuk memperkenalkan komponen kue (cotosuet -> kira-kira sebangsa margarin), ia membuat acara display roti terbesar di dunia yang diliput di media dan toko tersebut menjadi ngetop. Bargaining yg ia minta kepada toko adalah untuk membuat roti tersebut, toko akan mengorder cotosuet dalam jumlah cukup besar. Si pemilik toko tentu saja sangat puas dengan hasilnya. Hopkin menyebutkan bahwa advertising adalah SALES, tetapi ditujukan kepada banyak orang. Untuk menghasilkan sales, ia membuat event, membuat publikasi di media, dll. Advertising is about all of that, bukan sekedar dalam konteks sempit yg kita lihat hari ini. Yg disebut PR oleh Ries adalah mengcreate konsepnya, bukan sekedar sebagai penyelenggara event yg sudah dipikirkan klien atau menjadi sekedar pendesain iklan seperti advertising yg banyak
kita lihat saat ini.
Contoh lokal yang menurut saya sangat sukses adalah membangun brand Clear, di mana dikombinasikan advertising dan kegiatan pendukung seperti Clear Top Ten, acara di mal, dll. Ini adalah jenis kombinasi PR & advertising yg sangat bagus.
Sumardy
kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))
Andi S. Boediman
Advertising bermanfaat mengingatkan akan persepsi yang kira-kira sudah terbentuk di sebagian masyarakat, sebagai satu 'enhancer' yang dampaknya bisa lebih luas. Kredibilitasnya sendiri akan dikonfirmasi oleh orang-orang yang sudah mendapat benefit dari produknya. Saya saat ini menganut bahwa advertising adalah lebih ke 'selling'. Setiap pasang iklan, saya ukur bagaimana impactnya dan saya ukur dari respon langsung. Jika respon kurang, maka iklan tidak efektif. Tetapi saat menggunakan metoda PR (event, seminar, berbagai kegiatan), saya malah tidak mengharapkan direct impact. Impact saya ukur dalam kurun waktu at least sebulan ke atas. Di sini bisa terlihat adanya peningkatan grafik sales. Jadi dalam hal ini saya malah mengkorelasikan antara advertising & sales. That's my method and it's work. Saya tidak mengatakan bahwa cara yg saya lakukan tersebut bisa dimanfaatkan oleh semua orang, tapi at least dalam cukup banyak kasus ini berhasil.
Salah satu pendukung bahwa advertising should generate sales adalah Sergio Zyman - bekas CFO Coke yg disebut si Aya Cola (lihat The End of Marketing as We Know It). Ia merevolusi metoda pembayaran ke advertising di Madison Avenue untuk menggunakan model commission based. Perusahaan advertising mendapat komisi dari peningkatan sales, tapi jika ad tidak berhasil, maka mereka nggak dibayar :), tapi jika sales meningkat, they win....big time! Ia menarik iklan Coke yg meskipun recallnya tinggi tapi nggak generate sales.
Sumardy
Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!
Andi S. Boediman
Ries malah setuju hal ini. Ia membandingkan Advertising dengan Insurance. Advertising adalah insurance bagi company untuk memperbesar/mempertahankan market share, mind share dan sales yang sudah ada, bukan bikin dari yg nggak ada. Dalam hal ini, ia tidak membandingkan advertising harus menjual, tapi tanpa advertising, penjualan akan menurun.
Sumardy
Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. Siklus hidup pasar
4. Siklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology
Andi S. Boediman
Setuju banget. Saya lihat setiap kondisi yg unik menyumbangkan variabel di dalam marketing. Seperti halnya diskusi yg sudah terlontar di sini beberapa hari ini, senjata kita kan ada PR, ada permission, ada emotional/experiential, dll. Kita sebagai marketer tentu memilah sendiri senjata mana yg cocok saat kita berada di kondisi apa, market apa, siapa sasarannya.
Saya tertarik pada konsep kognitif, afektif dan behaviour yg pak Sumardy sampaikan. Tadinya saya nggak kepikir hal ini, tetapi begitu terlontar, saya kepikir istilah yang banyak dipake temen-temen advertising, yakni AIDDA (attention, interest, desire, decision, action). Kelihatannya ini hanya sampai kepada kognitif dan afektif, tidak sampai behaviour. Keberhasilan advertising merubah perilaku ini contohnya adalah: Keramas setiap hari, keramas/pake sabun sekali nggak cukup dan mesti 2 kali biar lebih bersih, minum air 3 liter sehari. Sebaliknya salah satu campaign yg paling banyak dapet award di Amrik adalah 'Got Milk' yg dikampanyekan oleh asosiasi penghasil susu akibat menurunnya tingkat konsumsi susu. Tetapi kreativitas ini tidak nampak pada sales susu yg tetap menurun, alias gagal.
Ini bisa juga ditautkan pada technology adoption life cycle yg disampaikan oleh Geoffrey Moore di Crossing the Chasm. Pernah di satu waktu PAKU adalah teknologi tinggi :). Di masa awal adopsi teknologi/produk, kita membutuhkan komunikasi yang kognitif dan lebih ke arah functional benefit, pada saat teknologi/produk sudah mature, komunikasi kita maju ke tahap image dan bisa ke arah behaviour, tetapi saat teknologi sudah sampai tahap down market, maka tak pelak kita hanya memanfaatkan after market yg terjadi (contoh: mesin ketik, software Wordstar yg saat ini masih aja ada yg pake & tetap dijual baik produk maupun trainingnya:). Asumsi yg sama saya ambil dengan diskusi mengenai low involvement & high involvement produk. Bukan masalah high/low untuk mengkomunikasi functional, image, dll, tetapi kepada cycle produk. What do you think?
Sumardy
jadi Intinya adalah jangan mencoba untuk melakukan generalisasi dan diskusi kita ini dapat menjadi sebuah pelajaran karena kalau kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, banyak sekali perusahaan yang senangnya ikut-ikutan alias imitasi strategi yang dilakukan oleh perusahaan lainnya regardless of its product characteristics and other factors.
Andi S. Boediman
Bener juga, kayaknya pelajaran advertising/marketing secara general cocok untuk orang yg baru ingin memahami konsepnya, tetapi begitu sampai pada tahap implementasi, perlu adanya kombinasi stretegi/taktik. Malah mungkin pendekatannya malah bukan theoritically correct, tapi try and error (ini saran dari Claude Hopkins & Sergio Zyman), jadi setiap usaha, kita evaluasi impactnya dan kemudian kita perbaiki strategi/taktiknya :). Terus menerus!
Sumardy
ini yang akhirnya menjadi bumerang (mungkin ini juga ada kaitannya dengan values masyarakat kita) yang terjebak dalam suatu arus menuju komoditas.
Andi S. Boediman
Dari sisi produk, ini ada untungnya karena advertising/marketing kerjanya nggak terlalu berat untuk mengedukasi publik dari sisi adopsi & benefit produk, tapi di lain pihak problemnya adalah margin yg kecil sehingga terpaksa kita mendeferensiasi produk kita melalui
ad/marketing.
Me too style ini kelihatannya bukan cuma monopoli orang kita, tapi widely adopted di Barat juga. Kan aji mumpung :)
No comments:
Post a Comment