posted by Sumardy at Marketing Club mailing list
Salam Marketer,
Berkaitan dengan diskusi kita mengenai fluoride pada permen dan dihubungkan dengan informasi yang didapat dan diberikan kepada konsumen pada tulisan saya sebelumnya, maka sebenarnya terdapat satu topik yang juga cukup menarik yang masih memiliki kaitan dengan informasi dan juga tingkat perkembangan konsumen.
Kalau kita lihat perkembangan akhir-akhir ini terutama dari segi komunikasi pemasaran, maka kita menemukan fenomena yang cukup menarik dan menjadi trend saat ini. ditengah persaingan peluncuran produk dan merek baru yang tidak terbatasi, sekarang ini muncul jargon yang namanya emotional brand atau experiential marketing and something like that yang pada intinya menekankan pada keunggulan di segi emotional benefit dan tidak hanya functional benefit lagi.
Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???
Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??
Yang sering dilupakan oleh para pemasar dan ini terbukti kalau kita melihat marketing campaign yang mereka lakukan adalah mereka tidak pernah berpikir sebenarnya produk mereka termasuk kategori apa dari segi sudut pandang konsumen dan inilah yang membuat banyak merek jatuh karena cuma ikut-ikutan tok tanpa adanya strategic thinking
behind the actions.
Kalau kita melihat dari sudut pandang konsumen, maka ada dua needs yang mereka ingin penuhi
1. Utilitarian needs yaitu yang berkaitan dengan functional benefit dari suatu produk
2. Hedonic needs yaitu yang berkaitan dengan emotional benefit berupa dreams and fantasy beyond the features of the products.
saya percaya semua decision makers mengerti mengenai perbedaan ini, tetapi bagaimana pengaruhnya ke strategy ?
dalam menghasilkan sebuah iklan (saya memfokuskan pada marketing campaign khususnya above the line saja), perusahaan yang berusaha menghasilkan ikatan emotional berusaha menonjolkan sosok, endorser or whatever yang bisa menyentuh sisi emosional kita, tapi pernahkah dipikirkan after the campaign what the consumers' have in mind?
Perusahaan seringkali tidak bisa membedakan antara figure dengan ground dalam suatu iklan.
1. Figure merupakan sosok ataupun "jualan" utama yang ingin kita tampilkan ke konsumen dan menjadi the ultiimate weapon perusahaan dan itu bisa dalam bentuk logo, spokeperson, trademark, brand etc.
2. Ground merupakan "pernik-pernik" tambahan yang digunakan untuk "melengkapi" sosok figure sehingga menghasilkan sebuah konsep periklanan yang lebih hidup dan secara teori ground yang ditampilkan untuk menghidupi figure TIDAK BOLEH menutupi peran dan fungsi figure .
Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for
consumers' fun only !!!
Dan kesalahan ini justru sering dilakukan oleh perusahaan yang produknya dapat dikategorikan sebagai high-involvement products yang sebenarnya tidak membutuhkan emotional campaign dan in fact ITU TERJADI DI INDONESIA.
yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk perman (gimana bung Dodi?)
Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!
any other opinions ???
Salam Marketer
Sumardy
No comments:
Post a Comment