Friday, October 11, 2002

Brand Insight vs Consumer Insight discussion

posted at Marketing Club mailing list

Hani Susilo Handoyo

Brand Meaning


To give meaning to a brand, it's important to create a brand image and establish what the brand is characterized by and should stand for in customers' minds. Brand meaning can be broadly distinguished in terms of more functional, performance-related considerations vs. more abstract, imagery related considerations. These brand associations can be formed directly from a customer's own experiences and contact with the brand through advertising or some other source of information (e.g., word of mouth). Performance. The product is the heart of brand equity. It is the primary influence of what consumers experience, what they hear about, and what the firm tells customers about the brand. To create brand loyalty and resonance, consumers' experiences with the product must meet, if not surpass, their

expectations.

Brand performance is the way the product or service attempts to meet customers' more functional needs. It refers to the intrinsic properties of the brand, including inherent product or service characteristics.


The performance attributes and benefits making up functionality will vary by category. However, five important types of attributes and benefits often underlie brand performance.
Primary characteristics and supplementary features:
  • Product reliability, durability, and serviceability
  • Service effectiveness, efficiency, and empathy
  • Style and design
  • Price
Brand performance transcends just the "ingredients" that make up the product or service to encompass aspects of the brand that augment these ingredients. Any of these different performance dimensions can help differentiate the brand.

Imagery. Brand meaning also involves brand imagery, which deals with the extrinsic properties of the product or service, including the ways the brand attempts to meet customers' more abstract psychological or social needs. Four categories of brand imagery stand out:
  • User profiles--the creation of a profile or mental image of users or idealized users based on brand imagery.
  • Purchase and usage situations--the formation of associations of a typical purchase situation may be based on type of channel, specific store, ease of purchase, or associated rewards.
  • Personality and values--the assignment of a personality to a brand, which Aaker describes in five dimensions: sincerity, excitement, competence, sophistication, and ruggedness.
  • History, heritage, and experiences--the creation of brand associations based on their past and certain noteworthy events in the brand history ........
http://www.hamiltonco.com/features/newsletter/enews022802/KellerSummary.html



Andi S. Boediman
Ini kata-kata Bill Bernbach, salah satu advertising man terbesar:
"At the heart of an effective creative philosophy is the belief that nothing is so powerful as an insight into human nature, what compulsions drive a man, what instincts dominate his action, even though his language so often camouflages what really motivates him. For if you know these things about a man you can touch him at the core of his being."
- Truth, Lies & Advertising - Jon Steel

Gampangnya, insight adalah 'isi hati' dari seseorang, yg mendorong ia melakukan sesuatu. Bukan apa yg ia ucapkan, tetapi yg ia rasakan dan lakukan. Dengan melakukan studi terhadap perilaku target market, kita bisa melakukan komunikasi hingga ke subconcious level, mis dlm contoh iklan Sampoerna Ijo adalah orang Indonesia adalah masyarakat guyub yg seneng
ngumpul, dalam contoh iklan Axe adalah cowok sebenarnya suka kalo didekati cewek.

Thursday, October 10, 2002

Sejarah dan Profil Tim mwmag

Source: Arsip MWMag


Tahu-tahu sudah setahun. Itulah mwmag. Majalah yang dibagi-bagikan pertama kali Oktober 2001 pada sebuah seminar Flash di Jakarta ini telah sampai pada edisi kedelapan di bulan Oktober 2002. Sesungguhnya, di edisi-edisi awal kami pengurus mwmag bahkan tidaklah yakin apakah media yang satu ini akan bisa bertahan hingga setahun. Tapi syukurlah, sambutan pembaca cukup baik. Edisi demi edisi, meskipun awalnya tidak bisa rutin per bulan, berhasil disiapkan dan diterbitkan hingga edisi yang sedang Anda baca ini.

Pada kesempatan kali ini pula, kami ingin berbagi sedikit cerita mengenai sejarah mwmag, memperkenalkan para anggota tim mwmag, rubrik-rubrik yang ada, serta rencana ke depan. Semoga tidak membosankan. Kalau memang bikin ngantuk, lewati saja.

Sejarah

mwmag terbentuk setengah tidak sengaja dan diwarnai sebuah kasus. Berikut ini ringkasan ceritanya, menurut pengakuan para anggota tim yang masih mengingatnya.

Toekangweb. Tersebutlah seseorang bernama Steven Haryanto. Di akhir tahun 1999, Steven bekerja di sebuah perusahaan portal di Jakarta bernama Satunet.com sebagai programer. Di waktu itu pulalah Steven sempat bertemu dengan Doni “Toekangweb” Yudono. Doni adalah pendiri dan pengurus toekangweb.or.id. Sejak pernah menulis dan menerbitkan bukunya sendiri, apalagi setelah melihat dan terlibat dengan majalah Infolinux, Steven memiliki keinginan membuat majalah komputer yang agak berkiblat ke dunia pemrograman dan Internet. Bahkan ketika bertemu Doni, Steven sudah memiliki ancer-ancer siapa yang bisa dimintai modal. Sayang, Doni nampaknya tidak tertarik dengan media kertas ataupun ide “majalah Toekangweb”. Dari hasil omong-omong informal, nampaknya Steven harus mengurungkan dulu niatnya ini. Lagipula, pekerjaan di Satunet cukup membuat sibuk.

Master Web. Awal 2001, seiring dengan berakhirnya booming dotcom, Steven berhenti dari Satunet dan memutuskan bekerja freelance dari rumah untuk sementara waktu. Kontak email dan chatting tak sengaja dengan Dhiar Lukito Adhi, pemilik situs master.web.id, membawa kesepakatan kerjasama antara kedua belah pihak. Steven dan Dhiar setuju untuk membuat sebuah majalah bernama Master Web “suatu hari nanti” atau “dalam waktu yang tidak terlalu lama”. Sayangnya, soal modalnya dari mana belumlah jelas.

Kilkbca. Latar belakang terbentuknya mwmag sedikit banyak terkait dengan insiden “Situs Plesetan Kilkbca”. Di akhir tahun 2000 sewaktu Steven masih bekerja di Satunet, layanan Internet Banking BCA, www.klikbca.com, mulai diperkenalkan meskipun belum dilaunch besar-besaran. Anehnya, situs yang dipakai menggunakan domain .com, tidak seperti situs Internet Banking bank-bank sebelumnya yang menggunakan .co.id. Setelah membaca sebuah laporan di Slashdot mengenai situs plesetan www.paypal.com, Steven pun berpikir apakah benar jumlah orang tersesat akan bisa banyak. Sebab dari pengalaman pribadinya mengetikkan ribuan URL berbagai macam situs, rasanya kok belum pernah tersesat. Bahkan keberadaan plesetan seperti yaho.com atau infosek.com diketahui lewat artikel, bukan dari terakses tak sengaja. Namun untuk iseng-iseng, Steven membeli beberapa domain .com. Domain-domain ini tak pernah dipakai atau bahkan dipasang di server hosting manapun, sampai suatu hari di bulan Juni Steven dan Dhiar sempat bertemu di Bandung. Sambil ngobrol, domain-domain ini pun sempat disinggung dan teringat kembali. Iseng-iseng lagi, Steven pun memasang domain-domain ini di sebuah server sambil menempelkan halaman depan login KlikBCA dan sebuah skrip CGI kecil untuk menerima informasi loginnya. “Siapa tahu dalam 1–2 bulan kita bisa mengumpulkan beberapa puluh informasi account nyasar dan kita bisa memuat sebuah artikel kontroversial yang membahas hal ini di edisi pertama majalah (kalau memang nanti terbit),” begitu kira-kira pemikiran naif Steven dan Dhiar di awal Juni 2001.

Ternyata yang terjadi sedikit berbeda. Hanya dalam waktu 36 jam, telah terkumpul lebih dari 140 user id dan PIN pengunjung nyasar. Dua hari setelah situs plesetan online, sudah muncul posting di milis toekangweb@yahoogroups.com dari seseorang yang mengetahui dan melaporkan hal ini, disertai tuduhan terhadap Steven. Steven dan Dhiar segera memasang artikel di master.web.id yang menerangkan persoalan ini beserta detail cara-caranya. Esok paginya, bak api yang merembet, sudah banyak sekali milis yang ramai membicarakan dan saling memforward surat kaleng. Detik, Satunet, portal-portal lain, bahkan surat kabar melansir berita situs plesetan KlikBCA. Rumah Steven sibuk dideringi telepon, rata-rata telepon iseng dan ancaman. Kondisi nampaknya tak terkendali. Namun untunglah, selama beberapa minggu kemudian semuanya mereda.

Membuat undangan bagi publik. Karena merasa sudah kepalang tanggung, Steven dan Dhiar meneruskan mencari calon investor majalah dengan lebih serius. Namun karena dari beberapa teman/relasi yang dihubungi nampaknya tidak ada tanggapan positif, maka Dhiar memposting tawaran ke milis master.web.id tentang pendirian majalah. Ini mirip-mirip dengan cara yang dilakukan Infolinux sewaktu menawarkan saham majalahnya kepada komunitas Linux di milis-milis Indonesia. Dan sama seperti halnya Infolinux, beberapa respon pun berdatangan. Akhirnya bersama seorang rekan yaitu Ewing dan dua investor yaitu dari Pak Calvin Lukmantara dari PT Dotcom Indonesia dan Pak Andi S. Boediman dari Yayasan Digital Studio, didirikanlah PT Masterweb Media dengan modal awal tertulis Rp 500 juta di bulan Agustus 2001. Nama majalah yang dipilih untuk diterbitkan adalah “Master Web Magazine” dengan semboyan “Media Para Praktisi Internet” dan alamat situs mwmag.com.

Persiapan edisi pertama. Menyiapkan majalah, semua pun bersibuk ria. Steven dibantu oleh rekannya Ibeng membuat template layout di Indesign. Tim mwmag pun kemudian mencari penerbit, distributor, pembuat CD, dan menyiapkan hal-hal lainnya. Sampai saat tersebut, kantor mwmag masih menumpang di kantor tempat kursus Digital Studio yaitu di Jl. Cideng Barat. Belum ada staf full time yang direkrut—Steven bekerja dari Bandung sementara Dhiar dan Ewing dari tempatnya sendiri di Jakarta Barat.

Edisi pertama. Meski disertai berbagai kekurangan, edisi pertama akhirnya berhasil diluncurkan bersamaan dengan even Digital Studio yaitu pada seminar Flash tanggal 20 Oktober 2001. Tidak ada edisi mock up atau edisi 0, mwmag nekat langsung hadir dengan edisi berlabel “nomor 1” dengan iming-iming dua buah CD dan beriklan di Kompas.

Tiga edisi berikutnya. Edisi kedua menyusul di akhir Desember. Rencana semula untuk terbit bulanan belum bisa dipenuhi karena ternyata proses pembuatan film dan percetakan bermasalah. Sementara bulan Desember penuh dengan liburan—sehingga kantor-kantor pun tutup—mengakibatkan majalah yang rampung dicetak awal Desember baru bisa disebarkan akhir Desember sehari setelah Natal. Edisi ketiga dan keempat pun demikian, terbit Februari dan April. mwmag praktis terbit hanya dua bulan sekali.

Kemacetan. Selama edisi-edisi awal berjalan, ternyata masalah lain pun belum selesai. Pencarian staf, baik itu staf marketing, keuangan, layout, dsb, berjalan tersendat-sendat dikarenakan kesibukan semua staf mwmag lainnya. Akibatnya, di Jakarta perwakilan mwmag praktis tidak ada. Dan selain masalah editorial dan produksi, tidak ada yang menangani urusan mwmag lainnya dengan benar. Akhirnya, bulan April setelah edisi 4 selesai, kegiatan majalah hampir berhenti total kecuali meeting dan percakapan-percakapan para pendirinya di milis internal. Selama hampir 7 bulan beroperasi, mwmag memang harus berhenti dulu karena sebelumnya berjalan tidak normal. Tidak ada kantor. Tidak ada orang full time yang mengurus. Tidak ada manajer atau direktur atau finance. Yang ada hanyalah Steven yang bekerja secara remote mengurus konten majalah, Dhiar serta Ewing yang membantu-bantu soal pendistribusian majalah di Jakarta, dan staf customer care Digital Studio yang baik hati mau menjawab telepon pertanyaan manakala ada orang menghubungi kantor mereka di Jakarta.

Kas menipis karena siklus pengembalian uang dari distributor lambat, sementara mwmag harus membiayai biaya cetak edisi demi edisi. Para investor awal tidak mengekspresikan minat mereka untuk menyuntikkan dana lebih banyak ke majalah. Dhiar sempat mengusulkan bahwa agar biaya produksi menjadi murah, sebaiknya majalah ditipiskan menjadi 64 atau kurang dan dijual tanpa CD. Usulan ini ditolak mentah-mentah, karena berpotensi besar sekali menurunkan tingkat penjualan.

Indolinux. Akhirnya diputuskan bahwa yang sebaiknya dilakukan adalah mencari investor baru. Setelah beberapa kali pertemuan, di bulan Mei 2002 terjadilah kesepakatan dengan PT Indolinux Inti Media, yang akan membeli saham milik dua investor lama sebelumnya. Karena Indolinux pun sedang menyiapkan majalah juga (sebuah majalah Linux dengan target pembaca pemula), maka beberapa human resource bisa digabungkan. Akhirnya mwmag mendapatkan staf finance, customer support, layout, dan marketing. Kantor pun berpindah ke kantor Indolinux di Karawaci, Banten hingga sekarang, sementara Dhiar, Ewing, dan Steven tetap bekerja secara remote dari tempatnya masing-masing.

Tim

Dari berbagai sisi, menurut kami mwmag adalah majalah yang cukup unik. Dalam hal pemrakarsa, mwmag sepenuhnya datang dari kalangan praktisi dan bukan dari perusahaan penerbitan atau dari orang-orang berlatar belakang jurnalistik. Dalam hal tim dan pengerjaan, banyak sekali yang dilakukan secara remote. Bahkan banyak anggota tim yang belum pernah saling bertemu muka sekalipun dalam hidup mereka! Dan dalam hal kebijakan konten, mwmag masih relatif fleksibel, bebas, dan tidak wajib politically correct.

Berikut ini tim mwmag pada bulan Agustus 2002. Kadang-kadang terjadi perubahan anggota, jadi jangan kaget kalau waktu Anda membaca artikel ini sudah terjadi lagi perubahan susunan tim.

Steven Haryanto. Pencetus dan penggerak awal mwmag. Juga kepala redaksi mwmag. Aslinya seorang programer, namun sering juga menulis dan menerjemahkan. “Sepanjang tahun ini aktivitas koding saya benar-benar menurun drastis. Sejak mengurus mwmag, saya lebih banyak menghabiskan waktu menulis dan menulis dan menulis (dan menulis). Fiuh, capek! Tapi ada asyiknya juga sih.” Tahun ini juga tahun di mana badan Steven melebar secara signifikan.

Dhiar L. A. Pemilik merek “Master Web” (yang bermula dari situs portal master.web.id) dan salah satu penanam modal awal mwmag. Praktisi TI yang telah malang-melintang sejak pertengahan ’90-an. Dari staf marketing ISP, desainer, pengajar, juri, komikus, penjual kaos dan sertifikat, sampai CEO—semua sudah pernah dilakoninya. Maruk memang. Kegiatan terakhirnya adalah mengurus perusahaan web hosting lokal, Master Web Network (MWN).

Erwin Danuaji. Programer dan desainer Web yang masih betah bercokol di PT M-Web Indonesia, meski kini telah mulai merintis usahanya sendiri. Keterlibatan Ewing, nama panggilannya, di mwmag sebagai salah satu penanam modal awal adalah karena termakan bujuk rayu Steven. Rupanya tidak salah pilih, sebab penanam modal yang satu ini juga sempat rela menjadi tukang antar-kirim majalah!

Edy Liu. Pemimpin usaha. Pengusaha muda yang kepincut masuk dunia TI sejak tertarik pada BBS (dan kemudian Internet dan Linux). Di bawah bendera PT Indolinux Inti Media, Edy membeli mayoritas saham mwmag dari dua pemilik lama sebelumnya, dan kini memimpin perusahaan majalah ini. “mwmag dari edisi 1 sampai saat ini terpajang di dinding kantor saya,” begitu ujar pendiri dan pengurus Hackerlink dan toko online Indolinux ini.

Benny Chandra. Di mwmag saat ini Benny menjadi kontributor berita/artikel, pewawancara, serta pengasuh rubrik Pasteboard dan rubrik bisnis/hosting. Wong Suroboyo yang satu ini cerewet dan rewelnya minta ampun. Berikan 1 kalimat padanya dan dalam satu menit akan Anda dapatkan 5 pertanyaan sebagai balasan. Tunjukkan satu gambar atau URL maka akan dikembalikan komentar demi komentar, celoteh demi celoteh, kritik demi kritik. Karena itu, barangkali profesi yang cocok untuknya sebetulnya adalah menjadi juri.

Rini Nurul Badariah. Ibu muda yang satu ini rajin “berkeliaran” ke sana kemari. Mulai dari mengikuti berbagai milis, memasukkan naskah tulisan ke berbagai media, sampai menjadi instruktur sambil tetap kuliah! Bahkan saking asyiknya “berkeliaran” harddisk komputer pribadinya nampaknya kurang terurus—karena beberapa kali ia kehilangan data naskah. Di mwmag, Rini memegang rubrik Ekarir dan menjadi kontributor berita/artikel.

Jonriah Ukur. Pria berkumis dan berkacamata ini sehari-harinya dapat ditemui di kantor CBN Jakarta. Bukan, bukan berbelit kabel UTP dan mengutak-atik Cisco. Sejak CBN membuka divisi portal, Jonru—nama panggilannya—menjadi orang yang bertugas menyiapkan dan mengedit berita. Di mwmag, ia menjadi kontributor berita/artikel. Di waktu senggangnya, ia juga menulis cerita fiksi.

Erwin Susilo. Menjelang tenggat skripsi kuliahnya, pria yang satu ini malah ketiban tugas melayout dua buah majalah sekaligus: mwmag dan Indolinux. “Stres!” begitu ungkap Erwin di homepage pribadinya. Ternyata bukan cuman di webnya. “Dari tampangnya juga kelihatan kok,” begitu komentar salah satu rekan kerja Erwin di Indolinux. Semoga skripsimu sukses, Nak!

Roy Kurniawan. Pria kelahiran Surabaya yang satu ini mengaku manis dan ramah. Dan bukan hanya itu, Roy masih muda belia pula. Dan bukan hanya itu, Roy pun tidak secerewet rekan sekotanya Benny. Dan bukan hanya itu, Roy rajin pula dalam bekerja. Kadang-kadang malam hari masih saja mereply email pertanyaan seputar berlangganan/pembelian majalah. Makanya amat diherankan kalau ada gadis yang memutuskan cintanya baru-baru. Oh, sedihnya.

Jaksa Utama. Kalau ada orang yang paling dibenci oleh para penulis di mwmag, barangkali pria gempal inilah orangnya. Bukan apa-apa. Beberapa edisi ke belakang memang kas mwmag masih agak-agak seret karena sisa-sisa hutang, sehingga sebagian pembayaran honor artikel harus direschedule layaknya hutang negara. Tak kepalang tanggung para penulis pun protes keras. Padahal, kasihan lho pengurus finance mwmag ini. “Susah nih ngatur kas mwmag,” keluhnya.

Iwan Saputra. Di mwmag, Iwan bertugas sebagai copy editor akhir, membantu mengepas-ngepaskan artikel ke halaman majalah dan mengecek layout sebelum dikirim ke percetakan. Iwan juga saat ini bertindak kepala editor sebuah majalah Linux bernama Indolinux. Karena terlalu malu berpose di depan sang pembuat karikatur, maka wajah yang tampil di Gambar 1 hanyalah rekaan semata.


Fig 1. Tim mwmag Agu 2002 (1=Iwan, 2=Oyasu, 3=Deddy, 4=Jaksa, 5=Rini, 6=Erwin, 7=Roy, 8=Steven, 9=Edy, 10=Ewing, 11=Dhiar, 12=Benny, 13=Jonru)

Deddy Sugiyanto. Sehari-hari Deddy menjadi tukang tawar dan tukang tagih bagi Indolinux dan mwmag. “Kadang enak, meeting dari lobi ke lobi hotel. Tapi kadang tak enak, seharian makan macet dan melototin jalan.” Apalagi karena kantor majalah ada di luar Jakarta. Karena itulah, staf marketing dan pengembangan bisnis yang satu ini tak pernah tertangkap oleh sang pembuat karikatur. Wajah yang tampil di Gambar juga hanyalah rekaan semata. Jangankan itu, sebagian anggota tim yang remote masih bertanya-tanya apakah orang ini benar-benar ada atau rekaan semata.

Goklas Teguh Sujiwo. Alias Oyas alias Oyasu. Gambar-gambar komik dan karakter Benhill di mwmag adalah buah tangannya. Sehari-hari pria ini memang melukis, mensketsa, dan berkomik ria. Bulan-bulan sibuknya adalah seputar pelaksanaan Pekan Komik Nasional. Bekerja dari rumahnya di Bandung, tentu saja ia tidak pernah berjumpa dengan para staf mwmag lainnya. Jadi lagi-lagi, wajahnya di Gambar hanyalah rekaan—meskipun rekaannya kali ini lebih akurat, janji sang pembuat karikatur yang mengaku sering bertemu dengan Oyas.

Edisi

Tahun pertama ini mwmag telah hadir dalam delapan edisinya (rencana semula tentu saja 12, namun yang 4 dikorupsi). Berikut ini ringkasan edisi-edisi tahun pertama.

Edisi 1, Flash. Okt 2001. Desain sampul oleh Dhiar. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh MDAMT, Zeembry, Didik Wijaya, Satya Gumilang. Edisi perdana ini cukup menghebohkan. Berkat beriklan di Kompas, membagikan majalah gratis ke 300 peserta seminar Flash di Jakarta, dan berkat dukungan komunitas online master.web.id (MWI), majalah ini laris dan dicari-cari. Bahkan karena majalah tidak masuk ke banyak gerai Gramedia dan Gunung Agung, hari-hari setelah terbitnya mwmag milis MWI penuh dengan posting-posting seperti “di mana ya saya cari majalah Master Web?” atau “kok di sini/di situ tidak ada?” ketimbang posting yang mendiskusikan isi majalah. Edisi pertama ini hadir dengan cacat utama, yaitu penjilidan yang jelek sehingga lembaran majalah mudah terlepas-lepas. Puluhan email protes dan keluhan membanjiri mailbox redaksi mengenai masalah ini. Banyak yang memuji atau salut dengan edisi pertama ini, namun ada pula yang mencibir atau mengkritik habis-habisan. Komunitas desainer di designfaculty.com misalnya, menyebutkan majalah ini “konsepnya salah” dan “tak lebih dari kliping”—dikarenakan lembarannya yang lepas-lepas dan banyak halaman yang cetakannya hitam putih (untuk mengirit biaya produksi). Ironis memang, sebab edisi pertama ini tentang Flash, yang mana seharusnya hingar-bingar dengan warna. Namun semua kritik dan masukan kami terima dengan hati lapang. Toh itu semua menunjukkan bahwa ada yang peduli.

Edisi 2, PHP. Des 2001. Desain sampul oleh Dhiar. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh MDAMT, Bernaridho Hutabarat, Argo Wibowo, Eris Ristemena. Edisi kedua adalah edisi “serba terhimpit”. Di tengah-tengah dua hari raya Idul Fitri dan Natal, tim mwmag yang belum berpengalaman tidak bisa mengatur jadwal. Akibatnya, majalah yang inginnya keluar awal Desember baru bisa terdistribusikan tanggal 26 Desember. Selain toko buku dan kantor tutup, orang-orang pun pergi berlibur atau pulang kampung sehingga mwmag02 ini seolah hadir sembunyi-sembunyi. Bulan Januari barulah orang mulai membicarakannya. Lagi-lagi cetakan mwmag tidak begitu baik, sehingga lembarannya masih mudah lepas. Sebuah kesalahan yang cukup memalukan karena terulang.

Edisi 3, Pornografi. Feb 2002. Desain sampul oleh Pitra Satvika. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh Dody Suria Wijaya, Eris, Pupung Budi Purnama, Yohanes Nugroho. Edisi ketiga kembali menghebohkan dengan antara lain membahas tren pornografi di Internet, mewawancarai satulelaki.com dan nonamanis.com, serta gila-gilaan dengan memasang gambar sampul wanita telanjang, iklan pria telanjang, dan judul-judul artikel yang innuendo. Tak urung banyak pihak yang memprotes penampilan mwmag seperti demikian. Menurut Steven, “di topik pornografi tersebut mwmag tidak mengambil keputusan untuk beropini mendukung atau mengutuk pornografi” sehingga beberapa pembaca mengutarakan keberatannya. mwmag03 ini sempat diwarnai banjir di Jakarta sehingga proses pembelian kertas percetakan terlambat.

Edisi 4, Database Open Source. Apr 2002. Desain sampul oleh Steven. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh Edwin Pratomo, Dody, Erwin Kodiat, Ari Hermawan. Setelah disindir berkali-kali oleh pembaca mengenai keterlambatan terbit, mwmag mencoba terbit tepat sebulan setelah edisi Feb. Namun apa daya, percetakan lambat sekali mengolah majalah kali ini sehingga baru sekitar 3 minggu setelah naskah masuk, majalah selesai dicetak. Juga, setelah penjilidan agak membaik di edisi sebelumnya, ternyata kesalahan percetakan terulang kembali di edisi 4. Lembaran-lembaran halaman mudah terlepas lagi. Akhirnya diputuskan mwmag tidak akan mencetak di tempat percetakan lama lagi, berhubung kesalahan ini terus-menerus terjadi. Edisi 4 ini pun mengalami masalah lain yaitu banyak CD majalah yang tidak bisa terbaca.

Edisi 5, Tren Kursus TI. Jul 2002. Desain sampul oleh Steven. Laporan utama oleh Steven, Benny Chandra, Rini Nurul Badariah. Artikel a.l. oleh Pupung, Mohammad Rofiq, Andi S. Boediman. Edisi ini adalah yang pertama dibuat di bawah manajemen baru, layout baru, percetakan baru, dan disebarkan oleh distributor yang baru. Staf dan visi konten tetap sama, namun untuk membuat kesan segar gambar sampul memuat foto orang, layout diganti, serta font diganti agar lebih besar (karena memang sebagian pembaca sebelumnya mengeluhkan font teks yang terlalu kecil sehingga sulit dibaca). Rubrikasi pun diperjelas.

Edisi 6, Browser. Agu 2002. Desain sampul oleh Steven. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh Benny, Zeembry, Rini. Akhirnya, mwmag terbit tepat waktu! Edisi ini diwarnai kontroversi yaitu logo “666” yang merupakan permainan dari angka versi browser IE, Opera, dan Netscape. “666” memiliki konotasi religius, sehingga banyak kembali pembaca melancarkan protes.

Edisi 7, Gaji. Sep 2002. Desain sampul oleh Erwin Susilo. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh Tedi Heriyanto, Eko Bono Suprijadi, Jonriah Ukur, Dody.

Edisi 8, Spam. Okt 2002. Desain sampul oleh Steven. Laporan utama oleh Steven. Artikel a.l. oleh Pupung, Andri Darmawan, Teddy Ismael. Yang Anda sedang baca di depan mata! Bagaimana tanggapan Anda? Kirimkan opini dan tanggapan ke feedback@mwmag.com.

Rubrik dan Kolom

Sebagai majalah yang sebetulnya tidak melulu pemrograman—mencakup juga desain, networking, dan sisi marketing/bisnis—serta tidak melulu Web—mencakup juga belahan Internet lainnya, mwmag hadir dengan berbagai rubriknya. Karena keterbatasan halaman maupun waktu para pengisinya, tidak semua rubrik dapat hadir dalam satu edisi. Berikut ini penjelasan tiap-tiap rubrik/kolom yang saat ini ada.

Tutorial. Dipandu oleh penulis tutorial masing-masing. Terletak di bagian belakang setiap edisi majalah. Menduduki hingga 30% porsi konten. Setiap artikel tutorial adalah bagian dari seri. Antara 4–5 buah tutorial tersaji di setiap edisi. Yang menjadi topik tutorial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi teknis Internet, mulai dari desain, pemrograman, dsb. Saat ini seri tutorial yang sedang berjalan adalah Java, Python, Perl, Tipografi, VRML, Dreamweaver. Tutorial Photoshop, Actionscript (Flash), dan PHP saat ini ditunda dulu, menunggu penulis tutorialnya meneruskan seri mereka. Tutorial lain yang direncanakan adalah database/MySQL, C, dan Fireworks. Topik-topik lain pun terbuka kemungkinan. Jika Anda memiliki naskah yang kira-kira cocok dijadikan seri tutorial, hubungi koordinator rubrik di tutorial.dept@mwmag.com.

Ekarir. Diasuh oleh Rini Nurul Badariah. Visi rubrik ini adalah menjadi sarana pertukaran informasi dan pengalaman para karyawan TI. Kami menantikan artikel-artikel opini dari para pembaca sekalian mengenai seperti apa hidup dan bekerja di dunia TI, bagaimana pendapat Anda tentang masa depan pekerjaan TI di Indonesia, pengalaman Anda bekerja di perusahaan tertentu, dan isu-isu sejenis lainnya. Berminat menyumbangkan buah pikiran? Hubungi pengasuh rubrik di career.dept@mwmag.com.

Hack. Diasuh dan ditulis oleh Steven. Kolom ini sebetulnya bukan tutorial “cracking” atau cara “menjebol” sistem, seperti tutorial-tutorial hacking lainnya yang mungkin Anda jumpai di majalah lain. Melainkan, intisari kolom ini diambil dari makna kata “hack” sendiri, yaitu mengoprek atau bermain dengan sebuah program atau sistem. Nuansa kolom ini memang security, tapi pada dasarnya segala sesuatu yang berhubungan dengan “ngoprek” dan pemrograman dapat dibahas di sini. Memiliki saran atau masukan terhadap kolom ini? Kirimkan ke steven@mwmag.com.

Reksof. Diasuh oleh Steven. Singkatan dari “Rekayasa Software”, bahasan kolom ini mencakup isu-isu seputar desain software termasuk tip-tip koding, mulai dari tool modeling, pemilihan nama variabel, pengujian, gaya koding, arsitektur software, metodologi pengembangan, patterns, dsb. Tertarik menyumbangkan tulisan? Hubungi submission@mwmag.com.

Pasteboard. Diasuh oleh Benny Chandra. Pasteboard adalah tempat bagi mwmag untuk “menempelkan” situs-situs yang kira-kira menarik untuk Anda simak. Setiap bulannya pengasuh rubrik berjalan-jalan di Internet dan membeberkan oleh-olehnya di sini. Kalau Anda memiliki bookmark situs yang menarik, jangan ragu memberi tahu pengasuh rubrik di pasteboard@mwmag.com.

Ulasitus. Ditulis oleh kontributor masing-masing artikel. Rubrik ini adalah tempat mengulas sebuah situs dari berbagai sisi. Biasanya yang diulas adalah usability, desain, dan kode HTML situs ybs, tapi sebetulnya segala macam sisi lain bisa diungkap. Yang kami harapkan adalah, mereka-mereka yang sering menggunakan sebuah situs, atau memiliki kesan tersendiri terhadap sebuah situs, dapat mengungkapkan analisis mereka di sini. Tertarik menyumbangkan tulisan? Kirimkan tulisan Anda ke submission@mwmag.com.

Ulasbuku. Ditulis oleh kontributor. Sama dengan Ulasitus, tapi untuk buku. Yang ingin mengirimkan ulasan buku dipersilakan mengemail submission@mwmag.com.

Tanding buku, Tanding situs, Tanding software. Rubrik-rubrik ini juga termasuk ke dalam golongan opini/review. Tapi, bedanya, yang direview dalam setiap artikel adalah dua atau lebih produk dalam kategori yang sama. Titik berat review adalah pada perbandingan satu produk dengan produk yang lain untuk berbagai aspek. Dan di akhir artikel, diberikan satu kesimpulan dari penulis produk mana yang menjadi “juara”. Peminat kontributor dapat mengemail submission@mwmag.com.

Bisnis. Diasuh oleh Benny Chandra dan Steven Haryanto. Rubrik ini mencakup artikel, opini, atau wawancara bisnis berbagai bidang Internet. Saat ini konten yang mendominasi adalah di bidang hosting, sesuai latar belakang para pengasuhnya. Namun di masa depan bidang-bidang bisnis Internet lain pun akan mendapatkan perhatian. Tertarik menyumbangkan artikel? Kirim ke business.dept@mwmag.com.

You Suck! Ditulis oleh kontributor. Rubrik yang satu ini menjadi perwakilan “aspirasi rakyat” atau “suara konsumen.” Setiap artikel mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan terhadap entiti tertentu, baik itu vendor, situs, produk, atau layanan lain. Khusus untuk rubrik ini saja, dipersilakan menggunakan tata bahasa gaul (agar akrab) atau kata-kata yang kasar (untuk mengekspresikan kemarahan). Sampai batas tertentu, artikel akan tetap diedit/disensor. Rubrik ini adalah sepenuhnya ekspresi pendapat dari penulis dan bukan dari mwmag. Tertarik menyumbangkan artikel? Email submission@mwmag.com.

Strip komik Benhill. Cerita oleh Steven. Gambar oleh Oyasu. Benhill menceritakan sekelompok anak muda yang semuanya bergerak di bidang TI dan berbagi iuran kontrakan di sebuah rumah di daerah Bendungan Ilir, Jakarta. Ada Desi yang jadi desainer web di firma desain bernama “Sumatran Tiger” di bilangan Sudirman. Ada Alfian, bayi sehat rekan sekerja Desi yang suatu hari bercita-cita menjadi konglomerat. Ada Feri, staf marketing 30-an di sebuah perusahaan portal. Ada Wibi, programer ceking dan fanatik Linux yang bekerja di rumah dan sering membantu temannya Edo. Dan Edo, lulusan SMA yang kini berusaha hosting dan membuka warnet di rukonya di Pecenongan. Seperti diisyaratkan oleh strip komik edisi kali ini, Wibi sebetulnya bi dan menyimpan obsesi terhadap kumis, badan tegap, dan keidiotan Feri. Hanya saja, Wibi belum pernah mau jujur mengakui obsesinya tersebut. Punya masukan atau komentar untuk komik Benhill? Kirim ke benhill@mwmag.com.

Benhill (Bedakan dengan strip komik Benhill). Diasuh dan ditulis oleh Steven. Rubrik ini berorientasi kepada pemula dan di setiap artikelnya berusaha menjelaskan konsep-konsep dasar Web terutama seputar pemrograman. Dikemas dalam gaya fiksi, yaitu dengan karakter-karakter komik Benhill, dan menggunakan kalimat yang nonformal agar mudah dicerna. Pernah tahu atau baca howstuffworks.com? Visinya kurang lebih seperti itulah. Artikel pertama Benhill hadir di edisi kali ini, “def spam”. Ingin rubrik ini membahas pertanyaan-pertanyaan Anda? Kirimkan ke benhill@mwmag.com.

Rubrik-rubrik lain. Artikel desain dan usability. Artikel pemrograman umum. Opini dan Berita Umum. Berita Bisnis. Wawancara. Semua rubrik ini menerima kontribusi dari pihak luar. Peminat dipersilakan mengirim email ke submission@mwmag.com.

Rencana dan Harapan Ke Depan

Hari esok, siapa yang tahu? Apa saja bisa terjadi, dan hanya yang di atas yang bisa menentukan, namun inilah beberapa rencana kami untuk tahun kedua.

Visi: konten bagi praktisi. mwmag pertama diterbitkan dengan visi menjadi media bagi para praktisi Internet. Artinya, mwmag ingin menjadi sarana pertukaran informasi dan pengalaman bagi desainer web, programer web, sysadmin, dan praktisi di bidang lainnya seperti Internet marketing, database, usability, portal, bisnis, dsb. Menurut kami, sebagian hal ini telah tercapai antara lain dengan rubrik Bisnis & Hosting dan lewat rubrik Ulasitus. Untuk selanjutnya kami tetap mengharapkan adanya materi-materi berupa opini atau ulasan yang dikemukakan oleh para praktisi Internet yang memang menguasai bidang bahasannya.

Tutorial. Bagi sebuah majalah profesi dengan visi seperti mwmag, yang menjadi konten utama seharusnya adalah artikel tingkat lanjut, opini, dan esai. Namun tak dapat disangkal, banyak pembaca mwmag yang juga adalah pemula maupun hobiis. Sejak edisi pertama, tutorial dasar berseri (yang letaknya di bagian belakang majalah itu) menjadi salah satu rubrik yang paling banyak disukai dan dibaca. Karena itu untuk ke depannya, porsi tutorial akan tetap dijaga cukup banyak untuk membantu para pemula. Bahkan, mwmag pun memperkenalkan rubrik baru bernama Benhill (bedakan dengan komik Benhill) yang pada intinya akan menjelaskan konsep-konsep dasar pemrograman Internet dalam gaya bercerita. Contohnya artikel “def spam” di edisi kali ini. Nantikan kehadiran artikel lainnya di edisi-edisi mendatang.

Desain dan pemrograman. Pada dasarnya mwmag saat ini masih lebih berkiblat ke arah pemrograman. Ini salah satunya juga karena kepala redaksi mwmag saat ini, Steven, berlatar belakang seorang programer. Namun di kemudian hari, mwmag berharap akan meningkatkan porsi desain agar lebih seimbang dengan pemrograman. Dengan bantuan tim dari BabaFlash.com, konten yang membahas Flash akan coba dihadirkan secara teratur di setiap edisinya. Mulai edisi 8 ini kami juga menghadirkan seri tutorial Dreamweaver (dan nanti disusul dengan Fireworks). Tutorial Photoshop akan diusahakan dilanjutkan dalam waktu dekat. Namun pemrograman bukannya akan diusir jauh-jauh dari mwmag. Steven akan tetap melanjutkan rubrik Hack dan Reksof dari waktu ke waktu. Eris secara regular tetap menulis artikel PHP. Tutorial pemrograman pun akan terus hadir.

Rencana topik utama edisi-edisi mendatang. Di antara topik yang telah kami pertimbangkan dan rencanakan untuk dibahas di edisi-edisi mendatang (meskipun belum dijadwalkan dengan pasti) antara lain adalah: XML, Java, .NET, pembayaran online (kartu kredit), Internet Banking, Firebird 2, Perl 6, Ruby, dan Zend 2. Masukan pembaca tetap kami nantikan dalam hal ini; silakan email kami di feedback@mwmag.com.

Ucapan Terima Kasih

Pada akhirnya, kami dari PT Masterweb Media dan PT Indolinux Inti Media juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung mwmag. Kepada mereka yang sempat bergabung di tim editor awal secara remote, a.l. Ady Permadi, Anto Motulz, Boy Avianto, Dhika, Doni, Edwin Pratomo, Elfan, Erwin Kodiat, Firmansjah Saftari, Hasanuddin Tamir, Ibeng Judistira, Ivan Lanin, Jimmy, MDAMT, Mochamad Yusuf, Owo Sugiana, Priyadi Iman Nurcahyo, T.A. Coen, Zeembry. Maaf kalau ada yang terlewatkan. Meski pada akhirnya tidak ada kelanjutan kiprah di mwmag, barangkali di lain waktu kita dapat saling berkolaborasi lagi. Demikian juga kepada mereka-mereka yang telah sempat terlibat sebagai staf mwmag. Terima kasih atas kerja kerasnya.

Terima kasih juga kepada mereka yang disebutkan berikut ini. Kepada Bpk Andi S. Boediman dan Calvin Lukmantara, dua penanam modal awal yang juga telah banyak memberikan masukan dan nasihat. Kepada majalah Komputeraktif! yang sempat memuat berita tentang kemunculan mwmag. Kepada Bpk Effendy Kho dari InfoLINUX atas beberapa masukan dan iklan gratisnya. Kepada Bpk Purwaluyo dari PT Obor, Bpk Heng Kiat, Bpk Arief, dan Ibu Maria di CV Mujur, Ibu Dina di Ideastore, Bpk Suhendra dan Ibu Wong di PT Takdir, Ibu Tity di Dotcom Indonesia, Ibu Fitry dan staf Digital Studio lainnya, Pak Harsono di Sanur Online, Bpk Andy Luhur, Bpk Ponti. Kepada para narasumber/subjek wawancara. Kepada para kontributor artikel, ilustrator, pengirim berita/tips, pengisi survey.

Terima kasih kepada Ramah Handoko atas karikatur tim mwmag.

Dan terakhir tapi tak kalah penting, kepada pembaca setia di mana pun Anda semua berada. Mari kita tumbuh, belajar, dan berkembang bersama—sambil menjadikan dunia praktisi Internet Indonesia lebih baik!

Thursday, September 26, 2002

Consumer Insight

posted at Marketing Club mailing list

Insights ini bisa macem-macem deh. Basicnya cuma pengamatan atas perilaku, harapan dan persepsi dari target market/calon target market. Saya sendiri masih belum bisa melihat benang merahnya, ini beberapa contoh aja: dari survey diketahui bahwa target market dari Sampurna Ijo adalah masyarakat yg guyub, seneng maen bareng sehingga bisa muncul campaign Sampurno Ijo, asyiknya rame-rame. Contoh lain misalnya iklan Axe. Insightnya, cowok pada dasarnya pingin kalo cewek itu hit on him daripada selalu cowok yg usaha. Dari sini Axe bikin iklan ada cowok culun bersenggolan dengan cowok lain yg baru aja pake Axe. Di lift si cowok culun itu 'digarap' oleh cewek cakep.

Tidak hanya untuk iklan, pemahaman tentang insight ini dipelajari pada consumer behaviour. Kuncinya pada pengamatan Satu buku menarik yg membahas ini adalah The Science of Shopping. Salah satu contoh di situ adalah yg biasa membeli suplemen untuk anjing biasanya adalah anak-anak. Oleh karena itu dengan meletakkan barang tersebut di shelf bawah, langsung meningkatkan sales. Banyak banget deh studi kasus diulas di sini yg semuanya hanya dari sekedar proses pengamatan atas perilaku konsumen.

Saya jadi inget studi kasusnya Coke, Zyman menganalisa ada 13 fungsi/occasion di mana Coke bisa diminum. Coke adalah low involvement, kayak permen. Oleh karena itu ia bikin 13 iklan berbeda yg menjelaskan 'reason to buy Coke' dan ia ngotot ngukur efektifitasnya dari peningkatan jumlah krat yg terjual. Sebagai perbandingan, di Indo saat ini sales Sprite aja masih lebih tinggi daripada Coke, karena Coke di Indo di benak konsumen masih masuk dalam kategori 'limun', bukan kategori 'cola'. Ia bahkan menstop salah satu iklan Coke paling disukai audience, dapat award banyak dan sangat diingat penonton karena tidak meningkatkan sales. Iklannya adalah seorang anak kecil yg ngasih minum pada idolanya, Mean Joe Green, pemain football.



______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Tuesday, September 24, 2002

Consumer Adoption discussion

Shin Bernard
saya ingin memberikan sedikit opini dan banyak pertanyaan yang sekiranya dapat membantu kita semua yang ingin belajar marketing (maklum saya juga baru belajar ). Saya sangat tertarik membahas dari sisi awarenes dan high/low involvement suatu produk. Menurut Assael ada 5 langkah dalam proses adopsi suatu produk (5 stages in adoption proces):
1. Awareness
2. Knowledge
3. Evaluation
4. Trial
5. Adoption

Yang menjadi pertanyaan disini adalah, apakah semua produk entah itu high atau low involvement harus melewati semua proses/tahapan ini atau apakah bisa dari proses awareness langsung masuk ke tahap trial tanpa melalui knowledge dan evaluation? Bagaimana halnya dengan kasus permen? Apakah permen hanya membutuhkan awareness semata (ex.permen dynamite dengan rasa coklat+mint) dan langsung ke tahap trial ataukah permen juga membutuhkan 5 tahapan seperti yang telah diutarakan diatas? Itu jika dilihat dari sisi produk&konsumen, jika kita memandang dari sisi perilaku konsumen dimana ada 2 needs yang ingin mereka penuhi (utilitarian dan hedonic), apakah konsumen juga harus melewati kelima proses tersebut secara berurutan atau bisa saja mereka tidak melewati, misalnya satu tahapan dari proses tersebut? Kembali ke masalah permen, bisalah kita mengatakan kalo permen berada pada posisi produk low involvement. Sekarang pertanyaan untuk produsen permen, apakah ada keinginan dari mereka untuk memindahkan posisi tersebut ke high involvement? Apakah ada keuntungan yang mendasar (mis. dilihat dari profit yang didapatkan) jikalau suatu produk berpindah posisi dari low ke high involvement?

Hani Susilo Handoyo
Sebagai proses, 5 stage in adoption menurut saya memang ya harus runtun, akan tetapi bila kita mampu meng create "sense of attachment" towards the brand melalui markomnya, proses tadi tidak lagi akan tampak berurutan. Ada beberapa hal yang membuat saya "percaya" dengan hal tersebut;
1. Jack Trout; what matters is actually what the customer perceived about the brand.
2. Alm. Gombloh; Bila Cinta sudah melekat ... tai kucing terasa coklat...:-)

Andi S. Boediman
Saya nggak ngerti soal permen nih, tapi ingin sedikit urun rembug nih. Saya pikir permen adalah jenis produk yg tidak perlu kita jelaskan lagi apa itu. Tapi untuk menciptakan satu attachment, kita bisa berangkat dari beberapa perspektif, yg digemari oleh orang advertising pake istilah consumer insight. Di sini kita tidak cuma berangkat dari produk, tetapi membaca pasar. Kopiko sukses dengan membangun kategori baru permen anti kantuk, dulu Xon-Ce dengan buat orang yg lagi perjalanan (meskipun bukan permen). Atau Mentos untuk para Freshmaker.

Kalo saya pikir kita nggak lagi menjual rasa atau permen kita lebih manis, asin, asam, dll, tapi misalnya permen ini adalah untuk self-indulgence, atau permen untuk orang pilek, atau permen buat pesta, atau macam-macam lagi. Yg penting mungkin bukan sekedar brand awareness (diingat atau diketahui), tapi juga bisa memberikan persepsi dan identitas.

Contoh kasus sederhana mungkin Dunkin Donut. Tiap kali kita berkunjung ke temen sakit, pasti yg dibawa Dunkin. Ini hebat nih, padahal mereka cuman nitipin di tiap sinetron untuk nenteng Dunkin kalo berkunjung ke temennya :)

Pandangan saya apakah suatu produk perlu berpindah posisi dari low ke high involvement, kelihatannya sih nggak perlu ya, karena ini nature dari productnya sendiri. Yg lebih perlu gimana bisa attach ke persepsi tertentu. Misalnya permen yg kalo dimakan bareng pacar asyik deh, sekaligus cocok buat French Kiss :), atau misalnya permen yg bisa menggantikan duit 50 perak Indonesia. Iya nih, kok nggak ada produsen permen yg bikin permen seharga 50 perak dan dibentuk aja kayak 50 perak :), terus dikasih brand 'Gocap!' Taglinenya: Gocap, pengganti duit go-cap! Ini kategorinya gedhe lho dan marketnya jelas! Don't listen to me, it's just a
crazy & wild idea :)

Thursday, September 19, 2002

One to One Marketing

posted at Marketing Club mailing list

Q: Nowadayz there is new paradigm of marketing, that is so-called 1-to-1 marketing. I got from the website but unfortunately i cant reach it up what is 1-to-1 marketing? you guyz any ideas???????


Andi S. Boediman
Yg memunculkan istilah ini adalah Don Peppers & Martha Rogers di buku One to one Future. Buku ini membahas bagaimana meningkatkan hubungan personal dengan klien melalui pemikiran untuk mendeferensiasi customer, tidak sekedar produk, memanage customer, memelihara privacy mereka dan mungkin yg sekarang ini lagi hot adalah konsep CRM (customer relationship management) melalui berbagai media interaktif (fax, telepon, komputer, dll).

Shin Bernard
Pada dasarnya 1-to-1 marketing bertujuan untuk meningkatan share of wallet dari pelanggan dengan melakukan penekanan pada pembinaan hubungan jangka panjang, maka yang diharapkan tidak hanya ada repeat order tetapi juga share dari perusahaan bisa meningkat. Ada beberapa aktivitas dalam 1-to-1 marketing ini:
1. Harus dapat mengidentifikasi profil-profil individu yang terlibat dalam keputusan pembelian. Sehingga kitapun bisa mengetahui dengan jelas apa saja kebutuhan dan nilai-nilai mereka.
2. Atas dasar informasi yang diatas maka kita dapat merancang upaya pemasaran agar produk/layanan yang ditawarkan mempunyai nilai yang tinggi dimata pembeli.
3. Kita perlu melakukan interaksi melalui dialog or sharing knowledge dengan pembeli atau calon pembeliagar dapat mengetahui inside information.
4. Informasi yang kita peroleh dapat kita gunakan untuk terus meningkatkan kemampuan untuk merancang produk/layanan yang customized.

And as the time goes by....tingkat ketergantungan pembeli akan semakin tinggi sehingga para pembeli akan semakin sulit berpindah ke penjual lain. Dalam istilah pemasaran biasanya disebut dengan customer lock in. Mengenai customer lock in, ada beberapa hal yang diperkirakan mampu menciptakan situasi customer lock-in, misalnya saja struktur harga, produk /jasa yang customized, aset kolateral perusahaan (mis: kepemilikan jaringan distribusi dan pemasaran, good staff, n brand image). Pada dasarnya brand dapat memperkuat upaya lock-in ketika produk serta fungsinya belum dikenal. Karena brand (atau lebih tepatnya saja merek) bisa memberikan jaminan untuk menghilangkan keraguan terhadap performansi produk dan mendorong terjadinya pembelian berikutnya.

Untuk membangun hubungan dan mencari informasi dari pelanggan , ya...salah satunya dengan CRM itu. Mengenai 1-to-1 marketing ini, lebih tepat diterapkan pada B2B selling or personel selling? or both? any opinions?

Monday, September 16, 2002

The Fall of Advertising discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

Andi S. Boediman
Yg saya lihat dari buku ini bukan sekedar PR dalam konteks sempit, tetapi merupakan kegiatan marketing dalam konteks lebih luas ketimbang penggunaan TV, print AD & radio. Mungkin source yg baik adalah buku Scientific Advertising yg ditulis Claude Hopkins. Kelihatannya ini buku Ad pertama yg ditulis di th 30-an. Di sini banyak sekali diungkapkan bagaimana advertising pada zaman itu punya tanggung jawab besar sekali. Ambil contoh: untuk memperkenalkan komponen kue (cotosuet -> kira-kira sebangsa margarin), ia membuat acara display roti terbesar di dunia yang diliput di media dan toko tersebut menjadi ngetop. Bargaining yg ia minta kepada toko adalah untuk membuat roti tersebut, toko akan mengorder cotosuet dalam jumlah cukup besar. Si pemilik toko tentu saja sangat puas dengan hasilnya. Hopkin menyebutkan bahwa advertising adalah SALES, tetapi ditujukan kepada banyak orang. Untuk menghasilkan sales, ia membuat event, membuat publikasi di media, dll. Advertising is about all of that, bukan sekedar dalam konteks sempit yg kita lihat hari ini. Yg disebut PR oleh Ries adalah mengcreate konsepnya, bukan sekedar sebagai penyelenggara event yg sudah dipikirkan klien atau menjadi sekedar pendesain iklan seperti advertising yg banyak
kita lihat saat ini.

Contoh lokal yang menurut saya sangat sukses adalah membangun brand Clear, di mana dikombinasikan advertising dan kegiatan pendukung seperti Clear Top Ten, acara di mal, dll. Ini adalah jenis kombinasi PR & advertising yg sangat bagus.

Sumardy
kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Andi S. Boediman
Advertising bermanfaat mengingatkan akan persepsi yang kira-kira sudah terbentuk di sebagian masyarakat, sebagai satu 'enhancer' yang dampaknya bisa lebih luas. Kredibilitasnya sendiri akan dikonfirmasi oleh orang-orang yang sudah mendapat benefit dari produknya. Saya saat ini menganut bahwa advertising adalah lebih ke 'selling'. Setiap pasang iklan, saya ukur bagaimana impactnya dan saya ukur dari respon langsung. Jika respon kurang, maka iklan tidak efektif. Tetapi saat menggunakan metoda PR (event, seminar, berbagai kegiatan), saya malah tidak mengharapkan direct impact. Impact saya ukur dalam kurun waktu at least sebulan ke atas. Di sini bisa terlihat adanya peningkatan grafik sales. Jadi dalam hal ini saya malah mengkorelasikan antara advertising & sales. That's my method and it's work. Saya tidak mengatakan bahwa cara yg saya lakukan tersebut bisa dimanfaatkan oleh semua orang, tapi at least dalam cukup banyak kasus ini berhasil.

Salah satu pendukung bahwa advertising should generate sales adalah Sergio Zyman - bekas CFO Coke yg disebut si Aya Cola (lihat The End of Marketing as We Know It). Ia merevolusi metoda pembayaran ke advertising di Madison Avenue untuk menggunakan model commission based. Perusahaan advertising mendapat komisi dari peningkatan sales, tapi jika ad tidak berhasil, maka mereka nggak dibayar :), tapi jika sales meningkat, they win....big time! Ia menarik iklan Coke yg meskipun recallnya tinggi tapi nggak generate sales.

Sumardy
Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!

Andi S. Boediman
Ries malah setuju hal ini. Ia membandingkan Advertising dengan Insurance. Advertising adalah insurance bagi company untuk memperbesar/mempertahankan market share, mind share dan sales yang sudah ada, bukan bikin dari yg nggak ada. Dalam hal ini, ia tidak membandingkan advertising harus menjual, tapi tanpa advertising, penjualan akan menurun.

Sumardy
Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. Siklus hidup pasar
4. Siklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Andi S. Boediman
Setuju banget. Saya lihat setiap kondisi yg unik menyumbangkan variabel di dalam marketing. Seperti halnya diskusi yg sudah terlontar di sini beberapa hari ini, senjata kita kan ada PR, ada permission, ada emotional/experiential, dll. Kita sebagai marketer tentu memilah sendiri senjata mana yg cocok saat kita berada di kondisi apa, market apa, siapa sasarannya.

Saya tertarik pada konsep kognitif, afektif dan behaviour yg pak Sumardy sampaikan. Tadinya saya nggak kepikir hal ini, tetapi begitu terlontar, saya kepikir istilah yang banyak dipake temen-temen advertising, yakni AIDDA (attention, interest, desire, decision, action). Kelihatannya ini hanya sampai kepada kognitif dan afektif, tidak sampai behaviour. Keberhasilan advertising merubah perilaku ini contohnya adalah: Keramas setiap hari, keramas/pake sabun sekali nggak cukup dan mesti 2 kali biar lebih bersih, minum air 3 liter sehari. Sebaliknya salah satu campaign yg paling banyak dapet award di Amrik adalah 'Got Milk' yg dikampanyekan oleh asosiasi penghasil susu akibat menurunnya tingkat konsumsi susu. Tetapi kreativitas ini tidak nampak pada sales susu yg tetap menurun, alias gagal.

Ini bisa juga ditautkan pada technology adoption life cycle yg disampaikan oleh Geoffrey Moore di Crossing the Chasm. Pernah di satu waktu PAKU adalah teknologi tinggi :). Di masa awal adopsi teknologi/produk, kita membutuhkan komunikasi yang kognitif dan lebih ke arah functional benefit, pada saat teknologi/produk sudah mature, komunikasi kita maju ke tahap image dan bisa ke arah behaviour, tetapi saat teknologi sudah sampai tahap down market, maka tak pelak kita hanya memanfaatkan after market yg terjadi (contoh: mesin ketik, software Wordstar yg saat ini masih aja ada yg pake & tetap dijual baik produk maupun trainingnya:). Asumsi yg sama saya ambil dengan diskusi mengenai low involvement & high involvement produk. Bukan masalah high/low untuk mengkomunikasi functional, image, dll, tetapi kepada cycle produk. What do you think?

Sumardy
jadi Intinya adalah jangan mencoba untuk melakukan generalisasi dan diskusi kita ini dapat menjadi sebuah pelajaran karena kalau kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, banyak sekali perusahaan yang senangnya ikut-ikutan alias imitasi strategi yang dilakukan oleh perusahaan lainnya regardless of its product characteristics and other factors.

Andi S. Boediman
Bener juga, kayaknya pelajaran advertising/marketing secara general cocok untuk orang yg baru ingin memahami konsepnya, tetapi begitu sampai pada tahap implementasi, perlu adanya kombinasi stretegi/taktik. Malah mungkin pendekatannya malah bukan theoritically correct, tapi try and error (ini saran dari Claude Hopkins & Sergio Zyman), jadi setiap usaha, kita evaluasi impactnya dan kemudian kita perbaiki strategi/taktiknya :). Terus menerus!

Sumardy
ini yang akhirnya menjadi bumerang (mungkin ini juga ada kaitannya dengan values masyarakat kita) yang terjebak dalam suatu arus menuju komoditas.

Andi S. Boediman
Dari sisi produk, ini ada untungnya karena advertising/marketing kerjanya nggak terlalu berat untuk mengedukasi publik dari sisi adopsi & benefit produk, tapi di lain pihak problemnya adalah margin yg kecil sehingga terpaksa kita mendeferensiasi produk kita melalui
ad/marketing.

Me too style ini kelihatannya bukan cuma monopoli orang kita, tapi widely adopted di Barat juga. Kan aji mumpung :)

The Fall of Advertising

posted at by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

Jujur saja, saya agak sedikit bertanya2 dalam hati mengenai buku Al Ries ini yang membandingkan antara PR dan advertising dan yang lebih penting lagi (ini yang banyak salah kaprah), kita selalu memperlihatkan iklan sebagai THE ONLY AND ULTIMATE WEAPON to win the market share. THAT'S CRAZY !!!!!

Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!1

Iklan hanyalah merupakan salah satu bagian dari integrated marketing communication dan marketing communication itu memiliki tujuan tersendiri pada tahap dan stage tersendiri. Konsumen dalam mengambil keputusan juga memiliki proses yang harus dilalui mulai dari
cognitif, affective sampai behaviour.

dan masing-masing ketiga tahapan tersebut juga memiliki subtahap lagi yang harus dilalui oleh setiap konsumen. dan iklan sendiri juga memiliki tujuan mau mencapai yang mana, menyasar cognitive, affective atau behavior ??

Kalau iklan yang dimunculkan untuk menyasar cognitive dan kita mengharapkan menghasilkan penjualan, maka IKLAN TIDAK EFEKTIF DAN MENYESATKAN KITA SEMUA !

karena cognitive itu baru menyangkut belief, setelah ada belief harus ada evaluasi terlebih dahulu terhadap berbagai merek dan itu terdapat dalam proses affective dan masih menmbutuhkan jalan panjang menuju perilaku membeli suatu merek. terus iklannya mau disasarkan kemana ??

AL RIes dalam bukunya (in my opinion) mencoba untuk melihat segala sesuatu secara sepotong-potong dan hanya mengaitkan antara iklan dgn penjualan dan brand equity serta antara PR dengan brand equity. Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa dengan PR saja maka segala sesuatu akan terselesaikan dan kita akan memiliki mighty brand in this
universe ???

Wow........ asumsi ceteris paribus yang lebih menghenyakkan dunia pemasaran dibandingkan asumsi ceteris paribus dari supply dan demand orang ekonom yang sudah mati ketinggalan jaman sehingga muncullah buku The Death of Economics. Kalau kita mengikuti pola pikir Al Ries, maka The Fall of Advertising sekali lagi akan banyak menyesatkan kita semua dan terjadilah The Death of Categorization and Ceteris Paribus Mind-set yang membuat kita lupa terhadap kompleksitas konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian merek.

Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. SIklus hidup pasar
4. SIklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Simplifikasi permasalahan sering membuat kita gagal dalam meluncurkan strategi karena hanya melihat konsumen sebagai individu yang dicerminkan oleh cara berpikir kita sebagai produsen dibandingkan cara berpikir orang lain sebaga konsumen.

correct me if I am wrong

Any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Friday, September 13, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana? - discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Andi S. Boediman
Yap, ini yg dari dulu disebut USP (unique selling proposition). Saya pikir teknik dan media komunikasi saat ini sangat beragam untuk menunjukkan bahwa suatu produk bukanlah komoditi. Dari sisi metode, saat semua nggak ngiklan, kita ngiklan, saat semua bikin iklan produk, kita bikin iklan image, saat semua bilang experiential, kita pake PR, dll. Dari sisi positioning dan segmentasi, kita pisahkan produk berdasarkan psikografi konsumen.

Sumardy
Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Andi S. Boediman
Saya juga melihat demikian, bahwa yg menentukan strategi pendekatan sebenarnya lebih bersifat bottom-up, lebih tactical ketimbang strategic, misalnya yg high involvement kita pake jurus emotional, yg low involvement, kita pake jurus 'catch phrases'.

Sumardy
Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for consumers' fun only !!!

Andi S. Boediman
Ini udah kejadian nih, penggunaan character yg overshadow the product, contoh di Amrik, Bunny Energizer (or Duracell...people tend to think), Chihuahua Taco Bell. Di Indo ada Joshua yg di masa jayanya mengendorse lebih dari 10 produk. Di sini iklannya bikin ngetop characternya, bukan produknya :) nah lho!

Sumardy
yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk permen

Andi S. Boediman
Saya pikir ini tergantung studi market terhadap konsumen. Di dalam misalnya pembelanjaan mie instan, susu bayi atau produk yg masuk dalam kategori 'direncanakan' untuk dibeli, kita tidak perlu mengandalkan in-store promotion yg gencar, kecuali produk tersebut bersaing sebagai komoditi atau brand lain mempromosikan secara gencar. Tetapi di dalam produk yg low involvement dan 'tidak masuk direncanakan' saat pembelian seperti permen, ice cream, maka pembelian mengandalkan 'impulse buying' di mana in-store promotion memainkan peran sangat penting di mana seorang pelanggan menjadi tertarik akibat adanya 'free-tasting', prominent display, hanging mobile, branding yg kuat, dll.

Sumardy
Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

Andi S. Boediman
Setuju, tapi studi-studi yg dilakukan oleh banyak pakar marketing menurut saya lebih kepada 'koleksi jurus'. Sebagai marketer, kita tidak harus mengeluarkan semua jurus, kali ini pake permission marketing, kali lain/produk lain pake emotional branding, dll, tergantung musuhnya :), yakni consumer perception.

A Mild

Sebagai suatu ide positioning, saya pikir A-mild sukses saat campaign How Low Can You Go! Ini well done, yg mampu menciptakan suatu kategori baru di pasar rokok. Begitu pula dengan Sampurna Ijo, di mana riset consumer insight mampu menyegarkan brand yg tadinya kurang dikenal menohok di tempat ketiga produk rokok. Tetapi menurut saya pribadi, komunikasi A-mild kehilangan jati diri sejak berubah menjadi Bukan Basa-basi, kembali Ok waktu campaign Others Can Only Follow (menunjukkan kemampuan sebagai market leader dan mempertahankan posisi sebagai yg pertama -> lihat Marketing Warfare Al Ries). Dengan campaign yang terakhir ini, saya tidak melihat signifikasi dari komunikasi tersebut. Mereka nggak ngasih reason to buy the product dan saya agak skeptis dengan kesuksesannya, mungkin hanya bisa mempertahankan posisi karena kuatnya budget advertising, tapi tidak memberikan edukasi kepada konsumen dan meningkatkan sales.

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Wednesday, September 11, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana?

posted by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer,

Berkaitan dengan diskusi kita mengenai fluoride pada permen dan dihubungkan dengan informasi yang didapat dan diberikan kepada konsumen pada tulisan saya sebelumnya, maka sebenarnya terdapat satu topik yang juga cukup menarik yang masih memiliki kaitan dengan informasi dan juga tingkat perkembangan konsumen.

Kalau kita lihat perkembangan akhir-akhir ini terutama dari segi komunikasi pemasaran, maka kita menemukan fenomena yang cukup menarik dan menjadi trend saat ini. ditengah persaingan peluncuran produk dan merek baru yang tidak terbatasi, sekarang ini muncul jargon yang namanya emotional brand atau experiential marketing and something like that yang pada intinya menekankan pada keunggulan di segi emotional benefit dan tidak hanya functional benefit lagi.

Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Yang sering dilupakan oleh para pemasar dan ini terbukti kalau kita melihat marketing campaign yang mereka lakukan adalah mereka tidak pernah berpikir sebenarnya produk mereka termasuk kategori apa dari segi sudut pandang konsumen dan inilah yang membuat banyak merek jatuh karena cuma ikut-ikutan tok tanpa adanya strategic thinking
behind the actions.

Kalau kita melihat dari sudut pandang konsumen, maka ada dua needs yang mereka ingin penuhi
1. Utilitarian needs yaitu yang berkaitan dengan functional benefit dari suatu produk
2. Hedonic needs yaitu yang berkaitan dengan emotional benefit berupa dreams and fantasy beyond the features of the products.

saya percaya semua decision makers mengerti mengenai perbedaan ini, tetapi bagaimana pengaruhnya ke strategy ?

dalam menghasilkan sebuah iklan (saya memfokuskan pada marketing campaign khususnya above the line saja), perusahaan yang berusaha menghasilkan ikatan emotional berusaha menonjolkan sosok, endorser or whatever yang bisa menyentuh sisi emosional kita, tapi pernahkah dipikirkan after the campaign what the consumers' have in mind?

Perusahaan seringkali tidak bisa membedakan antara figure dengan ground dalam suatu iklan.
1. Figure merupakan sosok ataupun "jualan" utama yang ingin kita tampilkan ke konsumen dan menjadi the ultiimate weapon perusahaan dan itu bisa dalam bentuk logo, spokeperson, trademark, brand etc.
2. Ground merupakan "pernik-pernik" tambahan yang digunakan untuk "melengkapi" sosok figure sehingga menghasilkan sebuah konsep periklanan yang lebih hidup dan secara teori ground yang ditampilkan untuk menghidupi figure TIDAK BOLEH menutupi peran dan fungsi figure .

Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for
consumers' fun only !!!

Dan kesalahan ini justru sering dilakukan oleh perusahaan yang produknya dapat dikategorikan sebagai high-involvement products yang sebenarnya tidak membutuhkan emotional campaign dan in fact ITU TERJADI DI INDONESIA.

yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk perman (gimana bung Dodi?)

Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Ideavirus



Sedikit oleh-oleh buat yang menyukai high tech marketing. Salah satu favorit saya adalah Seth Godin (Permission Marketing, Unleashing the Ideavirus & Survival is not Enough). Dia pingin membuktikan konsep ideavirusnya dengan ngasih file pdf bukunya sendiri secara gratis di www.ideavirus.com

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Sunday, September 01, 2002

Will Power in Action

Source: Asia Image


Will Power in Action: if sheer effort and will were enough to propel an industry forward, Indonesia's very committed group of animators could see the local animation industry take off in the next few years. But they admit the industry must surmount some obstacles first. (Country Focus).

At a recent Animation and Visual Effects Conference and Exhibition for the Indonesian market, held August 14-15 in Jakarta, the dedication and enthusiasm of the local animation community was clear. Organised by the Animator Forum and Digital Studio, the event attracted a good audience from agencies, production and post facilities, and educational institutions.

What was impressive, however, was the active participation of the local animation industry, with many members taking time out to either present sessions or act as moderators.

Andi Boediman, creative director of Digital Studio, says, "There are events such as SIGGRAPH and NAB in the US, and BroadcastAsia in Singapore. There is so much we can learn from such industry events, and we have had the idea to host a similar event for a long time, for the industry to network, learn, and interact."

Digital Studio was established in 2000 as a graphic arts training centre. It offers short courses in digital imaging, desktop publishing, multimedia, web design, and animation. It is also the only Adobe Certified Training Provider, Macromedia Certified Training Center, and Alias|Wavefront Academic Provider Partner in Indonesia.

Its courses and its graduates could well be solution to one of the problems Boediman sees as hampering the further development of Indonesia's animation industry. "Our weaknesses are a lack of professionalism and teamwork," he says.

"The industry should concentrate on supporting education. First we focus on skill development (in the next 2-3 years) so we can at least fulfill current animation jobs available. Then we concentrate on expanding people development (skills, talent, and attitude) so we can have good leaders and teams within 5 years. The best people in the industry should go to school and teach," he adds.

His sentiments are not atypical of other industry members. Edwin Winarta, operational manager of Pyramid Image, one of Indonesia's largest post houses, where animation accounts for a quarter of business volume, agrees there is a short supply of skilled and educated animators.

This lack of talent could prove to be a critical issue in the growth of the animation market as, in spite of the financial fallout in 1997 and the lingering worldwide economic malaise, Indonesia does not lag behind its Asean neighbours in terms of equipment or technology.

Indications are there is plenty of room for growth, with industry players estimating annual growth in the demand for animation ranges from 15 to 20 per cent. Currently, most of the animation produced in Indonesia is for TV commercials, with work commissioned by agencies or production houses.

But even that market segment, which constitutes as much as 80 to 90 per cent of animation work, is limited in its scope. Deswara Aulia, executive producer at animation studio dementiA Animation, says, "Most (work) comes from production houses that need animation as support for their jobs. Animation is mainly used for supers or running text, or to show a product package at the end of the commercials.

"Sometimes clients need character animation for certain commercials, but these are mostly for children's products like candy, bags, or shoes, and we only get three to four such projects per year," he reveals.

dementiA Animation has been in the industry for two years, but according to Aulia, functioned as a "hobby studio producing animation shorts" until two months ago, when it became a commercial studio. Aulia, a post production veteran, is however optimistic about the studio's prospects, especially as demand for animation in other forms is beginning to take off.

Local drama or comedy series, highly popular with the Indonesian audience, for example, has started incorporating more animation and CG elements in their production.

"Now we have more demand for character animation and visual effects for TV programme series. Ad agencies are also using more character animation for their product advertisements," he says.

Aulia adds, "The success of features such as 'Petualangan Sherina' and 'Ada Apa dengan Cinta' produced by Miles Production gives us the opportunity to explore producing animation features. People are going crazy about local production, after many years without local productions."

Indeed, many animators see this expansion into new market segments as critical for the sustained growth and viability of the industry. This was one of the issues discussed at the conference. Besides local drama or comedy series, animation studios and animators must be encouraged to develop original animation content--TV and movie features--that can be distributed worldwide.

Boediman points out that Indonesia enjoys the advantage of a large local market, "We consume a lot of American and Japanese animation but even the best selling American film can't do as well as our best selling local film. It's unfortunate that we have not any quality animation feature films yet."

Of course, this goal is great in theory, but in practice, it runs into a few problems. "The time and money needed to produce animation for TV is considerably long and high. Our market can't support that," Aulia says.

A typical 30-minute TV programme in Indonesia sells for a maximum of Rp 30 million (US$3,360). According to Aulia, post production companies and animation studios can get twice to five times as much producing a 30- or 60-second commercial.

He adds, "To produce animation (especially 3D animation), we will need a minimum of Rp 200 million (US$22,400)to Rp 2 billion (US$224,000) per episode. Even at the minimum cost, we still lose a lot of money."

Despite his optimism in developing for TV programmes and feature films, Boediman is almost brutally realistic: "From my perspective, US, Europe, and Japan are good candidates for our animation work. But most people in the industry are working separately to open the market. As we have to work separately, it's pretty difficult as everybody is throwing a small stone into a very big pond. We need to join efforts in opening up more opportunities."

As director of Business Entertainment Solutions of BisInfo, Arianto Bigman offers the unique perspective of one involved in the industry, yet who is not an animator himself. BisInfo is the distributor of animation software tools such as Maya, the most popular 3D animation programme in Indonesia, Realviz, and Animo.

Bigman says that while there is great talent available in the country, what is lacking is industry cooperation. He suggests that for Indonesia's animation market to mature, players must be able to attract investments, and to do so, they need to learn how to market themselves.

"Most of the people in the animation field are production personnel, artists. They're very good artists, some are perfectionists even, but ... I do think we (also) need a manager from a business background who can take care of the business aspects as well as an operations manager who can oversee the production workflow. Currently, we have good operation managers but lack business managers," he says.

"And at the end, if we have a superb product, but we cannot market it, it will be useless. That's why we also need good marketing managers who can sell our products, or create a market for them even," he offers.

As things stand, Indonesia's animation industry is in its very early stages of growth. With applications limited currently to TV commercial work, the landscape is dotted with only a few studios dedicated to animation work, while post production facilities continue to dominate a market that cannot afford to support a robust independent animation industry.

Just a handful of animation studios-- dementiA Animation, Red Rocket Animation, and Bening Studio being some of them--compete with post production facilities for animation projects. Pyramid Image's Winarta admits that it's easier for his facility to get animation work as "the kind of work in demand needs support from compositing, editing and other services available only at post houses".

Aulia believes that the preference for "one-stop" shopping is a result of clients' focus on price and speed. Instead of choosing the best facility for each type of work, they prefer to choose one post production facility that can do it all.

Whatever the market conditions, Indonesia's plucky group of animators is not letting such issues stop them from aiming high. They're ready to develop some muscle, and they're not shy to ask for help doing it. Says Roy Adimulu, head of graphics at Pyramid Image and public relations coordinator of the Animator Forum, "We're still building the bridge between the private sector and government to develop some formulas, such as regulations, for this industry. We hope that our efforts can bring this industry to the same level as other local industries."

To Activate and Motivate

Led by some of the industry's most prominent members, the Animator Forum was established in 1999. According to Roy Adimulu, public relations coordinator, the group's initial goal was to develop the local animation industry by hosting regular monthly events where local animators could present their work to the public.

The founders, who included animators, post production artists and distributors as well as educators, wanted a communication outlet where those interested in animation could interact with local players, serving to attract more talent to join the industry, in addition to creating more awareness.

The Animator Forum is unique from other similar industry bodies as there is no formal structure and membership rules. Says Adimulyo, "Our group doesn't offer membership, but we usually have about 100 people for every event we host. They come from different backgrounds and include students, agencies, film directors, and even some institutions that are interested in the industry."

Since its establishment, the Animator Forum has spread its wings beyond Jakarta to other major cities such as Bandung, Surabaya, and Yogya. While its primary objective remains the same, its leaders are more focused on education now, as they have seen a demand for more training and information.

Besides the monthly events, the Animator Forum also works with other institutions in the industry such as local animation studios or production houses to promote TV programmes featuring local animation.

COPYRIGHT 2002 Reed Business Information, Inc. (US)

Sunday, August 18, 2002

AFX Conference Report

Meskipun diselenggarakan dengan waktu yang sangat pendek (3 minggu sejak pengumuman hingga pengumpulan karya), ternyata kompetisi animasi pada Animation & Visual Effects Conference bisa mengumpulkan karya 106 (yg sesuai kualifikasi). Di luar ini masih cukup banyak karya yg tidak dimasukkan akibat deadline terlambat, tidak jelas kategorinya, CD tidak bisa dibuka, nama & informasi yang hilang, dll. Bahkan selain entry dari Indonesia, ada juga kiriman dari Brunei, Malaysia dan USA, semuanya oleh orang Indonesia yang sedang berada di luar negeri. Dari sisi kualitas, para juri cukup impress dengan hasilnya. Sangat banyak karya-karya animasi yang luar biasa.

Pada tahun 2002 ini, hanya dikompetisikan 4 kategori: Character Modeling, Visualization, Motion Graphic & Short Animation. Agar ajang ini bisa dimanfaatkan sebagai barometer perkembangan animasi, ada baiknya acara ini bisa melibatkan lebih banyak lagi rekan-rekan dari berbagai bidang & latar belakang untuk memberikan masukan mengenai kategori, penyelenggaraan, syarat-syarat, dan berbagai masukan lain. Dari sisi kepanitiaan yang baru dilakukan pertama kalinya oleh Digital Studio & Animator Forum, kita masih melihat sangat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kita juga mengundang rekan-rekan lain untuk bisa terlibat yg pada akhirnya akan membuat acara ini menjadi milik bersama.

Masih cukup banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh kepanitiaan kali ini seperti:
  • Apakah perlu dipisahkan entry dari kalangan pelajar dan kalangan profesional?
  • Berapa jumlah juri yg ideal untuk masing-masing kategori?
  • Apakah perlu diadakan People Choice Award atau karya favorit oleh publik?
  • Apakah para juri boleh mengikutkan karyanya?
  • Faktor penilaian apa saja yang menjadi parameter penilaian? Bagus/tidak bagus?
  • Suka/tidak suka? Sulit/tidak sulit?
  • Bagaimana dengan animasi yang dibuat untuk iklan, masuk kategori apa? Animasi/visual effects?
  • Apakah animasi dalam bentuk Flash perlu dipisahkan menjadi satu kategori atau kategori Interactive/Web Animation?
  • Bagaimana dengan animasi yang dibuat untuk video klip? Masuk kategori apa? Atau perlu kategori tersendiri?
  • Bagaimana dengan animasi Classical/2D, perlu kategori tersendiri?
  • Bagaimana dengan animasi untuk film/TV, perlu kategori tersendiri?
  • Berapa banyak entry yang boleh dikirimkan oleh satu orang? Apakah satu karya boleh dimasukkan ke lebih dari satu kategori?
  • Apakah perlu diadakan lomba bulanan/2 bulanan untuk kemudian baru dipilih karya terbaik dalam 1 tahun?
  • Apakah perlu penghargaan khusus untuk Live Achievement Award? untuk kategori Wanita (karya wanita masih sangat jarang :)
Pertanyaan ini kita lontarkan ke beberapa milis dengan harapan rekan-rekan dari berbagai bidang & disiplin ilmu bisa ikut memberikan masukan dari perspektif masing-masing.

Dari fakta yg kita dapatkan tahun ini, dari kalangan akademis & praktisi mampu berkompetisi secara head to head, yang menang ada yang menggunakan 3D, ada pula yg 2D, di sisi visualisasi ada yang still, ada pula yang animasi, di sisi motion graphic, ada Flash, 3D, 2D, gabungan editing, compositing & live action.

Kita tunggu masukan dan volunteer untuk kepanitiaan di tahun depan.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Saturday, August 17, 2002

Pemenang AFX

Kawan-kawan semua,
Animation & Visual FX Conference, hasil kerjasama Animator Forum dan Digital Studio telah berakhir kemarin malam, ditutup dengan Pembacaan Pemenang AFX Competition.

Berikut ini adalah para pemenang berdasarkan kategorinya.

1. SHORT ANIMATION
  • Jaka Setiawan - Bandung "2 Media" - pemenang
  • Medi Gurmarizal - Bandung "Jajangkungan" - runner-up

2. CHARACTER MODELLING
  • Lukas Gunawan Budi Sutjipto - Yogya "Fantasy Beast" - pemenang
  • Delly Sartika - Blitar "Alfa" - runner-up

3. VISUALIZATION
  • Eric Law - Jakarta "Molis" - pemenang
  • Ivan Ibrahim - Jakarta "Sorong Airport Project" - runner-up

4. Motion Graphics
  • Rully Rochadi - Jakarta "LA TEVE" - pemenang
  • Feddy - Jakarta "Lesbianisme" - runner-up

Selamat untuk para pemenang - kami sangat menghargai karya anda dan semoga semua peserta akan dapat kembali mengikuti kompetisi ini di tahun depan. Harapan kami, Panitia AFX adalah dapat mengadakan kompetisi ini lebih baik dan lebih besar lagi. Juga berharap jumlah entry akan meningkat lebih banyak lagi.

Pada pertemuan AF di masing-2 kota, para pemenang diharapkan akan dapat mengadakan presentasi atas proses pembuatan karyanya untuk membagikan pengalaman di komunitas, karena kita memiliki pemenang-2 dari masing-masing daerah.


Thanks & regards,

Arianto Bigman
Animator Forum

Monday, August 12, 2002

Kuliah Motion Graphic - lanjutan

Q: O iye mo tanya jg neh...masih motion grafis seh : Gimana Animasi di Indonesia utk praktek di dunia nyata? Udah kepake maksimal apa? Soalnya kan gak mungkin sekolah di digitstudz ambil animasi kerjanya di pixar...

A: Dari hasil kompetisi animasi AFX Competition ternyata 50% adalah motion graphic, ada kiriman dari televisi, animation house, post production house, individual desainer, dll. Karya yang saya evaluasi hari ini bersama para juri mendekati 70 karya motion graphic. Banyak yg sudah tayang atau commercial project, berarti marketnya BESAR BANGET! Dari analisa saya,
mayoritas yg terjun ke dunia motion graphic ini punya latar belakang graphic design, bukan latar belakang animasi. Dari yg saya kenal secara personal, karya mereka makin maju setelah mereka terjun di lapangan.

Jadi saran saya, belajar deh segera, karena ini TV yg aktif belum semua menggali potensi ini atau market yg lain juga terbuka lebar seperti multimedia, company profile, dll masih SANGAT BESAR.

Untuk motion graphic outputnya bisa ke web/multimedia dan broadcast. Mempelajari motion graphic ini kesulitannya adalah berpikir tidak dalam media 2 dimensi, tetapi 4 dimensi (plus space & time). Selain software Flash, Premiere, After Effects, 3D Studio Max, kita masih perlu lagi belajar ilustration, sound, timing, dll.

Jangan lupa juga, salah satu motion graphic designer TransTV Wahyu Aditya akan membawakan materi ini di seminar Animation & Visual Effects Conference. Karya yg ia bawakan adalah Bayangkanlah, gabungan ilustrasi 2D & motion graphic untuk video klipnya Padi. Jadi kalo emang serius terjun, ikutan seminarnya!

Catatan soal kerja di Pixar. Yg bikin Anda diterima di Pixar bukan sekolah di Digital Studio atau di tempat lain. Yg bikin Anda diterima adalah PORTFOLIO ANDA! Lagipula Pixar nggak bikin motion graphic, Pixar bikin feature film animasi, ini bedanya jauuuuhhh banget.

Andi S. Boediman
Digital Studio