Friday, March 22, 2002

Account Service & Account Planner

posted at Kritik Iklan mailing list

Q: AS itu gampangnya yang ngurusin langsung segala permintaan klien sekaligus jadi bumper dan ujung tombaknya agensi. Bumper pas diomelin klien, ujung tombak pas kudu jualan konsep atawa any service of agency offered. Itu definisi gampang en singkat tentang AS.

A: Definisi singkat ini cukup memberikan sedikit gambaran tentang beratnya kerja sbg AS, tetapi jika kita lihat sejarah panjang Account Executive/Service, mungkin pernah ada yang nontoh film lama tentang dunia advertising, kalo nggak salah film di th 60-an. Seingat saya di situ Bogart menunjukkan kinerja AS di masa keemasan dunia advertising. Peran AS tidak sekedar menjadi bumper, tetapi benar-benar menjadi seorang strategic planner, project manager yang kalo di dunia film adalah seorang produser, someone who make it happen. Wewenangnya sangat kritis, ia memimpin campaign dan tim lainnya.

Belakangan, fungsi dan wewenang ini menjadi makin kecil dan kini bagian kreatif yang mendapat banyak kredit dan highlight, tetapi bagian AS malah menjadi sekedar bumper.

Perkembangan belakangan AS ini mengalami redefinisi menjadi Account Planner. Seingat saya mbak Jeanny menyebutkan bahwa Lintas menggunakan istilah ini. Di sini fungsi utamanya adalah mereka melakukan research yang tidak sekedar model kuantitatif tetapi mereka benar-benar terjun ke lapangan untuk mencari consumer insight. Jika target audience masak pake arang, ya mereka ikutan, hingga didapatkan satu consumer insight yang bener-bener pas. Dari situ baru dikembangkan communication strategy yang termasuk di dalamnya mencakup strategi media dan strategi kreatif. Ini banyak dibahas di buku Under the Radar. Di situ ditunjukkan bahwa tugas seorang kreatif dan AP (bukan lagi AS) adalah menciptakan komunikasi menggunakan media-media yang off mainstream, seperti grafitti di tanah, kegiatan kehumasan, dll, salah satu contoh konkrit di Indo adalah cewek gundul di HI tempo hari.

Kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli marketing dewasa ini adalah communication overload, di mana model interuption marketing tidak lagi seefektif sebelumnya. Model pendekatan yang ditawarkan oleh permission marketing adalah pendekatan yang mengajak calon pelanggan ikut serta dan terlibat aktif di dalam proses marketing itu sendiri. Nah teknik semacam ini menurut saya tidak lagi bersandar pada kekuatan departemen kreatif, tetapi juga AP yang mampu mengembangkan konsep, strategi dan implementasi permission marketing.

Andi
Digital Studio

Saturday, March 16, 2002

The Practice of Design

article discussed at Designcampur mailing list

Malcolm Grear–Inside/Outside, from the basic to the practice of Design

Graphic design is not an independent, private art, such as most painting, sculpture, or music, although it draws upon these disciplines; it is public enterprise, devising ways to communicate information through form, color, texture, and other visual signals.

The first generation of graphic designers wanted to separate themselves from advertising, which some saw, rather preciously, as the sleazy side of graphic communication since they considered it tainted by commercial intention.

Andi S. Boediman
Dari studi yang dilakukan oleh Wassily Kandinsky (bapak abstract art), ia merujuk bahwa musik merupakan satu-satunya art yang 'murni' non-objective (ref: Point and Line to Plane), di mana musik tidak harus mewakili sesuatu. Berbeda dengan desain visual, bahkan yang kita sebut fine art. Di sini, seorang artis pun tetap harus mewakili objek tertentu saat melukis. Oleh karena itu, ia mencoba melakukan studi dengan mendobrak dunia fine art dengan membuat 'non-objective' art. Benar-benar seni untuk seni. Yang dilihat tidak lagi bentuk yang representatif, tetapi murni keindahan dilihat dari sisi komposisi, warna, tekstur, dll.

Sejak awal, graphic design sendiri bukan diciptakan dengan tujuan komersial, bahkan 'gambar-gambar di gua sejak zaman prasejarah', 'jejak kaki' pun sudah dianggap seni grafis (ref: History of Graphic Design). Ilmu semiotik, simbol merupakan wujud dari graphic design. Ini bukan komersialisme, tetapi merupakan konsep strukturalis (signifier dan signified).

Berbeda dengan advertising yang memang lahir bersamaan dengan budaya televisi. Sejak awal advertising memang merupakan ilmu yang mempelajari konsep komersialisme. Menurut Ogilvy (ref. Ogilvy on Advertising), advertising HARUS MENJUAL.

Malcolm Grear
This disdain for, and suspicion of, commerce was in part a response to the perceived need for more objective, more ethically responsible graphic communication.

These pioneers of graphic design wished to see themselves as more socially responsible than their cohorts in the world of "commercial advertising art" (orang iklan). They wanted to use image and type, color and form, and other design elements to convey information vividly but honestly instead of dressing up hard-sell copy to seduce buyers.

Andi S. Boediman
Secara personal, saya melihat kedua ekstrim sama memiliki tujuan yang berbeda. Dari sisi tanggung jawab sosial, graphic design/advertising punya eksponen yang murni berkomunikasi untuk tujuan sosial. Dari sisi komersial, mayoritas komunikasi yang kita lakukan memang untuk tujuan komersial. Jadi menurut saya, harus co-exist.

Malcolm Grear
Despite these efforts at separation, the distinction between graphic design and commercial art is often blurred since both serve the needs of business.

Graphic design at its best attempts to deliver direct visual communication while most "commercial art" is mean to entice. But enticement is a form of communication, too, and a worthy one. Nor can it be said that all advertising is without integrity nor that those inventing it has no concern for truth and aesthetics. It is simply that those involved in advertising as a profession need not focus on such matters. Their purpose, quite sensibly, is to sell.

Andi S. Boediman
Kelihatannya sih kita tidak perlu melakukan dikotomi semacam ini.
Kenyatannya kita selalu berada dalam kondisi in-between. Konsep ini yang
pernah hot sebagai konsep post-modernism.

Tuesday, March 12, 2002

Mana Bisa Jadi Lokal?

Re: mana bisa jadi lokal

>supaya menggugah pikiran para Agency kita, dan menggugah kretifitas para
anak bangsa ini. Kita harus membebaskan dari dari pengaruh asing , yang
memperlemah spirit anak bangsa ini.

Saya lebih melihat dari sisi audience, siapa yang kita bidik. Ada consumer
yang memiliki cita rasa lokal tinggi, ada pula yang dibesarkan dengan budaya
MTV. Jadi di dalam komunikasinya ini yang akan menentukan apakah kita perlu
melakukan pendekatan yang ala asing atau menggunakan local genius. Yang
penting adalah consumer insightnya kita identifikasikan dulu.

Keunggulan bersaing kita tentu saja punya pemahaman akar budaya yang lebih
susah dimiliki bangsa lain yang masuk ke Indonesia. Yang cukup menarik,
kebetulan saya punya koleksi The Best Director untuk iklan commercial. Yang
terlihat di situ adalah mereka-mereka ini adalah orang-orang yang punya
kekuatan baik local genius maupun global perspective. Kelihatannya yang
perlu kita pelajari adalah bagaimana orang kayak John Woo mampu
menyumbangkan 'dialek' visualnya menjadi bahasa yang diterima dunia.


>Konon lagi, Malaysia kuat di talent-nya. Sungai Gangga kuat di ide-nya.
Indonesia.........? kuat dimana ya????

Dari pengalaman saya, kekuatan orang Indonesia terletak di visualnya. Kita
tidak dibesarkan dengan budaya literatur yang amat kuat seperti Eropa. Oleh
karena itu orang kita cenderung punya 'rasa' visual yang jauh lebih baik.
Dari pengalaman studi saya yang cukup menyedihkan adalah keunggulan awal ini
pada akhirnya kalah di masa akhir studi karena kita kalah dalam proses
analisa, berpikir konseptual dan strategis. Bakat visual cenderung kita
sombongkan dan di belakang desain kita hanya nampak bagus, tapi nggak
berisi, nggak punya pesan.

Malaysia pun start sama dgn kita. Di th 60-an cuma ada 1 art director bangsa
Malaysia, Lim Kok Wing yang sekarang udah bergelar datuk dan bikin sekolah.
Visinya bagus, ia pingin bangsa Malaysia duduk sama tinggi dengan 'rambut
pirang'. Ia mengundang rekan-rekannya untuk kembali ke lingkungan akademis,
membantu proses pendidikan.

>cuma, infrastruktur di indonesia yang masih sangat kurang...

Ini nggak pernah boleh jadi alasan. Analoginya, kalo listrik mati, tetep
output harus keluar. Usaha kita bersama saat ini saya lihat sangat OK,
membuka wacana diskusi milis, ada Cakram Award. Kayak konsep 360 derajat
branding. Yang perlu menjadi tugas para praktisi ini adalah selain nge-reply
email ini, harusnya bantuin sekolah-sekolah yang ada, nyumbang artikel di
Cakram (biar tim Cakram tambah heppi nggak perlu lembur :), sharing di
forum, nulis buku tentang pengalamannya. Pokoknya segala macem kita gabungin
sama-sama. Little things can make a big difference.

>tuh, tanya sama Mas Andi S. Boediman... gimana kualitas lulusan Digital
Studio!

Di awal, semuanya pingin belajar hal teknis, tapi sekarang kelihatannya
mulai berbuah, diskusi computer graphic mulai aktif, baik dari sisi teknis,
estetis maupun konseptual dan strategis. Semoga langkah kecil ini bisa jadi
lompatan besar, tul nggak !:)

>masih banyak orang kreative di indonesia yang mempunya kendala dalam bahasa
inggris...

Setuju. Satu lagi, BACA BUKU masih kurang. Kalo saya naik kendaraan umum di
Amrik, mereka gantungan di bus juga bawa buku (namanya aja pocket book yang
seukuran kantong). Saya lagi jaga malam bawa buku bacaan pasti ditanyanya
kalo nggak Kuliah di mana? atawa Ngajar di mana? Emang kalo nggak kuliah dan
ngajar nggak boleh baca nih? Yang boleh cuman baca novel, Shin Chan atau
Donal Bebek :)


>Dari posting dibawah ini terlihat suatu apatisme dan ketakutan akan
globalisasi yang sebenarnya tidak perlu. Memang dari beberapa obrolan saya

Setuju. Saya suka istilah Michael Porter, Keunggulan Bersaing (biar keren
nih) Selama kita mempertahankan keunggulan bersaing kita dari sisi skill,
knowledge, wawasan, malah kita yang harus menakut-nakuti mereka bahwa kita
punya 200 juta orang talented yang siap going global.

Kemarin dari diskusi salah satu temen Indonesia yang sekarang bekerja di
Jerman, ia punya satu konsep menarik. Orang Jerman itu pada dasarnya agak
kayak robot, semua dibikinin analisa, standard operating procedure secara
langkah demi langkah. Uniknya, dalam waktu relatif singkat, mereka yang
tadinya ketinggalan jauh di bidang film misalnya, bisa nyusul kualitas
Hollywood (contoh: Roland Emerich). Kesimpulannya berada pada semua itu bisa
dipelajari, bukan sekedar talent. Yang kurang dari kita saat ini adalah itu
tadi, bikin analisa, bikin SOP, masukkan ke kurikulum sekolah, para praktisi
terjun jadi pengajar dan kita punya Keunggulan Bersaing.

>Warga tepi sungai Gangga (he he he gue demen banget
pake istilah ini) juga banyak (dan mereka berambut
hitam), plus tetangga-tetangga kita di kawasan Asia
juga mulai banyak pegang posisi penting.

Yang unik dari pengamatan saya terhadap warga tepi sungai Gangga ini. Mereka
ini kalo nggak bener-bener hebat, biasanya juga puuinter ngomong dan
kerjaannya nyontek (bukan sara lho). Saya pikir ini terjadi karena
persaingan yang amat ketat antar mereka sendiri. Ini yang nggak kita punyai
di sini. Kita punya semangat gotong royong terlalu kuat. Sejak masa sekolah
kita nggak suka murid pinter, yang iya adalah yang pinter harus nyontekin
semua orang biar nggak ntar dikerjain. Ini yang bikin mental jadi lemah,
bisanya adalah kumpul-kumpul, terus.....demo dan kerusuhan.

>Asal ada bulenya, lebih dipercaya." Memang sih,
kemarin ini DHL dipegang oleh Advantage (ada bulenya),

Saya lihat ini bukan masalah kreatifitas, tetapi masalah profesionalisme.
Orang Indonesia cenderung kurang disiplin, deadline molor, ide nunggu dari
wangsit, dll.

Andi
Digital Studio

Monday, March 11, 2002

Membangun Bisnis - lanjutan

> > Sekedar ngingetin, ini angka statistik:
> > - di dalam 10 th pertama, 9 dari 10 perusahaan akan rontok

Yang ini dari beberapa buku bisnis yang saya baca, mereka sendiri tidak
menunjukkan referensi kuantitasnya. Tetapi paling tidak ini bisa dijadikan
acuan kasar.

> > - dan 9 dari 10 kerjasama antar temen yang start dengan modal semangat
> juga
> > bakal bubar.

Kalo yang ini dari pengamatan saya terhadap sejumlah kerjasama baik dari
rekan-rekan saya, orang tua, saudara, dll yang berada di sekitar saya.

> perbaikan adalah keharusan...
> hari ini harus lebih baik dari kemarin
> besok harus lebih baik dari hari ini
> sehingga waktu yang terlewat tidak sia-sia

Bukan cuma masalah waktu, tapi masalah ukuran, trend pasar, dll. Perilaku
organisasi akan berbeda dengan perubahan dari 10 ke 20 atau dari 20 ke 40.
Apa yang dulunya nggak masalah, sekarang bisa jadi masalah besar. Ini yang
sering dilupakan oleh seorang leader. Perlu kombinasi model organisasi yang
berbeda untuk membuat perusahaan berkembang dan mengantisipasi kebutuhan
seluruh anggotanya (baca: pekerja dan klien). Ada kata-kata "lead, don't
manage". Saya setengah setuju dan setengah enggak. Sebagai leader, adalah
orang yang menentukan tujuan. Ini dibutuhkan di masa-masa transisi, masa
kritis dan menentukan arah ke depan. Sebagai manager, kita perlu
memperhatikan setiap detail pekerjaan, menciptakan sistem seperti Standard
Operating Procedure, dll. Yang susah adalah berubah dari menjadi single
fighter menjadi leader, karena saat kita memiliki anak buah, bukan HAL YANG
KITA NGGAK BISA atau NGGAK MAU yang diserahin ke anak buah, tetapi HAL YANG
SEMUA NGGAK BISA yang harus kita kerjakan.

> di kantor aja (yang masing-masing di gaji bulanan) hal ini sering
terjadi...
> makanya diperlukan bagian Traffic yang tegas..!!!

It's about management. Saya bilang ke staff saya gini, jika kita punya
management yang bagus dan solid, anytime kita mau berubah haluan dan jualan
yang lain itu nggak masalah.

>
> yang ini sering kejadian kalo buat SIDE JOB
> si designer merasa kurang mendapat "rewards" yang pantas dari perusahaan
> makanya dia cari jalan belakang...
> saya sendiri menganggap ini nggak pantas...
> tapi kadang-kadang banyak juga perusahaan yang terlalu meng-"ekploitir"
> desainernya
> sehingga side job ini merupakan proyek "balas dendam"

Saya setuju. Ini harus dilakukan 'both ways'. Sama-sama fair bagi semua
pihak. Meskipun demikian, di Indonesia ini tetap agak sulit karena sistem
bisnis masih belum standar.

> pokoknya intinya mesti ada saling pengertian
> dan setiap keputusan yang diambil kalau bisa dimusyawarahkan dulu antara
> perusahaan dan desainer... jadi salah satu-nya tidak akan merasa dirugikan
> dan merasa "tidak di-orangin"

Ini bisa ya dan tidak. Sebagai seorang leader, kita harus selalu mengambil
keputusan dengan hanya berbekal pengetahuan 50% dari fakta yang ada. Sisanya
adalah gut feeling, analisa dan keberanian bertindak. Jika setiap keputusan
diambil secara musyawarah u/ mufakat, ujung-ujungnya adalah tidak
berkesudahan. That's the CEO job to make the decision. Kadang nggak semua
happy dengan hasilnya, tapi dalam hal ini adalah kepentingan bersama
diutamakan. Ini bisa menghasilkan korban, bahkan bisa terjadi pada salah
satu orang terbaik kita.

Andi
Digital Studio

Sunday, March 10, 2002

Q: Giniloh, biasanya kalo abis nyeken kita harus nyesuaian gambar yang disken
itu jadi ukuran yang kita mau, tapi kadang2 kalo hasil skennya dibesarin pas
dicetak jadi pecah, jadi maksimal pembesarannya berapa persen dong biar gak
pecah?

A: Tergantung dari original yang dipilih:
  • untuk original dari hasil cetak offset, lebih baik tidak diperbesar
  • untuk original dari hasil cetak foto, pembesaran maksimal menurut saya hanya sekitar 2 kali
  • untuk original dari slide 35 mm, pembesaran bisa dilakukan maksimal 10 kali
  • untuk original dari slide medium atau large format, bisa dilakukan pembesaran lebih dari itu

Catatannya adalah bahwa kemampuan scanner.

Q: Trus kalo nyeken dari slide ukurannya juga bisa diperbesar juga gak? hasilnya pasti bagus gak? apa ada cara khusus biar hasilnya bagus.. soalnya aku pernah nyoba nyeken dari slide tapi hasilnya jadi gelap banget, padahal kalo dicetak jadi foto beneran malah jadi bagus, gimana ya ngatasinnya.

A: Berlawanan dengan opini publik, kemampuan dan harga scanner dan kamera digital TIDAK bergantung pada resolusi. Resolusi ada 2 macam, optis dan interpolasi. Res optis adalah kemampuan sebenarnya dari scanner. Res interpolasi adalah kemampuan boongan dari scanner, di sini data dihasilkan melalui proses interpolasi (baca: kira-kira). Pada scanner seharga max 5 juta, biasanya res optis berkisar 1200 dpi (baca: 4 kali dari kebutuhan cetak offset yang 300 dpi dan 150 lpi). Untuk scanner yang lebih mahal, bisa dicapai lebih dari itu. Ct kasus begini, jika scan dari slide 35 mm yg ukurannya paling 3 x 4 cm, ukuran paling besar dari kemampuan scanner paling menjadi 12 x 16 cm. Di atas itu, pasti ada efek pecah. Ini bukan salah dari slidenya tapi salah dari scannernya.

Hal terpenting di dalam memilih scanner adalah Dynamic Range, bukan resolusi, biasanya digunakan nilai antara 0-4. Ini adalah angka logaritmik, di mana 4 dibacanya adalah 10000 gray level, 3 dibacanya adalah 1000 gray level (lihat jumlah nolnya).

Slide positif memiliki drange sekitar 3, slide negatif lebih dari itu, kertas foto paling sekitar 2 lebih, hasil cetak di atas art paper sekitar 2, koran paling 1. Untuk membaca detail gradasi, diperlukan scanner yang memiliki kemampuan drange yang setara. Scanner <5 juta max drangenya adalah 3, apalagi yang di bawah 1 atau 2, kemungkinan drangenya di bawah 3. Scanner drum dan slide scanner biasanya paling tidak memiliki drange di atas 3.5 sehingga pasti bisa membaca data dari slide dengan baik (komplit menangkap informasi dari highlight ke shadow).

Jadi meskipun scanner dilengkapi dengan transparency adapter, belum tentu scanner tersebut mampu membaca data dari slide dengan baik. Problem biasa ditemui di bagian shadow yang akan terlihat flat dan gambar menjadi terlihat kontras.


Andi
Digital Studio

Cetak Poster

posted at Designcampur mailing list

Q: Ada yang bilang kalau warna indigo itu lebih bright.... sehingga warna percetakan

konvensional sulit sekali mengejar warna indigo.... betul ngga....??? Soalnya kan buahayaaaa kalau kita ngasih proof ke klien warna indigo... hasilnya keren tapi pas cetaknya... mesin cetaknya ngga bisa nguber warna indigo....

A: Teknologi digital printing sebenarnya punya beberapa alternatif:
  • Dari Heidelberg menggunakan DI (Direct Imaging). Ini prosesnya serupa dengan teknik cetak biasa, di mana akan dibuat plat cetak dengan teknologi laser. Hasilnya persis seperti cetak biasa. Tapi ini nggak efektif buat short run (di bawah 500 buah) karena harga plat cukup mahal.
  • Dari Indigo menggunakan model blanket dan tinta khusus, di mana tidak pernah ada plat cetak, tetapi dari blanket langsung ke kertas. Ini nggak masalah untuk cetak dengan jumlah amat sedikit. Untuk proof, karena tinta yang digunakan berbeda dengan tinta offset, hasilnya tidak bisa match 100%. Tinta ini kurang bagus untuk warna-warna blok yang flat, tetapi untuk raster (baca: foto) nggak masalah. Pada sekitar 2 th yang lalu, warna yang mereka hasilkan agak unik, sedikit doft. Mereka baru aja mengalami perubahan dengan teknologi tinta sehingga saat ini udah bisa menyamai/menyerupai offset (menurut mereka, saya belum tes secara intensif).
  • Dari Xerox, menggunakan teknologi fotocopy dengan laser yang menggunakan mesin DocuColor. Biasanya warna shadow agak flat tetapi saturasinya dan kontrasnya tinggi. Banyak orang suka, tetapi menurut saya terlalu kontras jika dibanding dengan offset. Nggak tahu perkembangannya sekarang.


Andi
Digital Studio

Membangun Bisnis

> Inspirational. Thanx!
> Soalnya saya dan teman2 masih di tahun ke-3 nih (dalam membangun
> usaha)...

Sekedar ngingetin, ini angka statistik:
- di dalam 10 th pertama, 9 dari 10 perusahaan akan rontok
- dan 9 dari 10 kerjasama antar temen yang start dengan modal semangat juga
bakal bubar.

Bukan menakut-nakuti, tapi sekedar ngingetin untuk start bukan dengan rasa
kebersamaan, tetapi saat bikin rencana kerjasama di depan udah bilang apa
yang akan kita lakukan bersama jika kerjasama ini bubar, apa tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Dan jangan lupa untuk terus memperbaiki
business model dari tahun ke tahun.

Lebih aman jika kita sudah memiliki periuk nasi tersendiri sebelum start
bekerja sama dengan orang lain di dalam membangun bisnis. Enaknya adalah
kita don't take it personal jika terjadi macam-macam.

Yang sering terjadi adalah yang satu merasa gue udah cariin klien elu nggak
bisa follow up, atau ini semua jasa gue yang nyariin klien. Sebaliknya di
sisi lain, elu enak aje nggak pernah ikut kerja, padahal gue udah jungkir
balik ni ngerjain siang malem.

Catatan: salah satu praktek kurang terpuji yang timbul di kalangan desainer
adalah saat perusahaan sudah percaya dengan salah satu desainer sehingga
desainer bisa mendapat akses langsung ke klien, pada saat desainer itu
keluar, dan membuka usaha, maka semua klien dari perusahaan terdahulu dicoba
untuk dibajak. Yang bener mestinya desainer tsb bersaing secara sehat dengan
mencari klien sendiri atau jika kebetulan klien lama datang ke dia, bukan
karena usaha backstreet tetapi karena proses pitching yang terbuka misalnya.

Datang tampak muka, pergi tampak punggung. Dengan punya policy seperti itu
hingga saat ini saya tetep nggak sungkan untuk bertemu dan bahkan bekerja
sama dengan my previous employer.

Andi
Digital Studio

Friday, March 08, 2002

Mengapa Propaganda Digital Studio?

posted at Designcampur mailing list

Q: Kabar angin katanya ada "propaganda"..tapi tau deh kebenarannya. tapi effort event ini bagus karena belum ada yang berani selain dari Digital Studio, tapi ada embel-embel kursus jadinya kurang netral gitu..he..he..he.. (maklum tempat kerja saya kompetitornya DS.hua..ha..ha..ha..ha..)

A: Ini mah bukan kabar angin, tapi kabar topan. Kenyataannya emang bener bahwa Digital Studio pasti diikutin dalam tiap event dong. Ini adalah proses dari brand building dari Digital Studio. Digital Studio=computer graphic. Dan kenyataannya kita tidak hanya melakukan ini saja. Kita melakukan 360 derajat branding, mulai dari iklan, kegiatan PR, emotional branding, buzzword marketing, peluncuran produk baru, peningkatan layanan customer service dan
masih banyak lagi.

Jadi bagi yang nanya apa sih tugas advertising, ya ini jawabannya, KOMUNIKASI baik dari sisi above maupun below. Sayangnya banyak perusahaan Ad yang hanya mengandalkan TV, radio dan print ad aja. Nggak ada terobosan media, under the radar communication, account planning yang baik. Ini juga yang membedakan antara perusahaan adv asal bentuk dengan yang udah pro. Kuncinya bukan di output desain, tapi pada strategi komunikasi, strategi kreatif dan eksekusinya.

Saya pernah ditanya kok sekarang Digital Studio lebih komersial ketimbang dulu, di mana saya sering diundang oleh banyak pihak tanpa dibayar (ini dengan suka rela lho).

Saya ngeliatnya gini, dulu waktu saya sering sharing dan ngajar di beberapa sekolah (UPH, LaSalle, diundang juga ke Trisakti untuk ngedevelop kurikulum lab computer graphic), problem utamanya adalah sulit sekali untuk mendapat dukungan dari berbagai kalangan untuk sadar bahwa kurikulum sekolah seharusnya serupa dengan pekerjaan di lapangan. Sekolah biasanya mempunyai prosedur yang amat birokratis.

Sebaliknya, saya hanya bisa mengajar di kalangan tertentu saja seperti Grup Gramedia, Sinar Mas, Tempo, dll (pasar high end) dan mendapat kompensasi yang cukup baik. Kompensasi ini tentu saja bermanfaat bagi saya untuk tetap bisa berinvestasi terhadap ilmu-ilmu baru baik melalui buku ataupun workshop yang saya ikuti di luar negeri yang ujung-ujungnya bisa lagi dibagikan ke rekan-rekan.

Jika Digital Studio dibangun dengan kacamata dan kekuatan satu orang saja, benefit yang saya bisa bagikan kepada industri hanyalah berimpact hanya pada maksimal mungkin 100 orang setahun. Padahal saya melihat industri kita jauh tertinggal. Dengan membangun pendidikan yang baik, ini impactnya dirasakan oleh banyak banget orang. Di th 2000 kemaren, kita mencatat 750 orang dan di tahun 2001 menjadi 800 orang. Bahkan dengan adanya Digital Studio, muncul banyak rekan-rekan lain yang akhirnya melihat potensi dunia computer graphic dan membuka pendidikan yang serupa dengan yang ditawarkan oleh DS. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja publik. Dengan adanya kompetisi kualitas, harga dan persaingan yang sehat, masyarakat menjadi lebih terbuka wawasannya. Let public be the judge dan memilih yang terbaik.

Mungkin bisa kita lihat, bahwa keberadaan DS sejak th 2000 membuat adanya gairah di dunia computer graphic, muncul komunitas, workshop, seminar, perusahaan tandingan, dll. Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu bersama sejak dulu? Terciptanya industri?

Kalo boleh jujur, th 1999 kemaren saya udah males balik ke Indo karena saya lihat perkembangan di Amrik saat itu sangat luar biasa. Tetapi berkat masukan dari rekan-rekan saya di sana, juga rekan-rekan saya di Indo mengingatkan bahwa sudah sepantasnya saya menyumbangkan apa yang saya tahu ke dunia akademis. Tujuannya adalah memberikan wacana dan dobrakan baru. Bahkan saya lihat Trisakti pun kini sudah mulai berbenah dan merancang kurikulum baru bagi para siswanya. IKJ membuka jurusan animasi. Muncul sekolah-sekolah baru di dunia computer graphic. Bahkan hingga saat ini, saya tetap membantu temen-temen di LaSalle College untuk penjurian lomba desain mereka. Ini apa untungnya buat saya? Sebaliknya, saya berpikir bahwa jika tujuannya sama, mestinya dibangun sinergi.

Mungkin aja satu hari nanti, saya melihat bahwa sumbangan saya udah cukup, saya akan mundur lagi dari dunia pendidikan dan bisa jadi artis lagi. Bisa jadi jika Digital Studio sudah memenuhi misinya, kita nggak lagi berkecimpung di dunia computer graphic. Siapa tahu!?

Hingga saat ini, cukup banyak kritik terhadap Digital Studio dan saya pribadi, apakah itu dari segi maksud dan tujuan, layanan, kualitas, dll. Saya melihatnya dari sudut yang positif, bahwa rekan-rekan yang memberikan kritik ini 'care' thd DS dan ini memacu tim DS untuk bekerja lebih baik lagi mendeliver apa yang diharapkan komunitas computer graphic. Kita jauh dari sempurna dan perlu dikritik terus untuk memberikan apa yang terbaik.

Secara personal, saya suka dengan kompetisi, kayak balapan lari, gimana kita ngukur kecepatan dan kehebatan lari jika nggak ada yang diajak lari bareng.

Satu lagi soal marketing dan profit. Bangsa kita ini kelihatannya takut sekali dengan embel-embel 'profit'. Kalo bisa semuanya non profit, nggak dibayar, saling sharing secara gratis. Pengalaman saya begini, cukup banyak temen atau generasi muda yang datang ke saya untuk bertanya dan belajar. Sayangnya dari waktu yang saya alokasikan, komitmen, semuanya seringkali dianggap nggak ada harganya dengan nggak muncul saat seharusnya muncul, telat, dll. Malah ketika usaha yang sama saya berikan harga, mereka bisa menghargainya dengan datang tepat waktu dan mengapresiasi ilmu yang saya berikan dengan antusias.

Model gotong royong inipun muncul saat kita sekolah dulu. Murid yang pintar mungkin tidak disukai karena 'mereka pintar, belajar dengan keras'. Maunya ilmunya dicontekin aja ke kita pas ulangan. Bahkan diajak belajar barengan sebelumnya pun mungkin kita males. Akhirnya kita nggak punya keunggulan bersaing saat bekerja atau ketakutan saat ada pesaing dari luar negeri masuk.

Nggak ada yang namanya kita dikasih duit dulu baru mulai bekerja. Yang ada hanya bekerja dulu (atau kita membayar dulu), baru nanti mendapat hasilnya. Begitu pula dengan ilmu dan keuangan, yang ada selalu kita berinvestasi dulu baru nanti mendapat benefit belakangan.

Pendapat saya bahwa kita seharusnya merangkul komersialisme, bukan dari sisi negatif. Bukan kita diperbudak olehnya. Uang tidak pernah boleh menjadi tujuan. Yang benar adalah kita punya tujuan, yang dari mana kita akan memperoleh uang sebagai suatu reward.

Contoh kasus Bill Gates dan Ted Turner (boss CNN), saat mereka berdua menjadi amat kaya dari bisnis, mereka malah bisa nyumbang sekian milyar dollar untuk amal. Duit semua lho itu! Saya mau nanya nih, apakah orang mendapat benefit saat mereka berdua miskin atau saat mereka berdua kaya? Apakah orang yang mengkritik mereka berdua bisa nyumbang secuil aja dari nilai yang sudah disumbangkan tsb.

Dunia marketing Indonesia punya Hermawan Kertajaya, di mana mereka punya acara bulanan untuk membahas buku baru, sharing dari rekan marketer dan saling berkenalan. Mereka perlu membayar 2-4 juta untuk ikut acara sepanjang tahun. Apakah ini mahal? Ternyata yang ikut bilang, wah ini murah banget. Kita dapet network dan dapet ilmu. Sekarang mereka mendapat keuntungan bersaing dengan kemampuan yang lebih baik. Mereka puas karena berkonsentrasi
pada APA YANG MEREKA DAPATKAN, bukan pada APA YANG ORANG LAIN DAPATKAN. Dan mereka berkonsentrasi pada APA YANG BISA MEREKA HASILKAN, bukan APA YANG SUDAH MEREKA HABISKAN.

Kita cenderung takut untuk memberi harga pada diri sendiri. Ingat, penghargaan tidak datang dari orang lain, kita harus percaya dan menghargai diri sendiri dulu baru kita bisa dihargai oleh orang lain apalagi oleh bangsa lain.

Andi
Digital Studio

Membangun Digital Studio

posted at Designcampur mailing list

Q: Benar-benar... semenjak saya baca buku "Rich Dad, Poor Dad" saya pingin juga keluar dari perlombaan tikus... so bagi-bagi ilmu donk pak andi ttg sisi lain dari desain (baca : bisnis). Soalnya sekarang saya Cuma orang 'disuruh' kerja doank..he..he.he...

A: Udah abis, baca lanjutannya, Cashflow Quadrant (lebih bagus), terus Guide to Investing (lebih bagus lagi) dan The Richest Man in Babylon.

Start small. Saya membangun Digital Studio dengan modal 10 juta di th 96. Itu sebagian buat beli software, clip art, dll. (bukan versi Mangdu lho). Untuk operasional tinggal sekitar 3 juta. Saya start dengan bisnis web design di awal 96. NGGAK LAKU. Nggak ada yang ngerti apa itu Internet. Terus ganti haluan ke grafis. Saking nggak punya klien, duit di kantong tinggal 10 rebu. Abis itu janji pada diri sendiri 'I'll never be hungry again!!' (itu tuh, kayak film Gone with the Wind).

Dengan modal utang, ngotot cari klien lagi dari nol. Abis Arema di Jkt kan nggak punya kenalan. Jadi kenalan aja ke sana ke mari kayak maling :)

Dengan mulai dari hal-hal kecil, akhirnya dipercaya untuk hal-hal yang lebih besar. One thing lead to another. Tapi inget, jangan pernah kehilangan visi. Visi boleh besar, tetap perlu dijalankan setapak demi setapak.

Dari tiap kali kesandung, bikin kesalahan, selalu ambil hikmahnya. Hingga hari ini, saya belajar banyak dan selalu sharing ke orang lain.

Good luck

Andi
Digital Studio

Will Power in Action

COPYRIGHT 2002 Reed Business Information, Inc. (US)

Will Power in Action: if sheer effort and will were enough to propel an industry forward, Indonesia's very committed group of animators could see the local animation industry take off in the next few years. But they admit the industry must surmount some obstacles first. (Country Focus).

At a recent Animation and Visual Effects Conference and Exhibition for the Indonesian market, held August 14-15 in Jakarta, the dedication and enthusiasm of the local animation community was clear. Organised by the Animator Forum and Digital Studio, the event attracted a good audience from agencies, production and post facilities, and educational institutions.

What was impressive, however, was the active participation of the local animation industry, with many members taking time out to either present sessions or act as moderators.

Andi Boediman, creative director of Digital Studio, says, "There are events such as SIGGRAPH and NAB in the US, and BroadcastAsia in Singapore. There is so much we can learn from such industry events, and we have had the idea to host a similar event for a long time, for the industry to network, learn, and interact."

Digital Studio was established in 2000 as a graphic arts training centre. It offers short courses in digital imaging, desktop publishing, multimedia, web design, and animation. It is also the only Adobe Certified Training Provider, Macromedia Certified Training Center, and Alias|Wavefront Academic Provider Partner in Indonesia.

Its courses and its graduates could well be solution to one of the problems Boediman sees as hampering the further development of Indonesia's animation industry. "Our weaknesses are a lack of professionalism and teamwork," he says.

"The industry should concentrate on supporting education. First we focus on skill development (in the next 2-3 years) so we can at least fulfill current animation jobs available. Then we concentrate on expanding people development (skills, talent, and attitude) so we can have good leaders and teams within 5 years. The best people in the industry should go to school and teach," he adds.

His sentiments are not atypical of other industry members. Edwin Winarta, operational manager of Pyramid Image, one of Indonesia's largest post houses, where animation accounts for a quarter of business volume, agrees there is a short supply of skilled and educated animators.

This lack of talent could prove to be a critical issue in the growth of the animation market as, in spite of the financial fallout in 1997 and the lingering worldwide economic malaise, Indonesia does not lag behind its Asean neighbours in terms of equipment or technology.

Indications are there is plenty of room for growth, with industry players estimating annual growth in the demand for animation ranges from 15 to 20 per cent. Currently, most of the animation produced in Indonesia is for TV commercials, with work commissioned by agencies or production houses.

But even that market segment, which constitutes as much as 80 to 90 per cent of animation work, is limited in its scope. Deswara Aulia, executive producer at animation studio dementiA Animation, says, "Most (work) comes from production houses that need animation as support for their jobs. Animation is mainly used for supers or running text, or to show a product package at the end of the commercials.

"Sometimes clients need character animation for certain commercials, but these are mostly for children's products like candy, bags, or shoes, and we only get three to four such projects per year," he reveals.

dementiA Animation has been in the industry for two years, but according to Aulia, functioned as a "hobby studio producing animation shorts" until two months ago, when it became a commercial studio. Aulia, a post production veteran, is however optimistic about the studio's prospects, especially as demand for animation in other forms is beginning to take off.

Local drama or comedy series, highly popular with the Indonesian audience, for example, has started incorporating more animation and CG elements in their production.

"Now we have more demand for character animation and visual effects for TV programme series. Ad agencies are also using more character animation for their product advertisements," he says.

Aulia adds, "The success of features such as 'Petualangan Sherina' and 'Ada Apa dengan Cinta' produced by Miles Production gives us the opportunity to explore producing animation features. People are going crazy about local production, after many years without local productions."

Indeed, many animators see this expansion into new market segments as critical for the sustained growth and viability of the industry. This was one of the issues discussed at the conference. Besides local drama or comedy series, animation studios and animators must be encouraged to develop original animation content--TV and movie features--that can be distributed worldwide.

Boediman points out that Indonesia enjoys the advantage of a large local market, "We consume a lot of American and Japanese animation but even the best selling American film can't do as well as our best selling local film. It's unfortunate that we have not any quality animation feature films yet."

Of course, this goal is great in theory, but in practice, it runs into a few problems. "The time and money needed to produce animation for TV is considerably long and high. Our market can't support that," Aulia says.

A typical 30-minute TV programme in Indonesia sells for a maximum of Rp 30 million (US$3,360). According to Aulia, post production companies and animation studios can get twice to five times as much producing a 30- or 60-second commercial.

He adds, "To produce animation (especially 3D animation), we will need a minimum of Rp 200 million (US$22,400)to Rp 2 billion (US$224,000) per episode. Even at the minimum cost, we still lose a lot of money."

Despite his optimism in developing for TV programmes and feature films, Boediman is almost brutally realistic: "From my perspective, US, Europe, and Japan are good candidates for our animation work. But most people in the industry are working separately to open the market. As we have to work separately, it's pretty difficult as everybody is throwing a small stone into a very big pond. We need to join efforts in opening up more opportunities."

As director of Business Entertainment Solutions of BisInfo, Arianto Bigman offers the unique perspective of one involved in the industry, yet who is not an animator himself. BisInfo is the distributor of animation software tools such as Maya, the most popular 3D animation programme in Indonesia, Realviz, and Animo.

Bigman says that while there is great talent available in the country, what is lacking is industry cooperation. He suggests that for Indonesia's animation market to mature, players must be able to attract investments, and to do so, they need to learn how to market themselves.

"Most of the people in the animation field are production personnel, artists. They're very good artists, some are perfectionists even, but ... I do think we (also) need a manager from a business background who can take care of the business aspects as well as an operations manager who can oversee the production workflow. Currently, we have good operation managers but lack business managers," he says.

"And at the end, if we have a superb product, but we cannot market it, it will be useless. That's why we also need good marketing managers who can sell our products, or create a market for them even," he offers.

As things stand, Indonesia's animation industry is in its very early stages of growth. With applications limited currently to TV commercial work, the landscape is dotted with only a few studios dedicated to animation work, while post production facilities continue to dominate a market that cannot afford to support a robust independent animation industry.

Just a handful of animation studios-- dementiA Animation, Red Rocket Animation, and Bening Studio being some of them--compete with post production facilities for animation projects. Pyramid Image's Winarta admits that it's easier for his facility to get animation work as "the kind of work in demand needs support from compositing, editing and other services available only at post houses".

Aulia believes that the preference for "one-stop" shopping is a result of clients' focus on price and speed. Instead of choosing the best facility for each type of work, they prefer to choose one post production facility that can do it all.

Whatever the market conditions, Indonesia's plucky group of animators is not letting such issues stop them from aiming high. They're ready to develop some muscle, and they're not shy to ask for help doing it. Says Roy Adimulu, head of graphics at Pyramid Image and public relations coordinator of the Animator Forum, "We're still building the bridge between the private sector and government to develop some formulas, such as regulations, for this industry. We hope that our efforts can bring this industry to the same level as other local industries."

To Activate and Motivate

Led by some of the industry's most prominent members, the Animator Forum was established in 1999. According to Roy Adimulu, public relations coordinator, the group's initial goal was to develop the local animation industry by hosting regular monthly events where local animators could present their work to the public.

The founders, who included animators, post production artists and distributors as well as educators, wanted a communication outlet where those interested in animation could interact with local players, serving to attract more talent to join the industry, in addition to creating more awareness.

The Animator Forum is unique from other similar industry bodies as there is no formal structure and membership rules. Says Adimulu, "Our group doesn't membership, but we usually have about 100 people for every event we host. They come from different backgrounds and include students, agencies, film directors, and even some institutions that are interested in the industry."

Since its establishment, the Animator Forum has spread its wings beyond Jakarta to other major cities such as Bandung, Surabaya, and Yogya. While its primary objective remains the same, its leaders are more focused on education now, as they have seen a demand for more training and information.

Besides the monthly events, the Animator Forum also works with other institutions in the industry such as local animation studios or production houses to promote TV programmes featuring local animation.

COPYRIGHT 2002 Reed Business Information, Inc. (US)

Friday, March 01, 2002

Perhitungan Menerbitkan Buku

posted at Designcampur mailing list

Ini saya berikan gambaran sedikit mengenai dunia publishing agar rekan-rekan yang lagi seru benar-benar yakin atas komitmennya.

Dari 100% harga buku, 20-30% keuntungan adalah u/ toko buku, distributor mendapat 10-20%. Sisa 50% biasanya dibagi menjadi 10-20% untuk production cost (cetak, film), 10% untuk royalti penulis dan max 10% untuk biaya promosi dan pemasaran, sisanya sekitar 10-20% profit bagi penerbit yang melakukan investasi. Jumlah cetakan sekitar 3000-5000, nggak mungkin lebih untuk pasar Indo. Jika laku akan dicetak ulang. Jadi jika buku dijual seharga Rp50.000, penulis mendapatkan Rp 5.000 per buku. Ini nggak langsung dikalikan dengan jumlah cetak awal. Paling yang diberikan hanya 5.000 x 1000 buku = Rp 5 juta. Dengan menulis rame-rame (10 orang misalnya), tiap orang dapet 500 rb.

Problem lain lagi adalah setiap orang punya gaya penulisan berbeda, sehingga perlu editor yang menyamakan gaya tulisan dan melakukan proofreading. Elex & Gramedia paling hanya membantu dari kesalahan baca, tidak mendukung di dalam technical editing (pengetesan tutorial) ataupun penyempurnaan gaya tulisan.

Jika angka di atas udah bikin males, lebih baik yang ngincer royalti nggak ikutan proyek tsb. Nggak balik modal ceritanya :) karena royalti akan dibayarkan setahun 2 x, Januari dan Juni, ya dapet 500ribu lagi paling banter untuk tiap setengah tahun.

Reward yang utama dari proyek penulisan buku adalah:
  • EXPOSURE. Ini adalah reward terbaik karena desainer perlu MENJUAL DIR kepada publik.
  • SKILL. Dengan menulis dan membagikan ilmu kita kepada orang lain akan mendapat makin banyak ilmu

Untuk gagasan buku keroyokan yang paling mudah adalah dengan membuat model seperti New Master of Flash atau Flash/Dreamweaver Magic. Masing-masing yang tertarik nulis, lontarkan apa yang pingin ditulis dan salah satu bertindak sebagai editor yang akan merancang susunan editorial.

Andi
Digital Studio