Friday, June 27, 2008

Umbrella Dress

Source: Theel.com

This dress uses 20 umbrella pelts collected from the gutters of Berkeley and New York, largely by Anadamayi. Anandamayi also made the rosettes on the bodice (from the little bits on top of the umbrellas).

Aye, these garments are truly made of umbrellas. Except for the lining of both bodice and skirt, the ensemble is 100% reused Umbrella skin. The goal behind the Umbrella Project is, as you might guess, to reuse the umbrellas that people casually toss aside when they (the umbrellas) fail structurally. Next up is a raincoat for Anadamayi --we're thinking with an Inverness cape.

Thursday, June 26, 2008

Anime-Artist-Designed Ship

Himiko

asahi.com: “Himiko” - a water bus designed by manga and anime artist Leiji Matsumoto - will start operations on the Sumida river at the end of March.

Yamato.jpeg

Matsumoto is known for the manga “Galaxy Express 999″ and the TV series “Space Battleship Yamato”. Some web pages also credit him with directing my childhood favorite “Captain Future” (images), but I don’t think that is accurate.

“Himiko” is going to operate between Asakusa and Odaiba, so I will be able to see her from my apartment. 33.3m long, she features a “space ship motif” and a “silver-metallic, streamlined” hull. A Flash presentation can be found on the home page of Tokyo Cruise Ship CO., LTD.

Sunday, June 22, 2008

Siapa Mau Gabung Industri Kreatif?

Source: Dataworks

Kendala keruwetan perizinan (red tape malfeasance) serta perilaku korup di jajaran birokrasi bisa menghambat tumbuhnya iklim kreatif yang kondusif. Ada pajak di bawah tangan segala, berarti kan tidak masuk negara.

PENUH energi dan gairah mengeksplorasi ide, kalangan muda berkarya dan berani terjun berbisnis meski awalnya hanya ”modal dengkul”. Disadari atau tidak, komunitas kreatif ini turut menjadi penggerak industri kreatif, yang kini ramai dibicarakan. Sebuah industri yang tidak lagi semata bermodal uang, tanah, atau hal-hal material, namun lebih berbasis pengetahuan atau intelektual.

Ingin desain ”tidak pasaran” dan jenuh dengan peniruan merek luar negeri di pasar lokal, Marcel, mahasiswa DKV Universitas Kristen Maranatha (UKM) 2004, terdorong memproduksi kaus bikinan sendiri. Itu dimulainya tahun 1999, ketika masih duduk di bangku kelas III SMP.

”Daripada cuma pesan satu kaus, waktu itu langsung bikin dua lusin saja, supaya jatuhnya lebih murah, terus dijualin ke teman-teman. Eh, keterusan sampai sekarang,” ungkap Marcel pada Kampus. Ia mengisahkan awal mula clothing line Oro, sampai akhirnya memiliki distro sendiri di bilangan Jalan Trunojoyo, Kota Bandung.

Hal serupa banyak menghiasi cerita para pionir ”perdistroan” di Kota Bandung. Sebab, alasan ekonomi--tidak mampu beli kaus idaman yang mahal-- sampai penunjang lifestyle, keisengan membuat sendiri produk yang digemari, ternyata potensial jika dikembangkan lebih jauh.

Uniknya, keterbatasan modal dan fasilitas yang ada malah menjadi motivasi untuk lebih baik. Sampai kini akhirnya clothing line dan distro mewabah gila-gilaan ke seluruh penjuru kota. Seiring ramainya merek pakaian lokal indie, semakin subur pula tumbuhnya musik indie, media indie, dsb., yang saling menunjang satu sama lain. Komunitas kreatif ini boleh dibilang terpengaruh budaya urban, di mana globalisasi informasi deras memasuki keseharian mereka, dari mulai fashion, musik, sampai olah raga ekstrem.

Perkembangan teknologi informasi yang pesat dalam dekade '90-an, juga menjadi faktor penting menggeliatnya industri kreatif. Dulu, profesi web designer mungkin tidak dikenal. Kini, segala profesi dari perluasan di internet menjadi pilihan banyak orang. Hadary Mallafi, mahasiswa STT Telkom 2004, bersama beberapa temannya, termasuk yang tertarik pada peluang berkreasi di internet. Mereka menjual layanan web design sampai migrasi ke Linux (www.kitaklik.com). ”Jadi, kita bukan pengguna internet saja, tapi bisa tambah-tambah penghasilan,” kata Hadary.

Orientasi bukan hanya jadi pekerja, tetapi ingin mempekerjakan, rupanya cukup kental di kalangan muda ini. Itu pula yang diniatkan Dennan Mujtahid, ketika mendirikan agensi iklan lokal One Communication, awal tahun 2007. Profesionalitas pekerja kreatif sebatas rambut gondrong atau gaya ”nyentrik” sudah cerita kuno, sebab banyak tantangan untuk survive di dunia nyata. Lulusan Periklanan Fikom Unpad 2003 ini pun melewati rupa-rupa proses pembelajaran, dari accounting, ditipu orang, penyusunan short term dan long term, sampai berhubungan dengan birokrasi.

Yang terakhir ini sekaligus jadi kritiknya, sebab kendala keruwetan perizinan (red tape malfeasance) serta perilaku korup di jajaran birokrasi bisa menghambat tumbuhnya iklim kreatif yang kondusif. ”Ada pajak di bawah tangan segala, berarti kan tidak masuk negara. Kita mah sebenarnya cuma perlu transparansi, segitu ya segitu,” kata Dennan.

Di luar soal hambatan yang ada, masih banyak potensi-potensi kreatif dari kalangan muda ini yang belum terkuak. Sementara yang sudah berjalan, baik berkiprah di Bandung, di luar Bandung, hingga di luar negeri, terus berdenyut dan mengalirkan pendapatan bagi pajak dan retribusi kota, langsung ataupun tidak langsung.

**

SOAL industri kreatif, beberapa penulis turut menuangkan pemikiran mereka. Sebut saja, Alvin Toffler dalam bukunya The Future Shock (1970). Ia memperkenalkan gelombang peradaban manusia (era pertanian, industrialisasi, dan informasi), dan istilah era pengetahuan sebagai era keempat (perpanjangan era informasi). Selain itu, ada juga John Howkins dengan bukunya The Creative Economy (2001), serta Richard Florida dengan bukunya The Rise of the Creative Class (2002). Inti bahasan dari para penggagas ekonomi kreatif itu adalah munculnya kelas baru dalam perekonomian, yaitu kelas kreatif. Kelas kreatif yang banyak diisi kalangan muda ini, ternyata berkorelasi positif menjadi penggerak ekonomi kreatif.

Wacana industri kreatif sendiri mulai mengemuka di tingkat global dalam beberapa tahun terakhir, ketika negara-negara seperti Inggris mulai mencari sumber perekonomian baru, yakni dari sektor kreatif. Pasalnya, sektor industri lainnya, seperti manufaktur, dsb., kurang bisa diharapkan lagi. Sektor-sektor industri yang melulu menggantungkan pada sumber daya alam memang harus menerima kenyataan, suatu saat sumber itu akan habis. Kini saatnya menyambut era knowledge-based economy, dengan ciri ilmu pengetahuan sebagai kunci dalam proses produksi. Bukan lagi tanah atau pabrik sebagai aset ekonomi paling berharga seperti di masa lampau.

Inggris termasuk negara yang gencar mem-booming-kan wacana industri kreatif ini. Pemerintah Inggris menetapkan 13 sektor usaha yang tergolong sebagai industri kreatif, yakni periklanan, kesenian dan barang antik, kerajinan tangan, desain, tata busana, film dan video, perangkat lunak hiburan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan, jasa komputer, televisi, dan radio.

Pertanyaan yang muncul, adakah industri yang tidak kreatif, mengingat pada dasarnya kreativitas adalah kemampuan krusial yang dibutuhkan tiap bidang industri? Menurut Gustaff Hariman Iskandar, pengelola komunitas kreatif Common Room, Kota Bandung, memang ada yang overlapping dalam kategorisasi itu, seperti desain fashion (tata busana). Namun, yang jelas pemerintah Inggris telah memberanikan diri membuat pemilahan itu dan serius mengembangkannya. Indonesia pun perlu melakukan hal sama, tanpa harus terjebak dalam pemikiran biner (binary), mana yang kreatif dan tidak. ”Mungkin saja di Indonesia belum tentu potensi kreatifnya seperti pemilahan itu. Kita harus cari potensi kita sebenarnya apa, itu perlu riset mendalam,” ucap Gustaff, yang juga mendapat International Young Design Entrepreneur of the Year Award (IYDEY) 2007, dari British Council.

Omong-omong riset, berikut ini temuan tentatif studi kontribusi ekonomi kreatif Indonesia , dari IDP (Indonesia Design Power) Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Tim Ekonomi Kreatif SBM ITB. Pertama, nilai tambah industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar Rp 86,917 triliun. Kedua, industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,71% dari PDB Indonesia pada tahun 2006, sudah berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih.

Ketiga, laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,28% per tahun (angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,14%). Keempat, penyerapan tenaga kerja tahun 2006 sebesar 4,48 juta orang dengan persentase terhadap total tenaga kerja adalah 4,71%. Kelima, produktivitas tenaga kerja tahun 2006 Rp 19,38 juta per orang. Terakhir, empat sektor industri kreatif teratas adalah, periklanan, desain fashion, kerajinan, dan arsitektur.

Dari titik itu terlihat bahwa kreativitas telah menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi. Riset-riset masih terus dibutuhkan agar temuan kondisi riil di lapangan bisa terpetakan. Kolaborasi pemerintah dengan dunia kampus juga diperlukan. Seperti yang juga tengah dilakukan oleh Center for Innovation, Enterpreneurship & Leadership (CIEL) SBM ITB bekerja sama dengan Deperindag Provinsi Jawa Barat, untuk merancang blue print pengembangan industri kreatif di Jawa Barat. ”Targetnya tahun ini bisa selesai,” ucap Direktur CIEL, Dwi Larso.

Berkaca pada pengalaman negara-negara maju dalam mengembangkan industri kreatif, yang amat diperlukan adalah dukungan sikap dari pemerintah terhadap industri itu. Pemerintah akhir-akhir ini memang terlihat rajin menyuarakan pentingnya industri kreatif sebagai salah satu upaya keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Gustaff berpendapat bahwa inisiatif itu dapat diartikan sebagai angin segar. Meski, wujud konkret kebijakannya masih ditunggu, misalnya, penghargaan, insentif, perizinan, dan prasarana, yang akan menghasilkan iklim industri kreatif itu.

Menurut Tarlen Handayani, pengelola komunitas kreatif Tobucil & Klabs, Kota Bandung, pemerintah kerap masih melihat sektor primadona saja. Cara pandangnya masih parsial, dan belum melihat keberkaitan antarsektor secara keseluruhan. Di sisi lain, jika industri kreatif dipandang penting bagi Indonesia--seperti halnya pemproyeksian Kota Bandung sebagai prototipe ”kota kreatif”, menurut Tarlen, harusnya pemerintah kota bisa mendukung dengan menyediakan infrastruktur lebih baik untuk terus menumbuhkembangkan komunitas kreatif itu. ”Bukan hanya gedung pertunjukan, galeri, dsb., tetapi juga penataan wilayah seperti lahan parkir atau bagaimana agar kemacetan bisa dikurangi sebab itu membuat tidak produktif,” kata Tarlen, yang tengah menyusun riset tentang industri kreatif ini.

Demi menumbuhkan iklim kreatif yang kondusif, menurut Tarlen, ada hal yang amat dibutuhkan, yaitu toleransi. Orang bisa lebih terangsang kreativitasnya dalam lingkungan di mana perbedaan bukan hal yang tabu untuk dirayakan. ”Saat orang-orang bisa mengapresiasi keragaman berpikir, keragaman inovasi, dsb., itu akan jadi lahan subur kreativitas,” kata Tarlen. ***

(Bandung, 25 Oktober 2007, Pikiran Rakyat, dewi irma, kampus_pr@yahoo.com).

Social Media in Plain English

Saturday, June 21, 2008

Bandung Jadi - Pilot Project

Source: Dataworks

Bandung ditunjuk sebagai pilot project kota kreatif se-Asia Timur dan Asia Tenggara dalam program pengembangan industri krestif yang akan mendapat bantuan dari Inggris. Inggris menyediakan dana bantuan sebesar 6 juta poundsterling (sekitar Rp 108 miliar), untuk mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai Negara berkembang.
“Alokasi dana tersebut akan disalurkan selama empat tahun ke depan. Namun semuanya bergantung kepada ajuan program yang dibuat. Bisa saja, jika tak ada proposal yang memenuhi syarat, tak ada bantuan yang disalurkan, “ ujar Duta Besar Inggris untuk Indonesia., HE Charles Humfrey CMG, usai acara symposium “Strategic Dialogue in South East Asia Developing Creative Industries” di Hotel Novotel Bandung, Senin (29/10).
Menurut dia, bantuan yang akan diberikan berupa kerja sama riset, kolaborasi program pertukaran, dan pengiriman siswa ke inggris. Untuk bisa mendapat bantuan tersebut, harus ada kerja sama antara perguruan tinggi, pelaku industri kreatif, dan pemerintah dalam mengembangkan industri kreatif.

“Kita tidak memberikan bantuan langsung ke kalangan industri kreatif. Tapi lebih kepada hal-hal yang bisa mendukung perkembangan industri kreatif seperti penelitian dan penyediaan SDM yang berkualitas baik. Pelaku industri kreatif sendiri, kita anggap mampu untuk jalan sendiri,” kata Charles.
Menyinggung peran industri kreatif, Charles mengatakan dari catatan Bank Dunia, 50% konsumsi masyarakat dunia dipasok dari industri kreatif. Tahun 2005 industri manufaktur yang terkait kreativitas, memberi kontribusi 33% bagi pendapatan dunia, atau enam kali lipat lebih besar dibandingkan kontribusi minyak dan gas.

Kontribusi
Di Indonesia, 13 sektor industri kreatif seperti fashion, piranti lunak, film, kerajinan, hingga riset, memberi kontribusi 4,75% terhadap PDB. Tingkat kontribusinya diperkirakan akan bertambah besar, mengingat pertumbuhan industri tersebut rata-rata mencapai 7,3% setiap tahunnya.
“Inggris merupakan pelopor konsep industri kreatif dunia. Dan sekarang industri ini menjadi sektor ekonomi kedua terbesar di Inggris setelah bisnis perbankan. Kontribusinya mencapai 121,6 milyar poundsterling terhadap PDB Inggris, dan menyerap 2 juta tenaga kerja setiap tahunnya,” katanya.
Sementara itu, Director British Council di Indonesia, Mike Hardy, mengatakan, Kota Bandung memiliki potensi yang besar, untuk mengembangkan industri kreatif. Apalagi Industri tersebut sudah tumbuh di Bandung sejak 10 tahun yang lalu. Sebagai kota ke-4 terbesar di Indonesia dengan 2,5 juta penduduknya, saat ini Bandung sudah memiliki 400 outlet industri kreatif.
“Di Bandung, umumnya bergerak di bidang fashion, desain, dan musik. Yang paling menggembirakan, semuanya ini dikelola oleh orang muda berusia 15-25 tahun. Secara total industri kreatif di Kota Bandung ini menyerap 344.244 tenaga kerja, dan memberikan kontribusi 11% untuk ekonomi lokal,” kata Mike.

Menyinggung pengembangan industri kreatif, Mike mengatakan, British Council memiliki program hingga tahun 2010 nanti. Fokusnya pada arsitektur, desain, film, musik, kriya, dan wirausaha kreatif.
“Projek rintisan untuk ini sudah dilakukan tahun 1997 di Jakarta, untuk pemetaan bisnis penerbitan, promosi, dan pengemasan. Selanjutnya kami akan melakukan pemetaan industri kreatif di Bandung dan Jawa Barat,” katanya.

(Bandung, 30 Oktober 2007, Pikiran Rakyat).

Podcasting in Plain English

Friday, June 20, 2008

Award untuk Pionir Industri Kreatif

Source: Dataworks

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Agus Gustiar mengatakan penghargaan ini sebagai wujud apresiasi terhadap kinerja mereka yang merintis munculnya industri kreatif dari awal. "Industri kreatif kini berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang mampu membantu penyerapan tenaga kerja di Jabar, khususnya Bandung," ujarnya, pekan lalu.

Kelima penerima penghargaan yang disrerahkan tanggal 10 Agustus 2007 adalah :

Prof Thabrani dan kalangan akademisi yang berjasa memelopori kehadiran clothing.
Marianus Widodo pemilik merek C-59 yang menjadi pionir usaha clothing.
Rachman Ibrahim sebagai pimpinan Dataworks Indonesia, perusahaan pengembang software khusus yang dipakai hampir seluruh clothing dan distro se-Indonesia. Berbagai software dan aplikasi berbasis internet dibuat untuk membantu industri kreatif berkembang dengan manajemen teratur.
Didit Aditya sebagai pimpinan Fast Forward Record, label rekaman yang khusus berkonsentrasi pada band indie mendapat penghargaan sebagai Trendsetter. Label ini berhasil menetaskan band indie terkenal seperti Mocca dan the Sigit.
Ben Wirawan, pemilik merek Maha Nagari juga mendapat penghargaan dalam kategori desain produk prospektif.

Penghargaan diberikan oleh Gubernur Jabar Danny Setiawan dalam pembukaan KICKFEST, sebuah festival untuk industri kreatif yang dimotori oleh komunitas clothing (KICK).

Direktur Maha Nagari Ben Wirawan mengatakan sebagai penerima penghargaan pihaknya tidak menyangka akan tingginya apresiasi masyarakat Indonesia, khususnya Kota Bandung terhadap produk kreatif yang berbasis seni dan budaya. "produk kami sangat menonjolkan nilai seni dan budaya Sunda mulai dari sejarah masa lampau hingga fanatisme masa kini terhadap tim sepakbolanya, Persib," ujarnya. Menurut dia, penghargaan ini sebagai sebuah bentuk dukungan yang baik dari pemerintah. Apalagi industri ini awalnya dari komunitas dan hobi.

Hak Paten -- Ben menambahkan kehadiran merek Maha Nagari sendiri berawal dari sulitnya mencari produk oleh-oleh khas Bandung yang bisa digunakan untuk jangka waktu lama.
Menurut dia, produk makanan olahan rentan rusak baik kemasannya maupun isinya jika dibawa ke luar kota atau luar negeri. "Dorongan berbagai pihak seperti media juga membantu pertumbuhan usaha kreatif menjadi sebuah industri seperti sekarang ini," ujarnya. Dia menjelaskan pemilik merek produk industri kreatif sebaiknya mulai memperhatikan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk desain produknya. Setiap merek perlu mendapat perlindungan hukum melalui hak paten dan HAKI, apalagi produk kreatif kini rentan terhadapp pembajakan. 'Tidak sedikit desain produk clothing dibajak oleh industri yang lebih besar ataupun industri rumah tangga," tuturnya.

Koordinator Bussines Development KICK Diki Invictus mengatakan KICK akan membantu pengurusan legalitas clothing secara kolektif dari sisi legalitas merek melalui hak paten dan HAKI, serta legalisasi ruang usaha. "Selama ini banyak pengusaha clothing yang memulai dari hobi sehingga belum memikirkan pentingnya aspek perlindungan hukum,"ujarnya.

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat

Informasi lengkap tentang event KICKFEST dapat dilihat di halaman kick.or.id

Music Matters to MTV



Consumer Trends

Tuesday, June 17, 2008

Pameran Design di Surabaya

Source: Explore Indonesia

PDF Cetak Email
Oleh : mahar prastowo
Sabtu, 14 Juni 2008 19:49

Sukses dengan FGDexpo2007 di Jakarta, maka Forum Grafika Digital [FGD] bersama Dyandra Promosindo menyelenggarakan pameran East Design & Graphic Expo-EDGE 2008 di Gramedia Expo,18-21 Juni 2008, sekaligus menjadi ajang perkenalan FGDexpo2009 yang akan digelar 6-9 Agustus 2009 mendatang. EDGE 2008 terintegrasi dengan penyelenggaraan Seminar tentang industri Packaging dan industri Digital Printing yang merupakan bagian penting dari pameran.

Seminar tersebut diharapkan akan menjadi suatu media edukasi yang baik bagi masyarakat wilayah timur umumnya dan Surabaya khususnya. Dengan luas total 4.000 meter persegi akan memamerkan segala hal tentang industri percetakan kemasan, Digital Printing, Tinta & Kertas, Signage dan beberapa industri pendukung lainnya. EDGE 2008 juga menghadirkan para ahli, pelaku bisnis produk dan jasa pada bidang industri Printers, Printing Manufacturing and Producers of Printed Media, Book Publishers & Comic, Newspaper Productions and Publishing, Paper Manufacturers and Traders, Printing Machineries and Equipment, Pre-Press in Printing Services, Printing Finishing and Vurnishing, Graphic Designers, Producers of Packaging Materials,Advertising Agencies and Media, Fotographic Arts and Equipments, Computer-Related Graphic System Equipments, Printing Materials and Chemical Supplies, Event Organizers and Public Relations, Broadcasted Media and Services, Graphic Art Supplies.

SEMINAR INDUSTRI KEMASAN MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL Selain pameran produk dan jasa design dan grafika, dalam pameran ini juga akan diselenggarakan seminar sehari mengenai dunia industri kemasan dalam menjawab tantangan global. Sebagaimana diketahui, ketika industri lain tiarap karena terpengaruh kenaikan harga BBM, justru industri ini pada kwartal pertama 2008 melaporkan keuntungan hingga 300%. Artinya, industri ini merupakan peluang investasi pilihan untuk jangka panjang kedepan.

Untuk membahas masalah tantangan industri kemasan beserta berbagai peluangnya, dalam seminar ini yang akan menjadi pemakalah antara lain Listia Natadjaja [ Universitas Petra Surabaya]berbicara tentang kreatifitas kemasan dengan meramu kompetensi global. Ada juga Henky Wibawa, dewan pakar ForumFGD dan Direktur Pengembangan Produk PT Arghakarya Industry, dengan makalah tentang konsep baru pengembangan materi kemasan flexible. Sementara Anwar Kurniawan [ForumFGD / Anta Tirta Kirana] membawakan tema jurus-jurus mengatasi ketatnya persaingan bisnis kemasan. Masih seputar industri kemasan, Marchadi [ForumFGD / Unimes] menjadi pemakalah tentang macam-macam kemasan karton lipat. Adapun mengenai Perlunya menerapkan Standard Mutu Cetakan ISO 12647 oleh Clay Wala [FGDforum].

Industri kreatif, potensi besar yang belum diprioritaskan

Source: Bisnis Indonesia


Senin, 16/06/2008 10:22 WIB

oleh : Rachmat Gobel (Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia)

Bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Produk Budaya Indonesia (PPBI) ke-2 pada 4-8 Juni 2008, pemerintah meluncurkan buku biru (blue print) tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Upaya ini di antaranya digagas oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Ini merupakan langkah positif, karena di masa depan sektor ekonomi kreatif menjadi motor penggerak perekonomian dunia. Hal ini ditandai dengan peningkatan pertumbuhan dan peran ekonomi kreatif atau industri kreatif secara signifikan, meninggalkan sektor pertanian, industri, dan teknologi informasi.

Pasar ekonomi kreatif yang tumbuh di atas rata-rata perekonomian global membuat banyak negara, terutama negara maju, melirik ke sektor ini. Dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun, nilai ekonomi kreatif secara global pada 2020 diperkirakan mencapai US$6,1 triliun.

Beberapa negara Asia, seperti India, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura secara serius mulai menggarap sektor ini. Thailand melalui Thailand Design Center, misalnya, tengah 'berjibaku' untuk mengangkat sektor ekonomi kreatif. Begitu juga India lewat industri film dan musiknya.

Singapura bahkan telah mereposisi perekonomiannya dan berambisi menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia. Pada 2005, Perdana Menteri Lee Hsien Long meluncurkan tiga gerakan nasional, yakni Design Singapore, Media 21, dan Rennaisance City 2.0.

Melalui tiga program itu, Singapura berambisi menjadikan sektor ekonomi kreatif sebagai tulung punggung pertumbuhan ekonominya dengan target kenaikan menjadi dua kali lipat dalam tujuh tahun ke depan.

Indonesia sebetulnya menyimpan potensi besar di sektor ekonomi kreatif, tetapi belum banyak disentuh oleh kebijakan dan digarap secara optimal. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya, Indonesia kaya akan warisan tradisi dan seni. Ini adalah modal dasar yang besar untuk masuk dalam kancah ekonomi kreatif global.

Di Indonesia, peranan sektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional selama ini cukup besar, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja. Sumbangan sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2002-2006 rata-rata Rp104,64 triliun dan menyerap 5,4 juta tenaga kerja.

Selain mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yang menarik adalah sebagian besar dari mereka yang bergerak di sektor ini merupakan kelompok UKM dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas nasional sekitar Rp18 juta per tahun.

Dengan karakteristik seperti ini, pengembangan ekonomi kreatif akan menjadi sangat strategis dalam memecahkan masalah besar yakni pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, saat menyusun Visi 2030 dan Roadmap Industri 2010, Kadin Indonesia memasukkan sektor ini sebagai salah satu industri yang diunggulkan sebagai penggerak dan pencipta lapangan kerja serta menurunkan angka kemiskinan.

Ekonomi kreatif adalah sebuah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dikomersialkan.

Dalam buku biru yang baru diluncurkan itu, terdapat 14 subsektor ekonomi kreatif, di antaranya periklanan, kerajinan, pasar barang seni, fashion, seni pertunjukan, film, animasi, dan penerbitan.

Karakteristik unik dari ekonomi kreatif adalah fokus persaingan yang menitikberatkan pada desain produk, bukan pada harga.

Oleh karena itu, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan desain, teknologi produksi, akses pemasaran, dan pembiayaan. Sayangnya, iklim usaha saat ini belum sepenuhnya mendukung perkembangan sektor ini, padahal potensi dan modal yang dimiliki sangat besar.

Saat ini, kita memiliki banyak desainer, arsitek, dan pekerja ekonomi kreatif yang berbakat dan tidak kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebut saja, Castle Production di Pasar Baru, Jakarta, yang menghasilkan animasi kelas dunia Carlos the Catterpilar dan The Jim Elliot Story.

Kita juga memiliki Sibarani Sofyan, seorang urban desiner muda yang berbagai karyanya bertebaran di Malaysia, China, dan Dubai. Ada pula Christiawan Lie, komikus GI Joe, yang sedang naik daun di Amerika Serikat, atau Budi Pradono, arsitek muda, yang mendapatkan penghargaan Architectural Review.

Sinergi

Diperlukan perhatian yang lebih besar dari semua pihak agar potensi di sektor ini tidak terbuang sia-sia, sehingga kemudian dimanfaatkan negara lain.

Pemerintah perlu memanfaatkan semua potensi yang ada dengan mendorong kalangan perusahaan besar untuk mengembangkan masyarakat ekonomi kreatif di lingkungan mereka. Sekadar contoh, lomba desain aksesori kendaraan yang diselenggarakan PT Toyota Astra Motor dengan melibatkan perguruan tinggi dan memberi kesempatan kepada pemenang untuk mengaplikasikan karyanya secara komersial merupakan langkah yang patut dilanjutkan dan dikembangkan.

Untuk mengakselerasi, pemerintah seharusnya memberi perhatian lewat insentif agar semakin banyak perusahaan yang ikut berperan aktif dalam mengembangkan sektor ini melalui pola kemitraan.

Berdasarkan pengalaman Kadin Indonesia, membangun interaksi dan membina pelaku industri kreatif di sejumlah daerah, seperti di Sidoarjo dan Yogyakarta lewat pola kemitraan, merupakan cara yang sangat efektif.

Pengalaman juga menunjukkan bahwa faktor kelembagaan menjadi begitu penting, tidak hanya dalam hal pemasaran, tetapi juga dalam pengembangan desain. Selama ini, pelaku ekonomi kreatif lebih banyak bergerak secara underground dan independen.

Oleh karena itu, kita sering mendengar banyak desainer yang kebingungan mencari manufaktur yang bisa membantu mewujudkan ide brilian mereka.

Para desainer juga sering kesulitan mencari modal kerja, karena mereka ditolak perbankan. Mereka umumnya tidak memiliki aset tetap kecuali ide-ide kreatif.

Dalam kaitan kebijakan yang ada, sangat mungkin bagi pemerintah untuk memasukkan pengembangan industri kreatif dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Madani yang dikoordinasi oleh Kantor Menko Kesra.

Agar tidak kehilangan peluang, pengembangan ekonomi kreatif harus menjadi prioritas serta terus menyempurnakan cetak biru yang ada. Hal ini di antaranya dengan memasukkan target kuantitatif. Ini sangat penting agar sasaran ke depan menjadi lebih jelas.

Fondasi Ekonomi Kreatif

Source: Dataworks

(Dataworks Indonesia, 12/09/2006)

Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan industri kreatif. Indonesia sudah tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Apakah Indonesia mempunyai strategi yang jitu agar tidak tertinggal jauh? Apakah pemerintah dapat berperan dalam mewujudkan ekonomi kreatif yang berdaya saing? Demikian contoh sederetan pertanyaan dari para perserta seminar bertema "Membangun fondasi ekonomi kreatif di Jawa Barat" yang diselenggarakan oleh Dinas Disperindag Jabar, di Hotel Grand Serella, Sabtu (11/8) lalu.

Seminar sehari ini adalah serangkaian kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meletakkan fondasi industri kreatif di Jawa Barat ("PR", 13/8). Sehari sebelumnya Gubernur Danny Setiawan membuka Kick-Fest II (Kreative Independent Clothing Kommunity Festival) yang berlangsung 10-12 Agustus sebagai ajang pengunjukan diri industri kreatif kaus dan pakaian jadi (distro) di Bandung. Dalam sambutannya, Danny menekankan pentingnya kebersamaan yang seirama (sauyunan) untuk mewujudkan Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Jabar memiliki segudang potensi seperti modal manusia (ilmuwan, kreator, inovator), sumber daya alam, dan industri strategis. Justru yang masih lemah, menurut Danny, adalah modal sosial di antara pelakunya.

Dengan fokus yang sama yaitu kesejahteraan Jabar, kearifan lokal saling asah, asih, dan asuh berguna memantapkan pembangunan ekonomi Jabar yang bukan hanya bertumpu pada bidang industri manufaktur, agrobisnis, dan telematika tetapi bisnis yang berbasis kreavitivas. Jabar sudah dikenal sebagai pusat fashion bukan hanya warganya yang modis tetapi juga tempat lahirnya para desainer yang mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin kompetitif. Danny berharap munculnya teladan (best practice) kewirausahaan bidang industri kreatif yang unik di setiap daerah kabupaten/kota. Khusus untuk Kota Bandung, gubernur berpesan perlunya sinergi untuk mengoptimalkan potensi industri kreatif dengan kebijakan, manajemen, tata ruang kota, dan tenaga kerja yang terpadu.

Pada kesempatan ini diberikan penghargaan kepeloporan dalam industri kreatif dan desain terbaik. Penghargaan kepeloporan industri kreatif diberikan kepada Dr. H. Pribadi Tabrani dan Marius Widyarto Wiwied. Dr. Tabrani adalah guru besar FSRD ITB yang berjasa dalam pendidikan seni rupa dan desain komunikasi visual dengan mengajarkan generasi muda untuk selalu berpikir kreatif (Cikal Bakal FSRD ITB, "PR", 30/7). Marius adalah pelopor kaus (T-shirt) bergambar dengan merek C59 yang telah dikenal oleh khalayak ramai di Indonesia dan memperoleh banyak penghargaan bergengsi (www.c59.co.id).

Sedangkan desain terbaik yang terdiri atas tiga kategori dimenangkan oleh Mahanagari untuk kategori desain produk, Fast Forward Records untuk kategori pelopor tren (trend setter), dan Dataworks Indonesia untuk kategori perusahaan inovatif. Desain produk Mahanagari secara kosisten mengangkat kekhasan budaya Parahyangan, rasa kecintaan Jabar, dan sejarah Bandung ke berbagai macam bentuk pakaian dan aksesori seperti kaos, pin, gantungan kunci, poster, kartu pos, termasuk buku-buku bertema budaya lokal. Fast Forward Records (www.ffwdrecords.com) mendorong perkembangan musik indie sejak tahun 1999 dengan mencari bakat dan telah merilis 9 album (lima di antaranya rilis internasional). Kelompok musik Mocca adalah yang paling berhasil dengan album pertama "My Diary" terjual 80.000 kaset dan 8.000 keping CD.

Dataworks Indonesia (www.dataworks-indonesia.com) mengembangkan perangkat lunak untuk industri pakaian indie sejak tahun 2004. DMS 2005 adalah perangkat lunak sistem keuangan produk yang telah digunakan oleh 57 distro dengan jumlah 83 lisensi yang terjual. Pada pertengahan 2006, Dataworks merilis layanan suavecatalogue.com dan situs e-commerce yang digunakan oleh 10 perusahaan pakaian. Produk yang terbaru adalah CMS 2007 yang dapat membantu identifikasi produk, distribusi, dan pelaporan keuangan.

Pada pembukaan seminar keesokan harinya, Kadis Disperindag Jabar Agus Gustiar memaparkan, Jabar telah menggoreskan tonggak sejarah industri kreatif di Indonesia dengan mendukung pembinaan inovasi produk kreatif bernilai tambah tinggi. Kota Bandung adalah pelopor produk kaus di tahun '70-an. Setelah mengalami pasang surut di tahun '80-an, industri ini bangkit kembali di tahun '90-an dengan distro, aksesori, merek, desain, dan bahan baku yang lebih variatif. Agus menekankan bahwa membangun fondasi industri kreatif merupakan upaya bersama untuk promosi, pendataan merek, penyediaan tenaga ahli, perbaikan teknis dan manajemen, akses pemodalan, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Karena Jabar kaya akan keanekaragaman budaya, talenta, dan balai besar, industri kreatif layak menjadi titik sentral ekonomi Jabar. Tujuan pelaksanaan seminar, menurut Agus, tidak lain adalah mempersiapkan fondasi yang lebih kokoh melalui sosialisasi kebijakan pemerintah pusat yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, menumbuhkan wawasan nilai strategis industri kreatif, memahami potensi industri kreatif saat ini, dan menjaring usulan dari pengusaha, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.

Cetak biru

Dirjen Industri Kecil dan Manengah (IKM) Departemen Perindustrian RI, M. Sakri Widhianto menyajikan peranan Departemen Perindustrian dalam mengembangkan industri kreatif berbasis budaya dan warisan budaya. Menurut Sakri, Presiden SBY adalah penggagas bahwa pengembangan ekonomi baru harus berdasarkan kekayaan alam, budaya, dan warisan budaya Indonesia. Secara spesifik, Presiden mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang memadukan gagasan, seni, dan teknologi. Cetak biru pengembangan ekonomi kreatif 2007-2011 berhasil disusun berkat peran serta dari Kadin, pengamat ekonomi, para pakar dari FSRD ITB, dan kementerian terkait dari seminar dan dialog Pekan Produk Budaya Indonesia 11-15 Juli 2007.

Konsep awal dari dokumen ini membuat delapan program berikut dengan tujuan, hasil yang diharapkan, dan pihak yang bertanggung jawab termasuk peran asosiasi. Kedelapan program tersebut adalah program sosialisasi, program identifikasi (pemetaan, basis data, riset ekonomi kreatif, skala prioritas), perlindungan hukum (inpres, sosialisasi HKI), pendidikan (kurikulum pendidikan budaya yang kreatif dan inovatif), program kelembagaan, promosi dan pemasaran (aktivasi pasar), infrastruktur (komunikasi, transportasi, prasarana pelatihan dan produksi), dan insentif (festival, kredit, perizinan, kontes). Sakri menyatakan setelah konsep ini disempurnakan akan diterbitkan dalam instruksi presiden.

Pembicara kedua adalah Poltak Ambarita, Kasubdit Informasi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri yang memaparkan kebijakan pengembangan Indonesia Design Power (IDP) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Fokus dari desain adalah merek, pengemasan, dan desain. Indonesia Design Power (IDP) adalah pendayagunaan desain untuk meningkatkan kualitas, memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing produk Indonesia berbasis kekayaan intelektual dan sumber daya alam yang dilakukan melalui inovasi bersumber dari budaya dan warisan budaya.

Alasan pembentukan IDP adalah terutama karena era perdagangan bebas yang menuntut keterbukaan pasar (tidak ada proteksi), tuntutan sertifikasi produk (seperti ecolabelling, fair trade, dll.), membuat produk lebih berkualitas, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonsia. Peran dari dinas perdagangan adalah melakukan aktivasi, pendataan, dan pembinaan industri kreatif di wilayahnya masing-masing.

Selain kedua pembicara di atas, seminar ini menampilkan empat pembicara lainnya. Gustaff H. Iskandar (Common Room Networks Foundation) yang menyajikan pemberdayaan jaringan pelaku ekonomi kreatif sebagai strategi pembentukan basis ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Achmad D. Tardiyana (Urbane Indonesia) menegaskan bahwa Jawa barat harus menjadi koridor ekonomi kreatif. Togar Simatupang (SBM ITB) menyampaikan konsep pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.

Salah satu pembicara pengusaha kreatif yang berhasil adalah Fiki Chikara Satari. Usahanya dimulai awal tahun 1998 dengan 3 orang staf dan penjualan perseorangan. Pada tahun 2006 sudah membuka toko dan outlet berjalan dengan nama Airbus One. Fiki bercerita tidak ada rumus pasti dalam bisnis distro. Ide bisa muncul dari mana saja dan perlu pergaulan yang luas untuk memperkaya pengetahuan. Tetapi, ide ini perlu disertai dengan keahlian manajerial seperti pemasaran, penganggaran, operasi, keuangan, kebijakan harga jual dan diskon, dan aspek legalitas usaha.

Sumbang saran

Peranan pemerintah masih sangat besar dalam meletakkan fondasi ekonomi kreatif. Tindak lanjut seminar dan kerjasama hendaknya terus digulirkan oleh para pemegang kepentingan. Dengan komunikasi yang intensif diharapkan pemerintah benar-benar berfungsi sebagai regulator, katalisator, dan fasilitator yang menumbuhkan industri kreatif. Supaya tidak kehilangan momentum, beberapa strategi yang dapat disarankan adalah sebagai berikut. Perlunya forum ekonomi kreatif yang dapat menghimpun pelaku industri kreatif supaya jangan jalan sendiri-sendiri.

Forum ini bertanggung jawab menjabarkan cetak biru ekonomi kreatif nasional ke dalam cetak biru industri kreatif Jawa Barat dan Kota Bandung. Dinas, asosiasi, perhotelan, dan pendidikan juga perlu duduk bersama membuat agenda tahunan apa yang perlu ditampilkan oleh Jabar atau Kota Bandung.

Ruang berekspresi perlu disediakan oleh pemerintah kota misalnya Gedung Sate atau kawasan Cilaki yang dapat digunakan hari Sabtu-Minggu untuk komunitas kreatif supaya gagasan dan pasar berkembang pesat. Gasasan lainnya adalah mencari kota yang cocok dengan komunitas Bandung sebagai sister city dalam mengembangkan industri kreatif.

Dewan kota juga perlu mengeluarkan payung hukum atau peraturan daerah kalau industri kreatif mau dijadikan salah satu komoditas unggulan Kota Bandung. Proteksi karya kreatif terutama warisan budaya perlu terus ditingkatkan melalui inventarisasi, pengkajian, direktori, promosi, pendaftaran ke lembaga dunia, dan penegakan hukum.

Sudah saatnya perguruan tinggi berbasis kreatif yang jumlahnya lebih dari 20 di Kota Bandung dapat bekerja sama dalam mendorong tumbuhnya komunitas kreatif melalui pengklasteran dan kolaborasi riset. Mereka perlu turut dalam memecahkan permasalahan teknis, modal, dan pasar industri kreatif. Sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai pelatihan kerja dapat diperkenalkan dengan industri kreatif untuk mendukung kegiatan produksi dan kreasi. Promosi media sangat penting terutama memberdayakan televisi daerah. Demikian juga dengan penyediaan beasiswa dan penghargaan perlu terus digulirkan oleh pemerintah daerah.

Oleh Dr. TOGAR M. SIMATUPANG
Penulis, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Bandung.
PIKIRAN RAKYAT - 28 Agustus 2007

Monday, June 16, 2008

Industri Kreatif Dikembangkan

Source: Kompas
Indonesia Hanya Jadi Pembeli
Senin, 3 Maret 2008 | 15:25 WIB

Oleh Agni Rahadyanti

SLEMAN, KOMPAS - Industri kreatif bercirikan budaya lokal harus terus dikembangkan agar Indonesia tak hanya menjadi bangsa pemakai produk- produk teknologi asing semata. Pengembangan game dan animasi yang mengangkat berbagai ikon budaya lokal, misalnya, memiliki keunikan tersendiri yang bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.

"Selama ini kita menjadi bangsa pembeli yang selalu mengambil produk-produk teknologi industri kreatif, seperti game dan animasi dari luar negeri," kata Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri (BPKLN) Departemen Pendidikan Nasional Gatot Hari Priowirjanto, Sabtu (1/3), ketika membuka Festival Game Tech dan Animasi (FGTA) Nasional 2008 di Kampus Politeknik Seni Yogyakarta, Kampus Politeknik Seni Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Seni dan Budaya Yogyakarta.

Penggunaan ikon-ikon lokal, seperti tokoh wayang Gareng atau Petruk pada animasi-animasi lokal Yogyakarta, misalnya, bisa menjadi ciri khas dan identitas yang menarik. Anak-anak Indonesia pun terdorong untuk mencintai budayanya sendiri.

Ketika terus dikembangkan, produk-produk industri kreatif juga bisa digunakan untuk menunjang kegiatan pendidikan. Suatu materi pelajaran yang dituangkan dalam bentuk rekaman audiovisual dengan melibatkan berbagai animasi yang menarik, misalnya, bisa dipergunakan di seluruh Indonesia. Kualitas pembelajaran pun diharapkan bisa semakin merata karena samanya standar penyampaian materi pelajaran. Belum siap

Namun, ungkap Gatot, belum semua guru siap melakukan metode pembelajaran tersebut. Akses sekolah-sekolah terhadap teknologi informasi juga belum merata. Pemerintah sendiri terus berupaya meningkatkan perbaikan infrastruktur penunjang dan memfasilitasi berbagai kegiatan untuk mengembangkan industri kreatif agar bisa dipakai secara lebih luas.

BPKLN, misalnya, memberi bantuan dana Rp 200 juta pada FGTA tingkat nasional yang tahun ini akan diselenggarakan empat putaran, yaitu di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Bulan November nanti, puncak FGTA berskala internasional akan digelar di Institut Teknologi Bandung.

Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya mengungkapkan, pengembangan industri kreatif ini harus pula diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia agar tidak terjadi kesenjangan digital di masyarakat pengguna. Halaman I Foto 1 Arum Tresnaningtyas Dayuputri Pengunjung bermain gametech yang diikutkan Festival Game Tech dan Animasi (FGTA)

Sunday, June 15, 2008

Energi Kreatif yang Menghidupi Kota

Source: Kompas
Minggu, 2 Maret 2008 | 01:26 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy


Dua tenda putih berdiri di sisi kanan dan kiri halaman depan Natural History Museum di Cromwell Road, London, dengan papan bertulisan besar. Orang yang berlalu lalang di trotoar depan museum, termasuk orangtua bersama anak-anaknya yang mengalir ke museum tersebut pada pertengahan Februari lalu, akan menoleh dan bahkan berseru, ”Oh, London Fashion Week!”

Sementara di bangunan utama museum berisi berbagai fosil, termasuk dinosaurus, yang menarik rombongan anak- anak beserta orangtua serta kakek dan nenek mereka, di dua tenda itu berlangsung acara yang berbeda sama sekali.

Dua-duanya menjadi penanda London, dan mode dianggap menjadi penanda kota yang lebih urban. Penanda yang sulit dipegang, tetapi banyak kota di dunia menginginkan status yang sama seperti London sebagai kota mode karena mode identik dengan selalu berubah untuk menghasilkan yang baru, modern, dinamis, dan muda.

London yang dikenal sebagai kota mode sejak abad ke-19, tak putus mengusahakan agar status itu bertahan, bahkan naik pamor. Tetapi, bukannya tanpa masalah.

”Terutama di London, kami punya banyak usaha yang baru mulai berdiri dan ukurannya kecil. Tetapi, ini juga kekuatan London karena mereka memberi sesuatu yang unik,” kata Head of Operation British Fashion Council, Simon Ward.

Di dalam daftar peserta London Fashion Week, dari 57 pergelaran, kira-kira separuh adalah perancang mula. Di dalam industri mode saat ini yang semakin dikuasai merek global berskala besar, bukan perkara mudah menumbuhkan perancang mula.

London dikenal sebagai kota yang melahirkan perancang muda kreatif yang memberi warna pada mode. Charles Frederick Worth (1826-1895) dianggap melahirkan adibusana meskipun kariernya berkembang di Paris. Pada pertengahan dan akhir tahun 1960-an, Mary Quant mengenalkan dan memopulerkan mini dan hotpants.

Vivienne Westwood mengangkat punk menjadi mode mainstream sampai kini. Lalu, pada generasi 1990-an ada antara lain John Galliano dan Alexander McQueen, yang meskipun tidak menggelar karya mereka di London, rancangannya memberi warna pada mode dan menginspirasi perancang muda Inggris.

Industri kreatif

Meskipun demikian, baru belakangan Pemerintah Inggris menyadari mode adalah bentuk industri ”baru” yang patut diperhitungkan sebagai penggerak roda ekonomi, yaitu industri kreatif.

Desain mode dimasukkan ke dalam industri kreatif, bersama industri musik, film dan video, desain, periklanan, arsitektur, pasar barang seni dan antik, seni kriya, perangkat lunak interaktif hiburan, seni pertunjukan, penerbitan, jasa komputer dan perangkat lunak, serta televisi dan radio.

Pemetaan pada tahun 1998 dan 2001 menemukan, industri kreatif di Inggris bernilai 112,5 miliar pound dan mempekerjakan 1,3 juta orang untuk 58,8 juta penduduk Inggris (statistik 2001). Situs Departemen Kebudayaan, Media, dan Olahraga Inggris menyebut, industri ini menyumbang nyata terhadap ekonomi Inggris, yaitu 7,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau 76,6 miliar pound pada tahun 2000 dan tumbuh 9 persen per tahun antara tahun 1997 hingga 2000, sementara ekonomi keseluruhan tumbuh rata-rata 2,8 persen. Sedangkan nilai ekspornya pada tahun 2000 sebesar 8,7 miliar pound, setara dengan 3,3 persen dari nilai total ekspor barang dan jasa.

Khusus mode, nilainya pada tahun yang sama sebesar 3,4 miliar pound (0,4 persen PDB) dengan pertumbuhan 7 persen dan nilai ekspor 400 juta pound.

London terutama, hidup dari energi industri kreatif. Wali Kota London Ken Livingstone dalam sambutannya untuk Kulture2Couture menyebut, industri kreatif adalah industri terbesar kedua di London setelah jasa keuangan dan bisnis dengan sumbangan 21 miliar pound setahun terhadap PDB London.

Lebih dari sekadar ekonomi, sumbangan industri kreatif adalah desain mutakhir, desain mode yang kontemporer dan muda, serta seni modern dan arsitektur yang membuat ibu kota Inggris itu dikenal sebagai kota dengan kreativitas tinggi.

Itu pula yang membuat orang ingin datang ke sana. Kulture2Couture, misalnya, mengambil London sebagai tempat untuk mendorong tumbuhnya kreativitas dan sumbangan perancang Afrika dan Karibia dalam industri mode.

Pada sisi lain, seperti disebut Livingstone, kota itu mampu mempertahankan daya kreatifnya karena terbuka terhadap mereka yang berbakat dari berbagai belahan dunia.

Pada saat banyak kabupaten/kota di Indonesia membuat peraturan daerah yang mengatur ruang pribadi warganya dengan, misalnya, menetapkan mulai dari cara ritual keagamaan, cara berpakaian, sampai membatasi gerak perempuan, London menyambut terbuka keberagaman ekspresi individu.

Seperti disebutkan Livingstone, keberagaman itulah yang menyebabkan kota ini selalu memiliki daya memperbarui diri, kapasitas berinteraksi di pasar global, dan kemampuan berinovasi di bisnis kreatif. Artinya, kemakmuran untuk warganya karena tersedia lapangan kerja dan pasar.

Keputusan politik

Bukan sekadar wacana, keputusan politik Perdana Menteri Tony Blair tahun 1997 setelah pemilu untuk mengembangkan industri kreatif diikuti dengan pembentukan gugus kerja yang mengoordinasi berbagai kementerian terkait. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui situasi sebenarnya, hambatan, bagaimana mengatasi, dan membantu industri kreatif tumbuh. Langkah konkret terutama yang berhubungan dengan akses terhadap pembiayaan, promosi ekspor, pendidikan, dan keterampilan yang dibutuhkan.

Hal itu juga tercermin di dalam London Fashion Week (LFW). Tahun ini, untuk pertama kalinya London Development Agency (LDA) memberi dana kepada British Fashion Council (BFC). Dana itu untuk membantu mengembangkan bisnis perancang pemula dan perancang yang bisnisnya memasuki tahap kedua pengembangan melalui bantuan modal, pelatihan, dan bimbingan dalam produksi, pemasaran, ekspor, dan promosi. Ujung-ujungnya, London dapat mengembangkan posisinya sebagai kota mode yang kreatif dan menyediakan pilihan beragam. Ini akan menarik industri turisme London, terutama menjelang Olimpiade 2012 di kota itu.

LDA juga memiliki skema City Fringe Partnership (CFP), kemitraan untuk mengembangkan industri dan bisnis kreatif di perbatasan bagian utara dan timur Kota London yang dikenal sebagai City Fringe. Kawasan ini dikenal karena kreativitas dan keberagaman kawasan usahanya: perancang, perajin kriya, hingga pengusaha bank.

Melalui skema tiga tahun FashionAble, demikian Sector Development Manager CFP Leigh McDevitt, CFP membantu industri mode yang mempekerjakan 7.000 orang di City Fringe tumbuh subur. Mereka melakukan pemetaan serta berkonsultasi dengan industri mode dan pendukungnya. Inisiatif ini mendapat dana 2 juta pound dari LDA, ditambah dana Uni Eropa.

Selain itu, BFC juga bekerja sama dengan swasta, bisnis ritel mode Topshop, mensponsori perancang mula—rata-rata baru satu tahun memulai produksi sendiri—dalam skema New Generation membuka pameran di The Exhibition. Ini adalah pameran dagang LFW dan diikuti produsen mode, mulai dari pakaian, tas, sepatu, perhiasan, hingga pakaian dalam, termasuk perhiasan berdesain etnik Zoe&Morgan milik kakak beradik Sibbald yang bengkel kerjanya ada di Seminyak, Bali.

Untuk perancang yang memasuki tahap pengembangan bisnis, BFC sejak September 2006 bekerja sama dengan perusahaan investasi Westfield. Skema Fashion Forward ini membantu pergelaran perancang yang telah punya nama melalui program New Generation di LFW.

”Tentu saja ini kesempatan bagus lolos untuk ikut pameran di New Generation. Di sini saya bertemu media dan para pembeli,” kata Hannah Marshall (25).

Marshall mendapat tempat gratis di ruang New Gen dalam The Exhibition. Produk pakaian perempuan bermerek seperti nama si perancang itu baru berumur 12 bulan, tetapi produk Hannah Marshall sudah dijual di butik Tad di Milan dan Roma, Scoop di New York, Soho Soho di Yunani, dan toko internet.

Firstimpression, Marketing, Brand and Participants

Saturday, June 14, 2008

Mobile Marketing

Kota Tua untuk Sentra Industri Kreatif

Source: Kompas
Rabu, 20 Februari 2008 | 22:18 WIB

JAKARTA, RABU - Setelah dilakukan renovasi, kawasan Kota Tua termasuk Museum Fatahillah akan dijadikan sebagai pusat wisata kota Jakarta dan sebagai salah satu sentra industri kreatif di Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu melakukan kunjungan ke kawasan kota Tua tersebut, Rabu sore dan menyebut bahwa revitalisasi Kota Tua itu akan juga termasuk pembangunan pusat industri kreatif.

"Ada berbagai macam ide untuk menarik minat orang berkunjung ke Kota Tua. Salah satunya menggunakan Kota Tua sebagai industri kreatif," kata Mendag. Ia menyebut beberapa industri yang bisa dikembangkan antara lain musik, mode, desain, restoran serta galeri.

Mendag membandingkan Kota Tua itu dengan daerah wisata di Singapura dimana bangunan tua masih juga digunakan sebagai gedung perkantoran.

Sementara Gubernur Fauzi Bowo menyatakan siap untuk memfasilitasi kebijakan dari Pemerintah Pusat. "Kita siap menyesuaikan regulasi demi kemajuan Kota Tua. Apa yang diinginkan Pemerintah akan kita fasilitasi," kata Fauzi.

Ia menyebut bahwa pembangunan industri kreatif itu seharusnya sudah "build in" dalam rencana revitalisasi Kota Tua, sehingga tidak hanya dilakukan revitalisasi, tapi ditambah dengan aktivitas.

Gubernur dan Mendag sempat mencoba transportasi wisata berupa bus mini kuno yang akan dioperasikan di sekitar daerah Kota Tua untuk para wisatawan yang berkunjung.

Selain meninjau Kota Tua dan pembangunan Terowongan Penyeberangan Orang (TPO) yang menghubungkan antara sisi Museum Bank Mandiri-Halte TransJakarta-Stasiun Kota, Gubernur juga meresmikan Museum Fatahillah yang baru selesai direnovasi. "Mari kita memanfaatkan momentum ini untuk berbuat lebih baik terhadap peninggalan sejarah," kata Fauzi.(Antara)

Friday, June 13, 2008

Obama 'Yes We Can' Campaign

Industri Film, Negara, dan Pendidikan

Source: Kompas
Minggu, 16 Maret 2008 | 01:24 WIB

Agni Ariatama dan Marselli Sumarno

Hari Film Nasional 30 Maret sudah menjelang. Hal-hal apa yang patut direfleksikan bertalian dengan kondisi perfilman kita dewasa ini?

Cerita-cerita lama tentang perfilman Indonesia antara lain: campur tangan yang berlebihan dari pemerintah (cq Departemen Penerangan) terhadap perfilman nasional; penyensoran film yang sangat ketat; friksi antara peredaran film nasional dan film impor di perbioskopan yang dikuasai oleh Kelompok 21; masalah bea masuk yang tinggi bagi bahan baku ataupun peralatan film.

Sedangkan cerita-cerita baru dari perfilman Indonesia antara lain: munculnya generasi muda perfilman yang bersemangat tinggi dalam berkarya, termasuk yang dibuat dalam format video digital; ada upaya dari pemerintah untuk meringankan atau membebaskan bea masuk bagi bahan baku dan peralatan film; adanya persaingan yang terbuka bagi perfilman Indonesia di perbioskopan di Kelompok 21 dan terlebih adanya jalur perbioskopan Blitz; posisi film di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

Menurut hemat kami, dua isu besar dalam perfilman Indonesia sekarang adalah: siapakah yang memiliki kewenangan di bidang film dan perlu tidaknya peran Lembaga Sensor Film (LSF). Sejak dulu kewenangan di bidang film dipegang oleh Dewan Film Nasional, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Namun, BP2N yang sekarang ini sebenarnya tidak berbeda jauh peran dan fungsinya sebagaimana dulu waktu di bawah Departemen Penerangan pada zaman Orde Baru. BP2N hanya menjadi lembaga legislatif dan tidak memiliki sumber dana tersendiri yang memadai untuk membantu industri perfilman.

BP2N menjadi perpanjangan tangan negara untuk menangani bidang film pemerintah bisa berganti-ganti, demikian pula kebijakannya. Karena cakupan makna politisnya, kami merasa lebih tepat menggunakan kata ”negara” daripada ”pemerintah”. Apalagi, film ternyata tidak hanya terkait ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Departemen Komunikasi dan Informatika. Namun, juga ke masalah pengaderan sumber daya manusia (Departemen Pendidikan Nasional), permasalahan perburuhan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), masalah pajak dan permodalan (Departemen Keuangan), serta masalah distribusi dan pemasaran, baik dalam maupun luar negeri (Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan).

Dengan adanya departemen-departemen yang terkait dengan masalah film, BP2N akan memiliki peran dan fungsi yang lebih kuat. Pola keterkaitan lintas departemen seperti itu dipraktikkan pula di negeri-negeri maju di bidang perfilman mereka. Memang sudah ada upaya-upaya untuk mengaitkan departemen-departemen tersebut ke bidang film, tetapi seberapa jauh keterkaitan itu terwujud akan menentukan masa depan BP2N. Lebih jauh BP2N harus sanggup menggali sumber-sumber pendanaan untuk membantu industri film nasional, termasuk ke bidang pendidikan film.

Pemasung kreativitas

Menyusul soal peran LSF. Sampai sekarang masih terjadi pro-kontra yang tajam tentang perlu-tidaknya LSF. Dari sudut pandang pembuat film, sungguh pun sudah ada kelonggaran dalam berekspresi, tetapi keberadaan LSF masih dianggap sebagai pemasung kreativitas. Di lain pihak mereka yang tetap setuju dengan adanya LSF menyatakan, film yang diedarkan ke masyarakat jangan sampai menimbulkan friksi-friksi atau ekses-ekses negatif lainnya. Ada usulan jalan tengahnya adalah memosisikan LSF sebagai lembaga klasifikasi film. Artinya, memberi label ke setiap film, misalnya, label cocok untuk semua umur, patut ditonton oleh anak-anak dengan pendampingan orang tua, film untuk orang dewasa. Masalahnya jika terjadi protes masyarakat kepada film yang sedang diputar di bioskop, bagaimanakah proses hukumnya dan siapakah yang dikenai sanksi?

Sebagai contoh, film The Last Temptation of Jesus Christ (Martin Scorcese) diprotes oleh sebagian masyarakat Perancis. Perkara itu sampai masuk ke pengadilan dan pengadilan Perancis meloloskan film itu dengan alasan kebebasan kreativitas. Contoh-contoh kasus dalam penyensoran film di Indonesia cukup banyak untuk disebutkan di sini, tetapi pada umumnya tidak terselesaikan secara tuntas karena belum ada perangkat hukum yang mampu menyelesaikannya.

Isu siapa yang kompeten memegang kewenangan di bidang film dan peran LSF tersebut mau tidak mau akan mengubah isi Undang-Undang Film tahun 1992. Sudah ada RUU untuk menggantikan UU Film 1992 itu, tetapi sampai sekarang masih dalam pembahasan di DPR. Ada pula usulan-usulan RUU Film yang lain. Jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah bahwa undang-undang tersebut nantinya dapat diterima semua pihak, dengan catatan peran negara diwakili oleh lembaga yang potensial sebagaimana yang akan diatur dalam UU Film yang baru tersebut.

Pendidikan film

Kesimpulannya, keberhasilan industri film membutuhkan dukungan sinergi tiga pihak, yaitu dunia industri film atau dunia lapangan, peran negara, dan pendidikan film. Kita sudah membicarakan peran negara, sementara industri film berjalan tanpa terlampau mengindahkan keberadaan pendidikan film sebagai penghasil tenaga-tenaga terampil di bidang audio-visual. Akibatnya, tidak ada standardisasi profesi ataupun standardisasi teknis.

Selama ini Fakultas Film dan Televisi IKJ (FFTV IKJ) terus berusaha menjalin kerja sama dengan kalangan industri dan para karyawan film agar tercapai standardisasi profesi ataupun standardisasi teknis itu. Standardisasi profesi pernah diseminarkan oleh BP2N pada tahun 2006 dengan tujuan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Namun, masih banyak yang beranggapan kerja film tak bisa distandardisasikan. Padahal di Departemen Tenaga Kerja berdasarkan UU No 13/2003 I.1. 10, kompetensi kerja adalah kemampuan kerja individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Demikian halnya Departemen Komunikasi dan Informatika harus mengeluarkan regulasi standar teknik sebagai penjaga kualitas teknik yang berkembang di Indonesia ataupun di tingkat internasional.

Orang yang ingin belajar film tidak harus pergi ke sekolah film karena hal itu bisa dilakukan secara magang, kursus, diklat, otodidak, dan lain-lain. Pada masa lampau ada tempat pendidikan seperti Lingkaran Studi 1946, Cine Drama Institute 1948, Kementerian Penerangan, Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia), Kino Drama Atelier, serta ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Dan kami ingin menyodorkan potret FFTV IKJ sebagai sebuah sekolah film yang berdiri sejak tahun 1971. FFTV IKJ mengalami dilema harus menerima mahasiswa yang cukup banyak (150 orang per tahun) agar bisa bertahan hidup. Bantuan industri film ke FFTV IKJ masih sangat terbatas dan masih sangat kecil sekali bantuan negara kependidikan film. Padahal sistem pendidikan di FFTV sudah baik dan bahkan kurikulumnya bertaraf internasional, hal itu terlihat melalui perbandingan dengan sekolah-sekolah film yang tergabung dalam persatuan sekolah film dan televisi dunia (CILECT).

Pengelolaan perfilman sebagai industri memang suatu keharusan. Jadi sinergi industri film, negara, dan pendidikan akan menggairahkan industri film itu sendiri yang punya aspek-aspek permodalan, teknologi perfilman, SDM, serta distribusi dan penayangan film. Di aspek permodalan masih banyak pihak yang mau mensponsori pembuatan film, paling tidak dari produsen produk. Namun, jika industri filmnya betul-betul sehat pasti akan lebih banyak investor yang terjun ke bisnis film. Di aspek teknologi perfilman kita belum mampu mengembangkan teknologi perfilman, tetapi paling tidak kita bisa mendatangkan peralatan-peralatan yang mutakhir sekalipun asalkan tidak dibebani pajak bea masuk yang tinggi. Di aspek pendidikan bakat-bakat baru atau sumber daya manusia banyak bermunculan tidak hanya dari FFTV IKJ, tapi muncul dari berbagai kemungkinan lain. Sementara aspek distribusi dan pemasaran, seperti yang telah disinggung, telah ada persaingan yang lebih terbuka di perbioskopan.

Jika sehatnya sebuah industri film didukung oleh sinergi bisnis film, negara, dan sekolah film, sebagaimana yang terjadi di negara maju (contohnya Perancis), di negeri sosialis (contohnya China), dan di negara berkembang (contohnya India), marilah secara jujur mengakui bahwa sinergi tersebut belum terjadi untuk mendukung kemajuan industri film nasional. Sinergi ketiga pihak tersebut akan membuat industri film kita terjaga kualitas teknis, kualitas penggarapan, ataupun subyek garapannya. Pendeknya, mutu film terjaga dan akan mampu menembus pasar nasional ataupun internasional.

Globalisasi memang tak terelakkan dan pada zaman yang semakin mendunia ini kehadiran seni audio visual sebagai hasil kreasi industri kreatif ataupun industri budaya semakin nyata keberadaannya. Di tengah keterpurukan bangsa Indonesia di bidang politik, ekonomi, lingkungan hidup, olahraga, dan sebagainya, bidang kesenian masih punya peluang untuk terus berkembang dan bersaing demi kepentingan pencitraan bangsa. Jadi harus diakui bahwa untuk mengembangkan bidang kesenian, khususnya untuk memajukan industri film, tidak mungkin dilakukan secara sepihak-sepihak, tetapi harus dilakukan melalui suatu perpaduan kerja sama tersebut. Masih banyak persoalan di bidang perfilman dan hal itu memerlukan semangat solidaritas untuk menanganinya.

Agni Ariatama dan Marselli Sumarno Pengajar di FFTV IKJ

Thursday, June 12, 2008

Produsen Distro Perlu Bidik Pasar Global

Source: Kompas

JAKARTA, SELASA - Sudah saatnya produsen distributor store atau lebih dikenal Distro yang menghasilkan aneka produk sandang dan berbagai aksesoris membidik pasar global. Kepercayaan diri anak-anak muda kreatif harus bangkit untuk menunjukkan kemampuan industri dalam negeri yang tidak kalah dengan luar negeri.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris dalam pembukaan pameran Produk Distro di Departemen Perindustrian di Jakarta, Selasa (27/5), mengatakan, Industri kreatif tidak bisa hanya mempertahankan pasar dalam negeri. Buka relasi seluas-luaskan, misalnya dengan komunitas Harajuku. Pameran produk Distro akan berlangsung selama lima hari, pada 27-31 Mei 2008. Pameran ini diselenggarakan untuk umum.

Menurut Fahmi, Distro merupakan industri kreatif bangsa Indonesia yang bisa masuk dalam gelombang keempat pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pada gelombang pertama, pemerintah memfokuskan diri pada sektor pertanian. Kemudian, gelombang kedua beralih ke sektor perindustrian dan gelombang ketiga terfokus pada sektor informasi dan komunikasi. Gelombang keempat kini memprioritaskan pada ekonomi kreatif.

Pada intinya, menurut Fahmi, berbagai produk yang semula biasa, kini diubah menjadi produk yang mempunyai nilai tinggi dengan pendekatan teknologi dan desain tertentu. Produk kaos atau T-Shirt yang harganya hanya Rp 30.000 per potong bisa dijual dengan harga lebih tinggi, ketika dipadukan desain kreatif.

Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (Kick) Fiki Chikara Satari mengatakan, teknik pemasaran sesungguhnya sudah dilakukan melalui media website. Tetapi, ada juga teknik pemasaran yang dilakukan melalui orang-orang yang kuliah maupun bekerja di luar negeri. Fiki meyakini, kekuatan sekitar 1.000 distro di Tanah Air sangat besar. Jumlah omzet yang bisa diraih dari pasar dalam negeri sudah mencapai sekitar Rp 250 miliar.

Stefanus Osa Triyatna

Brand Gap

Wednesday, June 11, 2008

Industri Kreatif Sumbang Rp 104 Triliun

Source: Kompas
Minggu, 13 April 2008 | 19:33 WIB

SOLO,MINGGU - Industri kreatif memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia rata-rata sebesar Rp 104,638 triliun pada tahun 2002-2006, dan menyerap rata-rata per tahun sebesar 5,4 juta pekerja dengan produktivitas mencapai 19,5 juta rupiah per pekerja tiap tahunnya. "Program pemerintah mengembangkan Indonesia Design Power (IDP) yang dicanangkan sejak tahun 2006 harus dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha sebagai titik balik bagi perekonomian bangsa menuju industri kreatif," kata Menteri Perdagangan Marie Pangestu seperti dikutip Antara, dalam acara Solo Batik Carnival (SBC) di Solo, Minggu (13/4).

Produktivitas pekerja ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang Rp 18 juta per pekerja per tahunnya. Pada tahun 2006, industri kreatif telah melakukan ekspor sebesar Rp 81,5 triliun atau sebesar 9,13 persen dari total ekspor nasional.

Lebih lanjut Mendag mengatakan, sebagai bagian dari industri kreatif, desain batik dan produk batiknya sendiri masih dapat terus dikembangkan. Oleh karenanya untuk meningkatkan apresiasi terhadap perajin, semua pemangku kepentingan harus memerhatikan hak kekayaan intelektual (HKI).

Dikatakannya, Indonesia kaya akan budaya, yang bila dikembangkan dengan baik akan memberikan nilai tambah. Budaya Indonesia yang sangat beragam jenis maupun produknya merupakan landasan bagi berkembangnya ekonomi kreatif yang sedang diprogramkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai ekspor. "Pada saat ini, Indonesia menempati urutan ke-43 pada Economic Creativity Index Ranking yang dipublikasikan oleh World Economic Forum," katanya.

Pemerintah, sebutnya, akan terus memfasilitasi perajin batik untuk mengembangkan merek dan mendaftarkan paten. Industri batik merupakan salah satu dari 14 kelompok klasifikasi industri kreatif di Indonesia, dengan ciri khas bangsa Indonesia yang dikenal di mancanegara. "Solo Batik Carnival diharapkan mampu menimbulkan kecintaan yang semakin tinggi terhadap produk nasional, dapat menjadi sumber kreativitas dunia usaha dan menjadi daya tarik pembeli mancanegara serta investor untuk berinvestasi di Jawa Tengah," kata Marie.

Terkait itu, menurut Marie, batik Jawa Tengah, khususnya Solo, sangat kaya akan desain dan corak warisan budaya keraton maupun kombinasi seni budaya lain dengan potensi ekspor yang terbuka lebar, seperti Amerika Serikat, Swedia, Jerman, Uni Emirat Arab, dan Prancis.

Disebutkan Marie, Solo Batik Carnival merupakan etalase budaya yang menampilkan ragam batik berkualitas. Ia mendukung sepenuhnya upaya masyarakat untuk menjadikan batik sebagai warisan budaya yang ada sebagai aset yang bernilai ekonomi.

Ekspor batik Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 29,3 juta dollar Amerika Serikat atau naik 20,24 persen dibanding tahun 2006 sebesar 24,4 juta dollar AS. Nilai tersebut merupakan 36,46 persen dari total ekspor batik Indonesia tahun 2007.

EDJ

Social Bookmarking in Plain English

Tuesday, June 10, 2008

Pameran "Interior Lifestyle 2008” sebagai Ajang Perjodohan antara Industri Kreatif dan Furnitur

Industri furniture di Indonesia mengalami masa kejayaan di era 80-an, dimana pada era tersebut Indonesia dapat menghasilkan produk furniture berkualitas tinggi, kapasitas dan skill produksi yang bagus didukung tersedianya bahan baku yang baik serta upah tenaga kerja yang terjangkau sehingga menjadikan Indonesia sebagai primadona produk-produk furniture di dunia. Para buyers berdatangan dari penjuru dunia untuk membuat produk mereka dan menjadikan Indonesia sebagai “tukang jahit” yang piawai, bahkan jauh lebih baik dari negara-negara tetangga lainnya.

Sayangnya masa kejayaan tersebut sudah berakhir dengan datangnya krisis ekonomi yang menerpa Asia di tahun 1998. Ditambah oleh situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu serta tidak kunjung membaik, membuat berbagai sektor industri di Indonesia mendapat tantangan yang besar dan bagi industri furnitur hal ini merupakan cobaan terberat.

Namun demikian ekspor furnitur Indonesia ke dunia dalam 5 tahun terakhir tetap membanggakan, menduduki peringkat ke-10 sebagai penyumbang devisa. Pada tahun 2003 nilai ekspor sebesar USD 970,87 juta meningkat menjadi USD 1.057,60 juta pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 naik menjadi USD 1.247,12 juta dan tahun 2006 sebesar USD 1.275,71 juta dengan trend pertumbuhan hanya sebesar 8,81%.

Walaupun nilai ekspor furnitur Indonesia ke dunia terus meningkat, tidak demikian halnya ekspor furnitur ke Jepang yang mengalami penurunan. Nilai ekspor dalam tahun 2003 senilai USD 213,60 juta mengalami penurunan menjadi USD 201,49 juta tahun 2004 dan terus turun menjadi USD 196,28 juta (2005) dan USD 192,97 juta (2006) dengan pertumbuhan -2,80%. Saat ini ekspor furnitur Indonesia ke Jepang menduduki peringkat ke-6 dibawah China, Thailand, Taiwan, Vietnam dan Meksiko.

Pasar Jepang masih merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk furnitur Indonesia, dan penurunan ekspor tentunya merupakan tantangan bagi kita semua. Industri furnitur harus introspeksi diri yaitu dengan meningkatkan kualitas produk dalam negeri melalui desain yang inovatif, kreatif, unik dan orisinil. Industri furnitur kita tidak lagi dapat bertahan hanya sebagai “tukang jahit” tetapi sudah waktunya untuk tampil sebagai produk mandiri yang inovatif. Dari pengembangan desain yang inovatif dan orisinil ini diharapkan para desainer dapat membantu mengembalikan citra negatif selama ini dan sekaligus dapat meningkatkan kebanggaan bagi individu desainer tersebut dan juga martabat suatu bangsa.

Dalam usaha meningkatkan ekspor furnitur Indonesia dan juga negara-negara ASEAN lainnya, ASEAN-Japan Centre (AJC), Tokyo bekerjasama dengan Trade Promotion Organizations (TPOs) ASEAN, Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) – Departemen Perdagangan sebagai focal point turut memprakarsai berdirinya ASEAN-Japan Design Centre (AJDC) yang bertujuan antara lain :
  1. untuk mempertemukan industri kreatif dengan industri unggulan di negara-negara ASEAN;
  2. Untuk melatih kerjasama antara desainer dengan manufaktur unggulan;
  3. Untuk melatih kepekaan desainer terhadap pasar internasional;
  4. Untuk menciptakan produk unggulan yang inovatif dan disukai oleh pasar – dalam hal ini pasar Jepang.

Sebagai langkah awal dari program AJDC ini, hasil karya para desainer dan produk-produk unggulan dari negara-negara ASEAN akan diikutsertakan pada pameran ”Interiorlifestyle 2008” di Tokyo sebagai ajang yang penting untuk mempertemukan industri kreatif dengan industri manufaktur.

Dalam memilih peserta dari Indonesia yang akan diikutsertakan dalam pameran tersebut, pihak AJC bekerjasama dengan BPEN – Departemen Perdagangan dan Pusat Desain Nasional telah melakukan pertemuan dan interview dengan Mr. Takata, tenaga ahli bidang desain dari Jepang. Para desainer dipilih melalui interview dengan menunjukkan karya-karya unggulan mereka dan kemampuan untuk bekerjasama dengan pabrikan, sedangkan para manufaktur dipilih atas kualitas kerja yang sudah memiliki kemampuan dengan kualitas produk ekspor.

Dua orang desainer terpilih mewakili Indonesia adalah Joshua Simandjuntak dan Leonard Theosabrata. Joshua Simanjuntak adalah desainer mebel dan interior profesional yang karyanya sudah banyak diproduksi oleh manufaktur di Indonesia untuk pasar ekspor. Joshua menimba ilmu di Royal College of Art, London dan sempat bekerja untuk desainer terkemuka Inggris, Tom Dixon, sebelum kembali ke tanah air. Leonard Theosabrata, putra Yos Theosabrata, pemilik industri mebel unggulan Victor Furniture disamping seorang desainer lulusan The Art Center College of Design, Pasadena yang memiliki pengalaman dan mampu meraih reputasi internasional melalui produk unggulan Accupunto.

Empat manufaktur terpilih adalah PT. Wirasindo Santakarya (Wisanka), CV. Yudhistira, PT. Alam Calamus dan PT. Yamakawa Rattan Industry. Keempat manufaktur ini memiliki keunggulan masing-masing dari produk mereka. Wisanka memiliki produk outdoor furnitur yang kompeten, Yudhistira dengan beragam produk yang sudah dikenal oleh dunia internasional. Kedua manufaktur tersebut berlokasi di Solo. Sedangkan Alam Calamus telah dikenal oleh line produk yang diberi nama ”Chamdani” yang merupakan brand mebel rotan sintetik, berlokasi di Jakarta serta Yamakawa Rattan yang berlokasi di Cirebon telah puluhan tahun terjun di dalam industri rotan dengan kualitas yang telah memenuhi standar terbaik di dunia.

Format yang akan ditampilkan dalam pameran kali ini adalah dalam bentuk tipikal apartemen ala Jepang dengan menyediakan dua bentuk apartemen, dimana masing-masing apartemen mempunyai nuansa yang berbeda, yaitu : Asian Ethnic dan Asian Contemporary yang akan diisi oleh produk-produk dari negara-negara ASEAN yang didesain khusus untuk pasar Jepang.

Dalam partisipasi kali ini para desainer dan manufaktur ditantang untuk dapat menganalisa pasar Jepang serta mendesain sesuai dengan selera pasar. Hal ini merupakan tantangan yang cukup besar karena pasar Jepang terkenal sangat detail dan spesifik, sehingga apabila produk-produk yang dihasilkan oleh para desainer dan manufaktur dapat diterima, akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan dapat menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya sekedar sebagai ”tukang jahit” namun sebagai pemasok handal furnitur.

Program ASEAN-Japan Centre ini patut diangkat ke permukaan, karena melalui program-program seperti inilah, dunia kreatif dapat bertemu langsung dengan industri. Karena ini merupakan kunci keberhasilan produk dalam negeri kita, dimana tidak hanya terbatas pada industri furnitur tetapi juga industri-industri manufaktur lainnya. Dikemudian hari, itikad seperti ini sudah dapat diambil alih oleh pihak pemerintah seperti rencana pendirian Indonesia Design Power (IDP) serta pihak-pihak swasta lainnya. Semoga program-program seperti ini terus berlanjut dan tidak mati di tengah jalan.


Badan Pengembangan Ekspor Nasional
Departemen Perdagangan


Bandung, Kota Kreatif di Asia Pasifik

Source: Kompas
Selasa, 27 Mei 2008 | 20:16 WIB

BANDUNG, SELASA - Sebagai kota yang dihuni sekitar 60 persen kalangan muda berusia di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya banyak peguruan ti nggi, industri kreatif di Kota Bandung bertumbuh pesat. Melihat potensi industri kreatif Bandung yang menjanjikan, British Council menunjuk Kota Bandung sebagai salah satu kota kreatif di wilayah Asia Pasific.

Dalam rangka memperkenalkan industri kreatif Bandung di dunia internasional, Pemerintah Kota Bandung bekerjasama dengan British Council, Bandung Creative City Forum, serta Forum Event Bandung di sepanjang bulan Agustus akan menyelenggarakan Helar Festival, Bandung Creative Month yang terdiri dari 25 acara kreatif bertaraf internasional. Demikian diungkapkan aktivis Bandung Creative City Ridwan Kamil, Selasa (27/5) di Bandung.

Dalam acara tersebut, berbagai acara kreatif akan diselenggarakan, antara lain pameran karya seni rupa, open house galeri, pameran distro, opera di hutan, serta pameran galeri barang bekas di bawah jembatan, ungkap Ridwan.

Programmer dan Public Relation Eksternal Forum Event Bandung Wawan Djuanda menambahkan, berbagai pelaku bisnis kreatif dari berbagai negara, seperti Taiwan, Thailand, Singapura, India, Inggris, dan Australia akan turus serta dalam acara tersebut. D engan acara ini, Kota Bandung diharapkan memiliki jaringan bisnis ekonomi kreatif dengan berbagai kota-kota penghasil industri kreatif di dunia.