Thursday, July 31, 2008

Pendidikan Animasi Terbentang Luas

Source: Kompas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Siswa belajar animasi di Cybermedia College, Jakarta.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

Susi Ivvaty

Bagaimana cara bisa menjadi animator andal? Apakah setelah bersekolah siswa lantas langsung siap menggauli industri animasi yang kompetitif ini? Sejumlah lembaga pendidikan dengan cerdas menangkap peluang, menawarkan berbagai kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri.

Cybermedia College menjadi salah satu lembaga yang menjanjikan lulusan animator siap pakai, taruhlah bisa bekerja di perusahaan film atau periklanan. Lulusan tidak hanya piawai menggerakkan gambar, tetapi juga bisa bercerita. ”Keberhasilan animasi itu tergantung dari ceritanya. Kalau enggak diberi knowledge, ya jadi kosong,” kata Direktur Cybermedia College Suzanna V Mokalu.

Jadi, sekolah setingkat diploma tiga ini pun mengajarkan tujuh modul untuk empat jurusan yang dibuka, salah satunya jurusan animasi. Untuk modul pertama, misalnya, siswa harus mempelajari fundamental of art & design and color theory dan fotografi.

Cybermedia College yang didirikan pada tahun 2005 di Kelapa Gading ini mulanya akan disetarakan dengan diploma tiga sebanyak 110 sistem kredit semester (SKS). Namun, Departemen Pendidikan Nasional menolak dengan alasan harus ada mata kuliah dasar umum (MKDU) 16 SKS. ”Wah, kami ini berpacu dengan industri, maunya lulusan bisa cepat dipakai,” ujar Suzan.

Lembaga ini kemudian berafiliasi dengan universitas di luar negeri, yakni Lim Kok Wing, Malaysia, Raffles University Singapura, dan Billy Blue School of Graphic Arts Australia. Lulusan Cybermedia College dibekali sertifikat dan jika melanjutkan ke tiga universitas itu, SKS yang didapat langsung disetarakan.

Biaya pendidikan untuk dua tahun belajar di lembaga ini sekitar Rp 40 juta. ”Enggak ada lulusan lembaga kami yang nganggur. Visi kami adalah a bridge to creative industry,” tandas Suzan.

Lukman Harry (21), siswa Cybermedia College yang sedang mengerjakan tugas akhir, masuk lembaga ini lantaran murah dan memberikan kurikulum yang ia mau. ”Saya pengin jadi sutradara film animasi yang terkenal di dunia,” katanya. Ia pernah bekerja tiga bulan di Castle Production dan menggarap layout di Elex Media.

Sama seperti Cybermedia College, Digital Studio College yang dibuka pada tahun 2000 juga menawarkan program dua tahun. Yang ditampung bukan hanya lulusan SMA, melainkan juga pekerja dan mahasiswa. Untuk pekerja, waktu belajar bisa malam hari. ”Ada yang kerja di asuransi, marketing, hingga pegawai negeri,” kata Rini Suprapto, College Manager Digital Studio College.

Lembaga ini setiap tahun menerima 80 siswa untuk jurusan animasi dan desain grafis. Biaya untuk dua tahun perkuliahan adalah Rp 15 juta untuk biaya masuk dan Rp 750.000 per semester. Untuk program kursus para pekerja selama empat bulan, biayanya adalah Rp 5 juta-Rp 6 juta.

Satu lembaga yang cukup kondang, Hellomotion, bahkan sudah meluluskan 600 siswa. Lembaga ini membuka empat kelas, yakni animasi, motion graphic, digital movie, dan editing. Biaya setiap program dipatok Rp 3,8 juta, kecuali editing Rp 1,5 juta.

Siswa belajar empat kali sepekan dan setiap kelas cukup diisi 10 peserta. ”Sekarang ada tiga kelas yang masuk daftar tunggu,” kata pemilik Hellomotion Wahyu Aditya.

Prinsip-prinsip animasi

Sekolah animasi biasanya menerapkan 12 prinsip dasar animasi yang diakui dunia. Animage: Indonesia Animation College, sekolah animasi dua dimensi yang didirikan Kepala Humas Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Leila Djawas dan akan dibuka Agustus 2008 ini, pun demikian. Prinsip animasi itu antara lain stretch and squash, anticipation, slow in slow out, timing, hingga solid drawing dan appeal.

Animator yang lulus sekolah ini akan mampu mewujudkan segala macam fantasi yang ada pada dirinya dalam bentuk nyata dan hidup. ”Apa pun karakter yang Anda ciptakan dapat dibuat bergerak, berakting seolah-olah hidup sesuai dengan keinginan Anda,” ujar Leila.

Di Cybermedia College, prinsip dasar juga diberikan. Siswa belajar pula soal storyboard, membangun cerita, membuat karakter, mematung, komposisi tiga dimensi, hingga analisis film. Untuk tugas akhir, siswa membuat film animasi pendek. ”Pengetahuan soal kebudayaan dan pengetahuan umum juga kami berikan,” ujar Suzan.

Sekolah menengah

Kurikulum untuk jurusan animasi di sekolah menengah kejuruan (SMK) pun mengadopsi 12 prinsip itu. Sekolah menengah? Ya, SMK jurusan animasi memang makin banyak didirikan, bersamaan dengan terbentuknya Ainaki yang diketuai Denny A Djoenaid pada tahun 2004.

Waktu itu Depdiknas dan Departemen Perindustrian belum ngeh dengan keberadaan potensi animasi di industri kreatif. Denny lantas bertemu dengan Direktur Pendidikan Menengah dan Kejuruan Gatot Hari Priowirjanto dan bersepakat mendirikan jurusan animasi di SMK. Jurusan animasi ini awalnya dibentuk di delapan SMK, di antaranya SMKN 5 Bali, SMKN 1 Malang, dan SMKN Yogyakarta.

Sebagai persiapan pembukaan jurusan ini, guru-guru dari sekolah tersebut ikut kuliah di program D-4 Animasi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Para animator profesional di Ainaki juga melatih para guru ini.

Sekarang makin banyak jurusan animasi di SMK. Kepala Jurusan Animasi SMKN 4 Malang, Jawa Timur, Kuncoro Aji, mengatakan, jurusan animasi di SMKN 4 baru setahun lalu dibentuk. Namun, sekolah ini justru dijadikan percontohan SMK se-Indonesia.

”Kami meng-update kurikulum, sesuai dengan kebutuhan industri,” katanya. Pengetahuan dasar itu semisal menggambar orang dengan berbagai pose dengan komposisi pas.

Apakah para lulusan sekolah ini mampu menjawab tantangan di industri kreatif? Pengamat animasi Dwi Koen mengatakan belum tentu. ”Kita masih belum merambah wilayah kreativitas, masih sebatas perajin. Itu karena sulit untuk bersatu. Industri di Indonesia tumbuh secara sporadis,” katanya.

Dwi Koen mencontohkan perusahaan Amerika Serikat, Walt Disney dan Pixar, yang saat ini bisa bekerja sama. ”Dulu tak terbayangkan. Disney banyak bikin 2D, Pixar 3D. Nyatanya mereka bisa bersatu dan membuat film bagus. Kita susah untuk bisa seperti itu,” terangnya. (DHF/BSW/IND)

Wednesday, July 30, 2008

Mengubah Tukang Menjadi Macan

Source: Kompas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Aktivitas pembuatan klip video animasi di Digital Studio, Jakarta.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

DAHONO FITRIANTO

Rumah berlantai dua itu terselip di tengah Gang Sukamakmur, sebuah gang sempit di kawasan Ciputat di selatan Jakarta. Tak ada reklame atau papan nama di depan rumah bercat putih yang mulai kusam itu. Namun, di tempat itulah sebuah industri yang disebut ekonomi kreatif dijalankan selama sembilan tahun terakhir.

Sejak 1999, Andi Rusmana (39) dan tiga temannya, Johnny Rinaldi (37), Adji Sunaryo (41), dan Sukaji (39), menjalankan Mrico Animation di rumah kontrakan itu. Mereka memproduksi film-film animasi yang dijual dalam bentuk VCD.

Salah satu produknya yang cukup berhasil di pasar adalah film pendidikan anak dengan tokoh utama karakter anak kecil bernama Mrico (bahasa Jawa dari merica). ”Kami membuat film- film animasi sesuai pesanan produser di Mangga Dua. Setiap film dibeli putus seharga Rp 60 juta per episode,” kata Andi, yang populer dengan sebutan Andi Mrico.

Dengan tim beranggotakan 15 orang, Mrico Animation setiap bulan rata-rata mampu membuat satu episode film animasi berdurasi 30 menit. Selain menggarap film, mereka juga menerima pesanan animasi untuk iklan. ”Hampir semua kami kerjakan sendiri, mulai dari cerita, storyboard, gambar, sampai composing dan editing. Hanya pengisian suara dan pembuatan efek 3D (tiga dimensi) yang dikerjakan di studio lain,” ungkap Andi.

Di salah satu kamar di rumah itu yang sempit dan tanpa pendingin ruangan, Andi, Johnny, dan Adji tiap hari menggambar sendiri tokoh animasi ciptaan mereka. Dengan meja lampu (light box) sederhana, satu demi satu detail gerakan satu tokoh mereka gambar. ”Kami hanya membuat gambar-gambar kuncinya, sedangkan gambar in-between (rangkaian gambar di antara gambar kunci) dikerjakan teman- teman lain,” ungkap Johnny.

Belum inti

Begitulah industri kreatif dunia animasi dikerjakan di Indonesia. Industri berpotensi pasar triliunan rupiah ini masih dikerjakan dalam skala industri rumahan, belum dipandang serius oleh para pemilik modal.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Kris H Sulisto menyebutkan, potensi pasar industri animasi di Asia saja mencapai 3 miliar dollar AS. Dari potensi pasar sebesar itu, yang dikerjakan di Indonesia selama ini baru bernilai sekitar 10 juta dollar AS, alias belum mencapai 1 persen.

Dan, yang disebut industri animasi di Indonesia itu pun belum benar-benar menyentuh inti industrinya, yakni produksi film animasi. Ketua Ainaki Denny Djoenaid mengatakan, suatu negara baru bisa disebut memiliki industri animasi jika sedikitnya ada satu serial film animasi buatan sendiri yang diputar di stasiun televisi nasional sebanyak satu episode setiap minggu selama satu tahun penuh. ”Itu asumsi minimal untuk sebuah tokoh animasi bisa diterima pasar utamanya, yakni anak-anak,” papar Denny.

Dari sekian banyak rumah produksi animasi yang ada di Indonesia, hanya segelintir yang benar-benar memproduksi film animasi utuh. ”Sebagian besar bekerja untuk dunia periklanan dan desain arsitektur,” papar Denny yang memiliki rumah produksi Denny Animation.

Sekadar ”tukang”

Kalaupun ada perusahaan besar yang memproduksi film, itu pun tak lebih dari sekadar mengerjakan order dari perusahaan- perusahaan film di luar negeri, seperti Jepang atau Amerika. ”Konsep film mulai dari cerita, storyboard, sampai karakter sudah dikirim dari negara asalnya. Kita tinggal membuat gambar- gambar in-between-nya. Makanya Indonesia hanya dikenal sebagai negara in-betweeners. Sekadar jadi pabrik atau tukang,” kata Denny, yang menimba ilmu animasi sejak 1974.

”Pabrik-pabrik” animasi pesanan luar negeri ini memang sudah sejak lama ada di Indonesia. Pada periode 1980 hingga 1990-an ada beberapa perusahaan besar, seperti Asiana Wang Animation di Cikarang, Evergreen di Surabaya, dan Marsa Juwita Indah di Bali. Menurut Gotot Prakosa, Ketua Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), mengatakan, film-film kartun populer dari Jepang, seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Saint Seiya, dan Sailor Moon, sebagian dikerjakan oleh pabrik-pabrik itu.

Pabrik-pabrik animasi itu juga yang turut menelurkan para animator Indonesia, yang kemudian membuat rumah produksi sendiri.

”Dulu kami sering mendapat order film-film kartun Jepang, seperti Doraemon dan Pokemon,” kenang Andi Mrico, yang bersama Johnny, Adji, dan Sukaji adalah ”alumni” Marsa Juwita.

Kemampuan para animator Indonesia kini sudah tak kalah dengan animator dari luar negeri. Andi, misalnya, mengaku bisa membuat film animasi setara serial Avatar: The Last Airbender (film animasi berkualitas 25 gambar per detik) seandainya mendapat modal cukup. Bahkan, para animator tersebut sudah mampu membuat film-film animasi 3D.

Untuk kualitas standar animasi yang setara dengan film-film semacam Doraemon atau Crayon Sinchan, beberapa rumah produksi bahkan sudah mampu membuat dalam skala industri. PT Rumah Animasi Indonesia (RAIS Pictures) di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, misalnya, sejak 2003 rutin memproduksi 3-4 episode film animasi berdurasi 24 menit setiap bulan. ”Film-film itu dipasarkan dalam bentuk VCD/DVD dan sejauh ini masih diserap pasar. Bahkan film produksi pertama pun sampai sekarang masih dicetak ulang,” ungkap Setiyo Budi Leksono, Direktur RAIS Pictures.

Sulit modal

Lalu, mengapa animasi belum jadi industri seperti yang diharapkan Denny? Salah satu faktor utama adalah ketidakseimbangan antara biaya produksi dan daya beli stasiun TV di Indonesia. ”Untuk membuat satu episode film berdurasi 24-30 menit, rata-rata dibutuhkan biaya Rp 60 juta-Rp 100 juta. Sementara stasiun TV hanya mau membeli film animasi lokal dengan harga di bawah Rp 10 juta per episode. Mereka lebih memilih membeli film animasi dari luar yang harganya hanya 500-2.000 dollar AS per episode,” papar Denny.

Hambatan kedua adalah faktor permodalan. Menurut Denny, sebenarnya distributor film-film animasi, seperti Nickelodeon dan Disney, menerima film animasi dari mana pun. Akan tetapi, mereka menuntut kapasitas produksi yang tinggi sebagai syarat. ”Mereka menuntut harus ada jaminan kita mampu membuat minimal 52 episode film yang sesuai dengan standar mereka. Nah, modal untuk membuat 52 episode itulah yang tidak ada,” tuturnya.

Denny mengibaratkan, industri animasi Indonesia adalah macan tidur. Potensi yang besar, tetapi belum digarap optimal. Pertanyaannya adalah bagaimana mengubah kultur tukang menjadi kultur macan? (BSW/IVV/IND)

Monday, July 28, 2008

Will Wright: Games that make worlds




Will Wright invented a genre of computer game that involves neither winning nor shooting, yet has generated colossal hits. Among them: SimCity (which earned its publisher $230 million), The Sims, and the forthcoming Spore.

A technical virtuoso with boundless imagination, Will Wright has created a style of computer gaming unlike any that came before, emphasizing learning more than losing, invention more than sport. With his hit game SimCity, he spurred players to make predictions, take risks, and sometimes fail miserably, as they built their own virtual urban worlds. With his follow-up hit, The Sims, he encouraged the same creativity toward building a household, all the while preserving the addictive fun of ordinary video games. His next game, Spore, which he previewed at TED2007, evolves an entire universe from a single-celled creature.

Wright’s genius is for presenting vital abstract principles -- like evolution, differences of scale, and environmental dynamics -- through a highly personalized, humorous kind of play. Users invest themselves passionately in characters they create (with Wright’s mind-boggling CG tools), and then watch them encounter fundamentals of life and nature.

If it all sounds suspiciously educational, well, it just might be. Wright has created not just an irresistible form of entertainment, but an ingenious, original pedagogy. His latest game, Spore, is set for release Sept. 7, 2008.

See more video of Will Wright, from the 2007 New Yorker Conference >>

"Will Wright -- a legend among gamers, the nerd’s nerd, undisputed king of the simulation."
New Statesman

Sunday, July 27, 2008

1001 Inspiration Design Festival @ Senayan City

Source: Aryakuro Blog

Awalnya ke Sen-Ci cuma mo nemenin nyokap reunian temen SMA-nya dulu di SMA 4 Jakarta…Begitu nyampe langsung cabut ke Urban Kitchen, salam-salaman ama temen-temen nyokap gw, sungkeman, saling bermaafan, terus makan ketupat campur opor ayam…lah lebaran ini mah…oke yang bener cuma salamnya doang terus langsung makan dah…dan dari makan di tempat ini gw menemukan 1 fakta penting yang akan menentukan masa depan Anda!!! adeknya Ayushita (nyokapnya kebetulan salah 1 dari sejuta temen nyokap gw yang lagi hadir di situ) mirip pol dah, udah kayak Ayushita versi cowok…eh kurang penting yak??ahaha..maap-maap..

Nah abis kelar makan itu, daripada basi bin expired di Urban Kitchen, gw berdua ama kakak gw mending berkeliling Sen-Ci…nah, terus pas berkeliling itu, ada yang oke yuh kayaknya, rame-rame di bawah, kayak ada pameran gitu, langsung deh cabut ke TKP….

Oh! ternyata ada 1001 Inspiration Design Festival!!

1001 Indie Smiles

Mbak! Mbak! jangan tidur di situ dong!!

Pokoknya eksibisi yang ada hubungannya ama DKV dan desain grafis lah (diselenggarain ama majalah Concept, yang notabene emang majalah desain grafis), ada instalasi patung gitu, ada ilustrasi-ilustrasi kreatif yang dipajang, tapi yang paling outstanding di sini adalah eksibisi Indie Smiles-nya…Maksudnya? jadi sepengertian gw, mirip-mirip ama lomba desain cover hape N***A itu, udah ada format bentuk karakternya, nah entar si desainernya ngasih ilustrasi ke format bentuk karakter tadi…tapi kalo si Indie Smiles ini ada temanya: senyum dan kenapa si karakter itu tersenyum…demen neh gw ngeliat kayak gini-ginian…

Ada yang ide-nya dari karakter yang beredar di masyarakat Indonesia:


Oknum Negara

Bagian belakangnya Oknum Negara

Tante Tika

SinTal alias Sinden Metal

Mbak Jamu Menor

Dan ada juga yang dari tokoh masyarakat:

Kang Soe (Tau lah ya siapa…)

Gie si Mahasiswa (Yah ini ketebak lah ya..ada Jakun-nya juga!)

Agni-Agnian (Apalagi ini, ketebak dahsyat..)

Aa Gym (Yaudalah, eksplisit…)

Kreatif banget kan? sbenernya masih banyak banget tuh, dan kalo sesuai judulnya sih harusnya ada 1001 biji karakter, tapi gw agak kurang rajin yak ngitungin, jadi agak kurang tau juga…tapi yang pasti gw salut banget neh ama yang nge-desain semuanya, stunning!!

1001 Senyum di Senayan

Source: Kompas.com
Jumat, 18 Juli 2008 | 09:27 WIB

JAKARTA, JUMAT - Katanya orang Indonesia suka berantem. Katanya orang Indonesia tak ramah lagi. Fenomena ini akhirnya menggugah beberapa desainer untuk mengajak masyarakat kembali pada karakter yang "Indonesia" melalui seni desain. Mereka ingin mengajak orang-orang Indonesia mulai rajin tersenyum lagi. Senyum menurut mereka adalah output dari kebersihan hati dan kunci dari interaksi.

Senyum inilah yang kemudian diangkat dalam 1001 Indie Smile Exhibition yang menjadi salah satu acara utama dalam rangkaian 1001 Inspiration Design Festival 2008 yang diselenggarakan oleh Digital Studio Creative Education dan Majalah Concept dari tanggal 17 sampai 24 Juli 2008 di Senayan City, Jakarta.

Selain itu, festival ini juga terdiri atas acara utama lainnya, seperti 1001 Portfolio of Digital Studio, launching Komik ALiA, seminar kreatif Fire Up Your Inspiration, dan Creative Workshop.

Menurut Andi S Boediman, salah satu festival publisher yang berasal dari Digital Studio Creative Education, dalam kompetisi senyum Indonesia ini mereka telah mengumpulkan 1001 karya desainer muda se-Indonesia. "Senyum-senyum itu kemudian dituangkan dalam karakter "Peyo". Karakter ini hasil Indonesia," ujar Andi ketika ditemui Kompas.com sebelum acara pembukaan festival di Jakarta, Kamis (17/7).

Peyo sendiri adalah karakter buatan mereka yang khusus dikonsepkan untuk acara ini. Menurut Andi, Indonesia tidak memiliki karakter yang cukup terkenal, sedangkan negara lain memiliki banyak karakter yang sudah mendunia dan dapat menghasilkan jutaan bahkan miliaran dollar setiap tahunnya. "Karakter itu potensial untuk menghasilkan revenue yang tinggi dalam suatu produk. Mengapa pilih Peyo karena nama itu paling Indonesia," tandas Andi.

Desain-desain pada karakter Peyo sangat unik. Ada gambar para politisi, profesi-profesi, karakter, dan hal-hal lucu lainnya yang semuanya tersenyum. Andi dan kru-nya berharap hasilnya dapat membawa inspirasi bagi masyarakat yang melihatnya hingga dapat menularkan kedamaian melalui senyum kepada orang lain di mana pun dirinya berada.

Pemenang karakter Peyo dengan makna senyum yang terbaik akan diumumkan pada hari Minggu ini. "Nantinya desain senyum terbaik tidak hanya akan dipublikasikan dalam karakter Peyo. Kami sudah mencoba menggaet beberapa pelaku bisnis untuk mengadaptasinya. Misalnya, provider menjadikannya desktop screen handphone," ujar Andi.

Tentu saja, selain Peyo, peluncuran Komik ALiA paling ditunggu-tunggu pada hari Sabtu ini pukul 13.00. Komik ALiA adalah hasil kolaborasi dari para insan komik Indonesia, majalah Concept, dan penerbit independen yang memiliki mimpi untuk menerbitkan komik Indonesia secara berkualitas.


Caroline Damanik
Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network

Sunday, July 20, 2008

1001 Inspiration Design Festival at Blog

Source: Customxait


Some stuff from 1001 Inspirational Design Exhibition 2008

held by 17 until 24 July on Senayan City, jakarta

theres a collective character design competition too, even less than 1001 entries but it collected more than 920 artworks.

and heres some flicks from the event.

Peyo Submission

my char’ with other entries

Heres my submission called

Motherland (Ibu Pertiwi)

Kitty Felicia - 20 Finalis - Best Barongan Category

And Heres Kitty Felicia Character called

“Si Kenyem”

one of 20’s Finalist and got the best nominee character design

for Barongan Category, Congratz Big Sista…

1001 Inspiration Design Festival in the News

Source: Kompas


Pengunjung melihat hasil indi smile character contest yang dipamerakan di 1001 Inspiration Design Festival di Senayan City, Jakarta, Sabtu (19/7). Festival desain yang berlangsung hingga 18 Juli tersebut untuk merangsang kreativitas anak muda dan memasyarakatkan tokoh kartun Indonesia. Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 19 Juli 2008





Pengunjung menyaksikan karya seni yang dipamerkan di 1001 Inspiration Design Festival yang diselenggarakan Digital Studio Creative Education di Senayan City, Jakarta Pusat, Kamis (17/7). Acara ini merupakan even eksebisi karya desain dan kreatif terbesar di Indonesia yang berlangsung hingga 24 Juli mendatang. Kompas Images/Fikria Hidayat (FIA) 17-07-2008



1001 Inspiration Design Festival Photo


1001 Inspiration Design Festival Opening


Opening sirene by Andi S. Boediman, Djoko Hartanto, Mariana (HP) & Mr. Sim (GM Senayan City)


Chris Lie interviewed by Qtv


Djoko Hartanto interviewed by OChannel


Hanny Kardinata interviewed by Dina Danubrata


Wedha


1001 Inspiration Design Festival Opening


Rully Rochadi, Bambang, Bagiono & Peni Cameron


Kavin Noe'man, Irvan A. Noe'man, Nico Pranoto


Nico Pranoto & Mendiola B. Wiryawan


Arifin, Rudy Tjahjadi & Trisakti Dean – Yusuf Effendi


Digital Studio Exhibition at 1001 Inspiration Design Festival


Digital Studio Exhibition at 1001 Inspiration Design Festival


Murdhi & Gianto Peyo


Peyo – 1001 Indie Smile Character


Djoko Hartanto & Andi S. Boediman holding AliA special edition


1001 Inspiration Design Festival display


Indie Smile display at 1001 Inspiration Design Festival


Billy Blue at 1001 Inspiration Design Festival

Friday, July 18, 2008

Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar 22 - 23 Juli

_______________________________________

22 July Creative Workshop at Digital Studio College
Fire Up Your Comic Creation Workshop by Chris Lie
Fire Up Your Animation Workshop
by Deswara 'Adez' Aulia

23 July Creative Seminar at Blitz, Megaplex Grand Indonesia
Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar
Anuchai Secharunputong, Steven Read, Chris Lie, Andi S. Boediman

as part of 1001 Inspiration Design Festival

organized by
Digital Studio & Concept Magazine


_______________________________________

Lihat topik & info seminar di Slideshare
_______________________________________

Fire Up Your Comic Creation Workshop
Tuesday, 22 July 2008 (9 to 3 pm)
at Digital Studio College

  • CHRIS LIE (World-class comic artist)
    Chris Lie is worldwide reknown for for his works on GI-Joe comics. At present, Chris handles many multinational companies clients such as AXN, Cartoon Network Asia, Burger King, MTV Asia, THQ and many others.

Workshop Topic:
Storytelling and Comic Making Workshop
Learn to engage readers through the power of storytelling in visual language

Fire Up Your Animation Workshop
Tuesday, 22 July 2008 (9 to 3 pm)
at Digital Studio College
  • DESWARA AULIA (Senior Producer at Infinite Frameworks)
    Adezisa long time character animator turn into a senior producer thatb ring together a team of animators to create a fulls cene for film production. His credits include a few TV Commercials and Sing to the Dawn-the first 3d animated film in Indonesia.

Workshop Topic:
Breaking the Process of 3D Character Animation Production
Experience the working process of creating a real world scene for a 3d animation film production

_______________________________________

Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar
Wednesay, 23 July 2008 (9 to 4 pm)
at Blitz Mega Plex Grand Indonesia


Seminar Speakers:

  • ANUCHAI SECHARUNPUTONG (World Best Commercial Photographer)
    Anuchai has been ranked as one of the best commercial photographer inthe world byArchive magazine. His photography has won Clio and his achievements are announced in 200 best Ad photographers Worldwide Book 2004-2007
    (www.luerzersarchive.com).
Seminar Topic:
The True Color of Creativity
The secret of color and composition that tells a story about my perception and the beauty of color with all the extra meanings behind it.

  • STEVEN READ (Former Cg Supervisor of box office animation movie "Happy Feet")
    Steven Read responsible as the CG supervisor of Sing to the Dawn. This US$5 million 3d animated film is a joint collaboration between Indonesia & Singapore. Steven also highly involved as technical advisor in the acclaimed animation movie such as Happy Feet and Brother's Grimm.
Seminar Topic:
The Making of Sing to the Dawn
Understand the complex process to create a 3D animated film.


  • ANDI S.BOEDIMAN (Indonesia's Creative Industry Evangelist)
    Andi sees himself as a creative evangelist.
    Hisworks has been published and showcased internationally and has won prestigious awards such as Western Art Director Club and International Designers Networks. The Founder of the successful Digital Studio Creative Education.
Seminar Topic:
The Power of Color in Visual Design
Find the tips and techniques to control color that affect our emotion


  • CHRIS LIE (World-class comic artist)
    Chris Lie is worldwide reknown for for his works on GI-Joe comics. At present, Chris handles many multinational companies clients such as AXN, Cartoon Network Asia, Burger King, MTV Asia, THQ and many others.

Seminar Topic:
Revolutions in Comics
Learn how comic visual vocabulary has influence the language of film.

_______________________________________


Info & Invitation

021- 270 15 18 ( Elly /Denny)
or
021- 633 0950 (Digital Studio Cideng)
021-458 41018 (Digital Studio Kelapa Gading)

college@digitalstudio.co.id
www.1001inspiration.com

Workshop Invitation (+bonus seminar invitation) 900.000 IDR

Seminar Invitation 500.000 IDR

Thursday, July 17, 2008

Terobosan Kreativitas Anak Bangsa menembus pasar Internasional

Saksikan kreasi anak bangsa yang sudah dan akan menembus pasar Global.

Mengulang sukses even yang sama tahun lalu, 1001 Inspiration Design Festival kembali digelar. Lebih menarik dan inovatif, baik dari segi penyajian maupun materi acara. Event ini menggelar karya-karya inovatif para designer muda berbakat di bidang grafis, seni patung animasi dan multimedia.

Acara ini terselenggara berkat kolaborasi 2 institusi, Digital Studio–Creative Education dan Majalah Concept.

Acara ini terdiri atas beberapa acara utama yaitu:
  1. 1001 Indie Smile Exhibition,
  2. 1001 Portfolio of Digital Studio
  3. Launching Komik ALiA
  4. Creative Seminar 'Fire Up Your Inspiration'
  5. Creative Workshop

1. INDIE SMILE COMPETITION
Sebuah pameran hasil kompetisi mendesain karakter bertemakan Senyum Indonesia, menggunakan media karakter bernama `Peyo' – karakter bergaya urban yang unik dan menggemaskan. Kompetisi ini merupakan kelanjutan dari kompetisi Desain 1001 Cover Majalah Concept tahun lalu yang fenomenal. Saksikan karakter2 politisi, barong, astronot, dan mahluk2 lucu lainnya memeragakan senyum Indonesia.

2. 1001 Portfolio of Digital Studio
Dengan jumlah porfolio sebanyak 1001, karya-karya desain, animasi, film, multimedia dan advertising. Alumni siswa Digital Studio mewarnai industri kreatif tak hanya di negeri ini, namun juga sudah menembus pasar global dan direkrut oleh perusahaan lokal internasional seperti Infinite Frameworks Studios, SOAP Magazine & b'girl! Magazine.

3. Launching Komik AliA (19 Juli 2008 pk18.00)
AliA adalah komik 100% karya Anak Bangsa. Komik ini adalah hasil kolaborasi dari insan komik Indonesia dan Concept, penerbit independen yang memiliki mimpi yang sama untuk menciptakan komik Indonesia yang berkualitas dan yang dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Komik hasil keroyokan insan komik nasional ini mengusung tema Ratu Adil. Untuk keterangan lebih lanjut klik www.conceptcomic.com

4. CREATIVE SEMINAR (Blitz Megaplex Grand Indonesia, 23 Juli 2008)
Warna selalu menjadi sebuah sumber inspirasi bagi terciptanya sebuah mahakarya, dan merupakan unsur yang menentukan keindahannya. Komposisi warna dan efeknya terhadap sebuah mahakarya ini akan dituangkan dalam sebuah seminar bertajuk "Fire-up Your Colorful Inspiration" yang akan dibawakan oleh para pembicara ternama seperti Anuchai Secharunputong (World Best Commercial Photographer), Steven Read (mantan CG supervisor Happy Feet, Brothers Grimm dan Sing to The Dawn), Chris Lie (World Class Comic Artist) dan Andi S. Boediman (Creative Industry Evangelist).

Chris Lie akan mendiskusikan masalah "Revolution In Comics", Anuchai berbicara tentang "The True Color of Creativity", sedangkan Andi akan menjelaskan tentang "The Power of Color in Visual Design", sementara Steven Read akan bercerita mengenai "The Making of Sing To The Dawn (sebuah karya film animasi kolaborasi antara Singapura dan Indonesia)

5. CREATIVE WORKSHOP (Digital Studio College, 22 Juli 2008)
Workshop satu hari di bidang komik dan animasi yang menampilkan pakar kreatif kelas dunia Chris Lie (World Class Comic Artist) dan Deswara Aulia (Senior Producer di Infinite Frameworks).

Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan menghubungi:
Digital Studio College
Jl. Sultan Hasanuddin 57, Kebayoran Baru, Jakarta
Tel. 021 2701518
www.digitalstudio.co.id
contact: Denny Nugraha (0859 591 96657)

dan
Concept Magazine
Komplek Timah no.15, Jl Gatot Subroto, Tebet, Jakarta
Tel. 021 8317118
www.conceptmagz.com
contact: Benny Capella (0818 198 148)

Thursday, July 10, 2008

Kiprah Ratu Animasi Indonesia

Dunia animasi belakangan makin marak saja. Tengoklah toko-toko buku yang makin rajin mendisplai komik-komik animasi, ataupun tayangan televisi yang menghadirkan film-film jenis ini–kebanyakan hasil karya animasi luar negeri. Namun, harus diakui, dunia animasi di Tanah Air belum berkembang menjadi sebuah industri, berbeda dari kondisi di Jepang, Korea atau Malaysia. Padahal, banyak orang meyakini, dari segi kualitas, karya para animator lokal tak kalah bagus dibandingkan karya animator asing.

Keyakinan seperti itu setidaknya dipegang oleh Peni Cameron, yang kemudian rela berjibaku mengembangkan pasar animasi lokal. “Sejak kecil saya menyukai film animasi,” kata penggemar film animasi Mulan ini.

Kecintaan wanita kelahiran Surabaya, 13 September 1966, ini pada dunia animasi direalisasi dengan mendirikan PT Adianimas Cipta pada 1996. Maklum, saat itu pasar animasi mulai menggeliat, ditandai oleh bermunculannya perusahaan-perusahaan pembuat animasi. Salah satunya, Asiana Wang, yang sempat mempekerjakan lebih dari 300 animator. Sayangnya, eksistensi perusahaan animasi yang dirintisnya itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan badai krismon, pada penghujung 1998 Adianimas pun mesti gulung tikar.

Toh, semangat lulusan Arsitektur Institut Teknologi Indonesia ini tidak surut. Bersama 12 koleganya yang memiliki minat sama terhadap dunia animasi, Peni membentuk Asosiasi Industri Animasi & Konten Indonesia pada 2004. Peni duduk sebagai sekretaris jenderal. Agenda kerja dan kegiatan pun dirumuskan. Namun, dalam perjalanannya, tidak semudah yang dibayangkan. “Kami baru sadar, organisasi ini tidak bisa bergerak karena tidak punya dana. Industrinya kan belum tumbuh,” Peni menjelaskan.

Pada Juni 2006 Peni membentuk PT Citra Andra Media (CAM), dengan positioning sebagai inkubator industri konten. Fungsinya adalah mengemas, memasarkan, serta menjual produk animasi dan konten. CAM juga akan mengadakan pendidikan dan pelatihan buat para animator. “Idealisme kami, CAM bisa berperan serta dalam pengembangan dan penggerakan roda industri dan pendidikan animasi di Indonesia,” ujar Peni bersemangat. �”animator, rumah-rumah produksi, dan lembaga pendidikan animasi untuk memasarkan hasil karya animasi dan kontennya dengan kemasan yang memiliki daya saing kuat,” imbuh Hanitianto Joedo, Direktur Pengelola CAM.

Rencananya, CAM akan menggelar festival animasi terbesar di Indonesia. Namun, karena terkendala dana, Peni memutar haluan dengan menggelar road show di 12 kota, yakni di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Makassar dan Jayapura. Tujuannya, memperkenalkan dunia animasi dan peluang pengembangannya.

Dari kegiatan tersebut, ibu tiga anak yang gemar nonton dan traveling ini mengaku bisa bekerja sama dengan berbagai lembaga dan korporasi. Antara lain, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, sejumlah sekolah menengah kejuruan, kalangan perusahaan (Telkom, Nokia, Bank Mandiri, dan sebagainya), serta sejumlah stasiun TV lokal. Dengan SMK 5 Yogyakarta, SMK 14 Bandung dan SMK Malang, misalnya, CAM bekerja sama menyelenggarakan mata ajaran animasi dan konten.

Tak cukup di situ, Peni juga menggelar berbagai event. Di antaranya, CAM Award, Indonesia Creative Idol, serta aktivitas pemasaran ke kalangan korporat dan media. Tak ketinggalan, CAM pun mengikuti berbagai pameran animasi di luar negeri.

Rupanya, upaya Sekretaris Komisi Badan Pertimbangan Film Nasional ini berbuah hasil. Dengan didukung 15 karyawan, kini CAM telah menjadi inkubator bagi para animator dan studio animasi. Saat ini ada lima lembaga animasi yang bersedia mengikat kerja sama dengan CAM, antara lain Kojo Animal Bandung, SMK 5 dan KDEPP Malang. Bahkan, dengan KDEPP telah dibuat kontrak hingga 195 episode, dengan pembagian keuntungan 60 (untuk CAM) : 40. Menurut Peni, masih banyak studio animasi yang bisa diajak bergabung. Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 100-150 studio animasi.

Untuk pemasarannya, CAM telah menggandeng 25 stasiun TV lokal–di Tanah Air, total ada 70 stasiun TV lokal. Beberapa judul film animasi yang dipasarkan CAM — misalnya Kuci, Lihat Animasiku dan Catatan Dian — sedang diputar di beberapa TV lokal. “Target kami, dalam satu hari ada satu film animasi yang disiarkan TV lokal,” Peni menandaskan. Untuk mencapai target tersebut, imbuh Joedo, dalam setahun CAM perlu menyediakan 32 serial, dengan durasi 24 menit (satu serial = 13 episode).

Sepak terjang Peni juga mendapat apresiasi dari pihak lain. Pada Oktober 2007, Departemen Komunikasi dan Informatika RI menganugerahkan penghargaan pada CAM dalam ajang Indonesia ICT Award 2007. Bahkan, CAM dipercaya mewakili Indonesia pada ajang serupa di tingkat Asia Pasifik. Menurut Joedo, CAM bisa berhasil memenangi penghargaan tersebut karena model bisnis yang ditawarkannya, yang disebut Animart. Dalam model bisnis ini, CAM berperan selaku mediator antara animator, studio animasi dan TV lokal. “Mereka yang membuat, kami yang mencarikan pasarnya,” ujar Peni, seraya mengaku akan bahagia bila industri animasi bisa berkembang pesat di Tanah Air.

(SWA, No. 08/XXIV/17-29 April 2008)
Zemanta Pixie

Wednesday, July 09, 2008

Govt pumps export potential of the 'creativity industries'

Source: Jakarta Post

Novia D.Rulistia , The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 03/17/2008 12:38 AM | Business

If a variety of culture is considered the main determinant of national creative output, Indonesia would likely be one of the richest countries as home to no less than 300 ethnicities and 500 languages and dialects.

Whatever the case, figures on exports of local creative products have shown Indonesia still lags behind even regional competitors.

Possibly unnerved by Malaysia's ability to make the most of its comparatively limited cultural resources, which prompted the recent copyright claim fiasco over an allegedly Indonesian traditional song (used for promotions by Malaysia's Tourism Ministry late last year), the government has apparently emerged from a deep slumber and is boasting plans to prop up the local creative sector.

The plans, referred to as a road map, seems nothing short of ambitious, aiming to "guide the creative industries, encourage people to be more actively involved in creative industries and help drive the national economy," as Trade Minister Mari Elka Pangestu said at the Java Jazz music festival last week.

Creative industries are industries whose products originate from individual creative endeavors, skills and talents. Such fields have potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.

There are 14 such industries formally recognized by the government: music and musical instruments, advertising, architecture, art and antiques, craft, design, fashion, film, video and photography, interactive games, performing arts, printing and publishing, computer services and software, and radio and television.

Indonesia's creative sector presently comprises around 2.5 million companies, 1.3 million of which are in fashion, 900,000 in craft, 200,000 in graphic design and some 25,000 in other areas, according to data from the Trade Ministry.

Over the 2002 to 2006 period, the creative sector contributed an average 6.3 percent of the national GDP, equivalent to around Rp 104.68 trillion, absorbing some 5.4 million workers and ranked fifth among the Indonesia's top export commodities.

Creative industry exports were worth an average Rp 70 trillion over the same period, with a peak in 2006 of Rp 81.5 trillion.

This year, the ministry predicts, creative exports would increase in line with national export growth targets, between 10 and 15 percent.

Of all Indonesia's creative industries, fashion goods contributed the most to the export figures, with annual growth of around 30 percent.

Many of Indonesia's fashion industry players were able to grow their businesses by relying on design power rather than capital might, as seen in the "distro" phenomenon.

Distro (short for distributor outlets) have been pioneered by creative professionals from Bandung, West Java.

Dendy Darman, a founder of one of the country's first established distros, 347, shared part of his story of starting the business from scratch.

347 was set up by a surfing community, interested in arts and product design, who pooled their ideas and built their first line of products using no more money than a college student's monthly allowance.

"Distros are usually established by communities and have grown big now, but we don't see other distros as rivals. Instead we compliment each other," Dendy said.

"By complimenting each other we can breed new creativity," he said.

The 13-year-old 347 now produces some 200 different t-shirt designs every month, and has 5 stores including two stores in Singapore and Australia, employing a total of 150 people.

There are estimated to be around 1,500 distros across Indonesia, managed by the young and creative, some of which have total revenues of up to US$ 100,000 a month.

Distro businesses are resilient because they dare to challenge ideas and can be flexible in managing their finances due to their small size, said Yudhi Soerjoatmodjo, a British Council project team leader for learning and creativity.

"Young entrepreneurs were willing to grow their businesses gradually, and tended not to risk more than they could afford to lose," Yudhi said.

Commenting on the government's creativity road map, industry players said the government needs to address numerous issues which have hampered growth, mainly in the lack of access to investment capital, weak entrepreneurship and limited networks for distribution.

"The extent of our creativity is often limited by shortages of funding," Indonesian Fashion Designers Association (APPMI) chairman Taruna K.Kusumayadi said.

Not just financial incentives were needed, Taruna said, but, most importantly, non-fiscal incentives like greater access for product distribution.

"Our creative fashion industry is already big, but to make it bigger there should be incentives from the government and deeper cooperation between bigger and smaller industry players," he said.

Indonesian Creative and Smart Foundation chairman Seto Mulyadi said the creative industries also suffered from a weak link in the country's education system.

"The education system has a very rigid curriculum that gives a very limited space for students to express their creativity," Seto said.

Without creativity, he said, "there would be no opportunities for work."

National export development body (BPEN) head Bachrul Chairi said the government would complete the road map in May.

"The road map will define existing opportunities and ways to tackle challenges in the industry, including the lack of awareness, to improve creativity in schools and accelerate domestic and export growth."

Other issues highlighted in the plan, as hinted by the Trade Minister, would include means to further integrate creative minds with developments in science and technology.

"Creativity is not only based in the arts, but can also be based on science and engineering," Mari said.

Tuesday, July 08, 2008

Creative industries a hit, but still need support

Source: Jakarta Post

The Jakarta Post , Jakarta | Sun, 06/08/2008 12:01 PM | Headlines

Skeptics who say Indonesia's animation can not compete in the international scene should meet "Hebring".

The animated character, Hebring's, rescue of an old woman from a runaway bus has been a hit with local and overseas visitors to the four-day Indonesian Cultural Product Exhibition at Jakarta Convention Center (ending Sunday).

In blue tights, red gloves, boots, a scarf and big H-sign on his chest (think of Superman without the red underwear on the outside), Hebring has helped bring support and potential business deals to its developer, Main Game Studio.

At least 20 potential investors, including a Japanese institution, have engaged so far in "advanced" talks with the company, said Andi Martin of Studio.

Hebring -- which means 'great' in Sundanese -- is a new player in the exhibition which aims to promote Indonesia's creative industries.

"Last year, we had 17 categories ranging from craft to batik designers. This year, there are 38 with new categories including animation, painting, graphic design and multimedia," exhibition committee member Fauzi Azis said on Saturday.

The new exhibitors had garnered an "unprecedented" amount of interest from local and foreign investors, said Fauzi who is also the Industry Ministry director-general of small and medium enterprises.

"Which just goes to show the massive potential for this industry."

As of Saturday, the event has had roughly 20,000 visitors while facilitating total transactions worth as much as Rp 9 billion (around US$960,00) from retail sales and contract deals.

Last year's event facilitated more than Rp 16 billion in sales and contract deals and received around 27,000 visitors.

"This year, we expect to receive 30,000 visitors, and if the exhibition can stimulate transactions worth around Rp 20 billion, this would already be a wonderful achievement," Fauzi said.

However, he said, the industry still needs a lot of government support, such as tax breaks and copyright law education.

"Take the painting industry. Indonesian painters prefer to auction their paintings in Singapore. Why? Because Singapore charges 7 percent in auction taxes, while our government charges 21 percent. How are we supposed to compete?"

"Another problem is copyright laws. We need more education to protect software copyright and other intellectual property because that is the main complaint I keep receiving from our friends in the creative industry," Fauzi said. (anw)

Monday, July 07, 2008

Bandung: The world in the city

Source: Jakarta Post

Roy Voragen , Bandung | Sat, 06/28/2008 11:54 AM | Opinion

Globalization is not something abstract; it is concrete. Globalization is not out there, but here, and now. While the consequences of globalization are obviously uneven, this does not mean that globalization leaves people powerless. Fatalism can become a self-fulfilling prophecy: The feeling of powerlessness can block action and end in a lack of power.

Members of the creative industry in Bandung do not let globalization rock their lives. They translate bits and pieces of world views into their own lives. This is a complex, dynamic and ongoing process that is done in piecemeal fashion.

In esthetics, this is called appropriation: borrowing, copying, faking, reproducing, distorting and presenting things as one's own. It not only goes this against the cult of authentic originality, the artist as a genius and individual authorship in the West, it also goes against legal-political concepts in the form of copyright and intellectual property rights.

This is a two-way process. A multinational company that does not adapt to the local situation will have difficulty surviving. MTV is an excellent example. In 2003, the Bandung band Mocca had a hit, "Me and My Boyfriend" from the album My Diary, and the video was often aired on MTV Indonesia.

Artist Gustaff Iskandar, who is a graduate of the art school at the Bandung Institute of Technology (ITB), directed the award-winning video. He created a visual story of the history of Bandung by referring to global art and pop culture. Bandung-based Fast Forward Records produced the album.

These days recording an album or making a music video is so much easier through the introduction of new technologies and software (often pirated). MTV VJs often wear apparel designed by Bandung "indie" companies, making these designs more popular outside Bandung.

Bandung has dozens of institutes of higher education; the city is therefore attractive to youth from all over the archipelago. Upon graduation many of these youngsters move to Jakarta where salaries are significantly higher. Jakarta functions as a brain drain.

However, many graduates pursue a career in Bandung. I already mentioned Gustaff H. Iskandar. With R.E. Hartanto and T. Ismail Reza, two other ITB graduates, he founded the Bandung Center for New Media Arts (BCfNMA) in 2001. This center was founded to foster a dialogue between the arts and the outside world (the world of technology and also urban design, among others).

In 2003, BCfNMA merged with Tobucil (Toko Buku Kecil, or "small bookstore"), cofounded in 2001 by Tarlen Handayani, to form the Common Room Network Foundation.

Common Room functions as a platform for local communities in Bandung, with the adagio that artists should be able to make a living with their creativity. Common Room also cooperates with international organizations.

In 2005, for example, it organized in cooperation with the Asia Europe Foundation the third Asia-Europe art camp on artist initiative spaces and new media arts.

In 2007, Hartanto, Reza and Handayani (and Tobucil) left Common Room. Tobucil organizes for courses for the general public on journalism, feminism, philosophy and other subjects. Tobucil also participates in the literacy movement.

Another important part of the Bandung creative industry is the emergence of the "distro" (distribution outlet) in the mid-1990s when imported designs became too expensive in the midst of Indonesia's economic crisis.

These distros are inspired by surfing, skateboarding and music. Sometimes called indie, i.e. independent and alternative, they no longer operate on a small scale. They make good profits; people from Jakarta make good use of the Cipularang toll road (which opened in May 2005) to come down to Bandung to shop for the latest fashions.

The Bandung creative community succeeds in appropriating the impacts of globalization without Westernization. The creative community has also learned, over the years and through repeated trial and error, how to combine creativity with entrepreneurship.

The creative communities in Bandung are hubs that form a node in a wider -- global -- network from Singapore to Sydney, Manchester to Amsterdam, Beijing to Helsinki. Does this community, though, succeed in bridging the wider Bandung society? They live and work within a sea of millions to whom to build social bridges.

State institutions have a role to play, but the state has lost legitimacy after decades of authoritarianism and corruption. Is a bottom-up politics that includes the grassroots feasible and sustainable?

How can we solve collective -- and thus global -- problems? Can we in the 21st century reform politics in the form of networks of coproduction between state institutions and civil society organizations? It would raise important questions of authority, transparency and accountability. Seeing the making of policy as a network of coproduction might be a way to hide the power struggle over meanings.

The writer teaches philosophy at Parahyangan Catholic University in Bandung. His weblog can be accessed at fatumbrutum.blogspot.com

Saturday, July 05, 2008

Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar 22-23 Juli 2008

_______________________________________

22 July Creative Workshop at Digital Studio College
Fire Up Your Comic Creation Workshop by Chris Lie
Fire Up Your Animation Workshop
by Deswara 'Adez' Aulia

23 July Creative Seminar at Blitz, Megaplex Grand Indonesia
Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar
Anuchai Secharunputong, Steven Read, Chris Lie, Andi S. Boediman

as part of 1001 Inspiration Design Festival

organized by
Digital Studio & Concept Magazine

_______________________________________

Lihat topik & info seminar & workshop di Slideshare






_______________________________________

Fire Up Your Comic Creation Workshop
Tuesday, 22 July 2008 (9 to 3 pm)
at Digital Studio College

  • CHRIS LIE (World-class comic artist)
    Chris Lie is worldwide reknown for for his works on GI-Joe comics. At present, Chris handles many multinational companies clients such as AXN, Cartoon Network Asia, Burger King, MTV Asia, THQ and many others.

Workshop Topic:
Storytelling and Comic Making Workshop
Learn to engage readers through the power of storytelling in visual language

BLOGGER_PHOTO_ID_5218050295309792002BLOGGER_PHOTO_ID_5218050303021527890
Komik GI Joe, menampilkan karakter tentara Amerika


Fire Up Your Animation Workshop
Tuesday, 22 July 2008 (9 to 3 pm)
at Digital Studio College
  • DESWARA AULIA (Senior Producer at Infinite Frameworks)
    Adezisa long time character animator turn into a senior producer thatb ring together a team of animators to create a fulls cene for film production. His credits include a few TV Commercials and Sing to the Dawn-the first 3d animated film in Indonesia.

Workshop Topic:
Breaking the Process of 3D Character Animation Production
Experience the working process of creating a real world scene for a 3d animation film production

BLOGGER_PHOTO_ID_5218585004731018770
Poster Sing to The Dawn

_______________________________________

Fire Up Your Colorful Inspiration Seminar
Wednesay, 23 July 2008 (9 to 4 pm)
at Blitz Mega Plex Grand Indonesia


Seminar Speakers:

  • ANUCHAI SECHARUNPUTONG (World Best Commercial Photographer)
    Anuchai has been ranked as one of the best commercial photographer inthe world byArchive magazine. His photography has won Clio and his achievements are announced in 200 best Ad photographers Worldwide Book 2004-2007
    (www.luerzersarchive.com).
Seminar Topic:
The True Color of Creativity
The secret of color and composition that tells a story about my perception and the beauty of color with all the extra meanings behind it.

BLOGGER_PHOTO_ID_5217854510194504146
CANNES 2007 AWARD WINNER Mul-T-Lock

BLOGGER_PHOTO_ID_5217854517031110418
CANNES 2007 LIONS WINNER Tesco Superstore
  • STEVEN READ (Former Cg Supervisor of box office animation movie "Happy Feet")
    Steven Read responsible as the CG supervisor of Sing to the Dawn. This US$5 million 3d animated film is a joint collaboration between Indonesia & Singapore. Steven also highly involved as technical advisor in the acclaimed animation movie such as Happy Feet and Brother's Grimm.
Seminar Topic:
The Making of Sing to the Dawn
Understand the complex process to create a 3D animated film.



  • ANDI S.BOEDIMAN (Indonesia's Creative Industry Evangelist)
    Andi sees himself as a creative evangelist.
    Hisworks has been published and showcased internationally and has won prestigious awards such as Western Art Director Club and International Designers Networks. The Founder of the successful Digital Studio Creative Education.
Seminar Topic:
The Power of Color in Visual Design
Find the tips and techniques to control color that affect our emotion


  • CHRIS LIE (World-class comic artist)
    Chris Lie is worldwide reknown for for his works on GI-Joe comics. At present, Chris handles many multinational companies clients such as AXN, Cartoon Network Asia, Burger King, MTV Asia, THQ and many others.

Seminar Topic:
Revolutions in Comics
Learn how comic visual vocabulary has influence the language of film.

BLOGGER_PHOTO_ID_5218050302685909314
Drafted, komik politik

_______________________________________


Info & Invitation

021- 270 15 18 ( Elly /Denny)
or
021- 633 0950 (Digital Studio Cideng)
021-458 41018 (Digital Studio Kelapa Gading)

college@digitalstudio.co.id
www.1001inspiration.com

Workshop Invitation (+bonus seminar invitation) 900.000 IDR

Seminar Invitation 500.000 IDR