Thursday, September 26, 2002

Consumer Insight

posted at Marketing Club mailing list

Insights ini bisa macem-macem deh. Basicnya cuma pengamatan atas perilaku, harapan dan persepsi dari target market/calon target market. Saya sendiri masih belum bisa melihat benang merahnya, ini beberapa contoh aja: dari survey diketahui bahwa target market dari Sampurna Ijo adalah masyarakat yg guyub, seneng maen bareng sehingga bisa muncul campaign Sampurno Ijo, asyiknya rame-rame. Contoh lain misalnya iklan Axe. Insightnya, cowok pada dasarnya pingin kalo cewek itu hit on him daripada selalu cowok yg usaha. Dari sini Axe bikin iklan ada cowok culun bersenggolan dengan cowok lain yg baru aja pake Axe. Di lift si cowok culun itu 'digarap' oleh cewek cakep.

Tidak hanya untuk iklan, pemahaman tentang insight ini dipelajari pada consumer behaviour. Kuncinya pada pengamatan Satu buku menarik yg membahas ini adalah The Science of Shopping. Salah satu contoh di situ adalah yg biasa membeli suplemen untuk anjing biasanya adalah anak-anak. Oleh karena itu dengan meletakkan barang tersebut di shelf bawah, langsung meningkatkan sales. Banyak banget deh studi kasus diulas di sini yg semuanya hanya dari sekedar proses pengamatan atas perilaku konsumen.

Saya jadi inget studi kasusnya Coke, Zyman menganalisa ada 13 fungsi/occasion di mana Coke bisa diminum. Coke adalah low involvement, kayak permen. Oleh karena itu ia bikin 13 iklan berbeda yg menjelaskan 'reason to buy Coke' dan ia ngotot ngukur efektifitasnya dari peningkatan jumlah krat yg terjual. Sebagai perbandingan, di Indo saat ini sales Sprite aja masih lebih tinggi daripada Coke, karena Coke di Indo di benak konsumen masih masuk dalam kategori 'limun', bukan kategori 'cola'. Ia bahkan menstop salah satu iklan Coke paling disukai audience, dapat award banyak dan sangat diingat penonton karena tidak meningkatkan sales. Iklannya adalah seorang anak kecil yg ngasih minum pada idolanya, Mean Joe Green, pemain football.



______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Tuesday, September 24, 2002

Consumer Adoption discussion

Shin Bernard
saya ingin memberikan sedikit opini dan banyak pertanyaan yang sekiranya dapat membantu kita semua yang ingin belajar marketing (maklum saya juga baru belajar ). Saya sangat tertarik membahas dari sisi awarenes dan high/low involvement suatu produk. Menurut Assael ada 5 langkah dalam proses adopsi suatu produk (5 stages in adoption proces):
1. Awareness
2. Knowledge
3. Evaluation
4. Trial
5. Adoption

Yang menjadi pertanyaan disini adalah, apakah semua produk entah itu high atau low involvement harus melewati semua proses/tahapan ini atau apakah bisa dari proses awareness langsung masuk ke tahap trial tanpa melalui knowledge dan evaluation? Bagaimana halnya dengan kasus permen? Apakah permen hanya membutuhkan awareness semata (ex.permen dynamite dengan rasa coklat+mint) dan langsung ke tahap trial ataukah permen juga membutuhkan 5 tahapan seperti yang telah diutarakan diatas? Itu jika dilihat dari sisi produk&konsumen, jika kita memandang dari sisi perilaku konsumen dimana ada 2 needs yang ingin mereka penuhi (utilitarian dan hedonic), apakah konsumen juga harus melewati kelima proses tersebut secara berurutan atau bisa saja mereka tidak melewati, misalnya satu tahapan dari proses tersebut? Kembali ke masalah permen, bisalah kita mengatakan kalo permen berada pada posisi produk low involvement. Sekarang pertanyaan untuk produsen permen, apakah ada keinginan dari mereka untuk memindahkan posisi tersebut ke high involvement? Apakah ada keuntungan yang mendasar (mis. dilihat dari profit yang didapatkan) jikalau suatu produk berpindah posisi dari low ke high involvement?

Hani Susilo Handoyo
Sebagai proses, 5 stage in adoption menurut saya memang ya harus runtun, akan tetapi bila kita mampu meng create "sense of attachment" towards the brand melalui markomnya, proses tadi tidak lagi akan tampak berurutan. Ada beberapa hal yang membuat saya "percaya" dengan hal tersebut;
1. Jack Trout; what matters is actually what the customer perceived about the brand.
2. Alm. Gombloh; Bila Cinta sudah melekat ... tai kucing terasa coklat...:-)

Andi S. Boediman
Saya nggak ngerti soal permen nih, tapi ingin sedikit urun rembug nih. Saya pikir permen adalah jenis produk yg tidak perlu kita jelaskan lagi apa itu. Tapi untuk menciptakan satu attachment, kita bisa berangkat dari beberapa perspektif, yg digemari oleh orang advertising pake istilah consumer insight. Di sini kita tidak cuma berangkat dari produk, tetapi membaca pasar. Kopiko sukses dengan membangun kategori baru permen anti kantuk, dulu Xon-Ce dengan buat orang yg lagi perjalanan (meskipun bukan permen). Atau Mentos untuk para Freshmaker.

Kalo saya pikir kita nggak lagi menjual rasa atau permen kita lebih manis, asin, asam, dll, tapi misalnya permen ini adalah untuk self-indulgence, atau permen untuk orang pilek, atau permen buat pesta, atau macam-macam lagi. Yg penting mungkin bukan sekedar brand awareness (diingat atau diketahui), tapi juga bisa memberikan persepsi dan identitas.

Contoh kasus sederhana mungkin Dunkin Donut. Tiap kali kita berkunjung ke temen sakit, pasti yg dibawa Dunkin. Ini hebat nih, padahal mereka cuman nitipin di tiap sinetron untuk nenteng Dunkin kalo berkunjung ke temennya :)

Pandangan saya apakah suatu produk perlu berpindah posisi dari low ke high involvement, kelihatannya sih nggak perlu ya, karena ini nature dari productnya sendiri. Yg lebih perlu gimana bisa attach ke persepsi tertentu. Misalnya permen yg kalo dimakan bareng pacar asyik deh, sekaligus cocok buat French Kiss :), atau misalnya permen yg bisa menggantikan duit 50 perak Indonesia. Iya nih, kok nggak ada produsen permen yg bikin permen seharga 50 perak dan dibentuk aja kayak 50 perak :), terus dikasih brand 'Gocap!' Taglinenya: Gocap, pengganti duit go-cap! Ini kategorinya gedhe lho dan marketnya jelas! Don't listen to me, it's just a
crazy & wild idea :)

Thursday, September 19, 2002

One to One Marketing

posted at Marketing Club mailing list

Q: Nowadayz there is new paradigm of marketing, that is so-called 1-to-1 marketing. I got from the website but unfortunately i cant reach it up what is 1-to-1 marketing? you guyz any ideas???????


Andi S. Boediman
Yg memunculkan istilah ini adalah Don Peppers & Martha Rogers di buku One to one Future. Buku ini membahas bagaimana meningkatkan hubungan personal dengan klien melalui pemikiran untuk mendeferensiasi customer, tidak sekedar produk, memanage customer, memelihara privacy mereka dan mungkin yg sekarang ini lagi hot adalah konsep CRM (customer relationship management) melalui berbagai media interaktif (fax, telepon, komputer, dll).

Shin Bernard
Pada dasarnya 1-to-1 marketing bertujuan untuk meningkatan share of wallet dari pelanggan dengan melakukan penekanan pada pembinaan hubungan jangka panjang, maka yang diharapkan tidak hanya ada repeat order tetapi juga share dari perusahaan bisa meningkat. Ada beberapa aktivitas dalam 1-to-1 marketing ini:
1. Harus dapat mengidentifikasi profil-profil individu yang terlibat dalam keputusan pembelian. Sehingga kitapun bisa mengetahui dengan jelas apa saja kebutuhan dan nilai-nilai mereka.
2. Atas dasar informasi yang diatas maka kita dapat merancang upaya pemasaran agar produk/layanan yang ditawarkan mempunyai nilai yang tinggi dimata pembeli.
3. Kita perlu melakukan interaksi melalui dialog or sharing knowledge dengan pembeli atau calon pembeliagar dapat mengetahui inside information.
4. Informasi yang kita peroleh dapat kita gunakan untuk terus meningkatkan kemampuan untuk merancang produk/layanan yang customized.

And as the time goes by....tingkat ketergantungan pembeli akan semakin tinggi sehingga para pembeli akan semakin sulit berpindah ke penjual lain. Dalam istilah pemasaran biasanya disebut dengan customer lock in. Mengenai customer lock in, ada beberapa hal yang diperkirakan mampu menciptakan situasi customer lock-in, misalnya saja struktur harga, produk /jasa yang customized, aset kolateral perusahaan (mis: kepemilikan jaringan distribusi dan pemasaran, good staff, n brand image). Pada dasarnya brand dapat memperkuat upaya lock-in ketika produk serta fungsinya belum dikenal. Karena brand (atau lebih tepatnya saja merek) bisa memberikan jaminan untuk menghilangkan keraguan terhadap performansi produk dan mendorong terjadinya pembelian berikutnya.

Untuk membangun hubungan dan mencari informasi dari pelanggan , ya...salah satunya dengan CRM itu. Mengenai 1-to-1 marketing ini, lebih tepat diterapkan pada B2B selling or personel selling? or both? any opinions?

Monday, September 16, 2002

The Fall of Advertising discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

Andi S. Boediman
Yg saya lihat dari buku ini bukan sekedar PR dalam konteks sempit, tetapi merupakan kegiatan marketing dalam konteks lebih luas ketimbang penggunaan TV, print AD & radio. Mungkin source yg baik adalah buku Scientific Advertising yg ditulis Claude Hopkins. Kelihatannya ini buku Ad pertama yg ditulis di th 30-an. Di sini banyak sekali diungkapkan bagaimana advertising pada zaman itu punya tanggung jawab besar sekali. Ambil contoh: untuk memperkenalkan komponen kue (cotosuet -> kira-kira sebangsa margarin), ia membuat acara display roti terbesar di dunia yang diliput di media dan toko tersebut menjadi ngetop. Bargaining yg ia minta kepada toko adalah untuk membuat roti tersebut, toko akan mengorder cotosuet dalam jumlah cukup besar. Si pemilik toko tentu saja sangat puas dengan hasilnya. Hopkin menyebutkan bahwa advertising adalah SALES, tetapi ditujukan kepada banyak orang. Untuk menghasilkan sales, ia membuat event, membuat publikasi di media, dll. Advertising is about all of that, bukan sekedar dalam konteks sempit yg kita lihat hari ini. Yg disebut PR oleh Ries adalah mengcreate konsepnya, bukan sekedar sebagai penyelenggara event yg sudah dipikirkan klien atau menjadi sekedar pendesain iklan seperti advertising yg banyak
kita lihat saat ini.

Contoh lokal yang menurut saya sangat sukses adalah membangun brand Clear, di mana dikombinasikan advertising dan kegiatan pendukung seperti Clear Top Ten, acara di mal, dll. Ini adalah jenis kombinasi PR & advertising yg sangat bagus.

Sumardy
kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Andi S. Boediman
Advertising bermanfaat mengingatkan akan persepsi yang kira-kira sudah terbentuk di sebagian masyarakat, sebagai satu 'enhancer' yang dampaknya bisa lebih luas. Kredibilitasnya sendiri akan dikonfirmasi oleh orang-orang yang sudah mendapat benefit dari produknya. Saya saat ini menganut bahwa advertising adalah lebih ke 'selling'. Setiap pasang iklan, saya ukur bagaimana impactnya dan saya ukur dari respon langsung. Jika respon kurang, maka iklan tidak efektif. Tetapi saat menggunakan metoda PR (event, seminar, berbagai kegiatan), saya malah tidak mengharapkan direct impact. Impact saya ukur dalam kurun waktu at least sebulan ke atas. Di sini bisa terlihat adanya peningkatan grafik sales. Jadi dalam hal ini saya malah mengkorelasikan antara advertising & sales. That's my method and it's work. Saya tidak mengatakan bahwa cara yg saya lakukan tersebut bisa dimanfaatkan oleh semua orang, tapi at least dalam cukup banyak kasus ini berhasil.

Salah satu pendukung bahwa advertising should generate sales adalah Sergio Zyman - bekas CFO Coke yg disebut si Aya Cola (lihat The End of Marketing as We Know It). Ia merevolusi metoda pembayaran ke advertising di Madison Avenue untuk menggunakan model commission based. Perusahaan advertising mendapat komisi dari peningkatan sales, tapi jika ad tidak berhasil, maka mereka nggak dibayar :), tapi jika sales meningkat, they win....big time! Ia menarik iklan Coke yg meskipun recallnya tinggi tapi nggak generate sales.

Sumardy
Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!

Andi S. Boediman
Ries malah setuju hal ini. Ia membandingkan Advertising dengan Insurance. Advertising adalah insurance bagi company untuk memperbesar/mempertahankan market share, mind share dan sales yang sudah ada, bukan bikin dari yg nggak ada. Dalam hal ini, ia tidak membandingkan advertising harus menjual, tapi tanpa advertising, penjualan akan menurun.

Sumardy
Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. Siklus hidup pasar
4. Siklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Andi S. Boediman
Setuju banget. Saya lihat setiap kondisi yg unik menyumbangkan variabel di dalam marketing. Seperti halnya diskusi yg sudah terlontar di sini beberapa hari ini, senjata kita kan ada PR, ada permission, ada emotional/experiential, dll. Kita sebagai marketer tentu memilah sendiri senjata mana yg cocok saat kita berada di kondisi apa, market apa, siapa sasarannya.

Saya tertarik pada konsep kognitif, afektif dan behaviour yg pak Sumardy sampaikan. Tadinya saya nggak kepikir hal ini, tetapi begitu terlontar, saya kepikir istilah yang banyak dipake temen-temen advertising, yakni AIDDA (attention, interest, desire, decision, action). Kelihatannya ini hanya sampai kepada kognitif dan afektif, tidak sampai behaviour. Keberhasilan advertising merubah perilaku ini contohnya adalah: Keramas setiap hari, keramas/pake sabun sekali nggak cukup dan mesti 2 kali biar lebih bersih, minum air 3 liter sehari. Sebaliknya salah satu campaign yg paling banyak dapet award di Amrik adalah 'Got Milk' yg dikampanyekan oleh asosiasi penghasil susu akibat menurunnya tingkat konsumsi susu. Tetapi kreativitas ini tidak nampak pada sales susu yg tetap menurun, alias gagal.

Ini bisa juga ditautkan pada technology adoption life cycle yg disampaikan oleh Geoffrey Moore di Crossing the Chasm. Pernah di satu waktu PAKU adalah teknologi tinggi :). Di masa awal adopsi teknologi/produk, kita membutuhkan komunikasi yang kognitif dan lebih ke arah functional benefit, pada saat teknologi/produk sudah mature, komunikasi kita maju ke tahap image dan bisa ke arah behaviour, tetapi saat teknologi sudah sampai tahap down market, maka tak pelak kita hanya memanfaatkan after market yg terjadi (contoh: mesin ketik, software Wordstar yg saat ini masih aja ada yg pake & tetap dijual baik produk maupun trainingnya:). Asumsi yg sama saya ambil dengan diskusi mengenai low involvement & high involvement produk. Bukan masalah high/low untuk mengkomunikasi functional, image, dll, tetapi kepada cycle produk. What do you think?

Sumardy
jadi Intinya adalah jangan mencoba untuk melakukan generalisasi dan diskusi kita ini dapat menjadi sebuah pelajaran karena kalau kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, banyak sekali perusahaan yang senangnya ikut-ikutan alias imitasi strategi yang dilakukan oleh perusahaan lainnya regardless of its product characteristics and other factors.

Andi S. Boediman
Bener juga, kayaknya pelajaran advertising/marketing secara general cocok untuk orang yg baru ingin memahami konsepnya, tetapi begitu sampai pada tahap implementasi, perlu adanya kombinasi stretegi/taktik. Malah mungkin pendekatannya malah bukan theoritically correct, tapi try and error (ini saran dari Claude Hopkins & Sergio Zyman), jadi setiap usaha, kita evaluasi impactnya dan kemudian kita perbaiki strategi/taktiknya :). Terus menerus!

Sumardy
ini yang akhirnya menjadi bumerang (mungkin ini juga ada kaitannya dengan values masyarakat kita) yang terjebak dalam suatu arus menuju komoditas.

Andi S. Boediman
Dari sisi produk, ini ada untungnya karena advertising/marketing kerjanya nggak terlalu berat untuk mengedukasi publik dari sisi adopsi & benefit produk, tapi di lain pihak problemnya adalah margin yg kecil sehingga terpaksa kita mendeferensiasi produk kita melalui
ad/marketing.

Me too style ini kelihatannya bukan cuma monopoli orang kita, tapi widely adopted di Barat juga. Kan aji mumpung :)

The Fall of Advertising

posted at by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

Jujur saja, saya agak sedikit bertanya2 dalam hati mengenai buku Al Ries ini yang membandingkan antara PR dan advertising dan yang lebih penting lagi (ini yang banyak salah kaprah), kita selalu memperlihatkan iklan sebagai THE ONLY AND ULTIMATE WEAPON to win the market share. THAT'S CRAZY !!!!!

Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!1

Iklan hanyalah merupakan salah satu bagian dari integrated marketing communication dan marketing communication itu memiliki tujuan tersendiri pada tahap dan stage tersendiri. Konsumen dalam mengambil keputusan juga memiliki proses yang harus dilalui mulai dari
cognitif, affective sampai behaviour.

dan masing-masing ketiga tahapan tersebut juga memiliki subtahap lagi yang harus dilalui oleh setiap konsumen. dan iklan sendiri juga memiliki tujuan mau mencapai yang mana, menyasar cognitive, affective atau behavior ??

Kalau iklan yang dimunculkan untuk menyasar cognitive dan kita mengharapkan menghasilkan penjualan, maka IKLAN TIDAK EFEKTIF DAN MENYESATKAN KITA SEMUA !

karena cognitive itu baru menyangkut belief, setelah ada belief harus ada evaluasi terlebih dahulu terhadap berbagai merek dan itu terdapat dalam proses affective dan masih menmbutuhkan jalan panjang menuju perilaku membeli suatu merek. terus iklannya mau disasarkan kemana ??

AL RIes dalam bukunya (in my opinion) mencoba untuk melihat segala sesuatu secara sepotong-potong dan hanya mengaitkan antara iklan dgn penjualan dan brand equity serta antara PR dengan brand equity. Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa dengan PR saja maka segala sesuatu akan terselesaikan dan kita akan memiliki mighty brand in this
universe ???

Wow........ asumsi ceteris paribus yang lebih menghenyakkan dunia pemasaran dibandingkan asumsi ceteris paribus dari supply dan demand orang ekonom yang sudah mati ketinggalan jaman sehingga muncullah buku The Death of Economics. Kalau kita mengikuti pola pikir Al Ries, maka The Fall of Advertising sekali lagi akan banyak menyesatkan kita semua dan terjadilah The Death of Categorization and Ceteris Paribus Mind-set yang membuat kita lupa terhadap kompleksitas konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian merek.

Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. SIklus hidup pasar
4. SIklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Simplifikasi permasalahan sering membuat kita gagal dalam meluncurkan strategi karena hanya melihat konsumen sebagai individu yang dicerminkan oleh cara berpikir kita sebagai produsen dibandingkan cara berpikir orang lain sebaga konsumen.

correct me if I am wrong

Any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Friday, September 13, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana? - discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Andi S. Boediman
Yap, ini yg dari dulu disebut USP (unique selling proposition). Saya pikir teknik dan media komunikasi saat ini sangat beragam untuk menunjukkan bahwa suatu produk bukanlah komoditi. Dari sisi metode, saat semua nggak ngiklan, kita ngiklan, saat semua bikin iklan produk, kita bikin iklan image, saat semua bilang experiential, kita pake PR, dll. Dari sisi positioning dan segmentasi, kita pisahkan produk berdasarkan psikografi konsumen.

Sumardy
Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Andi S. Boediman
Saya juga melihat demikian, bahwa yg menentukan strategi pendekatan sebenarnya lebih bersifat bottom-up, lebih tactical ketimbang strategic, misalnya yg high involvement kita pake jurus emotional, yg low involvement, kita pake jurus 'catch phrases'.

Sumardy
Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for consumers' fun only !!!

Andi S. Boediman
Ini udah kejadian nih, penggunaan character yg overshadow the product, contoh di Amrik, Bunny Energizer (or Duracell...people tend to think), Chihuahua Taco Bell. Di Indo ada Joshua yg di masa jayanya mengendorse lebih dari 10 produk. Di sini iklannya bikin ngetop characternya, bukan produknya :) nah lho!

Sumardy
yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk permen

Andi S. Boediman
Saya pikir ini tergantung studi market terhadap konsumen. Di dalam misalnya pembelanjaan mie instan, susu bayi atau produk yg masuk dalam kategori 'direncanakan' untuk dibeli, kita tidak perlu mengandalkan in-store promotion yg gencar, kecuali produk tersebut bersaing sebagai komoditi atau brand lain mempromosikan secara gencar. Tetapi di dalam produk yg low involvement dan 'tidak masuk direncanakan' saat pembelian seperti permen, ice cream, maka pembelian mengandalkan 'impulse buying' di mana in-store promotion memainkan peran sangat penting di mana seorang pelanggan menjadi tertarik akibat adanya 'free-tasting', prominent display, hanging mobile, branding yg kuat, dll.

Sumardy
Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

Andi S. Boediman
Setuju, tapi studi-studi yg dilakukan oleh banyak pakar marketing menurut saya lebih kepada 'koleksi jurus'. Sebagai marketer, kita tidak harus mengeluarkan semua jurus, kali ini pake permission marketing, kali lain/produk lain pake emotional branding, dll, tergantung musuhnya :), yakni consumer perception.

A Mild

Sebagai suatu ide positioning, saya pikir A-mild sukses saat campaign How Low Can You Go! Ini well done, yg mampu menciptakan suatu kategori baru di pasar rokok. Begitu pula dengan Sampurna Ijo, di mana riset consumer insight mampu menyegarkan brand yg tadinya kurang dikenal menohok di tempat ketiga produk rokok. Tetapi menurut saya pribadi, komunikasi A-mild kehilangan jati diri sejak berubah menjadi Bukan Basa-basi, kembali Ok waktu campaign Others Can Only Follow (menunjukkan kemampuan sebagai market leader dan mempertahankan posisi sebagai yg pertama -> lihat Marketing Warfare Al Ries). Dengan campaign yang terakhir ini, saya tidak melihat signifikasi dari komunikasi tersebut. Mereka nggak ngasih reason to buy the product dan saya agak skeptis dengan kesuksesannya, mungkin hanya bisa mempertahankan posisi karena kuatnya budget advertising, tapi tidak memberikan edukasi kepada konsumen dan meningkatkan sales.

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Wednesday, September 11, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana?

posted by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer,

Berkaitan dengan diskusi kita mengenai fluoride pada permen dan dihubungkan dengan informasi yang didapat dan diberikan kepada konsumen pada tulisan saya sebelumnya, maka sebenarnya terdapat satu topik yang juga cukup menarik yang masih memiliki kaitan dengan informasi dan juga tingkat perkembangan konsumen.

Kalau kita lihat perkembangan akhir-akhir ini terutama dari segi komunikasi pemasaran, maka kita menemukan fenomena yang cukup menarik dan menjadi trend saat ini. ditengah persaingan peluncuran produk dan merek baru yang tidak terbatasi, sekarang ini muncul jargon yang namanya emotional brand atau experiential marketing and something like that yang pada intinya menekankan pada keunggulan di segi emotional benefit dan tidak hanya functional benefit lagi.

Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Yang sering dilupakan oleh para pemasar dan ini terbukti kalau kita melihat marketing campaign yang mereka lakukan adalah mereka tidak pernah berpikir sebenarnya produk mereka termasuk kategori apa dari segi sudut pandang konsumen dan inilah yang membuat banyak merek jatuh karena cuma ikut-ikutan tok tanpa adanya strategic thinking
behind the actions.

Kalau kita melihat dari sudut pandang konsumen, maka ada dua needs yang mereka ingin penuhi
1. Utilitarian needs yaitu yang berkaitan dengan functional benefit dari suatu produk
2. Hedonic needs yaitu yang berkaitan dengan emotional benefit berupa dreams and fantasy beyond the features of the products.

saya percaya semua decision makers mengerti mengenai perbedaan ini, tetapi bagaimana pengaruhnya ke strategy ?

dalam menghasilkan sebuah iklan (saya memfokuskan pada marketing campaign khususnya above the line saja), perusahaan yang berusaha menghasilkan ikatan emotional berusaha menonjolkan sosok, endorser or whatever yang bisa menyentuh sisi emosional kita, tapi pernahkah dipikirkan after the campaign what the consumers' have in mind?

Perusahaan seringkali tidak bisa membedakan antara figure dengan ground dalam suatu iklan.
1. Figure merupakan sosok ataupun "jualan" utama yang ingin kita tampilkan ke konsumen dan menjadi the ultiimate weapon perusahaan dan itu bisa dalam bentuk logo, spokeperson, trademark, brand etc.
2. Ground merupakan "pernik-pernik" tambahan yang digunakan untuk "melengkapi" sosok figure sehingga menghasilkan sebuah konsep periklanan yang lebih hidup dan secara teori ground yang ditampilkan untuk menghidupi figure TIDAK BOLEH menutupi peran dan fungsi figure .

Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for
consumers' fun only !!!

Dan kesalahan ini justru sering dilakukan oleh perusahaan yang produknya dapat dikategorikan sebagai high-involvement products yang sebenarnya tidak membutuhkan emotional campaign dan in fact ITU TERJADI DI INDONESIA.

yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk perman (gimana bung Dodi?)

Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Ideavirus



Sedikit oleh-oleh buat yang menyukai high tech marketing. Salah satu favorit saya adalah Seth Godin (Permission Marketing, Unleashing the Ideavirus & Survival is not Enough). Dia pingin membuktikan konsep ideavirusnya dengan ngasih file pdf bukunya sendiri secara gratis di www.ideavirus.com

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Sunday, September 01, 2002

Will Power in Action

Source: Asia Image


Will Power in Action: if sheer effort and will were enough to propel an industry forward, Indonesia's very committed group of animators could see the local animation industry take off in the next few years. But they admit the industry must surmount some obstacles first. (Country Focus).

At a recent Animation and Visual Effects Conference and Exhibition for the Indonesian market, held August 14-15 in Jakarta, the dedication and enthusiasm of the local animation community was clear. Organised by the Animator Forum and Digital Studio, the event attracted a good audience from agencies, production and post facilities, and educational institutions.

What was impressive, however, was the active participation of the local animation industry, with many members taking time out to either present sessions or act as moderators.

Andi Boediman, creative director of Digital Studio, says, "There are events such as SIGGRAPH and NAB in the US, and BroadcastAsia in Singapore. There is so much we can learn from such industry events, and we have had the idea to host a similar event for a long time, for the industry to network, learn, and interact."

Digital Studio was established in 2000 as a graphic arts training centre. It offers short courses in digital imaging, desktop publishing, multimedia, web design, and animation. It is also the only Adobe Certified Training Provider, Macromedia Certified Training Center, and Alias|Wavefront Academic Provider Partner in Indonesia.

Its courses and its graduates could well be solution to one of the problems Boediman sees as hampering the further development of Indonesia's animation industry. "Our weaknesses are a lack of professionalism and teamwork," he says.

"The industry should concentrate on supporting education. First we focus on skill development (in the next 2-3 years) so we can at least fulfill current animation jobs available. Then we concentrate on expanding people development (skills, talent, and attitude) so we can have good leaders and teams within 5 years. The best people in the industry should go to school and teach," he adds.

His sentiments are not atypical of other industry members. Edwin Winarta, operational manager of Pyramid Image, one of Indonesia's largest post houses, where animation accounts for a quarter of business volume, agrees there is a short supply of skilled and educated animators.

This lack of talent could prove to be a critical issue in the growth of the animation market as, in spite of the financial fallout in 1997 and the lingering worldwide economic malaise, Indonesia does not lag behind its Asean neighbours in terms of equipment or technology.

Indications are there is plenty of room for growth, with industry players estimating annual growth in the demand for animation ranges from 15 to 20 per cent. Currently, most of the animation produced in Indonesia is for TV commercials, with work commissioned by agencies or production houses.

But even that market segment, which constitutes as much as 80 to 90 per cent of animation work, is limited in its scope. Deswara Aulia, executive producer at animation studio dementiA Animation, says, "Most (work) comes from production houses that need animation as support for their jobs. Animation is mainly used for supers or running text, or to show a product package at the end of the commercials.

"Sometimes clients need character animation for certain commercials, but these are mostly for children's products like candy, bags, or shoes, and we only get three to four such projects per year," he reveals.

dementiA Animation has been in the industry for two years, but according to Aulia, functioned as a "hobby studio producing animation shorts" until two months ago, when it became a commercial studio. Aulia, a post production veteran, is however optimistic about the studio's prospects, especially as demand for animation in other forms is beginning to take off.

Local drama or comedy series, highly popular with the Indonesian audience, for example, has started incorporating more animation and CG elements in their production.

"Now we have more demand for character animation and visual effects for TV programme series. Ad agencies are also using more character animation for their product advertisements," he says.

Aulia adds, "The success of features such as 'Petualangan Sherina' and 'Ada Apa dengan Cinta' produced by Miles Production gives us the opportunity to explore producing animation features. People are going crazy about local production, after many years without local productions."

Indeed, many animators see this expansion into new market segments as critical for the sustained growth and viability of the industry. This was one of the issues discussed at the conference. Besides local drama or comedy series, animation studios and animators must be encouraged to develop original animation content--TV and movie features--that can be distributed worldwide.

Boediman points out that Indonesia enjoys the advantage of a large local market, "We consume a lot of American and Japanese animation but even the best selling American film can't do as well as our best selling local film. It's unfortunate that we have not any quality animation feature films yet."

Of course, this goal is great in theory, but in practice, it runs into a few problems. "The time and money needed to produce animation for TV is considerably long and high. Our market can't support that," Aulia says.

A typical 30-minute TV programme in Indonesia sells for a maximum of Rp 30 million (US$3,360). According to Aulia, post production companies and animation studios can get twice to five times as much producing a 30- or 60-second commercial.

He adds, "To produce animation (especially 3D animation), we will need a minimum of Rp 200 million (US$22,400)to Rp 2 billion (US$224,000) per episode. Even at the minimum cost, we still lose a lot of money."

Despite his optimism in developing for TV programmes and feature films, Boediman is almost brutally realistic: "From my perspective, US, Europe, and Japan are good candidates for our animation work. But most people in the industry are working separately to open the market. As we have to work separately, it's pretty difficult as everybody is throwing a small stone into a very big pond. We need to join efforts in opening up more opportunities."

As director of Business Entertainment Solutions of BisInfo, Arianto Bigman offers the unique perspective of one involved in the industry, yet who is not an animator himself. BisInfo is the distributor of animation software tools such as Maya, the most popular 3D animation programme in Indonesia, Realviz, and Animo.

Bigman says that while there is great talent available in the country, what is lacking is industry cooperation. He suggests that for Indonesia's animation market to mature, players must be able to attract investments, and to do so, they need to learn how to market themselves.

"Most of the people in the animation field are production personnel, artists. They're very good artists, some are perfectionists even, but ... I do think we (also) need a manager from a business background who can take care of the business aspects as well as an operations manager who can oversee the production workflow. Currently, we have good operation managers but lack business managers," he says.

"And at the end, if we have a superb product, but we cannot market it, it will be useless. That's why we also need good marketing managers who can sell our products, or create a market for them even," he offers.

As things stand, Indonesia's animation industry is in its very early stages of growth. With applications limited currently to TV commercial work, the landscape is dotted with only a few studios dedicated to animation work, while post production facilities continue to dominate a market that cannot afford to support a robust independent animation industry.

Just a handful of animation studios-- dementiA Animation, Red Rocket Animation, and Bening Studio being some of them--compete with post production facilities for animation projects. Pyramid Image's Winarta admits that it's easier for his facility to get animation work as "the kind of work in demand needs support from compositing, editing and other services available only at post houses".

Aulia believes that the preference for "one-stop" shopping is a result of clients' focus on price and speed. Instead of choosing the best facility for each type of work, they prefer to choose one post production facility that can do it all.

Whatever the market conditions, Indonesia's plucky group of animators is not letting such issues stop them from aiming high. They're ready to develop some muscle, and they're not shy to ask for help doing it. Says Roy Adimulu, head of graphics at Pyramid Image and public relations coordinator of the Animator Forum, "We're still building the bridge between the private sector and government to develop some formulas, such as regulations, for this industry. We hope that our efforts can bring this industry to the same level as other local industries."

To Activate and Motivate

Led by some of the industry's most prominent members, the Animator Forum was established in 1999. According to Roy Adimulu, public relations coordinator, the group's initial goal was to develop the local animation industry by hosting regular monthly events where local animators could present their work to the public.

The founders, who included animators, post production artists and distributors as well as educators, wanted a communication outlet where those interested in animation could interact with local players, serving to attract more talent to join the industry, in addition to creating more awareness.

The Animator Forum is unique from other similar industry bodies as there is no formal structure and membership rules. Says Adimulyo, "Our group doesn't offer membership, but we usually have about 100 people for every event we host. They come from different backgrounds and include students, agencies, film directors, and even some institutions that are interested in the industry."

Since its establishment, the Animator Forum has spread its wings beyond Jakarta to other major cities such as Bandung, Surabaya, and Yogya. While its primary objective remains the same, its leaders are more focused on education now, as they have seen a demand for more training and information.

Besides the monthly events, the Animator Forum also works with other institutions in the industry such as local animation studios or production houses to promote TV programmes featuring local animation.

COPYRIGHT 2002 Reed Business Information, Inc. (US)