Showing posts with label animation. Show all posts
Showing posts with label animation. Show all posts

Sunday, December 13, 2009

Opini tentang Main Games untuk Warta Ekonomi

1. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai sosok Marlin Sugama secara pribadi maupun karya-karya yang telah dibuatnya?

Marlin Sugama memiliki passion yang kuat di bidang game. Pemahaman atas value chain industri sangat bagus dan ini jarang ditemukan di kalangan kreator game. Marlin memiliki perspekti bisnis kreatif yang positif dan punya kemampuan untuk mewujudkan visinya.

Hebring, salah satu karya animasi dari Main Studio sangat inspiratif dan memberikan sentimen positif atas penciptaan karakter orisinal Indonesia.


2. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai bisnis Marlin Sugama - Main Studios?

Model bisnis sebagai game developer bagus untuk mendapatkan income dan business model awal. Kemudian ini dikonversi perlahan menjadi industri kreatif melalui penciptaan karakter seperti Hebring.

Model ini perlu dipertahankan karena adanya kombinasi antara service industry yang profitable tetapi kurang sustainable dikombinasikan dengan creative industry yang pada awalnya cukup mahal saat pengembangan intellectual property, tetapi pada akhirnya akan lebih sustainable.


3. Adakah kekurangan dari bisnis Marlin yang harus dibenahi lagi agar menjadi lebih baik?

Main Games saat ini adalah perusahaan animasi dan game dalam skala SME. Perlu adanya road map untuk mampu menggerakkannya menjadi perusahaan besar. Dengan adanya road map yang jelas, akan bisa mengundang investor yang potensial. Ini adalah tantangan terberat karena dalam satu titik, hampir semua bisnis SME memerlukan resource untuk meningkatkan skalanya.


4. Bagaimanakah prospek dari Main Studios ke depan?

Main Studio dalam tahun mendatang perlu memikirkan untuk lebih sustainable dan scalable dengan benar-benar berkonsentrasi masuk ke industri kreatif yang memiliki intellectual property, salah satunya melalui Hebring.

Akan diperlukan partner yang kuat dari sisi marketing dan distribusi untuk mencapai skala bisnis yang besar. Idealnya di setiap channel (baca: animasi, atau game), diperlukan partner yang berbeda dan memiliki penguasaan atas basis distribusi digital content. Untuk game adalah perusahaan telekomunikasi yang dijembatani oleh Content Provider dan untuk animasi adalah televisi yang dijembatani oleh distributor.


5. Bagaimanakah prospek dari profesi sebagai animator dan game developer ke depannya?

Animasi dan game development adalah business yang bisa dilihat sebagai service industry, di mana animasi melayanai kebutuhan dari pelanggan. Di sini cocok untuk perusahaan berukuran kecil karena modal yang dibutuhkan relatif kecil. Contoh kasusnya adalah animasi untuk kebutuhan visualisasi dan advertising, juga game untuk pesanan perusahaan atau outsourcing.

Potensi terbesar adalah melihat animasi dan game sebagai bagian dari creative industry, di mana intellectual property dimiliki oleh sang kreator. Setiap utilisasi dari animasi dan game, kreator akan mendapat royalti. Di sini animasi digunakan sebagai marketing tools untuk industri merchandise, misalnya programming dari Sponge Bob men-drive penjualan barang-barang yang menggunakan karakter.

Game publisher juga mempu menghasilkan kemampuan sustainability dan scalability ketika kreator mampu memiliki intellectual property. Beberapa contoh adalah industri game Massive Multiplayer Online Role Playing Games (MMORPG) di Korea, seperti Ragnarok dan Ayo Dance. Juga game yang dimainkan di Facebook, seperti Farmville dan Mafia Wars. Ataupun game yang didistribusikan via mobile seperti Fifa World Cup. Model industri kreatif ini menjadi basis utama industri digital content yang size-nya sangat besar.

Sunday, November 22, 2009

Belajar dari Industri Konten Korea

Game merupakan sarana belajar yang efektif dan efisien, akan mempermudah siswa mengingat dan mengimplementasikan pelajarannya. Mahasiswa teknik bisa membuat visualisasi dengan program animasi 3D tanpa perlu membongkar-pasang barang aslinya―tak ada risiko dan kerugian apapun. Anatomi tubuh pun dapat dipelajari tanpa menggunakan organ tubuh sungguhan atau benda tiruan karena bisa menggunakan animasi 3D. Bahkan kini, teknologi yang dipakai dalam game perang-perangan dikembangkan NASA dan otoritas militer Amerika untuk membuat program serangan jarak jauh yang berguna bagi perang masa depan. Game telah menjadi wahana simulasi, cara murah dan mudah untuk mereplika sistem yang rumit menjadi interaktif dan bisa dipelajari oleh banyak orang.

Bono, bintang rock legendaris Band U2 asal Irlandia mengobarkan perang melawan aktivis politik sayap kiri dengan berinvestasi di video game tentang Venezuela dalam versinya. Ia berinvestasi sebasar 300 juta dolar di perusahaan Pandemic Studios, California, untuk produksi game Mercenary 2: World in Flames. Banyak orang heran akan aksi Bono, tapi nyata, bahwa game pun tak melulu berisi permainan saja, tapi bisa jadi alat untuk menyampaikan pesan apapun.

Game online sebagai salah satu produk industri kreatif animasi dan konten di Korea Selatan, berkembang pesat dengan kemudahan akses internet bagi lebih dari 80% penduduknya. Dalam pengembangan pasar dalam negeri tersebut, Korea Selatan mencatat angka pengguna game-game yang mudah dipelajari dan dimainkan, free casual game, cukup tinggi. Ini bisa dijadikan contoh pengembangan industri konten di Indonesia.

Dalam dunia pendidikan, kini juga mulai diminati aplikasi pembelajaran dengan Game Edukasi untuk media belajar kreatif dan atraktif bagi siswa tingkat sekolah dasar sampai menengah atas, terutama bidang matematika dan sains. Ternyata, selain untuk hiburan, ada nilai positif dari game dalam hal merangsang kreatifitas, berpikir taktis, serta belajar mengatur strategi.


Mana dulu, Infrastruktur Distribusi atau Konten?

Jika diperbandingkan dengan penduduk indonesia, suatu keterbalikan fakta bahwa Korea selatan lebih dari 80% penduduknya terkoneksi internet. sedangkan di Indonesia lebih dari 80% penduduk belum mengenal internet. Namun begitu, dengan besarnya jumlah penduduk, Indonesia dengan pengguna internet sebanyak 10 persen saja sudah mencapai angka 20juta - 30 juta orang. Dalam perkembangan industri animasi dan konten, koneksi internet memegang peran sangat penting.

Begitu banyaknya klaster bisnis dalam industri kreatif animasi dan konten, termasuk didalamnya benda-benda virtual dan microtransaction di Korea menempati angka penjualan cukup tinggi, diantaranya ditunjukkan dengan 67% dari user berumur 20 hingga 30-an telah membayar untuk memperoleh konten digital. Belanja musik secara online oleh pengguna internet bahkan menempati angka sampai 91%. Pengunjung portal utama dari kalangan dewasa mencapai satu juta pengunjung tiap hari.

Infrastruktur adalah komoditinya, dan konten adalah daya tariknya! Artinya tidak bisa dipisahkan antara konten sebagai value added dan jaringan distribusi sebagai komoditinya. Kabel broadband memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berlangganan konten dan membayar secara berkesinambungan dengan harga terjangkau. Ini yang disebut model bisnis subscription-based.

Lahirnya game MMORPG [Massive Multiplayer Online Role Playing Game], di mana suatu dunia game diakses oleh puluhan hingga ratusan ribu orang bersama-sama, merupakan jawaban atas tingginya pembajakan di Asia. Game dibagikan secara gratis, pemain hanya membayar koneksi ke server atau ketika membeli barang-barang virtual di dalam permainan, misalnya senjata, kekuatan tambahan dan banyak aksesoris lainnya. Item-based model menjadi alternatif dari subscription.

Masih rendahnya penetrasi broadband di Indonesia memerlukan daya tarik konten, jadi pembangunan pipa distribusi adalah untuk mengalirkan konten game, musik dan edutainment. Ekosistem infrastruktur dan konten menjadi bagian tidak terpisahkan karena adanya saling ketergantungan.


Kerjasama dan Alih Teknologi

Electronic Arts, Inc. [EA] sejak 2006 lalu berpartner dengan perusahaan Korea, Neowiz Corporation, meluncurkan game online EA Sports FIFA dan memiliki lebih dari 4 juta pelanggan. Dari banyak game online terlaris tercatat antara lain Tales Runner, RAGNAROK, Dungeon Fighter yang kesemuanya dikembangkan dari Korea. Indonesia masih baru berupa pasar dan belum ada tahapan alih teknologi yang signifikan.

Ada keengganan bagi pengembang perangkat lunak ketika masuk ke pasar baru untuk melakukan kustomisasi. Ini menyangkut belum terujinya adopsi pasar dan resiko biaya. Mereka yang punya kekuatan adalah mereka yang sudah memiliki pasar. Film dan musik Indonesia telah menjadi tuan rumah setelah rantai distribusi siap. Dalam paradigma serupa, jika game sudah memiliki jumlah pasar yang cukup signifikan, sudah saatnya untuk melakukan alih budaya, minimal dari sisi bahasa dan bisa dikembangkan lebih lanjut dengan pengembangan virtual asset dari game menjadi lebih lokal. Game Ayo Dance saat ini pun sudah mulai menggunakan musik Indonesia. Langkah cerdas untuk membuka pasar yang lebih luas.


Pengembangan Konten Lokal

Harry S Tjandra dari Pesona Edu adalah salah satu yang pertama menekuni software konten edukasi, murni untuk alat bantu peraga pendidikan khususnya matematika dan sains. Ia melihat dari kontingen KOCCA yang datang ke Indonesia juga mengembangkan edutainment, namun belum ada yang masuk ke game edukasi murni seperti yang ia tekuni. Itu artinya, game edukasi yang kini mulai banyak diminati akan menjadi peluang emas di dalam negeri. "Perkiraan belanja Depdiknas dan dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia terhadap software game edukasi tahun 2010, akan mencapai sekitar 2 triliun. Saya sendiri baru mengembangkan untuk matematika dan sains karena saya punya target pasar internasional. Tapi ini juga peluang bagi pengembang konten di dalam negeri untuk misalnya mengembangkan di cabang mata pelajaran lain seperti sejarah dan sebagainya," demikian kata Harry.

KOCCA memang rajin menyoal pengembangan industri konten, mulai dari mengadakan kunjungan, hingga menyediakan beasiswa bagi yang mau belajar industri konten digital (animasi-komik-games) di Korea. Bambang Gunawan yang dikenal sebagai Bambi, salah satu anggota tim CAMS, mendapatkan beasiswa 6 bulan ke Korea. Pengetahuan pengembangan industri konten itu kini diterapkan menjadi program Animart, di mana animator lokal mengumpulkan karyanya untuk didistribusikan ke sejumlah TV lokal oleh CAMS, demikian disampaikan oleh Peni Cameron, Direktur CAMS Solution.

Maria Tjhin, General Manager Castle Production mengungkap, bahwa Indonesia sudah mampu membuat pesanan animasi untuk pasar internasional. Beberapa karyanya adalah The Adventure of Carlos Caterpillar yang bercerita mengenai petualangan seekor ulat untuk televisi Spanyol, The Story of Jim Elliot tentang misionaris di Ekuador untuk televisi Inggris, dan cerita anak-anak Cherub Wings untuk televisi AS. Castle mengerjakan seluruh proses animasi, sedangkan cerita dan karakter sesuai pesanan. Belakangan, Kabayan Liplap, produksi animasi orisinalnya, malah mendorong penjualan merchandise di toko buku Gramedia. Ini adalah bukti bahwa animasi dan konten kreatif adalah alat terbaik untuk menjual produk konsumen yang menggunakan lisensi karakter.



Pendidikan Konten Kreatif

Selain bertemu dengan pelaku industri konten dan kunjungan ke beberapa perusahaan game, animasi dan televisi, KOCCA juga berkunjung ke IDS|international design school yang memiliki program Animasi dan Game.

Ungkapan kagum muncul sebagai apresiasi ketika Deswara Aulia dan Rully Rochadi, pengajar animasi IDS|international design school bercerita tentang program pendidikan yang merupakan simulasi kerja dan sebelum lulus siswa bahkan sudah ditarik bergabung ke berbagai industri multimedia nasional maupun internasional di negara tetangga.

Giliran managemen IDS dibuat gembira dengan pernyataan rombongan KOCCA yang ingin merekrut siswa IDS bekerja di perusahaan mereka di Korea Selatan. "Wow...!"

Kunjungan KOCCA pada akhirnya membuka wawasan dari delegasi Korea dan juga pelaku industri konten tanah air untuk saling membuka diri atas potensi masing-masing. Indonesia bukan sekedar pasar, tetapi juga sumber tenaga kreatif yang luar biasa, yang mampu menghasilkan banyak karya orisinal yang patut untuk dibawa ke ajang internasional.

Please leave comments on http://www.ideonomics.com and follow me on http://www.twitter.com/andisboediman

Wednesday, November 18, 2009

Kharisma Industri Konten Korea



Catatan kunjungan KOCCA 2009

KOCCA sebagai sebuah organisasi terbesar dalam bidang Creative Content di Korea, memiliki anggota yang merupakan perusahaan-perusahaan pemain utama dalam industri ini. Di dalam negeri Korea Selatan, pasar game online mencapai $ 2 miliar per tahun. Hal ini dipengaruhi kesadaran masyarakat yang semua rumahtangganya telah terkoneksi internet, untuk membeli konten game online.

Korea Creative Content Agency (KOCCA) merupakan organisasi terbesar dalam bidang Creative Content di Korea yang disupport oleh 4 departemen, KOCCA akan mengadakan kunjungan serta melaksanakan serangkaian kegiatan di Jakarta pada tanggal 18 s.d 21 November 2009, kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kerjasama dan membuka peluang bisnis antara Indonesia dan Korea.

KOCCA mengadakan business matching pada Kamis / 19 November 2009 Hotel Sultan, Jakarta, dihadiri oleh 16 perusahaan dari Korea yang bergerak dalam Creative Content antara lain mobile game, PC game, mobile comics, education dan banyak lagi. Terbuka kesempatan untuk melakukan coproduction, licensing, distributorship dan joint venture dengan perusahaan-perusahaan Korea ini.

Siapkan kehadiran Anda pada acara business matching ini! Agar Indonesia tidak sekedar menjadi pasar, manfaatkan kesempatan emas untuk melakukan alih teknologi dan masuk ke industri konten dunia.


Daftar Perusahaan Korea

Neowiz Games, yang memproduksi game online S4 League (TPS), Slugger (Sports), CrossFire, A.V.A (FPS); NOWCOM ["Talesrunner“ Online Casual Game]; Aeonsoft yang memproduksi “FlyF-Fly for Fun dan Airmatch. FlyF sendiri diterjemahkan dalam 10 bahasa di 14 negara; Quarterview produsen dan pengembang Game, konten edutainmen sperti IVU English. Selain itu ada CJ SYSTEMS yang bergerak dibidang Entertainment & Media (Game, Mobile Contents, Cable TV, Movie, Music, Infra); Iann Corporation [Game, Animation, Multimedia]; E2plus Edutainment yang merupakan perusahaan nomor satu di Korea yang menjalankan bisnis di bidang Mobile Games, Comics, Education Contents.

Designseol, Produsen dan Distributor animasi dalam Merchandizing, Licensing, Distribusi karakter seperti “Ddung” yang sukses menjadi merek terkemuka Korea, China, Hong Kong, Jepang, Thailand dan Inggris. bahkan Ddung juga dalam kontrak licensi karakter di Korea sebanyak 18, China:19, dan beberapa negara sebanyak 6 kontrak sejak 2004 lalu.

DPS, pengembang animasi Tori Go Go dan Let’s Go MBA juga hadir dalam bersama rombongan KOCCA, dengan peluang kerjasama yang mungkin dilakukan antara lain Joint Venture, Co-production, Licensing, Distributorship dari produk-produk animasi yang dikembangkannya.

Di samping nama-nama diatas, ada Liquidbrain Studio, G&G Entertainment-pengembang animasi 2D dan 3D untuk anak-anak dan memenangi penghargaan Outstanding Animation Award di Korea Multiple Times untuk "Maskman & I’m Sorry” and “I love you”.

PICTO Studio-perencana dan pengembang produksi animasi 3D dan konten TV untuk anak-anak yang telah mendapat sertifikat ISO 9001dan ISO 14000. Terhadap perusahaan ini, investro di Indonesia dapat menjalin kerjasama dalam lingkup kerjasama produksi, transfer teknologi, lisensi, pemasaran dan distribusi.

Juga hadir GK Entertainment [“Dungeon & Fighter”] dan Goldilocks Studio Inc.; Serta menarik sekali dengan kehadiran Itonic Corp., sebuah perusahaan yang mengembangkan konten untuk aplikasi telepon seluler dalam format 3D seperti “StoryMessage” yang mana menjadi pemegang paten atas “Method of Providing Movie Message Service” dan “Providing Service about Making Contents and 3D Animation”

Dari perusahaan-perusahaan kreatif konten dan animasi Korea diatas, NOWCOM adalah salah satu yang menonjol dengan menjadi pemenang Best Publisher Award di Hong Kong [2009] dan Best Publisher Award and Best Casual Game Award di China pada 2008 dan 2009 ini melalui "Talesrunner“ Online Casual Game. Aeonsoft juga menjadi perusahaan yang luar biasa dengan mengembangkan FlyF dalam 10 bahasa di 14 negara, begitu juga dengan Quarterwiew yang dipilih oleh Ministry of Education, Science and Technology-kementerian pendidikan dan Ilmu pengetahuan sebagai Good E-learning Company. Selain itu, juga membawa IVU English 'menyeberang' sampai China dan memenangi Grand Prize Digital Contents oleh kementerian informasi dan komunikasi Korea Selatan.

Saturday, June 13, 2009

Franchising & Licensing: Model Bisnis Animasi yang Sukses

Problem mendasar dari industri animasi adalah pemahaman tentang intellectual property dan business model. Animasi di Indonesia dilihat HANYA sebagai industri konten sehingga pola pikir adalah menjual ke televisi. Untuk memudahkan pemahaman, animasi televisi untuk Gundam dianggap oleh Bandai sebagai marketing cost untuk produk mainan. Televisi adalah bagian dari proses marketing dan mereka tidak mengharapkan benefit dari pembuatan animasi. Silakan pelajari income dari perusahaan seperti Walt Disney, Warner Brothers dan Nickelodeon. Pendapatan mereka dari film dan animasi tidaklah sebesar pendapatan mereka dari licensing dan merchandising.

Semua produsen animasi hanya konsentrasi pada pengembangan content tanpa melihat sisi bisnisnya. Artinya jika animasi dibuat, belum dipikirkan bahwa produk ini akan memberikan pendapatan terbanyak dari sisi penjualan stationery, mainan dan bahkan lisensi karakter untuk consumer goods.

Jadi menyalahkan sisi televisi dan produksi tidak ada gunanya. Yang diperlukan saat ini adalah pengembangan bisnis dari sisi licensing dan merchandising. Dari sini, animasi akan dianggap sebagai bagian dari marketing dari produk konsumen yang bisa dijual lebih banyak.

Animasi yang lain adalah untuk kebutuhan pembuatan advertising dan real estate, artinya tidak ada unsur intellectual property yang dipegang oleh kreator. Ini tidak akan sustainable dari sisi bisnis.

Film sangat high risk karena resiko gagal sangat besar. Televisi jauh lebih sustainable karena jika pemasang iklan tertarik beriklan, mereka mau iklan dipasang secara terus menerus selama episode berlangsung. Selain itu animasi juga memerlukan investasi besar karena tahap pertama dari animasi ini adalah membuatnya terkenal dulu, artinya pendapatan sangat kecil jika tidak ada yang percaya dari animasi. Setelah terkenal, barulah banyak pemasang iklan.

Game saat ini akan hidup dari sisi outsourcing, inipun problemnya adalah tidak adanya intellectual property yang dipegang oleh kreator sehingga tidak sustainable. Yang lebih menarik adalah mobile content yang punya skala lebih besar dari sisi distribusi.

Pada akhirnya, diperlukan adanya perusahaan yang sangat memahami licensing dan merchandising untuk menjadi backbone dari suatu bisnis animasi.

Referensi:
Beberapa studi tentang animasi yang pernah saya buat:

http://www.slideshare.net/andisboediman/multimedia-art-asia-pacific
http://www.slideshare.net/andisboediman/creative-industry-ecosystem
http://www.slideshare.net/andisboediman/creative-industry-trend-2009-presentation
http://www.slideshare.net/andisboediman/animation-content-industry-in-indonesia

Wednesday, September 24, 2008

Craig Xray Halperin Visits

Source: Craig Halperin Blog

After my Natto breakfast I met up with Denny and headed over to the MediaBlitz building. I met Adez, an animator who owns his own studio and teaches at Digital Studios. I also met Joedo who stage managed the event and Indah who MC’d. I interviewed for a podcast and went to lunch with Andi, the owner of Digital Studios as well as Paula and Mita from Koelnmesse, the producers for SIGGRAPH Asia.

Half of the folks as the table were fasting for Ramadan however I had a very nice tenderloin of Wagyu beef cooked to perfection on a hot stone on my plate. After lunch I did an interview with Andi for Digital Studios and went into the theater for the presentation. Over 200 people, many of them students, arrived for the two hour presentation.

Afterwards, many of them hung out and asked for autographs.

Romy showed up and we left for another engagement at TransTV. We had planned on getting there by 6pm to join them in breaking the Ramadan fast with the staff however we got stuck in one of Jakarta’s notorious traffic jams and were late. I gave a presentation for their internal staff. All of the TransTV staff wear uniforms. At first I thought the whole building was full of security guards but it turns out to be a staff uniform, even for the artists, editors and behind the scenes talent.

There was one white guy on the staff named Chitwa. He looked a little punk or goth but I didn’t get a chance to get his story. Afterwards, Denny, Romy and I had some drinks at a lounge, checked out a vodka bar and grabbed a late night snack at a padang style restaurant where the waiters drop off about 24 plates at the table then charge you by which ones you actually eat. Somehow they manage to carry all 24 plates at the same time. After that, I went back to the hotel and packed my bags for tomorrow’s flight to Singapore.

The people I’ve met in Indonesia have been amazingly friendly. I’m glad to have had the opportunity, however brief, to get an introduction to Indonesian culture by way of the friends I’ve met here over the past two days. Denny and Romy have been amazing guides and I hope to meet them again some day.

Sunday, September 21, 2008

The Making of Kungfu Panda & Bee Movie

by: Craig X-Ray Halperin

Blitz Megaplex, Grand Indonesia

22 September 2008

Presented by :

Digital Studio & SIGGRAPH Asia 2008


Saat ini penggunaan animasi dan efek visual merupakan bagian tak terpisahkan dari pembuatan film. Film Kungfu Panda & Bee Movie sukses di seluruh dunia. Craig Halperin, tokoh di balik pembuatan film ini akan mengupas proses behind the scene pembuatan animasinya.

Penasaran dengan pembuatan animasi dan efek visual film Kungfu Panda & Bee Movie?

Dapatkan jawabannya dengan mengikuti Seminar “The Making of Kungfu Panda & Bee Movie”
by Craig X-ray Halperin.

Seminar akan diadakan di Blitz Megaplex, Grand Indonesia pada 22 September 2008, pk. 14.00-16.00.

Selain itu ia akan mengungkap pembuatan efek visual pada berbagai film yang pernah ia buat, di antaranya adalah Titanic dan X-Men. Di sini, live action shoot digabungkan dengan computer generated imagery untuk menghasilkan adegan yang tidak pernah terbayangkan dan di luar jangkauan akal pikir manusia. Craig akan bercerita pengalamannya di Hollywood.

Profile Craig ‘X-Ray’ Halperin
Craig 'X-Ray' Halperin adalah seorang artis Visual Effects yang berkarir di film, advertising, entertainment, video games dan multimedia interaktif.

Ia membuat penumpang berjatuhan pada film Titanic, perubahan wajah Brad Pitt pada Interview with the Vampire, jatuhnya pesawat di Fight Club dan perkelahian para mutan di X-Men 2: X-Men United.

Selain itu ia memimpin tim untuk membuat crowd animation pada Bee Movie dan efek visual pada Kung Fu Panda . Craig mengajar di Gnomon School for Visual Effects di Hollywood dan juga terlibat dalam organisasi animasi ACM SIGGRAPH di Los Angeles.seminar ini bisa menjadikan sumber inspirasi bagi para pekerja kreatif, oleh karena itu seminar ditujukan untuk dihadiri oleh:

  • Para pekerja kreatif yang terlibat langsung di dalam proses pembuatan film, mengetahui teknik visual effects yang digunakan dalam memproduksi sebuah film.
  • Para akademisi akan mendapatkan wawasan mengenai visual effects dan kebutuhan di dunia industri film.
  • Bagi mahasiswa akan mendapatkan pengalaman yang sangat menarik mengenai pembuatan visual effects film-film yang sukses di seluruh dunia.

BROUGHT TO YOU BY :

DIGITAL STUDIO

Tiket :

Early bird / Mahasiswa [ sebelum 12 September] : Rp. 150.000

Harga Normal : Rp. 200.000

Registrasi & Informasi

DIGITAL STUDIO BLOK M

021-270 1518

021-270 2738-39

Fitria – fitria@digitalstudio.co.id

Denny – denugraha@digitalstudio.co.id

DIGITAL STUDIO CIDENG

021 – 633 0950

021 – 631 1246

Aya – aya@digitalstudio.co.id

DIGITAL STUDIO KELAPA GADING

021- 4584 1018

021- 7078 7107

Friday, August 01, 2008

Hellomotion, Bersandar pada Komunitas

Source: Kompas

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO / Kompas Images
Sebagian koleksi film animasi produksi Rumah Animasi Indonesia sejak tahun 2003 yang telah dipasarkan.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

Seperti para musisi indie, animator memanfaatkan benar yang namanya komunitas. Dengan komunitas, mereka menciptakan peluang ekonomi sendiri sekaligus bersama-sama menyampaikan aspirasi politik.

Salah seorang animator yang gigih membentuk komunitas adalah Wahyu Aditya (28), pemilik tempat kursus animasi Hellomotion di kawasan Tebet, Jakarta. Sejak empat tahun lalu, dia mencoba menghimpun komunitas animasi melalui festival film pendek dan situs internet.

Festival film itu bertajuk Hellofest yang digelar setiap tahun sejak 2004. Menurut Wahyu, setiap tahun, film yang ikut serta dalam Hellofest sekitar 150 buah, 80 persennya adalah film animasi. Festival yang berlangsung semalam ini biasanya dihadiri sekitar 3.000 orang. Mereka terdiri dari pelajar, mahasiswa, praktisi animasi, dan kurator film animasi.

Melalui festival ini, lanjut Wahyu, animator yang banyak tersebar di Indonesia bisa saling berinteraksi. Dari sini muncul animator-animator potensial.

”Beberapa di antara mereka kami ajak untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek yang bersifat komersial,” ujar Wahyu.

Wahyu juga mencoba menghimpun komunitas melalui situs internet bernama Kementerian Design Republik Indonesia dengan alamat kdri.web.id. Situs ini semacam kementerian virtual lengkap dengan kebijakan-kebijakannya. Setiap orang boleh mengirim karya desain grafis, animasi, atau ide liar yang berkaitan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Pokoknya, situs ini bisa menampung ide-ide liar dan kritis.

Di situs itu ada sebuah film pendek bertajuk Najis Award. Film itu berupa gabungan karakter animasi dan potongan adegan sinetron. Di bagian akhir, film itu menobatkan sinetron yang mengumbar adegan tampar-menampar sebagai sinetron ternajis karena dianggap paling berhasil melecehkan logika.

Mereka juga mengkritik desain logo-logo yang dianggap kaku milik instansi pemerintah maupun swasta. Mereka menawarkan desain baru yang mereka anggap lebih oke, keren, dan funky. Situs itu, katanya, dikunjungi 800- 1.000 orang dari seluruh dunia setiap hari.

”Melalui situs itu kami memang ingin mengubah Indonesia dengan kekuatan alternatif, yakni kekuatan animasi. Sekalian, kami bisa menghimpun komunitas,” ujar Wahyu yang dipilih British Council sebagai International Young Screen Entrepreneur of The Year pada tahun 2007 karena sepak terjangnya dianggap berpengaruh kepada orang banyak.

Bagi Wahyu, komunitas sangat penting bagi orang-orang yang bergerak di dunia animasi. Mengapa? Karena hampir semua industri animasi dijalankan dengan sistem outsourcing. Sebuah film animasi bisa dikerjakan beramai-ramai oleh animator dari berbagai negara.

Wahyu kini sedang menyiapkan sebuah film animasi dengan sistem crowdsourcing. Maksudnya, sistem yang sumber daya dan dananya berbasis pada komunitas yang disebut Wahyu sebagai crowd.

”Saya membuat ceritanya dan di-publish di internet. Crowd bisa mengomentari cerita itu atau memberi dana. Nanti saya akan mencantumkan nama pemberi dana pada film itu,” papar Wahyu.

Setelah film jadi, film itu akan ditonton dan didistribusikan oleh komunitas. Menurut Wahyu, sistem ini sudah digunakan sejumlah animator independen di seluruh dunia untuk mengurangi ketergantungan pada pemilik modal.

Kalau sistem itu berjalan, komunitas animasi mungkin bisa menggoyang hegemoni pemodal besar yang bermain di bisnis ini. (Budi Suwarna)

Thursday, July 31, 2008

Pendidikan Animasi Terbentang Luas

Source: Kompas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Siswa belajar animasi di Cybermedia College, Jakarta.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

Susi Ivvaty

Bagaimana cara bisa menjadi animator andal? Apakah setelah bersekolah siswa lantas langsung siap menggauli industri animasi yang kompetitif ini? Sejumlah lembaga pendidikan dengan cerdas menangkap peluang, menawarkan berbagai kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri.

Cybermedia College menjadi salah satu lembaga yang menjanjikan lulusan animator siap pakai, taruhlah bisa bekerja di perusahaan film atau periklanan. Lulusan tidak hanya piawai menggerakkan gambar, tetapi juga bisa bercerita. ”Keberhasilan animasi itu tergantung dari ceritanya. Kalau enggak diberi knowledge, ya jadi kosong,” kata Direktur Cybermedia College Suzanna V Mokalu.

Jadi, sekolah setingkat diploma tiga ini pun mengajarkan tujuh modul untuk empat jurusan yang dibuka, salah satunya jurusan animasi. Untuk modul pertama, misalnya, siswa harus mempelajari fundamental of art & design and color theory dan fotografi.

Cybermedia College yang didirikan pada tahun 2005 di Kelapa Gading ini mulanya akan disetarakan dengan diploma tiga sebanyak 110 sistem kredit semester (SKS). Namun, Departemen Pendidikan Nasional menolak dengan alasan harus ada mata kuliah dasar umum (MKDU) 16 SKS. ”Wah, kami ini berpacu dengan industri, maunya lulusan bisa cepat dipakai,” ujar Suzan.

Lembaga ini kemudian berafiliasi dengan universitas di luar negeri, yakni Lim Kok Wing, Malaysia, Raffles University Singapura, dan Billy Blue School of Graphic Arts Australia. Lulusan Cybermedia College dibekali sertifikat dan jika melanjutkan ke tiga universitas itu, SKS yang didapat langsung disetarakan.

Biaya pendidikan untuk dua tahun belajar di lembaga ini sekitar Rp 40 juta. ”Enggak ada lulusan lembaga kami yang nganggur. Visi kami adalah a bridge to creative industry,” tandas Suzan.

Lukman Harry (21), siswa Cybermedia College yang sedang mengerjakan tugas akhir, masuk lembaga ini lantaran murah dan memberikan kurikulum yang ia mau. ”Saya pengin jadi sutradara film animasi yang terkenal di dunia,” katanya. Ia pernah bekerja tiga bulan di Castle Production dan menggarap layout di Elex Media.

Sama seperti Cybermedia College, Digital Studio College yang dibuka pada tahun 2000 juga menawarkan program dua tahun. Yang ditampung bukan hanya lulusan SMA, melainkan juga pekerja dan mahasiswa. Untuk pekerja, waktu belajar bisa malam hari. ”Ada yang kerja di asuransi, marketing, hingga pegawai negeri,” kata Rini Suprapto, College Manager Digital Studio College.

Lembaga ini setiap tahun menerima 80 siswa untuk jurusan animasi dan desain grafis. Biaya untuk dua tahun perkuliahan adalah Rp 15 juta untuk biaya masuk dan Rp 750.000 per semester. Untuk program kursus para pekerja selama empat bulan, biayanya adalah Rp 5 juta-Rp 6 juta.

Satu lembaga yang cukup kondang, Hellomotion, bahkan sudah meluluskan 600 siswa. Lembaga ini membuka empat kelas, yakni animasi, motion graphic, digital movie, dan editing. Biaya setiap program dipatok Rp 3,8 juta, kecuali editing Rp 1,5 juta.

Siswa belajar empat kali sepekan dan setiap kelas cukup diisi 10 peserta. ”Sekarang ada tiga kelas yang masuk daftar tunggu,” kata pemilik Hellomotion Wahyu Aditya.

Prinsip-prinsip animasi

Sekolah animasi biasanya menerapkan 12 prinsip dasar animasi yang diakui dunia. Animage: Indonesia Animation College, sekolah animasi dua dimensi yang didirikan Kepala Humas Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Leila Djawas dan akan dibuka Agustus 2008 ini, pun demikian. Prinsip animasi itu antara lain stretch and squash, anticipation, slow in slow out, timing, hingga solid drawing dan appeal.

Animator yang lulus sekolah ini akan mampu mewujudkan segala macam fantasi yang ada pada dirinya dalam bentuk nyata dan hidup. ”Apa pun karakter yang Anda ciptakan dapat dibuat bergerak, berakting seolah-olah hidup sesuai dengan keinginan Anda,” ujar Leila.

Di Cybermedia College, prinsip dasar juga diberikan. Siswa belajar pula soal storyboard, membangun cerita, membuat karakter, mematung, komposisi tiga dimensi, hingga analisis film. Untuk tugas akhir, siswa membuat film animasi pendek. ”Pengetahuan soal kebudayaan dan pengetahuan umum juga kami berikan,” ujar Suzan.

Sekolah menengah

Kurikulum untuk jurusan animasi di sekolah menengah kejuruan (SMK) pun mengadopsi 12 prinsip itu. Sekolah menengah? Ya, SMK jurusan animasi memang makin banyak didirikan, bersamaan dengan terbentuknya Ainaki yang diketuai Denny A Djoenaid pada tahun 2004.

Waktu itu Depdiknas dan Departemen Perindustrian belum ngeh dengan keberadaan potensi animasi di industri kreatif. Denny lantas bertemu dengan Direktur Pendidikan Menengah dan Kejuruan Gatot Hari Priowirjanto dan bersepakat mendirikan jurusan animasi di SMK. Jurusan animasi ini awalnya dibentuk di delapan SMK, di antaranya SMKN 5 Bali, SMKN 1 Malang, dan SMKN Yogyakarta.

Sebagai persiapan pembukaan jurusan ini, guru-guru dari sekolah tersebut ikut kuliah di program D-4 Animasi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Para animator profesional di Ainaki juga melatih para guru ini.

Sekarang makin banyak jurusan animasi di SMK. Kepala Jurusan Animasi SMKN 4 Malang, Jawa Timur, Kuncoro Aji, mengatakan, jurusan animasi di SMKN 4 baru setahun lalu dibentuk. Namun, sekolah ini justru dijadikan percontohan SMK se-Indonesia.

”Kami meng-update kurikulum, sesuai dengan kebutuhan industri,” katanya. Pengetahuan dasar itu semisal menggambar orang dengan berbagai pose dengan komposisi pas.

Apakah para lulusan sekolah ini mampu menjawab tantangan di industri kreatif? Pengamat animasi Dwi Koen mengatakan belum tentu. ”Kita masih belum merambah wilayah kreativitas, masih sebatas perajin. Itu karena sulit untuk bersatu. Industri di Indonesia tumbuh secara sporadis,” katanya.

Dwi Koen mencontohkan perusahaan Amerika Serikat, Walt Disney dan Pixar, yang saat ini bisa bekerja sama. ”Dulu tak terbayangkan. Disney banyak bikin 2D, Pixar 3D. Nyatanya mereka bisa bersatu dan membuat film bagus. Kita susah untuk bisa seperti itu,” terangnya. (DHF/BSW/IND)

Wednesday, July 30, 2008

Mengubah Tukang Menjadi Macan

Source: Kompas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Aktivitas pembuatan klip video animasi di Digital Studio, Jakarta.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

DAHONO FITRIANTO

Rumah berlantai dua itu terselip di tengah Gang Sukamakmur, sebuah gang sempit di kawasan Ciputat di selatan Jakarta. Tak ada reklame atau papan nama di depan rumah bercat putih yang mulai kusam itu. Namun, di tempat itulah sebuah industri yang disebut ekonomi kreatif dijalankan selama sembilan tahun terakhir.

Sejak 1999, Andi Rusmana (39) dan tiga temannya, Johnny Rinaldi (37), Adji Sunaryo (41), dan Sukaji (39), menjalankan Mrico Animation di rumah kontrakan itu. Mereka memproduksi film-film animasi yang dijual dalam bentuk VCD.

Salah satu produknya yang cukup berhasil di pasar adalah film pendidikan anak dengan tokoh utama karakter anak kecil bernama Mrico (bahasa Jawa dari merica). ”Kami membuat film- film animasi sesuai pesanan produser di Mangga Dua. Setiap film dibeli putus seharga Rp 60 juta per episode,” kata Andi, yang populer dengan sebutan Andi Mrico.

Dengan tim beranggotakan 15 orang, Mrico Animation setiap bulan rata-rata mampu membuat satu episode film animasi berdurasi 30 menit. Selain menggarap film, mereka juga menerima pesanan animasi untuk iklan. ”Hampir semua kami kerjakan sendiri, mulai dari cerita, storyboard, gambar, sampai composing dan editing. Hanya pengisian suara dan pembuatan efek 3D (tiga dimensi) yang dikerjakan di studio lain,” ungkap Andi.

Di salah satu kamar di rumah itu yang sempit dan tanpa pendingin ruangan, Andi, Johnny, dan Adji tiap hari menggambar sendiri tokoh animasi ciptaan mereka. Dengan meja lampu (light box) sederhana, satu demi satu detail gerakan satu tokoh mereka gambar. ”Kami hanya membuat gambar-gambar kuncinya, sedangkan gambar in-between (rangkaian gambar di antara gambar kunci) dikerjakan teman- teman lain,” ungkap Johnny.

Belum inti

Begitulah industri kreatif dunia animasi dikerjakan di Indonesia. Industri berpotensi pasar triliunan rupiah ini masih dikerjakan dalam skala industri rumahan, belum dipandang serius oleh para pemilik modal.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Kris H Sulisto menyebutkan, potensi pasar industri animasi di Asia saja mencapai 3 miliar dollar AS. Dari potensi pasar sebesar itu, yang dikerjakan di Indonesia selama ini baru bernilai sekitar 10 juta dollar AS, alias belum mencapai 1 persen.

Dan, yang disebut industri animasi di Indonesia itu pun belum benar-benar menyentuh inti industrinya, yakni produksi film animasi. Ketua Ainaki Denny Djoenaid mengatakan, suatu negara baru bisa disebut memiliki industri animasi jika sedikitnya ada satu serial film animasi buatan sendiri yang diputar di stasiun televisi nasional sebanyak satu episode setiap minggu selama satu tahun penuh. ”Itu asumsi minimal untuk sebuah tokoh animasi bisa diterima pasar utamanya, yakni anak-anak,” papar Denny.

Dari sekian banyak rumah produksi animasi yang ada di Indonesia, hanya segelintir yang benar-benar memproduksi film animasi utuh. ”Sebagian besar bekerja untuk dunia periklanan dan desain arsitektur,” papar Denny yang memiliki rumah produksi Denny Animation.

Sekadar ”tukang”

Kalaupun ada perusahaan besar yang memproduksi film, itu pun tak lebih dari sekadar mengerjakan order dari perusahaan- perusahaan film di luar negeri, seperti Jepang atau Amerika. ”Konsep film mulai dari cerita, storyboard, sampai karakter sudah dikirim dari negara asalnya. Kita tinggal membuat gambar- gambar in-between-nya. Makanya Indonesia hanya dikenal sebagai negara in-betweeners. Sekadar jadi pabrik atau tukang,” kata Denny, yang menimba ilmu animasi sejak 1974.

”Pabrik-pabrik” animasi pesanan luar negeri ini memang sudah sejak lama ada di Indonesia. Pada periode 1980 hingga 1990-an ada beberapa perusahaan besar, seperti Asiana Wang Animation di Cikarang, Evergreen di Surabaya, dan Marsa Juwita Indah di Bali. Menurut Gotot Prakosa, Ketua Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), mengatakan, film-film kartun populer dari Jepang, seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Saint Seiya, dan Sailor Moon, sebagian dikerjakan oleh pabrik-pabrik itu.

Pabrik-pabrik animasi itu juga yang turut menelurkan para animator Indonesia, yang kemudian membuat rumah produksi sendiri.

”Dulu kami sering mendapat order film-film kartun Jepang, seperti Doraemon dan Pokemon,” kenang Andi Mrico, yang bersama Johnny, Adji, dan Sukaji adalah ”alumni” Marsa Juwita.

Kemampuan para animator Indonesia kini sudah tak kalah dengan animator dari luar negeri. Andi, misalnya, mengaku bisa membuat film animasi setara serial Avatar: The Last Airbender (film animasi berkualitas 25 gambar per detik) seandainya mendapat modal cukup. Bahkan, para animator tersebut sudah mampu membuat film-film animasi 3D.

Untuk kualitas standar animasi yang setara dengan film-film semacam Doraemon atau Crayon Sinchan, beberapa rumah produksi bahkan sudah mampu membuat dalam skala industri. PT Rumah Animasi Indonesia (RAIS Pictures) di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, misalnya, sejak 2003 rutin memproduksi 3-4 episode film animasi berdurasi 24 menit setiap bulan. ”Film-film itu dipasarkan dalam bentuk VCD/DVD dan sejauh ini masih diserap pasar. Bahkan film produksi pertama pun sampai sekarang masih dicetak ulang,” ungkap Setiyo Budi Leksono, Direktur RAIS Pictures.

Sulit modal

Lalu, mengapa animasi belum jadi industri seperti yang diharapkan Denny? Salah satu faktor utama adalah ketidakseimbangan antara biaya produksi dan daya beli stasiun TV di Indonesia. ”Untuk membuat satu episode film berdurasi 24-30 menit, rata-rata dibutuhkan biaya Rp 60 juta-Rp 100 juta. Sementara stasiun TV hanya mau membeli film animasi lokal dengan harga di bawah Rp 10 juta per episode. Mereka lebih memilih membeli film animasi dari luar yang harganya hanya 500-2.000 dollar AS per episode,” papar Denny.

Hambatan kedua adalah faktor permodalan. Menurut Denny, sebenarnya distributor film-film animasi, seperti Nickelodeon dan Disney, menerima film animasi dari mana pun. Akan tetapi, mereka menuntut kapasitas produksi yang tinggi sebagai syarat. ”Mereka menuntut harus ada jaminan kita mampu membuat minimal 52 episode film yang sesuai dengan standar mereka. Nah, modal untuk membuat 52 episode itulah yang tidak ada,” tuturnya.

Denny mengibaratkan, industri animasi Indonesia adalah macan tidur. Potensi yang besar, tetapi belum digarap optimal. Pertanyaannya adalah bagaimana mengubah kultur tukang menjadi kultur macan? (BSW/IVV/IND)

Thursday, July 10, 2008

Kiprah Ratu Animasi Indonesia

Dunia animasi belakangan makin marak saja. Tengoklah toko-toko buku yang makin rajin mendisplai komik-komik animasi, ataupun tayangan televisi yang menghadirkan film-film jenis ini–kebanyakan hasil karya animasi luar negeri. Namun, harus diakui, dunia animasi di Tanah Air belum berkembang menjadi sebuah industri, berbeda dari kondisi di Jepang, Korea atau Malaysia. Padahal, banyak orang meyakini, dari segi kualitas, karya para animator lokal tak kalah bagus dibandingkan karya animator asing.

Keyakinan seperti itu setidaknya dipegang oleh Peni Cameron, yang kemudian rela berjibaku mengembangkan pasar animasi lokal. “Sejak kecil saya menyukai film animasi,” kata penggemar film animasi Mulan ini.

Kecintaan wanita kelahiran Surabaya, 13 September 1966, ini pada dunia animasi direalisasi dengan mendirikan PT Adianimas Cipta pada 1996. Maklum, saat itu pasar animasi mulai menggeliat, ditandai oleh bermunculannya perusahaan-perusahaan pembuat animasi. Salah satunya, Asiana Wang, yang sempat mempekerjakan lebih dari 300 animator. Sayangnya, eksistensi perusahaan animasi yang dirintisnya itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan badai krismon, pada penghujung 1998 Adianimas pun mesti gulung tikar.

Toh, semangat lulusan Arsitektur Institut Teknologi Indonesia ini tidak surut. Bersama 12 koleganya yang memiliki minat sama terhadap dunia animasi, Peni membentuk Asosiasi Industri Animasi & Konten Indonesia pada 2004. Peni duduk sebagai sekretaris jenderal. Agenda kerja dan kegiatan pun dirumuskan. Namun, dalam perjalanannya, tidak semudah yang dibayangkan. “Kami baru sadar, organisasi ini tidak bisa bergerak karena tidak punya dana. Industrinya kan belum tumbuh,” Peni menjelaskan.

Pada Juni 2006 Peni membentuk PT Citra Andra Media (CAM), dengan positioning sebagai inkubator industri konten. Fungsinya adalah mengemas, memasarkan, serta menjual produk animasi dan konten. CAM juga akan mengadakan pendidikan dan pelatihan buat para animator. “Idealisme kami, CAM bisa berperan serta dalam pengembangan dan penggerakan roda industri dan pendidikan animasi di Indonesia,” ujar Peni bersemangat. �”animator, rumah-rumah produksi, dan lembaga pendidikan animasi untuk memasarkan hasil karya animasi dan kontennya dengan kemasan yang memiliki daya saing kuat,” imbuh Hanitianto Joedo, Direktur Pengelola CAM.

Rencananya, CAM akan menggelar festival animasi terbesar di Indonesia. Namun, karena terkendala dana, Peni memutar haluan dengan menggelar road show di 12 kota, yakni di Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Makassar dan Jayapura. Tujuannya, memperkenalkan dunia animasi dan peluang pengembangannya.

Dari kegiatan tersebut, ibu tiga anak yang gemar nonton dan traveling ini mengaku bisa bekerja sama dengan berbagai lembaga dan korporasi. Antara lain, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, sejumlah sekolah menengah kejuruan, kalangan perusahaan (Telkom, Nokia, Bank Mandiri, dan sebagainya), serta sejumlah stasiun TV lokal. Dengan SMK 5 Yogyakarta, SMK 14 Bandung dan SMK Malang, misalnya, CAM bekerja sama menyelenggarakan mata ajaran animasi dan konten.

Tak cukup di situ, Peni juga menggelar berbagai event. Di antaranya, CAM Award, Indonesia Creative Idol, serta aktivitas pemasaran ke kalangan korporat dan media. Tak ketinggalan, CAM pun mengikuti berbagai pameran animasi di luar negeri.

Rupanya, upaya Sekretaris Komisi Badan Pertimbangan Film Nasional ini berbuah hasil. Dengan didukung 15 karyawan, kini CAM telah menjadi inkubator bagi para animator dan studio animasi. Saat ini ada lima lembaga animasi yang bersedia mengikat kerja sama dengan CAM, antara lain Kojo Animal Bandung, SMK 5 dan KDEPP Malang. Bahkan, dengan KDEPP telah dibuat kontrak hingga 195 episode, dengan pembagian keuntungan 60 (untuk CAM) : 40. Menurut Peni, masih banyak studio animasi yang bisa diajak bergabung. Saat ini di Indonesia diperkirakan ada 100-150 studio animasi.

Untuk pemasarannya, CAM telah menggandeng 25 stasiun TV lokal–di Tanah Air, total ada 70 stasiun TV lokal. Beberapa judul film animasi yang dipasarkan CAM — misalnya Kuci, Lihat Animasiku dan Catatan Dian — sedang diputar di beberapa TV lokal. “Target kami, dalam satu hari ada satu film animasi yang disiarkan TV lokal,” Peni menandaskan. Untuk mencapai target tersebut, imbuh Joedo, dalam setahun CAM perlu menyediakan 32 serial, dengan durasi 24 menit (satu serial = 13 episode).

Sepak terjang Peni juga mendapat apresiasi dari pihak lain. Pada Oktober 2007, Departemen Komunikasi dan Informatika RI menganugerahkan penghargaan pada CAM dalam ajang Indonesia ICT Award 2007. Bahkan, CAM dipercaya mewakili Indonesia pada ajang serupa di tingkat Asia Pasifik. Menurut Joedo, CAM bisa berhasil memenangi penghargaan tersebut karena model bisnis yang ditawarkannya, yang disebut Animart. Dalam model bisnis ini, CAM berperan selaku mediator antara animator, studio animasi dan TV lokal. “Mereka yang membuat, kami yang mencarikan pasarnya,” ujar Peni, seraya mengaku akan bahagia bila industri animasi bisa berkembang pesat di Tanah Air.

(SWA, No. 08/XXIV/17-29 April 2008)
Zemanta Pixie

Monday, June 02, 2008

Asian markets on a roll for licensed goods

Source: HKTDC Website

17 Jul 2007
report from Licensing 2007 International, New York
Photo
Asian opportunities from Viz Media.

Asia, with South America, provides the fastest growing opportunities for licensed goods sales, according to buyers and licensors attending the Licensing 2007 International show held over three days at the Javits Center in New York.

Properties and preferences in Asia vary widely, while licensing has become increasingly developed throughout the region. Established, trusted brands still seem to carry the day, although new Asian properties, including those from the Chinese mainland and Hong Kong carry increasing influence.

"There seems to be a marked increase in interest in long-term, perennial properties," said Gail Mitchell, vice president of HPG, Hasbro's licensing arm for the Asia Pacific.

"We have experienced increased interest in companies wanting to represent our brands as agents," Mitchell said. "Perhaps most importantly, we have just employed a business development manager who will be based in Hong Kong and will be responsible for building comprehensive merchandise ranges and securing high-profile promotional properties in Asia."

Photo
Hasbro Transformer laptop.

Hasbro's Transformers, already a major brand globally, is seeing still more action coming off the live-action DreamWorks/Paramount movie. More than 230 deals in over 70 countries cross every category, the company reported.

My Little Pony, Littlest Pet Shop, Tonka, and The Game of Life are other long-term Hasbro properties with appeal in Asia.

As for Monopoly - "our crown jewel," Mitchell called it: "we've been working with licensees on apparel promotions, a collectible gift line for adults, in food and beverage promotions, and in digital gaming, to name just a few."

Licensing activity is strong in Japan, which has a mature licensing market that is something of a trendsetter for Asia. Taiwan and South Korea had large pavilions at the show.

Photo
Long-term appeal in Asia.
Photo
Littlest Pet Shop ArtsNCrafts.

The Chinese mainland, Hong Kong and India have less-developed licensing markets, but are growing them rapidly, buyers said. Disney, MTV, Nickleodeon, and the Cartoon Network are in the Indian market, as they are in China.

New York-based licensing organisation, International Licensing Industry Merchandisers' Association (LIMA), has some 60 members under its China affiliate, starting from zero just a few years ago, said Sherry Rao, managing director. Entertainment, sports, art, corporate brands, food and local Chinese celebrities all have strong potential. It's important to invest in the brand, Rao said.

Photo
Tonka 12 Bike.

"Licensing is definitely growing in India," said Rajesh Rodriguez, general manager of Toonz Animation and an attendee from India. "It's not huge, but there is potential."

Toonz represents several Asian properties on the subcontinent, including Indian folklore characters Tenali and the monkey god, Hanuman. The company has nearly completed arrangements to represent consumer products for a large American license.

"We're looking to represent properties in India," Rodriguez said. "You need to start the licensing programme when the programmes are on the air."

Anime, manga, Hong Kong originals and Mainland favourites

"Anime and manga are becoming more mainstream in the US and abroad," said Jane Lui, public relations manager for Viz Media, master licensor for these properties. The category is growing fast in bookstores.

Photo
Manga from Viz Media: "in the mainstream".
Photo
Naruto anime series.

Viz Media's Naruto anime series, from Japan, tops weekly sales, Lui said. Retail tie-ins for Naruto and other Viz-managed properties include T-shirts and DVDs.

Hong Kong-based Intelli-Media Group has developed a strong market on the Chinese mainland for its original cartoons and animations. "We're here discussing opportunities for the US and other markets," said licensing director, Shelley Leung.

The company has 500 episodes of its "Pleasant Goat and the Big Bad Wolf" ready to go, along with a merchandise line that includes apparel, comics, plush, backpacks, candies, stationary, and kids' furniture. The appeal is to both boys and girls.

"Asia is a very diverse market," said Bianca Lee, Warner Bros Consumer Properties managing director for China, Southeast Asia and India. "The industry is growing, and the number of players in the market is increasing tremendously."

Photo
Highlight at the show: Space Chimps.*
Photo
Licensing promotion for The Dark Knight.*

"We're starting to see some Chinese [mainland] local properties emerging, but the major interest is in Western and Korean brands, said Lee.

Warner's Tom and Jerry cartoons are a major property in China and India. Looney Tunes and DC Comics are also popular in the traditional categories.

Retail is a key strategy. In products, Lee said: "the biggest category for us is apparel and then fashion accessories and toys. We tie up with as many strong retailers as we can in every market we're in."

In apparel, Warner licensees are building their own retail programmes, often with consignment areas in department stores.

"[On the Chinese mainland], licensing is emerging so fast that it's hard to keep up with developments," said Ciaran Coyle, managing director at New York's The Beanstalk Group.

The 2008 Beijing Olympics will be a significant publicity opportunity for Chinese brands, said Coyle.

Land Rover is an emerging brand on the Mainland. There was a freestanding store selling diecast cars and other merchandise, and products will eventually be in car dealerships.

The major diecast manufacturers are in Hong Kong, Coyle noted.

Footwear and apparel are other categories, with health and beauty a possibility.

Photo
Footwear from Transformers.
Photo
T-shirts for all occasions.

"China has a huge appetite for brands, especially high-end luxury brands," Coyle said. There is particular interest in British brands.

"Asia-Pacific and Latin America are two key markets we're looking to grow," said Lynne-Mei Lee, head of publicity for FremantleMedia. The Idols format is a major focus for the company, which owns rights for and handles American Idol, along with a wide range of other entertainment properties.

Larger show with bigger international element

More broadly, the US$180 billion global licensing industry is poised for more growth as it expands its international reach, buyers said at the Licensing 2007 International show ending 21st June.

"International" was the right word as 525 exhibitors from 19 countries showed more than 6,000 properties. In addition to the US and Europe, exhibitors came from the Middle East and the Asia Pacific.

Photo
In the mood: licensing show expands.*
Photo
Entertainment and character licensing dominant.*

The 23,000-plus attendees were from 82 countries.

US licensing royalties were US$6 billion in 2006, up 1.5% over 2005, according to LIMA.

Entertainment/Character licensing is the dominant category, holding 44% of the market. It grew by 2%, with an increase of US$54 million to US$2.6 billion. Trademarks/Brands (18% share) and fashion and sports (14% each) are the next biggest.

Photo
Toy and bag option on display.

Apparel (17% revenue share), and toys and games (15%) top the product category. Royalties tend to be in the 8% to 12% range for apparel and 5% to 12% for toys and games. Home decor had an 11% revenue share.

Brands ranged from newer, less familiar, and smaller properties to giant global names including the major toy companies and movie studios.

Classic brands and older names are a key focus as trademark licensing becomes more important. Names ranged from foods and household cleaning products to favourite toys, characters from literature, and old movie classics and stars.

Reflecting current issues, licensing is moving into environmental causes and health concerns. In property types, revenues for non-profits (museums and charitable organisations) grew by 4.8%.

Major deals at the show

Major deals announced at the show reflected geographic and property growth and Asia's role in that growth.

Photo
Speed Racer a new licence.
Photo
The Dark Knight film spin off.
  • Photo
    Harry Potter movie deal.
    Warner Bros Consumer Products named Mattel as global toy licensee for the anime-inspired Speed Racer, and for the new Batman film, The Dark Knight.
  • Current movie property deals included video game releases for Warner's new Harry Potter movie and for the Disney/Pixar Ratatouille.
  • Paramount's "Reel Rides" is a direct-to-retail program developed for Wal-Mart, with Malibu Toys supplying limited edition die-cast vehicles from films.
  • Brand extensions for the Hollywood Walk of Fame, handled by Global Icons, and for MGM and its lion, handled by Brand Sense Partners.
  • Viz Media named Bandai America as toy licensee for its new anime series Blue Dragon, based on the Xbox game.
  • The Beanstalk Group and the World Wildlife Fund will center their efforts on furthering the conservation group's programs in sustainability and green living.
  • McDonald's teamed with DreamWorks Animation on a Shrek 3 promotion to encourage kids to make healthy eating choices like salads and white meat chicken.
Photo
Monopoly in with McDonald's.

Licensing executives, including those from movie studios, commented that familiar names and established brands have more long-term staying power than most current "hot" movie properties.

"Movies have peaks and valleys," said US-based Global Icons CEO Jeff Lotman. Familiar names have "dependability and reliability," he said.

Mobility and digital portals are the future. "The next wave of the Internet will be on your phone," Lotman said. Global Icons' Hollywood Walk of Fame launches through a digital portal. "It's an icon that contains the entire industry," he said.

Global Icons signed Honda just before the show, and will be handling motorcycles, Honda cars, and Acura. Lifestyle products will be a good fit, Lotman said.

Asia's tie-ins

American Idol's portfolio includes over 40 licensees in apparel, role-play, toys and games, food, and other categories. "We're looking for ways for people to interact with the brand," said Lee of FremantleMedia. "We look at each brand on an individual basis, for logical brand extensions."

Vietnam Idol tie-ins include board and electronic games, and musical instruments.

Asia will be a major focus for MGM and its lion, to be managed by Brand Sense in a partnership announced at the show. "It's a high-end lifestyle play on the MGM brand itself," said Brand Sense business development director, Austin Katz.

Product plans include fragrances, furniture inspired by old MGM movies, and apparel. Quality and luxury will be central as Brand Sense talks with potential suppliers.

Photo
Cultural mingling: Transformers as sunglasses.

"It's wonderful to see your property translate to another culture," said Anthony Kosiewska, director of international licensing for the educational company Scholastic Media, a relatively new player internationally. Part of that is recognising the different appeal brands can have in different markets.

Scholastic's Clifford the Big Red Dog, mainly a pre-school property in the US, reaches across age groups in other countries. "It's a way of adapting to other cultures," Kosiewska said.

Scholastic has been working with Mindworks and with Japanese licensee Densu to create Clifford products targeting teens and young adults in Japan. There are 12 licenses already in Japan, covering apparel, change purses, bedding and curtains, and novelty plush.

Clifford has been the "spokesdog" for the Tokyo metro, using his reputation for cooperative, sharing behaviour to encourage safety on the trains. Plans call for going into China.

from special correspondent Lisa Harbatkin, New York

(*Images by Cory Doviak)

Contact:
Company
Tel/Web

The Beanstalk Group

Tel: (1) 212-303-1122 (US),
(44) 20-7030-7979 (UK)
Web: http://www.beanstalk.com

Brand Sense Partners, LLC

Tel: (1) 310-867-7322
Web: http://www.bsp.com

FremantleMedia Tel: (44) 7691-6782
Web: http://www.fremantlemedia.com
Global Icons

Tel: (1) 310-820-5300
Web: http://www.globalicons.com

Hasbro Properties Group Tel: (1) 401-727-5634
Web: http://www.hasbro.com
Intell-Media Group (Holdings) Limited Tel: (852) 3426-9898
Web: http://www.intelli-mgh.com
Scholastic Media Tel: (1) 212-343-6849
Web: http://www.scholastic.com
Toonz Animation Tel: (91) 471-2700954
Web: http://www.toonzanimationindia.com
Viz Media, LLC Tel: (1) 415-546-7073
Warner Bros (FE) Inc Tel: (852) 3128-1898
Warner Bros Consumer Products

Tel: (1) 818-954-7980
Web: http://www.warnerbros.com


Saturday, May 10, 2008

DSCollege Student Showreel (Design|Animation|Filmmaking)



DS College student Exhibition Opening


Design student portfolio showcase


Animation student portfolio showcase


Filmmaking student portfolio showcase


Event video coverage

Tuesday, April 22, 2008

Animation & Content Industry in Indonesia



This is my presentation on WIPO International Seminar on Strategic Use of Intellectual Property for Economic and Social Development that is held in Denpasar, April 21 to 25.

The heated discussion is when the Head of BPOM mentioned that IP wasn't needed for jamu or traditional herbal medicine. And therefore generate a discussion on how to protect dance, textile design and other folklore.

My practical notes to the government and all the delegation from 30 countries is that IP education start with something simple, like explaining about the difference and application of trademark, copyright and patent.

I also suggest to adopt Creative Common as future generation content will be available and distributed on the net.

Visit their website to understand about Creative Common.

And see this presentation by Larry Lessig on TED.com




No expert has brought as much fresh thinking to the field of contemporary copyright law as has Lawrence Lessig. A Stanford professor and founder of the school’s Center for Internet and Society, this fiery believer foresaw the response a threatened content industry would have to digital technology -- and he came to the aid of the citizenry.

As corporate interests have sought to rein in the forces of Napster and YouTube, Lessig has fought back with argument -- take his recent appearance before the U.S. Supreme Court, fighting the extension of copyright protection from 50 to 70 years -- and with solutions: He chairs Creative Commons, a nuanced, free licensing scheme for individual creators.

Lessig possesses a rare combination of lawerly exactitude and impassioned love of the creative impulse. Applying both with equal dedication, he has become a true hero to artists, authors, scientists, coders and opiners everywhere.

Saturday, April 19, 2008

Lucasfilm coming to Jakarta



Lucasfilm Animation Singapore is a fully-integrated Digital Animation Studio designed to produce digital animated content for Films, Television and Games for global audiences.

Together with Industrial Light and Magic (ILM) based in San Francisco, California they are currently working on blockbuster feature films for worldwide release. The studio is currently comprised of over 200 fulltime staff representing over 45 nationalities.

Lucasfilm is coming to Jakarta on Thursday, 24th April 2008 to present "Bringing Creatures to Life: ILM's Production Process" from 3 pm to 6.3 pm. For free admission, please register at www.lasjedi.com/events.

You can also come for a networking opportunity with Lucasfilm team at Plaza eX, Center Lobby on Friday, 25th April 2008 7 - 9 pm as part of Cre8ive Force Exhibition organized by Digital Studio College – School of Visual Communication.

Saturday, April 12, 2008

Virtual Holographic Gorillaz & Madonna

Source: Musion Eyeliner website



Musion Eyeliner System was the holographic projection technology behind the 3D animation of the popular animated band Gorillaz, who performed 'live' at the Grammy Awards 2006. What's even more surprising is that the Eyeliner System also re-created a virtual Madonna, who performed her hit single Hung up on the same 3D stage.

Both the live and TV audiences who watched the performance had no clue that what they were watching at least in the first few minutes of Madonna's performance was just virtual reality.

The Grammys performance was a variation on the MTV Europe Music Awards in Lisbon, with the added attraction of a virtual superstar. Yes, that's right. The Madonna you saw on stage with Gorillaz at the Grammys was a virtual as her cartoon counterparts. However, the rappers from De La Soul who came onstage were, in fact, the real deal.

The Eyeliner System produces images of high resolution and quality that make them unmistakably real, which is what happened when Madonna performed the opening number at the Grammy Awards.