Sunday, August 18, 2002

AFX Conference Report

Meskipun diselenggarakan dengan waktu yang sangat pendek (3 minggu sejak pengumuman hingga pengumpulan karya), ternyata kompetisi animasi pada Animation & Visual Effects Conference bisa mengumpulkan karya 106 (yg sesuai kualifikasi). Di luar ini masih cukup banyak karya yg tidak dimasukkan akibat deadline terlambat, tidak jelas kategorinya, CD tidak bisa dibuka, nama & informasi yang hilang, dll. Bahkan selain entry dari Indonesia, ada juga kiriman dari Brunei, Malaysia dan USA, semuanya oleh orang Indonesia yang sedang berada di luar negeri. Dari sisi kualitas, para juri cukup impress dengan hasilnya. Sangat banyak karya-karya animasi yang luar biasa.

Pada tahun 2002 ini, hanya dikompetisikan 4 kategori: Character Modeling, Visualization, Motion Graphic & Short Animation. Agar ajang ini bisa dimanfaatkan sebagai barometer perkembangan animasi, ada baiknya acara ini bisa melibatkan lebih banyak lagi rekan-rekan dari berbagai bidang & latar belakang untuk memberikan masukan mengenai kategori, penyelenggaraan, syarat-syarat, dan berbagai masukan lain. Dari sisi kepanitiaan yang baru dilakukan pertama kalinya oleh Digital Studio & Animator Forum, kita masih melihat sangat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kita juga mengundang rekan-rekan lain untuk bisa terlibat yg pada akhirnya akan membuat acara ini menjadi milik bersama.

Masih cukup banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh kepanitiaan kali ini seperti:
  • Apakah perlu dipisahkan entry dari kalangan pelajar dan kalangan profesional?
  • Berapa jumlah juri yg ideal untuk masing-masing kategori?
  • Apakah perlu diadakan People Choice Award atau karya favorit oleh publik?
  • Apakah para juri boleh mengikutkan karyanya?
  • Faktor penilaian apa saja yang menjadi parameter penilaian? Bagus/tidak bagus?
  • Suka/tidak suka? Sulit/tidak sulit?
  • Bagaimana dengan animasi yang dibuat untuk iklan, masuk kategori apa? Animasi/visual effects?
  • Apakah animasi dalam bentuk Flash perlu dipisahkan menjadi satu kategori atau kategori Interactive/Web Animation?
  • Bagaimana dengan animasi yang dibuat untuk video klip? Masuk kategori apa? Atau perlu kategori tersendiri?
  • Bagaimana dengan animasi Classical/2D, perlu kategori tersendiri?
  • Bagaimana dengan animasi untuk film/TV, perlu kategori tersendiri?
  • Berapa banyak entry yang boleh dikirimkan oleh satu orang? Apakah satu karya boleh dimasukkan ke lebih dari satu kategori?
  • Apakah perlu diadakan lomba bulanan/2 bulanan untuk kemudian baru dipilih karya terbaik dalam 1 tahun?
  • Apakah perlu penghargaan khusus untuk Live Achievement Award? untuk kategori Wanita (karya wanita masih sangat jarang :)
Pertanyaan ini kita lontarkan ke beberapa milis dengan harapan rekan-rekan dari berbagai bidang & disiplin ilmu bisa ikut memberikan masukan dari perspektif masing-masing.

Dari fakta yg kita dapatkan tahun ini, dari kalangan akademis & praktisi mampu berkompetisi secara head to head, yang menang ada yang menggunakan 3D, ada pula yg 2D, di sisi visualisasi ada yang still, ada pula yang animasi, di sisi motion graphic, ada Flash, 3D, 2D, gabungan editing, compositing & live action.

Kita tunggu masukan dan volunteer untuk kepanitiaan di tahun depan.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Saturday, August 17, 2002

Pemenang AFX

Kawan-kawan semua,
Animation & Visual FX Conference, hasil kerjasama Animator Forum dan Digital Studio telah berakhir kemarin malam, ditutup dengan Pembacaan Pemenang AFX Competition.

Berikut ini adalah para pemenang berdasarkan kategorinya.

1. SHORT ANIMATION
  • Jaka Setiawan - Bandung "2 Media" - pemenang
  • Medi Gurmarizal - Bandung "Jajangkungan" - runner-up

2. CHARACTER MODELLING
  • Lukas Gunawan Budi Sutjipto - Yogya "Fantasy Beast" - pemenang
  • Delly Sartika - Blitar "Alfa" - runner-up

3. VISUALIZATION
  • Eric Law - Jakarta "Molis" - pemenang
  • Ivan Ibrahim - Jakarta "Sorong Airport Project" - runner-up

4. Motion Graphics
  • Rully Rochadi - Jakarta "LA TEVE" - pemenang
  • Feddy - Jakarta "Lesbianisme" - runner-up

Selamat untuk para pemenang - kami sangat menghargai karya anda dan semoga semua peserta akan dapat kembali mengikuti kompetisi ini di tahun depan. Harapan kami, Panitia AFX adalah dapat mengadakan kompetisi ini lebih baik dan lebih besar lagi. Juga berharap jumlah entry akan meningkat lebih banyak lagi.

Pada pertemuan AF di masing-2 kota, para pemenang diharapkan akan dapat mengadakan presentasi atas proses pembuatan karyanya untuk membagikan pengalaman di komunitas, karena kita memiliki pemenang-2 dari masing-masing daerah.


Thanks & regards,

Arianto Bigman
Animator Forum

Monday, August 12, 2002

Kuliah Motion Graphic - lanjutan

Q: O iye mo tanya jg neh...masih motion grafis seh : Gimana Animasi di Indonesia utk praktek di dunia nyata? Udah kepake maksimal apa? Soalnya kan gak mungkin sekolah di digitstudz ambil animasi kerjanya di pixar...

A: Dari hasil kompetisi animasi AFX Competition ternyata 50% adalah motion graphic, ada kiriman dari televisi, animation house, post production house, individual desainer, dll. Karya yang saya evaluasi hari ini bersama para juri mendekati 70 karya motion graphic. Banyak yg sudah tayang atau commercial project, berarti marketnya BESAR BANGET! Dari analisa saya,
mayoritas yg terjun ke dunia motion graphic ini punya latar belakang graphic design, bukan latar belakang animasi. Dari yg saya kenal secara personal, karya mereka makin maju setelah mereka terjun di lapangan.

Jadi saran saya, belajar deh segera, karena ini TV yg aktif belum semua menggali potensi ini atau market yg lain juga terbuka lebar seperti multimedia, company profile, dll masih SANGAT BESAR.

Untuk motion graphic outputnya bisa ke web/multimedia dan broadcast. Mempelajari motion graphic ini kesulitannya adalah berpikir tidak dalam media 2 dimensi, tetapi 4 dimensi (plus space & time). Selain software Flash, Premiere, After Effects, 3D Studio Max, kita masih perlu lagi belajar ilustration, sound, timing, dll.

Jangan lupa juga, salah satu motion graphic designer TransTV Wahyu Aditya akan membawakan materi ini di seminar Animation & Visual Effects Conference. Karya yg ia bawakan adalah Bayangkanlah, gabungan ilustrasi 2D & motion graphic untuk video klipnya Padi. Jadi kalo emang serius terjun, ikutan seminarnya!

Catatan soal kerja di Pixar. Yg bikin Anda diterima di Pixar bukan sekolah di Digital Studio atau di tempat lain. Yg bikin Anda diterima adalah PORTFOLIO ANDA! Lagipula Pixar nggak bikin motion graphic, Pixar bikin feature film animasi, ini bedanya jauuuuhhh banget.

Andi S. Boediman
Digital Studio

Tipografi penting nggak?

Q: Gua mau tau dari para profesional disini sepenting apakah pertimbangan tipografi dalam kerja "real-life" proses desain grafis (alias bukan cerita kosong dari text-book)?

A: Pemahaman tentang tipografi adalah NAFAS dari seorang desainer. Dari studi saya selama bertahun-tahun mengamati desainer yang 'sense'nya kuat, saya dapati bahwa belajar tipografi merupakan kuncinya. Secara visual orang Indonesia sangat kuat bakatnya, tetapi begitu menginjak ke graphic design, ini malah terbawa untuk menciptakan gambar yang cenderung 'collage'. Fungsi kalengan dari Photoshop seperti drop shadow, glow, page curl, lens flare
muncul dimana-mana.

Graphic design yg berkembang di Amrik sangat kuat pengaruh tipografinya. Berbeda dengan Eropa Timur yg sangat kuat visualnya.

Saran saya, untuk menjadi desainer yg baik, KONSENTRASI PADA TIPOGRAFI.

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Sunday, August 11, 2002

Kuliah Motion Graphic

posted at Designcampur mailing list

Program D1-D4 (diberi nama College/Akademi) model pembelajaran diarahkan ke bentuk praktis sehingga ini sangat sesuai untuk mereka yg ingin terjun sebagai praktisi. Contoh sederhananya, kebanyakan sekolah di Amrik untuk GD yg terbaik berbentuk College (Art Center College of Design, Academy of Art College, dll).

Program S1 (diberi nama Universitas) ditargetkan agar orang yg belajar di situ akan keluar sebagai seorang akademisi/teoritisi yg outputnya lebih ke arah pengajaran, membuat buku, dll.

Program pendek 1-2 tahun mengarahkan outputnya lebih ke arah junior desainer/desainer. Sedang program panjang 3-4 th mempersiapkan output siswanya ke pembentukan 'pola pikir' sehingga mereka cocok untuk menjadi 'leader', pada pekerjaan mereka setara dengan 'art director'.

Sayangnya di Indonesia, model pendidikan ini kacau balau dan nggak jelas. S1 di Indonesia membuang hampir separo waktunya untuk mempelajari hal-hal yg tidak digunakan di lapangan (Pancasila, IBD, ISD, dll). Bahkan yg akan berguna di lapangan seperti pelajaran Sejarah pun diberikan dengan sangat menyebalkan dan siswa disuruh menghafalkan hingga saat lulus ilmu ini sama sekali tidak berguna, dan kalo nggak salah ini diberikan hingga 8 semester.

Problemnya, saat mereka lulus dan mau bekerja, banyak hal-hal yg tidak dikuasai secara praktis, sehingga hampir tidak mungkin untuk mempekerjakan lulusan S1 langsung setara dengan 'art director'.

Kurikulum Digital Studio dirancang untuk menjawab kebutuhan tenaga praktis di Indonesia. Oleh karena itu, setiap tahun kita selalu berdiskusi dengan pelaku industri untuk menentukan perbaikan dan upgrade dari perkembangan ilmu dan teknologi yg digunakan di lapangan. Program D1 di Digital Studio diharapkan outputnya adalah 'graphic designer', bukan 'art director'. Jadi ini perlu dipahami dengan jelas. Kita sekarang sedang mempersiapkan konsep studi yg lebih panjang (3-4 th) dan di situ target dari output adalah kemampuan untuk menjadi art director, sehingga selain kemampuan teknis, juga dipersiapkan kemampuan teamwork, leadership, entrepreneurship, dll.

Jika Anda bertanya apakah Anda bakal kalah/obsolete? Jawabannya adalah IYA! Karena sekolah HANYA mampu memberikan ilmu yg sekarang ada, bukan yg bakal ada 3-5 tahun mendatang. Saat ini dari analisa saya, makin lama kita makin cepat menjadi obsolete. Jika Anda tidak memiliki sikap yg terus belajar, maka nggak peduli S1, S2, juga tetap aja bakal ketinggalan dengan anak SMA. Ini sudah saya saksikan di lapangan. Editor/compositor terbaik di Jkt ada yg lulusan SMA dan ditambahkan ikutan workshop singkat aja bisa menghasilkan gaji 10 jt/bln. Bahkan yg S2/S3 pun nggak ada yg menang.

Q: Sebuah design/karya yang baik harus memiliki sebuah konsep yang kuat juga... Konsep yang kuat itu bukan hanya dapat dimengerti oleh si pembuatnya doang, tapi juga harus dapat langsung ditangkap oleh audience yang bakal kita tuju.

A: Good point! Ini faktanya, di masa belajar awal, mayoritas orang belajar jika 'fun'. Dalam hal ini adalah desain yang bebas bereksplorasi tanpa beban apakah bisa dioutput, target market, dll. Pokoknya yg penting keren dan bagus. Mental ini perlu dibentuk sejak awal agar siswa memiliki keberanian bereksplorasi (ingat saat kita kecil selalu penuh dengan fantasi). Kemudian semasa studi, perlahan-lahan sikap tersebut diarahkan untuk menghasilkan karya yg bertanggung jawab, apakah sesuai dengan kebutuhan klien, target komunikasi, bisa diproduksi, biaya masuk, dll. Jadi kedua hal tsb seharusnya built-in di dalam kurikulum. Di Digital Studio, kita membuat setiap kuartal dari pelajaran dengan model ini. Di kuartal I, siswa bebas bereksplorasi dan beranjak ke kuartal III dibuat makin bertanggung jawab.

Q: Nah, pada kuliah D1 kebanyakan hanya mengajarkan pada segi teknis dalam berkarya/membuat sebuah design. Nggak kayak di S1, dimana mahasiswa selain dituntut
buat bisa berkarya secara teknis juga ditekankan pada konsep karya yang akan mereka buat.

A: Dengan durasi studi 4 th memang ini output yg diharapkan. Sebagai art director, ia harus mampu mengarahkan dan bertanggung jawab thp proyek secara keseluruhan. Apakah ini hanya bisa dipelajari di sekolah dan nggak bisa dipelajari di lapangan? Bisa saja, tergantung apakah orang tersebut mau maju dan menggali.

Q: Kuliah S1 itu juga nggak cuma belajar tentang bikin design dan konsep aja, tapi juga cara memandang pasar atau sasaran yang akan kita tuju, strategi periklanan, manajemen periklanan, copywriting, audio visual, masih buanyaaaaaakkkk dehhhhh....

Di Indonesia yang namanya Studi Komunikasi Visual sebenarnya terlalu luas untuk dipelajari. Yg ada adalah a little bit about everything dan begitu sampai ke eksekusi, masih terlalu banyak bolongnya. Komunikasi Visual seharusnya adalah Fakultas, bukan Jurusan. Masalah mana yg lebih tepat untuk setiap orang, menurut saya nggak sama. Ada orang yg tertarik belajar secara generalis dan tahu secara umum nggak perlu detailnya. Ada pula yang ingin belajar secara mendetail di bidang yg ingin diterjuni.

Semoga membantu.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Thursday, August 08, 2002

Review: Flash 5 Cartooning

Rincian Buku

Judul: Flash 5 Cartooning: Planning, Drawing and Animating Your Won Cartoons.
Pengarang: Mark Clarkson
Penerbit: Hungry Minds, Inc.
Tebal: 231 halaman, full color

Mengapa Yogi Bear menggunakan dasi? Berapa gambar yang dibutuhkan untuk membuat walk cycle? Bagaimana menyelaraskan suara dan ekspresi mulut? Ini adalah jenis-jenis pertanyaan yang akan terjawab di dalam buku ini. Tidak seperti buku-buku Flash lainnya, di dalam buku ini pemahaman artistik dan teknis membuat animasi dibahas sedalam pembahasan teknis penggunaan software Flash sebagai perangkat pembuat animasi.

Flash sendiri dimulai sebagai software untuk membuat animasi cel (baca: kartun) bernama Future Splash. Dengan perangkat ini, dimungkinkan untuk membuat animasi dengan ukuran kecil untuk didistribusikan melalui Internet. Macromedia melihat potensi perangkat ini dan mengakuisisinya. Dengan kemampuan Macromedia di bidang multimedia, Flash kini dikembangkan menjadi perangkat multimedia interaktif, khususnya dengan fungsi action scripting.

Dalam buku dibahas bagaimana kita perlu menonton dan mempelajari animasi kartun sebelum mulai membuatnya. Dengan tool yang memang didesain untuk para kartunis, Flash memudahkan proses sketsa, penggambaran ulang dan pewarnaan. Dilanjutkan dengan pembahasan pembuatan skrip dan storyboad, diskusi melaju pada penggunaan library yang menyimpan objek-objek yang bisa didaur ulang agar file bisa tetap kecil. Di sini dimungkinkan membuat animasi yang sederhana seperti karya Hanna Barbera dengan membagi karakter menjadi objek-objek yang bisa dianimasikan secara parsial.

Setelah belajar merekam suara, pembahasan berlanjut pada teknik keyframing dan tweening yang berguna untuk membuat animatics (storyboard yang bergerak). Melalui pemahaman walk cycle dan facial animation, kita diajarkan menggunakan teknik sinematografi untuk membuat tampilan kamera yang lebih menarik.

Sesuai judulnya, buku ini berorientasi bagi para artis yang ingin menggunakan Flash sebagai perangkat membuat animasi. ActionScript hanya dibahas sedikit sesuai relevansinya di dalam membuat animasi yang interaktif. Di bagian akhir, diskusi dikonsentrasikan pada pembuatan movie dan distribusi animasi melalui Internet.

Secara umum, buku ini adalah buku kartun yang menggunakan Flash sebagai perangkat dan sesuai untuk mereka yang ingin serius membuat animasi kartun dan mendistribusikannya melalui Internet.

Wawancara Digital Studio

Interview oleh Steven Haryanto (MWMag)


Digital Studio adalah merek yang terjabarkan dalam beberapa bidang usaha: kursus singkat (Digital Studio Workshop), kursus/sekolah 1 tahun (Digital Studio College, Yayasan), dan firma desain (Digital Studio Design, PT). Kantor utama workshop ada di daerah Cideng Jakarta Pusat, sementara college di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Selain dua pusat ini, rencananya DS akan masuk ke outlet-outlet Magnet Interaktif, minimal 3 cabang baru di tahun 2002 yaitu di Kelapa Gading, Kuningan, dan Panglima Polim. Di kota kembang Bandung DS juga sudah mulai beroperasi sejak Mei lalu. Dan mungkin DS akan berekspansi lagi ke Yogyakarta dan Surabaya. Targetnya tahun 2002 memang ingin membuka cabang di setidaknya 3 tempat di luar Jakarta.

Di dalam dunia desain grafis dan animasi Indonesia, nama DS cukup ternama. Ini kemungkinan karena DS giat mengembangkan brand, mulai dari kampanye iklan yang terfokus, serta berbagai workshop dan seminar yang sering diadakannya. Dan faktor terbesar mungkin karena perintis dan pemilik usahanya, Andi S. Boediman, adalah salah satu tokoh desain grafis yang sudah beken dan masih aktif. Berikut ini wawancara editor mwmag Steven Haryanto dengan beliau.

sh: Selamat siang, Pak Andi. Saya akan mulai dengan DS Workshop. Anda menggunakan kata ‘workshop’ sebagai merek. Bagaimana konsep workshop ini?

asb: Workshop artinya adalah melatih secara hands-on dan praktikal. DS bukan yang pertama kali punya gagasan memberikan workshop kepada publik, tetapi DS adalah yang pertama kali memposisikan diri pada kategori computer graphic.

Sementara di DS College untuk yang lebih mendalam dan teoritis. Begitu? Lalu ada pula DS Design. Saya dengar Anda mulai dari firma desain dahulu sebelumnya?

Ya, DS sebagai perusahaan desain dimulai pada Januari 1996, yang saya gagaskan sebagai perusahan yang memberikan jasa kreatif dengan menggunakan teknologi paling akhir. Itu yang memberikan definisi dari nama DS sendiri. Dari sejak awal, gagasan inovasi dan kreatif menjadi dasar pemikiran yang ingin ditawarkan kepada kliennya.

Dari buku Photoshop Special F/X yang saya tulis sewaktu kuliah, saya sering diundang oleh beberapa pihak untuk memberikan training di bidang computer graphic. Dari sini muncul gagasan untuk melembagakan bentuk training tersebut sehingga bisa mengakses lebih banyak lagi audience.

Di awal 2000, DS Workshop terbentuk dengan konsep untuk menciptakan standar industri computer graphic arts. Di mana setiap orang punya kesempatan untuk mempelajari disiplin ilmu tersebut.

Bagaimana ketiga usaha DS ini berinteraksi? Semua independen atau ada saling tumpang tindih?

Secara operasional, ini diatur secara independen. Secara internal hanya departemen human resource, finance, dan accounting yang bisa diatur secara sentralisasi.

Berapa total lulusan DS Workshop & DS College sejauh ini?

Untuk DS Workshop sekitar 750 siswa di tahun 2000 dan 800 siswa di tahun 2001. Saya prediksi sekitar 900­–1000 siswa di tahun 2002. Untuk DS College baru sekitar 30 orang yang lulus di angkatan pertama dan kedua. Untuk angkatan ketiga yang sedang berjalan ada sekitar 70 siswa.

Sudah cukup banyak juga. Apa strategi Anda agar bisa berkembang hingga sampai sekarang ini?

Strategi publikasi adalah dengan menetapkan brand yang kuat sebagai pemimpin kategori computer graphic. Ini bisa dibaca dengan mulai munculnya kompetitor khususnya di tahun 2002. Tapi ini tentunya sangat menggembirakan karena tujuan utama dari DS sendiri adalah menciptakan standar computer graphic. Jika kita harus bekerja sendirian untuk mengedukasi pasar tentunya sangat berat, jadi dengan masuknya kompetitor tentunya akan membuat pasar lebih bergairah dan memilih yang terbaik.

Sejak awal, target pasar orang-orang kreatif berjiwa muda menjadi konsentrasi Digital Studio, sehingga kampanye ‘Jangan Cuma Sok Jago’ muncul. Kampanye ini sangat sukses terbukti dari besarnya awareness dan penjualan yang bisa diraih. Bahkan muncul cukup banyak kampanye tiruan yang menggunakan gaya serupa. Ini tentunya malah menguntungkan DS karena kita di awal yang menentukan tren tersebut.

Untuk ke depan, tentu saja Digital Studio punya strategi untuk masuk di berbagai pangsa pasar, mulai dari low-end hingga high-end. Di low-end, Digital Studio bekerja sama dengan Magnet dan berbagai pihak untuk memperkenalkan dunia computer graphic kepada publik yang mungkin masih awam. Di middle yang menjaring para praktisi, Digital Studio didukung oleh para profesional yang kompeten. Di high-end, Digital Studio menjadi Authorized Training Center untuk Macromedia dan Alias|Wavefront dan Adobe sedang dalam proses.

Di pasar daerah, Digital Studio sudah siap dengan konsep franchise yang membuka kesempatan luas bagi semua pelaku industri untuk terjun ke edukasi computer graphic melalui standar kurikulum, layanan hingga operasional Digital Studio yang tentu akan terus diperbaiki secara terus menerus.

Saat ini Digital Studio sudah menjadi ‘top of mind’ di mana begitu ingat computer graphic, pasti ingat Digital Studio. Ini merupakan posisi yang akan tetap kita pertahankan. Tentunya di market share kita juga harus menjadi yang terbesar.

Dari jumlah siswa yang banyak tersebut, tentunya Anda sudah bisa melihat seperti apa potensi dan karakteristik orang-orang kita/Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?

Dari sisi kreativitas, bahkan orang Indonesia punya talent yang luar biasa. Masalahnya malah mereka tidak tahu bagaimana kreativitas tersebut digali untuk mampu menjawab kebutuhan konkrit.

Untuk keuletan, menurut saya masih sangat kurang. Untuk kejujuran dan moral, ya mungkin kita sendiri bisa menilai bahwa kita masih menempati urutan teratas negeri bajakan. Ini tentunya bukan cuma satu atau dua orang yang bertanggung jawab.

Problem dari SDM di Indonesia adalah kemampuannya di dalam melakukan standarisasi. Di dalam operasional, kemampuan ini penting untuk mencatat setiap pekerjaan, hasilnya dan kemudian dituangkan dalam bentuk Standard Operating Procedure. Ini yang seharusnya diperbaiki secara terus menerus sehingga akan menghasilkan satu rangkaian kerja yang produktif dan standar. Satu hal negatif yang sering muncul adalah setiap orang cenderung merasa nyaman di setiap posisi dan kurang tertarik untuk mengembangkan dirinya. Dorongan self improvement masih sangat kurang.

Untuk kemampuan komunikasi juga kurang terasah, tetapi dari latihan dan praktek di lapangan, perlahan-lahan masalah ini tidak sulit diatasi.

Bagaimana profil siswa DS? Paling banyak dari kalangan mana?

Saat ini kurikulum Digital Studio sesuai untuk praktisi dan mahasiswa, perbandingan sekitar 50 : 50. Dengan kurikulum baru, diharapkan Digital Studio akan masuk ke pasar pelajar.

Untuk College, peminat terbesar datang dari mereka yang sudah bekerja daripada lulusan SMA, proporsi sekitar 70 : 30.

Materi/program apa yang paling banyak diminati?

Untuk di workshop polanya cukup beragam, Web banyak diminati oleh praktisi, animasi dan graphic design oleh mahasiswa. Untuk di College yang memiliki 3 jurusan (3D Animation, Web Design dan Graphic Design), 3D Animation punya peminat terbesar, Graphic Design kedua dan terakhir adalah Web Design.

Bagaimana kinerja lulusan lembaga Anda?

Untuk Workshop, saat ini kita hanya memberikan skill teknis secara software. Untuk mereka bekerja, ini tentunya bergantung pada masing-masing pribadi untuk mengembangkan potensinya.

Untuk College, kelihatannya masalah utama adalah pada umur. Dari hasil didikan Digital Studio yang hanya 1 tahun, para siswa merasa cukup puas bahwa mereka menguasai skill teknis yang baik secara singkat dan bisa langsung bekerja. Tetapi karena beberapa masih cukup muda, ada masalah sikap yang mereka hadapi saat mereka bekerja. Analoginya adalah memberikan senjata pada orang muda. Bukan masalah kemahirannya, tapi apa yang akan diperbuat dengan senjata tersebut.

Anda kuliah di mana? Lalu apakah ada pendidikan lain? Dengar-dengar Anda juga hobi dan sekolah film, apa benar?

Saya kuliah Arsitektur di Universitas Kristen Petra Surabaya, lulus tahun 1994. Setelah itu saya mulai bekerja sebagai computer graphic animator. Kemudian kesempatan studi lanjut di Academy of Art College, San Francisco di penghujung 1994 hingga awal 1995 memberikan pengetahuan di bidang Graphic Design & 3D Animation. Selalin itu saya juga menyempatkan untuk belajar Multimedia di San Francisco State University dan Video Production di Bay Area Video Coalition. Sekembalinya dari San Francisco, saya bekerja lagi sebagai animator dan coproduser video.

Di tahun 1999, saya belajar film production di New York Film Academy selama 2 bulan sebelum punya gagasan untuk mengembangkan DS Workshop.

Ada rencana menerapkan ilmu film-making yang Anda miliki?

Ada, di DS College saat ini sedang dikembangkan beberapa kurikulum lain lebih dari yang sekarang. Misalnya, judul program akan kami tambahkan dari 3D Animation menjadi 3D Animation & Visual Effects. Graphic Design menjadi Graphic Design & Motion Graphic. Di kemudian hari bisa saja ditambahkan fotografi, broadcastr, film, ilustrasi, advertising, dan disiplin ilmu lain yang relevan?

Sejauh ini DS bisa dibilang leader dalam training computer graphic. Adakah rencana ekspansi misalnya ke pemrograman, untuk meraup lahan training yang ada?

DS tidak akan masuk ke pemrograman, database, networking, dll. DS adalah computer graphic. Strategi fokus dan positioning DS akan menghilangkan kerancuan di benak audience tentang identitas DS.

Boleh disebutkan tidak, yang Anda anggap saingan utama sekarang siapa saja?

Sementara ini DS masih belum melihat kompetitor yang serius di dunia computer graphic. Cukup banyak perusahaan yang berkecimpung di dunia training masih tidak melakukan spesialisasi, akibatnya jadi gado-gado.

Sekarang Anda paling sibuk mengerjakan apa di DS?

Strategi bisnis yang mencakup marketing, sales, pengembangan, finance, dll. Selain itu juga mencermati pasar untuk kebutuhan inovasi produk.

Bagaimana prospek pendidikan TI di Indonesia menurut Anda?

Saya tidak bisa mengatakan dari sisi TI, karena DS tidak bergerak di situ. Yang pasti di dunia computer graphic, kebutuhannya cukup besar dan sangat cerah.

Terima kasih wawancaranya. (sh)