Saturday, October 31, 2009

Open Source, Upaya Membangun Kemandirian Bangsa

catatan dari GCOS–Global Conference on Open Source, 26-27 Oktober

Komunitas kreatif Bandung hidup dan berkembang karena adanya akses ke teknologi melalui internet dan jumlah komunitas anak muda yang cukup banyak termasuk di dalamnya ada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Inilah kesimpulan yang saya tarik dari perbincangan dengan Gustaff Hariman Iskandar dari Commonroom. Menjadi menarik karena Bandung yang telah menjadi Creative City, dengan karya tak hanya dinikmati masyarakat lokal, bahkan terkesan aneh, komunitas yang tak punya culture center, tak punya arena cukup untuk berekspresi, tapi siapa sangka para talent-nya beredar luas di dunia internasional? Mulai dari kriya seni klasik sampai kontemporer atau perpaduan keduanya.

Mahalnya perangkat lunak memaksa mereka menggunakan software bajakan, keterbatasan arena berupa pusat-pusat berekspresi dituangkan dalam arena tanpa batas di dunia maya melalui internet yang diakses mulai dari hotspot area atau warnet. Dan secara alami, proses pembelajaran terbentuk dengan sendirinya, seperti laiknya inkubator teknologi ala Silicon Valley.

Unik, ternyata seni budaya mampu melampaui batas-batas wilayah, di mana para insan kreatif melakukan konser, diskusi antar komunitas melalui acara kopi darat maupun lewat internet. Budaya Bandung adalah budaya urban, sehingga amat mudah untuk mengalir ke Jakarta atau bahkan Kuala Lumpur. Ini tercermin dari diskusi dari anak muda di Kuala Lumpur bahwa mereka harus menyempatkan diri ke Bandung untuk merasa dirinya cool.

Kota Yogyakarta bisa dikatakan sebagai sebuah kota dengan karakter yang mirip dengan Bandung dengan ciri khas yang berbeda. Komunitas di Yogya yang menjadikan gandhokan [kongkow] sebagai ajang tukar informasi, juga unjuk diri. Ini sangat mencerminkan budaya Jawa yang terbuka, sehingga mereka yang berasal dari Yogyakarta memiliki kepekaan atas budaya dan selera grass root, yang sangat membumi dan mudah menjadi getok tular di masyarakat Jawa.

Di kedua kota ini, Bandung dan Yogyakarta, lahir kreator-kreator baru, yang mampu mewakili budaya pop berasal dari Bandung, yang merepresentasikan wong cilik datang dari Yogyakarta. Kita memang kaya akan kreativitas!

Dilema Kreator

Pada akhirnya, proses berkreasi adalah untuk berekspresi. Yang membutuhkan tempat, dan ketika menjadi bernilai ekonomi, mereka butuh legitimasi.

Mereka yang kreatif bidang multimedia misalnya, terus berkarya sementara dihadapkan pada dilema mahalnya software legal ketika harus mencipta.



Dengan menyaksikan tayangan film animasi Big Buck Bunny yang digarap dengan Blender–software animasi open source, ke depan ada harapan baik bagi para kreator. Mulai dari software, waktu dan kreator, semua komponen dari film ini merupakan kontribusi bersama-sama dari komunitas open source. Bukti nyata dari spirit gotong royong di dalam dunia maya.

Adez Aulia dari IDS|international design school, mengamati bahwa demikian banyaknya komunitas kreatif underground di berbagai daerah, masih kesulitan dalam mengakses internet baik untuk mendapat informasi maupun berkompetisi menunjukkan karya mereka kepada masyarakat luas. Belum lagi ketika karya tersebut akan dijual, tentu dibutuhkan syarat bahwa karya harus menggunakan software legal. Ini adalah dilema bagi para kreator, proses belajar dibatasi oleh keterbatasan ekonomi.

Alhasil, workshop animasi Blender padat diikuti peserta meskipun bermodal laptop yang harus dibawa sendiri. Ini adalah usaha kemandirian yang patut dihargai.


GCOS: Sebuah Komitmen dan Dedikasi

Global Conference on Open Source yang digelar 26-27 Oktober lalu, mendapat apresiasi lar biasa dengan mendatangkan tamu dan pembicara dari 15 negara. Sunil Abraham misalnya, pembicara pada asal India untuk sesi Making Open Source The Driver for Development, merasa terkesan dengan sambutan masyarakat dan pemerintah Indonesia yang luar biasa, bahkan telah terbentuk komunitas open source di Indonesia yang cukup besar sehingga dapat menyelenggarakan GCOS. Sunil, juga bangga dapat berbicara di forum internasional bersama pembicara lain yang menurutnya seperti berbicara di India, karena disini juga berhadapan dengan problem dan karakteristik masyarakat yang hampir sama, butuh software murah untuk saving cost.

Kabar baik dari buah obrolan dengan Betti Alisjahbana mewakili AOSI [Asosisi Open Source Indonesia] dan Lolly Amalia selaku Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo, selain kedua belah pihak telah saling bertemu visi dengan melaksanakan GCOS secara bersama-sama, di antara kedua pihak telah ada kesepakatan saling membantu aplikasi Open Source di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi kendala profesionalitas AOSI dalam memberikan layanan sebagaimana tuntutan kebutuhan saat ini, Betti bahkan sedang dalam proses mengorganisir kekuatan-kekuatan di dalam AOSI untuk bernaung di dalam sebuah payung badan usaha profesional.

Onno W Purbo, penggiat open source, meyakini free open source software [FOSS]  akan menjadikan Indonesia sebagai 'Knowledge Based Society'. Dan dari  pihak pemerintah, telah dicontohkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi (KNRT) dalam penerapan eGovernment secara menyeluruh dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien untuk meminimalisir korupsi di lingkungan departemen dan pemerintahan.

Dalam bincang-bincang dengan Ditjen Aplikasi dan Telematika Depkominfo Ashwin Sasongko, ia mengandaikan Free Open Source Software seperti air mineral yang bisa diambil gratis dari pegunungan, tapi distribusi dan pengemasannya harus bayar.

Betti Alisjahbana berujar “Saya ingin memperkenalkan profesionalisme di dalam open source,” yang artinya menjadikan Open Source menjadi berkesinambungan. Perangkat lunak bisa gratis, tetapi proses support dan pembelajarannya haruslah dikelola secara profesional dan akan menjadi revenue stream bagi pelakunya.


Open Source adalah Pilihan untuk Kemandirian

Open Source adalah sebuah pilihan, demikian menurut Direktur Sistem Informasi Ditjen Aptel Depkominfo Lolly Amalia. Dan kepentingan pemerintah adalah memfasilitasi, mendorong pemakaian software legal yang sesuai kemampuan daya beli masyarakat. Pasca surat edaran Menpan bulan maret 2009 lalu, sudah ada sekitar 100 lebih pemerintah daerah yang mengajukan permohonan untuk menggunakan open source dan Depkominfo Bersama KNRT [Kementerian Negara Riset dan Teknologi] mengadakan pelatihan SDM mulai dari mengoperasikan software untuk perkantoran, sesuai kebutuhan administratif pemerintahan.

Apa yang dilakukan dalam sinergi Depkominfo, KNRT, Depdiknas, Menpan adalah sebuah komitmen, bahkan tertuang dalam program di mana pada Desember 2011 ditargetkan pengaplikasian open source di seluruh jajaran instansi dapat terwujud.

Keinginan pemerintah tersebut bukan pula tanpa dasar, dengan isu utama dalam open source adalah low cost, mencegah terjadinya pembajakan software, dan mampu memberikan keuntungan bagi Negara. KNRT misalnya yang secara bertahap mengaplikasikan open source sejak 2005, telah menghemat biaya pembelian lisensi sebesar 40% dan bisa ditingkatkan menjadi 60%.

Tak hanya menjawab kebutuhan kalangan UKM yang ingin berhemat memangkas biaya operasional namun tetap berada pada jalur legal, ternyata juga memberikan kontribusi penghematan anggaran bagi pemerintah Negara berkembang seperti Indonesia karena memberikan pilihan atas hegemoni perusahaan software.

Pemerintah yang telah memulai aplikasi open source meski hanya berbekal surat edaran Menpan, perlu meningkatkan komitmen dan dedikasinya dengan penerbitan regulasi lebih mengikat dan ’memaksa’ yang di dalamnya tak hanya berisi himbauan, namun juga proteksi. Dan jika Depkominfo dan Depdiknas dapat bersinergi melalui program pendidikan open source, akan menjadi awal yang baik memperkenalkan dan mengajarkan open source sebagai sebuah wujud kemandirian bangsa yang tak lagi terjajah secara teknologi.

Open source akan menghapus jejak Indonesia dari ranah pembajakan software propriety yang dari pengguna komputer di Indonesia diperkirakan hanya 4% menggunakan software legal.

Ketika kita masuk ke dalam era perdagangan bebas, kita perlu bebas dari rasa takut bahwa kita telah melanggar hak cipta dan tidak lagi bisa duduk sama tinggi dengan bangsa lain.


Menciptakan Adopsi FOSS [free open source software]

Mereka yang pertama kali menggunakan software open source seringkali enggan karena antarmuka baru, sehingga adopsi di dunia profesional menjadi relatif lebih sulit karena warisan sistem yang sudah teradopsi.

Dari pengalaman saya sebagai nara sumber pengembangan kurikulum SMK Grafika, Animasi dan Multimedia oleh Dikmenjur beberapa tahun lalu, ternyata membuahkan hasil luar biasa di mana siswa setingkat SMK telah mampu mengikuti World Skill Competition–lomba kompetensi tingkat dunia.

Untuk memulai adopsi baru, lebih mudah untuk menargetkan kepada generasi yang masih dalam proses belajar. Target utama adalah SMK yang dimulai dari pelatihan atas guru-guru SMK, dan para guru ini yang akan menyebarkan ke para siswa. Dukungan Diknas sangat diperlukan untuk menjadikan open source bagian dari pembelajaran SMK.

Dalam waktu 3 - 5 tahun, ketika jumlah mereka yang kompeten di bidang open source ini makin banyak, tentu perusahaan-perusahaan tidak lagi enggan untuk menggunakannya karena cukup banyaknya adopsi. Insentif tentunya bisa juga diberikan melalui award kepada institusi yang mengadopsi open source secara luas, baik dari kalangan media, edukasi, pemerintah maupun industri.

Berdasarkan data Sun Microsystems, sejak tahun 2008 telah terjaring komunitas OSS dari Java dengan lebih dari 15.000 pengguna dan hampir 10.000 pengadopsi pemula penggunaan OSS dari 150 perguruan tinggi serta 70 sekolah menengah. Tampaknya, aktifitas AOSI yang menyebarkan ribuan komputer dengan aplikasi FOSS ke sekolah-sekolah mulai terlihat hasilnya.

Free open source software menjadi solusi di tengah upaya menekan pembajakan software proprietary dengan memasyarakatkan software legal di sisi lain memungkinkan nilai tambah kompetitif di tengah proses  membangun kemandirian bangsa.

Saturday, October 24, 2009

Blogger, Keniscayaan Sebuah Kekuatan Baru

Indonesia Raya – lagu kebangsaan yang sudah sekian lama tidak lagi terdengar diekspresikan oleh seribu blogger atas kecintaan atas Indonesia. Luar biasa! Ini adalah spirit “One Spirit, One Nation” dan merupakan tema Pesta Blogger, demikian mengutip dari Iman Brotoseno, Ketua Panitia Pesta Blogger 2009.

Acara ini dibuka oleh Tifatul Sembiring, Menkominfo yang mengatakan dirinya juga seorang blogger. Pancaran karisma Tifatul dengan berpantun mengundang tepuk tangan para blogger. Benar-benar kesempatan emas untuk membuka hubungan yang cantik dengan para blogger.

Diskusi dengan rekan-rekan saya di dunia komunikasi dan informasi sebelumnya menyisakan keraguan apakah seorang wakil partai mampu menjadi sosok pemimpin masa depan bangsa kini mulai sirna. Dokumen apik yang berisi platform pembangunan dunia Komunikasi dan Informasi di Indonesia ternyata sudah siap. Demikian pula blue print dari Kadin tentang pembangunan kominfo dari Kadin sudah disampaikan oleh Anindya Bakrie, yang juga hadir pada pembukaan acara ini.

Di samping mereka, wakil US Embassy yang menjadi sponsor tunggal acara benar-benar piawai mengerjakan pekerjaan rumahnya, dengan mengundang blogger dari Amerika untuk membentuk citra positif dan membuka pemahaman multi kultur.

Blog sebagai Media Marketing
Blog saat ini mutlak dipahami oleh praktisi pemasaran karena merupakan bagian tak terpisahkan dari integrasi marketing mix. Tidak heran, Bubu.com sebagai agensi digital dan Maverick, agensi PR menjadi penggagas acara Pesta Blogger ini. Shinta W. Dhanuwardoyo dari Bubu.com mengungkap bahwa kliennya sudah menggunakan integrasi social media, blog, viral dan mobile marketing.

Terbukti hadir pula wakil-wakil perusahaan multinational seperti XL, Unilever, Air Asia, Universal Music, dan banyak lagi. Mereka mengikuti kegiatan ini dengan tujuan membaca trend dan siap menjadikan blog sebagai bagian dari strategi komunikasi.

Nukman Luthfie & Pandji Pragiwaksono adalah beberapa dari blogger yang memanfaatkan media komunikasi ini untuk tujuan pemasaran.


Blogger sebagai Entrepreneur
Dalam pesta blogger 2009 ini, peserta dari luar negeri yang hadir antara lain Brian Giessen asal AS yang bicara bagaimana mendatangkan nilai ekonomi dengan menjadi blogpreneur atau wirausahawan melalui blog.

Tiga blogger lainnya berbicara via Skype ada Mark Frauenfelder (pendiri BoingBoing.net), Corvida Raven (pemilik blog teknologi dan social media SheGeeks.net), dan Arsalan Iftikhar (pengacara HAM internasional dan pemilik blog TheMuslimGuy.com).

Blogger dari luar negeri lainnya antara lain Singapura [mr.brown.com], Vietnam, Bangladesh dan Australia. Blogger Australia, Anthony Bianco (http://thetraverltart.com), berbagi kisahnya sebagai backpacker di Indonesia, berkeliling dari Banda Aceh, Jambi, Pekan Baru, Palembang, Bandung, Semarang dan Surabaya.

Saya mendapat kesempatan bersua dengan beberapa blogger Indonesia seperti Enda Nasution dengan Politikana.com, Budi Putra dan Abang Edwin SA yang kini menjadi bagian dari tim Yahoo! Indonesia, Kristupa Saragih dengan photo blog Fotografer.net, Wahyu Aditya (http://menteridesainindonesia.blogspot.com) dan Arief Budiman (http://mybothsides.com).

Mereka adalah contoh para blogger yang sukses menggunakan kekuatan opini sebagai sumber pendapatan.

Blogger sebagai Kekuatan Sosial
Blogger merupakan kekuatan baru yang dapat menggugah kesadaran bersama dan menumbuhkan solidaritas antar blogger yang datang dari berbagai latar belakang suku, ras, agama, budaya, profesi dan pendidikan. Prita adalah salah satu contohnya, yang mendapat apresiasi para blogger dan anggota berbagai milis sampai kemudian melakukan aksi bersama turun ke jalan.

Prita Mulyasari, perempuan yang sempat dipenjara karena surat keluhannya menyebar di Internet, sejak awal menjadi salah satu ikon yang dikemas panitia untuk hadir pada Pesta Blogger 2009 ini. Prita, dianggap sebagai pihak yang dirugikan UU ITE akibat menyampaikan ekspresi melalui surat elektronik. Kasus Prita menggugah solidaritas bersama pengguna internet seperti milis jejaring, social network dan blogger  untuk bersama-sama melakukan aksi bersama. Prita berbicara di salah satu sesi bersama dengan blogger yang berprofesi sebagai pengacara.

Dalam berbagai kejadian bencana pun demikian, Tsunami Aceh, gempa Yogyakarta-Jateng, gempa Tasikmalaya dan terakhir gempa di Padang, aktifitas blogger banyak membantu baik dalam skala menyambung dan menyebarkan informasi, namun juga mendorong solidaritas masyarakat untuk menyalurkan bantuan.

Twitter, Microblog sebagai Bagian dari Ekosistem Baru
Aktivitas blogger, telah lebih dulu marak sebelum facebook dan twitter digandrungi. Dengan lahirnya Twitter kini banyak blogger jatuh cinta pada penulisan mikroblog.

Di dalam ekosistem komunikasi online, mikroblog adalah yang memberikan popularitas dan membawa traffic. Seperti halnya signage di jalan raya akan mengundang rasa ingin tahu dan daya tarik awal. Blog sendiri akan eksis sebagai menu utama. Kedalaman konten yang membuat pembaca menjadi terpesona. Konten blog biasanya juga dikemas sedemikian rupa sehingga enak dibaca, bahkan bisa jadi referensi.

Twitter menjadi hard news, atau kejadian, berita dan opini real time. Blog menawarkan kedalaman, pemahaman dan analisa.

Blogger sebagai Kekuatan Politik
Mengapa ketua partai mejadi Menkominfo? Mengapa Ketua Kadin menghadiri Pesta Blogger? Mengapa US Embassy menjadi sponsor tunggal dari pertemuan komunitas?

Dalam sebuah kesempatan hadir di Jakarta, DR. Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia bahkan mengatakan bahwa ke depan, Blogger akan menjadi kekuatan politik. Di Malaysia misalnya, aktifitas blogger bisa mempengaruhi peta politik bahkan menggulingkan pemerintahan. Bagaimana dengan Indonesia?

Ini adalah kesempatan, sekaligus tantangan bagi para blogger. Ketika opini bersatu dengan kepentingan, mana yang akan dipilih menjadi yang terutama? Mereka yang awalnya menulis karena kebebasan berekspresi, kini menulis karena upah dan kepentingan.

Mengungkap Masa Depan Blog
‘cogito ergo sum’ atau ‘I think, therefore I am exist’ – Rene Descartes.

Mengutip Budi Putra, Country Editor Yahoo! Indonesia, "Jika nama anda tidak terdetect di search engine, seolah anda tak pernah hidup di dunia ini." Dan jangan heran jika suatu ketika, sepenggal kalimat status facebook anda muncul dalam sebuah ulasan panjang di blog saya, karena saya akan terus menulis untuk diri saya, juga untuk anda. Blog akan menjadi bagian dari eksistensi kita.
Pesta Blogger 2009, diselenggarakan untuk mendorong lebih banyak masyarakat Indonesia terlibat dalam aktivitas blogging dan melakukannya secara bertanggung jawab, konstruktif, dan kritis – dengan kesadaran sosial yang tinggi.

Bagaimana wajah dari para blogger di masa depan? Apakah pesta komunitas akan berubah menjadi batu pijakan untuk mencari kesempatan, karir dan dukungan politis?

Mungkin ini adalah proses kedewasaan yang akan dialami oleh para blogger. Bisa mengundang caci maki, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai profesi yang berkesinambungan.

Hi para blogger, siapkan diri Anda! You are the force!

Friday, October 23, 2009

Digitalpreneur, Masa Depan Indonesia!

Malam penghargaan Indigo Fellowship berakhir sudah, acara yang menghadirkan musisi Andra and the Backbone, Gigi, Melly dan dibawakan oleh Helmy Yahya ini menyajikan entertainment maupun beragam penghargaan bagi insan kreatif digital.

Program Indigo Fellowship 2009 membuka kesempatan bagi mereka yang memiliki gagasan ataupun model bisnis awal untuk dikembangkan. Para digital entrepreneur ini ditantang untuk membuat rencana bisnis yang konkrit dan bisa diimplementasikan. Selain fasilitas finansial sebagai seed capital modal awal bagi para pemenang lomba, mereka diberikan inkind facility agar mereka memiliki fasilitas yang bisa digunakan dari resource Telkom.

Sebagai Corporate Social Responsibility, Indigo Fellowship ini bagi Telkom merupakan wujud dari gagasan untuk memberikan kesempatan bagi para entrepreneur di bidang digital untuk berkiprah. Para peserta diuji mulai dari gagasan kreatif, model bisnis, model operasional, wacana marketing dan sales, serta governance dari gagasan-gagasan tersebut. Komplit!

Juri diketuai oleh Ninok Leksono, wartawan senior Kompas dan para anggotanya adalah para entrepreneur kreatif seperti Andi S. Boediman, Yoris Sebastian, Peni Cameron, Marlin Sugama dan Bubi Sutomo.

Di antara peserta Indigo Fellowship yang masuk 20 besar, 11 diantaranya dinyatakan sebagai pemenang dan siap diwisuda menjadi digital entrepreneur. Beberapa gagasan yang model bisnis yang menarik untuk disimak.

Free 2 Call oleh Danny Arifian Idiarto adalah sebuah aplikasi yang memungkinkan telepon dari PC ke PC secara gratis. Yang dibutuhkan hanya registrasi bagi calon penelepon yang akan dimasukkan di dalam database. Penelepon kemudian melakukan panggilan secara gratis melalui optimalisasi teknologi VoIP. Dalam setiap akan melakukan pemanggilan, penelepon akan dikenakan kewajiban mendengarkan voice notification berupa iklan yang dipasang oleh advertiser. Dari PC, penelepon dapat mengklik iklan berdurasi 15 detik untuk bisa menelepon gratis selama 3 menit. Unik, selain sebagai panggilan bebas melalui teknologi VoIP antar PC, juga ada konsep dan strategi baru dalam dunia marketing dan promosi.



Eduardus Christmas, membawa pencerahan baru dunia penerbitan. Dengan evolitera.com ia perkenalkan penerbitan buku nirkertas karena terbit dalam format pdf/digital. Hanya saja, kalau dalam dunia penerbitan buku online atau toko buku online, buku hanya diterbitkan sebagai komoditas untuk dijual sebagai bacaan, bagi Eduardus Christmas, buku adalah etalase dimana pengiklan dapat memasang iklannya pada setiap buku yang didownload, bisa dalam bentuk statik seperti tulisan, foto, visual grafis bahkan gambar dinamis video streaming dan animasi yang diembed ke eBook. Ide yang sangat menarik, dan memerlukan ujian agar model bisnis menjadi berkesinambungan.


Berangkat dari belum adanya tokoh super hero dalam animasi yang menjadi idola di Indonesia, Andy Martin Surjana menciptakan Si Hebring yang dalam bahasa Sunda berarti hebat. Si Hebring alias Heru, plesetan dari Hero, digarap dengan konsep animasi 3 dimensi. Diharapkan Si Hebring dengan konsep universal  bisa diterima  seluruh  lapisan masyarakat. Model animasi yang ditawarkan ke televisi cukup unik, di mana animasi pendek dengan durasi 3 menit akan diputar beberapa kali dalam satu hari. Pas untuk distribusi melalui mobile, maupun atraktif untuk layar kaca. Pola pikir yang terintegrasi membuka gagasan untuk mendistribusikan karakter ini tidak hanya dalam bentuk film, tetapi juga dalam bentuk game dan merchandise.




Sedang bagi Bayu Sulistyo S, mencipta karakter tak sekedar membuat nama dan bentuk. Him & Her atau Hima & Hera adalah karakter dalam film animasi yang ia tawarkan sebagai masa depan film layar lebar berkarakter, asli Indonesia dan akan memiliki daya jual dalam jangka panjang. Tentu bukan sekedar menjual filmnya, namun lebih dari itu, kekuatan karakter, nilai universalitas dan karakternya yang ditampilkan sederhana [simpel] akan menjadi bargaining power untuk merchandising dan licensing.

Pendidikan merupakan aspek yang cukup favorit bagi para finalis. Aplikasi Morning! oleh Indra Purnama merupakan perangkat lunak untuk pendidikan berbasis mobile. Mulai dari penyampaian materi ajar, hingga fungsi testing. Tantangan dari perangkat ini adalah sisi sustainabilitas karena diperlukan dukungan CSR untuk implementasinya.

Solusi lain adalah software Education 2.0 oleh Syarif Hidayat. Menuju era pembelajaran cerdas,  dalam proses belajar dan mengajar yang ditawarkan adalah aplikasi semacam wikipedia, dimana setiap orang bisa menambah data atau mengubah dengan cara mengupload, dan setiap kontributor konten misalnya guru atau ahli atau penulis  akan mendapat reward. Kelebihan aplikasi pembelajaran online ini adalah menjawab problem kesenjangan kualitas pendidikan di pedesaan dengan kota. Gagasan yang sangat menarik, tetapi memerlukan komitmen implementasi yang besar untuk sukses.

Menyimak para pemenang Indigo Fellowship ini, demikian kreatifnya insan-insan Indonesia. Merupakan kesempatan yang baik agar perusahaan melalui dana CSR menawarkan hadiah yang akan digunakan sebagai seed capital atau modal awal berkembangnya dunia kreatif digital di tanah air. Acara ini memberikan benefit bagi para entrepeneur dan juga bagi pemberi CSR karena image yang positif dan relevan bagi para konsumennya.

Thursday, October 22, 2009

Geliat Telkom Gerakkan Dunia Media, Informasi dan Digital Entrepreneur

Peristiwa besar sedang terjadi di tanah air, Telkom memperkenalkan platform baru, pinjam istilah Agung Adi Prasetyo-CEO Kompas Gramedia, bak raksasa menggeliat, jika ia bergerak, apapun bisa terjadi.

Telkom akhirnya memperingati hari jadi pertamanya di usia ke 153, yakni 23 Oktober 2009, sebuah tanggal bersejarah atas pengoperasian layanan jasa telegrap elektromagnetik pertama, menghubungkan Batavia (Jakarta) dengan Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1856.

Telkom melakukan transformasi aspek-aspek fundamental yang diekspresikan melalui perubahan corporate identity dan mengukuhkan diri sebagai satu-satunya perusahaan telekomunikasi terintegrasi di Indonesia yang mencakup Telecommunication, Information, Media dan Edutainment–T.I.M.E.

Sambil menunggu puncak acara sosialisasi logo baru Telkom oleh Menkominfo, berdiri di samping saya adalah Agung Adi Prasetyo, CEO Kompas Gramedia yang memberikan kesan dengan komentar cukup dalam, “bak raksasa menggeliat, jika ia bergerak, apapun bisa terjadi.”

Banyak yang belum paham dengan strategi Telkom yang dari telephony dan broadband tiba-tiba menjadi perusahaan dengan konsep T.I.M.E (Telecommunication, Information, Media dan Edutainment). Apakah ini hanya sekedar jargon dan bagaimana wujudnya?

Mengamati konsep T.I.M.E, adalah membayangkan sebuah masa depan tumbuh kembangnya industri kreatif digital tanah air. Bagaimana tidak, dengan menyediakan fasilitas infrastruktur, menjaring ide-ide segar sebagai bagian dari proses co-creation, menjalin komunitas dan karya kreatif ke dalam mata rantai proses bisnis, maka benar-benar akan menjadi momentum di mana infrastruktur yang disediakan tak hanya akan dijual semata-mata sebagai komoditi. Tapi justru infrastruktur disediakan untuk menawarkan value added melalui dengan konten, media dan informasi yang bernilai ekonomi.


Prinsip Keadilan Distribusi Konten

Memahami supply chain management mengandaikan sebuah efisiensi dalam rantai distribusi. Melihat kondisi geografis Indonesia dengan wilayah luas dan gugus kepulauan, menguasai rantai distribusi adalah hal penting dengan di dalamnya harus tersedia infrastruktur pendukung.

Transportasi misalnya, insfrastruktur pendukung dalam rantai distribusi ini harus memenuhi persyaratan efektifitas dan efisiensi dengan memenuhi tuntutan seperti fleksibilitas, ketepatan jadwal, daya jangkau, faktor biaya, dan kesesuaian dengan apa yang didistribusikan. Peritel seperti Indomaret dan Alfamart, adalah contoh terapan supply chain management yang setidaknya sukses menyiasati rantai distribusi.

Bagi perusahaan telekomunikasi seperti Telkom, infrastruktur yang harus disediakan tentu saja yang berhubungan dengan distribusi produk komunikasi dengan tanpa mengabaikan setiap pihak terkait dalam rangkaian produk dan layanan yang akan didistribusikan.

Pada acara World Media Summit yang dihadiri eksekutif top media dunia, Presiden Hu Jintao mengungkap bagaimana campur tangan Negara dalam pengembangan visi media di China. Mereka siap membelanjakan USD 7,17 miliar untuk ekspansi multi medianya.

Rupert Murdoch, boss Wall Street Journal/WSJ, melihat hubungan industrial yang tidak sehat belakangan ini, di mana distribusi media/konten dianggap menguntungkan penyedia infrastruktur saja. Padahal ia memiliki keyakinan positif tentang era digital melalui ungkapan, “Within ten years, I believe nearly all newspapers will be delivered to you digitally.”

Jadi yang dibutuhkan media adalah prinsip keadilan dalam distribusi. Ini adalah peran Telkom sebagai penyedia infrastruktur distribusi untuk menjawabnya.


Peran Strategis Telkom

Kini, penting bagi semua untuk memahami bahwa media adalah konten yang memerlukan distribusi, dan kertas bukanlah jawabannya. Konvergensi media dan telekomunikasi terletak kepada perubahan value chain di mana distribusi konten utamanya akan melalui infrastruktur telekomunikasi. Ini adalah PR besar bagi perusahaan sekelas Telkom untuk memberikan solusi distribusi ini, artinya perusahaan telekomunikasi akan menjadi platform bagi distribusi informasi, media dan konten.

Ibarat bisnis pipa, saat ini perusahaan telekomunikasi sedang dalam proses tak hanya ikut bisnis pipa, namun masuk lebih dalam ke isi pipa melalui kemitraan strategis dengan para pelaku industri kreatif digital untuk mengisinya, infrastruktur berupa playground disediakan dan para pelaku industri kreatif digital adalah para pemainnya.

Jadi tak ada alasan mengatakan bahwa ketersediaan infrastruktur akan menjadi kompetitor yang akan segera menelan pelaku bisnis dalam mata rantai bisnis T.I.M.E . Justru, dengan berbagai media yang disediakan, terbuka peluang usaha padat karya bagi UKM atau insan kreatif cekak modal, dan kerjasama dengan distributor serta provider tetap terjalin baik. RBT misalnya, dengan adanya infrastruktur yang tersedia, maka artis, label, pencipta lagu adalah pihak-pihak yang akan mengisi.

Begitu juga dengan pengembang software, game, animasi bahkan penerbit media cetak atau penerbit buku yang akan melakukan transisi layanan kontennya ke online. Laku Telkom, akan membangkitkan industri kreatif digital dalam negeri, di masa depan, bisnis konten dan animasi bukan tidak mungkin akan menjadi idola.

T.I.M.E , adalah konsep media dengan ketersediaan infrastruktur sebagai fasilitas yang disediakan. Di dalamnya harus ada yang mengisi, dan Telkom berada di level distribusi. Teman-teman media cetak atau praktisi pers harus merapikan barisan untuk bermitra dengan perusahaan telkom atau sebaliknya, dengan peran sebagai news and content organization. Begitu pula dengan animator, advertising, kreator game, pengembang software.

Problem di dunia pendidikan nasional Indonesia misalnya, adalah terbatasnya distribusi guru-guru berkualitas. Nah, dengan aplikasi education 2.0 misalnya, problem itu teratasi. Bagi pelaku ritel kecil, akan mendapat kemudahan dengan hanya berlangganan melalui infrastruktur data yang sudah diimbuhi perangkat lunak point of sales. Bagi pecinta gaya hidup, tinggal berlangganan kanal game, musik dan film yang bisa diunduh kapanpun, di manapun dan harga terjangkau.

Sederhana, murah dan mudah, bukan?


Indigo Fellowship lahirkan Digitalpreneur

Sebagai program CSR untuk mendorong tumbuhnya industri kreatif digital di Indonesia, Telkom dengan program Indigo Fellowship 2009 ingin menciptakan Digitalpreneur. Indigo fellowship, sebagai inisiatif strategis Telkom, menjadi jawaban bagi keinginan pelaku industri kreatif digital untuk berkompetisi secara sehat untuk mewujudkan gagasan produk dan layanan ke publik. Pemenang mendapat modal untuk bekerja dan kesempatan mengikuti program inkubasi. Lebih dari itu, dengan menjadi fasilitator bagi industri kreatif digital di Indonesia, maka akan menghidupkan rantai proses bisnis industri kreatif berkesinambungan (sustainable).

Sustainabilitas atau kesinambungan yang akan dicapai, tentu saja melalui proses panjang yang harus dipahami oleh seorang entrepreneur di bidang ini, dalam berbagai tahapan. Pertama adalah tahap pengembangan dari ide menjadi solusi produk atau layanan, yang mana mereka diharapkan memiliki dana cukup untuk melakukan eksperimentasi terhadap model bisnis dan layanan. Setelah selesai tahapan ini, mereka perlu memiliki jalur distribusi atas produk atau layanan yang dikembangkan, sampai akhirnya akan tercapai model bisnis yang sustainable dan scalable.

Program Indigopreneur yang dilakukan pertama kali melalui Indigo Fellowship 2009, adalah membuka kesempatan bagi mereka yang baru memiliki gagasan ataupun model bisnis awal untuk dikembangkan. Para digital entrepreneur ini ditantang untuk membuat rencana bisnis yang konkrit dan bisa diimplementasikan. Selain fasilitas finansial sebagai seed capital atau modal awal bagi para pemenang lomba, mereka diberikan inkind facility pada saat mereka diinkubasi.

Evaluasi berikutnya membuka kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan potensi second round investment atau investasi tahap berikutnya, di mana kesempatan distribusi layanan melalui resource Telkom dibuka. Jadi untuk menciptakan mata rantai produk dan layanan yang sustainable, kini para entrepreneur langsung mendapatkan pijakan tanpa harus membangunnya sendiri.


T.I.M.E , Social Company?

Dalam konsep T.I.M.E yang kini dikembangkan Telkom yang mengubah diri dari perusahaan telekomunikasi menjadi lebih luas sebagai perusahaan infokom, akan memberikan solusi dari berbagai hal.

Selain menyediakan infrastruktur bagi pengembang dan kreator, kini keterlibatan komunitas dalam struktur akan membuat sebuah sistem berjalan secara berkesinambungan, karena dilakukan bersama-sama dan menguntungkan semua pihak. Infrastruktur tidak dijual sebagai komoditi, tapi konten lah yang dijual dan diintegrasikan dengan infrastruktur distribusi.

Melihat model di atas, transformasi Telkom dari perusahaan telekomunikasi menjadi infocomm company akan terwujud karena adanya integrasi pengembangan infrastruktur teknologi dan juga disertai dengan membuka kesempatan para digital entrepreneur untuk mulai berkiprah.

Pengembangan Corporate Social Responsibility [CSR] ternyata dapat menjadikan Telkom tak hanya sebuah perusahaan terbuka, PT Telkom Indonesia, Tbk. Tapi keterlibatan berbagai komponen kreatif, menggambarkan sebuah social company, di mana terjadi pemberdayaan unsur-unsur potensial dalam masyarakat. Bisa dikatakan, geliat Telkom dalam momentum transformasi bisnis ini, akan menggerakkan dunia media, informasi dan konten yang ke depan akan menjadi idola.

Friday, October 02, 2009

Batik dan Semangat Berbagi Atas Kebanggaan Milik Kita

We don't need Malaysia as our common enemy, we need our common purpose to appreciate and cultivate our culture for the future!

Tahun ini merupakan kebangkitan dari Batik Indonesia. Munculnya kebanggaan atas warisan bangsa ini dipicu oleh negara tetangga yang beberapa saat lalu melakukan klaim atas budaya Melayu. Munculnya kesadaran atas warisan tidaklah cukup, perlu adanya terobosan agar budaya kita menjadi relevan kembali ke generasi muda yang memahami semangat zaman, dan dari merekalah lahir sesuatu yang baru.

Klaim Malaysia atas beberapa produk budaya Indonesia, memunculkan euphoria. Dan atas batik, Malaysia pun sedang melakukan pemetaan batik melayu untuk turut memperkaya khasanah batik dunia, itu positif.

Problem bangsa ini antara lain masalah kecintaannya terhadap apa yang telah dimiliki, ketika terjadi klaim negeri jiran atas produk budaya menyusul klaim mereka atas wilayah geografis, banyak energi terbuang untuk menciptakan musuh bersama bernama Malaysia yang kemudian diplesetkan sebagai Malingsia.

Menciptakan musuh bersama itu mudah, namun perlu dicatat, kita membutuhkan pihak lain, termasuk Malaysia dan bangsa lain untuk berbagi, misalnya ini lho batik saya. Sehingga batik semakin menemukan kekayaan ciri khas pencapaian seni dan estetika budaya bangsa-bangsa, dan menjadi milik bersama dengan identitas dan ciri khas Indonesia ada didalamnya, yang dunia akan mengetahuinya karena kita mau berbagi dengan mereka.

Terhadap batik, yang pada 2 Oktober 2009 ini dirayakan dalam Batik Day, hari Batik Nasional, bersamaan dengan pengakuan UNESCO atas Batik Indonesia sebagai artefak budaya warisan dunia, harus menjadi momentum kebangkitan batik Indonesia. Dan kita akan membangkitkan kembali dengan kebanggaan, bukan dengan ketakutan-ketakutan atas klaim oleh bangsa lain, toh batik menjadi milik dunia dengan masing-masing bangsa memiliki keunikan, ciri khas masing-masing termasuk Indonesia.

Momentum pengakuan batik Indonesia sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan, mengingatkan pada implementasi atas gerakan Mahatma Gandhi dalam Swadhesi. Gerakan Swadeshi ini diserukan Mahatma Gandhi untuk melawan dominasi eropa yang dengan imperialisme dan kapitalismenya mengancam India hanya menjadi budak dan pasar. Mengambil pelajaran Swadeshi, inilah saatnya menyerukan kembali kecintaan terhadap produk dalam negeri. Membeli dan memakai batik Indonesia, batik lokal, adalah kontribusi bagi bangkitnya industri dan pasar batik dalam negeri yang di era pasar bebas ini harus bersaing dengan batik China dan sebagainya.

Madiba, adalah kebanggaan batik Afrika yang selalu dikenakan Nelson Mandela sebagai kepala Negara dalam setiap aktifitas formil non formil. Batik Indonesia, juga menemani Presiden Soeharto dalam setiap acara menerima tamu Negara dan lawatan luar negeri, bahkan mengirim surat resmi ke Bill Clinton untuk mengenakan batik Indonesia yang ia siapkan untuk konferensi APEC 1994 dan Clinton berkenan memakainya. Sampai begitu tingginya estetika batik, Prada, dilukis dengan tinta emas dan hanya bangsawan yang mampu memakainya.

Tinggal selanjutnya, melakukan berbagai upaya melestarikannya, tak hanya menjaganya memagari agar tak diklaim bangsa lain, tapi juga kreatif mengemasnya, bangga memakainya dan membuka diri terhadap dunia luar dengan komunikasi yang baik, agar tak sekedar terdengar gaungnya di seluruh dunia, tapi juga bernilai tambah ekonomi.

Mengutip statement saya @andisboediman di Twitter, kita perlu membangkitkan kesadaran atas produk budaya leluhur yang adiluhung dengan pondasi semangat kebanggaan dan mau berbagi, bukan atas dasar rasa benci, If we are driven by fear that our culture is stolen, we can only hate, but if we are driven by pride of what we had, we will have more to share!