Thursday, August 31, 2006

Sinetron Kampungan–Berdosa atau Berjasa!?

Dulu saya berpendapat bahwa kualitas animasi dan film Indonesia demikian buruk sehingga saya berpikir kok ada yang tega bikin seperti itu ya.

10 tahun yang lalu ketika pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa sekian persen materi program di TV harus lokal, para akademisi dan praktisi sibuk membuat seminar apa yang harus dilakukan, gimana solusinya, dll. Tetapi si Punjabi tidak pernah mengikuti seminar-seminar ini dan dia sibuk mulai produksi sinetron kacangan yang kemudian merajai seluruh TV Indonesia.

Ketika saya pergi ke Singapore dan ngobrol dengan satpam di NTU (ITBnya Spore), dia tau banyak tentang Indonesia, tentang presiden, tentang kehebohan, bencana, dll. Saya heran akan hal ini dan dia bilang bahwa dia bisa menerima TV Indonesia di rumahnya. Dia punya relationship dan kecintaan sendiri terhadap Indonesia karena program2 TV yang ia tonton.

Ketika kita melihat generasi muda saat ini, mereka ternyata dijajah oleh Amerika karena Hollywood, McDonalds & Starbucks. Mereka juga dijajah oleh Jepang dengan manga yg dicetak 1,5 jt kopi setiap bulan & anime yang ada 100 episode setiap minggu di TV. Mereka dijajah Korea dengan Ragnarok yang mereka mainkan setiap hari sepulang sekolah. Bentuk penjajahan yang lebih powerful adalah penjajahan media, bukan penjajahan fisik. Kita hidup sebagai penduduk dunia yang sangat dipengaruhi oleh budaya global.

Ketika saya berpikir untuk going global dan mencari apa yang bisa kita ekspor, saya melihat bahwa setiap negara yang mampu menangani ekspor selalu punya industri dalam negeri yang mampu sustain kebutuhan dalam negerinya. Hongkong sudah punya industri film dalam negeri sebelum mengekspor John Woo dan Jacky Chan. India juga punya industri film paling banyak penontonnya, bahkan memiliki digital cinema terbanyak di dunia, setiap nonton bisa 1000 orang. Mereka mampu memproduksi hingga 300 film setahun, lebih dari Hollywood yang sekitar 100 film.

Agar Indonesia mampu menjadi pemain dunia, bukan hanya produk dan craft yang bisa dijadikan andalan. Jangka panjang, ekspor media merupakan bagian dari pembentukan pop culture yang memastikan kita menjadi bagian dari global supply chain yang memiliki produk dan budaya yang unik dan mampu mewarnai dunia.

Ketika berkaca terhadap hal ini, apa yang kita miliki hari ini? Ternyata kita memiliki dangdut, kita memiliki sinetron, kita punya pengguna mobile phone salah satu terbesar di dunia, kita punya musik Padi dan Peter Pan.

Oleh karena itu ketika KDI sukses, saya bertanya kepada TPI, bagaimana dengan ekspor. Mereka jawab: Sudah! Ekspor ke Malaysia. Padahal, apakah kita pernah berbangga terhadap Dangdut ini? Bagaimana dengan Denpasar Moon?

Ketika budaya lokal mulai tergilas oleh media modern, program seperti Lenong Rumpi mampu menyeruak dan memberikan warna segar di televisi. Demikian pula halnya dengan Transvaganza. It's so Indonesia. And everybody love them.

Apakah saya bangga terhadap sinetron Indonesia? Tidak. Tapi apakah industri ini self sustain? Iya. Apakah bisa diekspor? Bisa banget! Kita sudah ekspor TKI, tentu kita bisa ekspor budaya Indonesia melalui TKI ini. Sinetron ini bisa laku diputar di Arab, Hongkong, dan negara manapun yang menyerap TKI paling banyak dari Indonesia. Ini adalah strategi grass root untuk mewarnai budaya dunia.

Tanpa segudang film sinetron kelas kampung seperti Jin dan Jun, bagaimana para pendatang baru di sinetron bisa latihan dan dibayar murah. Tanpa duit dari industri sinetron kelas bawah ini, tidak mungkin artis tersebut mendaki dan menjadi Bella Saphira yang bisa main di Mega Sinetron. Kenapa ada Mega Sinetron yang bertabur bintang? Karena seluruh jajaran tangga industri sudah lengkap. Ada pasar dari bawah hingga ke atas. Kita perlu ini. Jadi kita perlu berterima kasih kepada Punjabi yang menghujani kita dengan sinetron kelas rendah ini karena dari dia pula ada Mega Sinetron, dan ada bintang, dan ada ekspor, dan ada budaya Indonesia yang mampu berbicara menjadi bagian dari budaya dunia.

Apakah kita sebagai generasi muda perlu meniru jalan ini? Saya yakin industrinya sudah terbentuk, oleh karena itu, kita yang lebih muda tinggal menikmati hasilnya, penonton sudah ada. Biarlah kita berkarya yang terbaik untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan sekedar sinetron kampung, tapi juga penghasil film bermutu. Kita tidak perlu mencela yang sudah ada. Kita malah harus berterima kasih. Tinggal kita yang harus membuktikan.

Mungkin bisa dengan menginternasionalkan Padi dan Peter Pan. Mungkin dengan membuat cerita Pandawa dan Kurawa dalam bentuk anime. Mungkin dengan membuat Dangdut Club yang sophisticated kayak Starbucks.

Sejuta kesempatan, biarlah waktu yang membuktikan!


That's my opinion,

Andi S. Boediman

Wednesday, August 30, 2006

IDE Awards @ Petasan Grafis


Moralitas Pers, Dolanpiade, Batik Illusion, Peranakan Idealis

Source: Imajineo

IDE AWARDS Ide Awards adalah kompetisi kreatif Mahasiswa dengan bingkai nasionalisme. Tujuan lomba ini sangat mulia, menggali kembali nasionalisme yang dikomunikasikan melalui ide-ide kreatif. Lomba ini dibagi tiga tema, yaitu:

  • Kemasan Makanan Tradisional Indonesia (eksplorasi kemasan dodol durian, tape ketan)
  • Acara/Event (promosi tari-tarian daerah, recital, gamelan);
  • Destination Branding (mengolah program komunikasi visual suatu tempat, seperti pantai, museum, wisata, tempat bersejarah) yang menarik di Indonesia.
Dan JAWARA nya adalah..
  • Dolanpiade, dari Digital Studio Jakarta (Dicky Mardona, Meliana Sari Hermanto, Octavia Subiyanto, Rifky Zulkarnain, Welly Caslin).
  • Peranakan Idealis, dari Institut Kesenian Jakarta (Irvan Muaia Ahmadi, Rahayu Pratiwi, Husin AL Kaff, Muhammad Rizki Lazuardy).
  • Lurjuk, dari Universitas Petra Surabaya, (Aileen Halim, Ang Siau Fang, Selvy Hermawan)
  • Batik Illusion, dari Universitas Bina Nusantara, (Adeline Ardine, Fredy Susanto, Nadya Kartika, Natalia)
  • Moralitas Pers, dari Universitas Bina Nusantara, (Kezia Winarta Wahyuni Wijayati, Lia Anggraeni, Filina Vicentia, Tafrian)
Publikasi pemenang dilakukan pada acara Petasan Grafis di Galeri Nasional yang dihadiri oleh Ibu Mari E. Pangestu.

Petasan Grafis Adgi



Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Adgi dengan Galeri Nasional berlangsung dari tanggal 16-30 Agustus 2006 dan dibuka secara resmi oleh Menteri Perdagangan Indonesia, Marie Elka Pangestu. Komponen pokok dari acara ini adalah “Ide Award 2006” sebuah kompetisi desain grafis yang menonjolkan sisi ke-Indonesiaan dari aspek kultur sosial, sejarah visual dan aspek rupa. Peserta terdiri dari 50 perguruan tinggi desain komunikasi visual di seluruh Indonesia.

Friday, August 18, 2006

Perang Harga!? No Way!

Strategi Industri melalui Teknologi dan Penciptaan Nilai
Bagian ke-2 dari tulisan Digital Printing

Teknologi sebagai Strategi

Munculnya teknologi baru selalu membawa perubahan pada peta industri. Teknologi desktop publishing mengizinkan banyak pemain baru terjun ke indutri desain dengan mudah. Digital camera melahirkan banyak fotografer muda yang bisa bersaing di kancah fotografi profesional. Lahirnya large format printing memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk terjun ke industri cetak.

Dalam hal ini teknologi membuat ajang permainan menjadi adil dan flat, karena pemain baru dan pemain lama bersama-sama berangkat dari titik awal. Ini seperti halnya handicap di dalam permainan golf. Oleh karena itu, dengan setiap perubahan teknologi, selalu muncul banyak pemain baru yang dapat menggeser posisi pemain lama.

Tetapi kondisi ini tidaklah berlangsung lama. Akan selalu muncul teknologi yang lebih baru dan lebih murah. Ketika teknologi menjadi komoditas, maka banyak faktor lain yang berperan. Sayangnya, kebanyakan pelaku industri selalu berbicara dengan harga sebagai satu-satunya solusi.


Penciptaan Nilai (Value Added)

Bagaimana kita memberikan nilai pada produk paritas seperti misalnya fotocopy dan cuci cetak foto? Mari kita belajar dari industri makanan dan minuman. Starbucks menjual kopi seharga puluhan ribu, padahal di warung mungkin hanya seribu rupiah. Banyak pelanggan menjadikan Starbucks sebagai meeting room dan ruang kerja dengan hanya secangkir kopi.

Melalui strategi lokasi kita meletakkan bisnis digital printing di area office building. Di sini kita tidak lagi berada di dalam bisnis digital printing, tetapi di dalam bisnis office solution. Kita bisa menawarkan beragam template proposal dan presentasi yang tinggal dipilih pelanggan. Harga premium bisa kita tawarkan sebagai solusi mendesain dan mencetak proposal yang menarik.

Banyak apotik dan laundry yang menyediakan jasa antar jemput. Bisa jadi strategi distribusi ini menjadi value added yang kita tawarkan pada digital printing. Jika komoditas yang berharga adalah waktu, mengapa belum ada perusahaan digital printing yang menggaransi ambil dan antar hasil cetak dalam 24 jam? Fedex menjadi salah satu perusahaan pengiriman terbesar di dunia dengan menjadikan overnight sebagai kata kunci. Domino Pizza menggaransi 15 menit pengiriman pizza atau gratis. Mungkin Anda bisa menggaji Spiderman untuk jaminan ini :-).

Jika desain seringkali menjadi jasa yang disediakan oleh digital printing sebagai keterpaksaan, mengapa tidak menjadikannya sebagai nilai tambah? Misalnya menawarkan paket pencetakan yang meliputi jasa desain sekian jam secara gratis dan file tetap disimpan oleh perusahaan digital printing untuk cetak berikutnya. Metode ini sudah digunakan oleh para fotografer wedding bertahun-tahun.

Masih banyak lagi cara-cara untuk memberikan nilai tambah. Kita bisa belajar dari berbagai industri lain.


Murah, Cepat, Bagus!

Semua pelanggan di dunia selalu berharap dari tiga hal ini: murah, cepat dan bagus. Tetapi sayangnya kita hanya bisa memberikan dua dari tiga. Satu-satunya cara untuk mendapatkan ketiganya adalah dengan ‘banyak.’ Dalam hal ini sudah tercapai economic of scale dan rutinitas produksi.

Prinsip Pareto mengatakan 80:20, yakni 80% pemasukan berasal dari 20% pelanggan. Oleh karena itu, privilege ini hanya kita tawarkan kepada pelanggan tetap yang sudah saling percaya dan melakukan pembelian secara rutin.


‘Tambah French Fries?’

Produk apa yang paling laku dan menguntungkan di restaurant? Nasi putih dan es teh. Tetapi apakah ada resto yang mempromosikannya? Hal ini karena keduanya merupakan komoditi dan fitur standar yang harus dimiliki setiap resto.

McDonald’s tidak pernah mempromosikan kentangnya, hanya burgernya. Pertanyaan paling menguntungkan yang mereka lontarkan kepada pelanggan yang membeli burger adalah ‘Tambah French Fries?’ Setelah menjual nilai tambah, kita perlu menawarkan kepada pelanggan berapa banyak produk komoditas yang mereka harapkan.

Foto kopi dan cetak foto merupakan contoh komoditas di industri digital printing. Pertanyaan yang lebih penting adalah nilai tambah apa yang bisa kita tawarkan kepada pelanggan? Waktu? Kualitas layanan? Lokasi? Jaminan keamanan? Solusi bisnis? Setelah itu barulah kita tawarkan produk komoditas sebagai layanan standar.

mySimon.com, sebuah situs yang memberikan komparasi harga produk membuktikan bahwa hanya 20% pelanggan yang memilih untuk membeli harga paling murah. Mayoritas pelanggan memilih membeli dari retailer yang mereka percaya meskipun harga lebih mahal. Dengan demikian, harga bukanlah satu-satunya strategi untuk berkubang di industri digital printing! Be creative! Be resourceful! Be entrepreneur!


*Artikel ini akan dipublikasikan pada Expre – Expo Preview FGD Expo

Terlibat atau Terlibas? Peluang Baru Industri Digital Printing

Bagian ke-1 dari tulisan Digital Printing

Kancah industri cetak belakangan ini menjadi marak dengan perkembangan teknologi digital printing. Mulai dari desain, fotografi hingga cetak kini sudah terhubung di dalam rangkaian proses digital.

Pergeseran teknologi selalu menciptakan peluang baru. Lahirnya digital photography memberikan jendela kesempatan bagi fotografer yang inovatif untuk memperkenalkan jasa ini dan mampu bersaing dengan pemain yang lebih senior. Lahirnya digital large format printing membuka peluang bagi pemain baru untuk terjun ke industri promosi yang sebelumnya hanya didominasi oleh billboard, spanduk dan baliho.


Desain dan Advertising

Bagi para desainer, pelaku dunia advertising dan marketing, teknologi digital printing mengizinkan untuk membuat desain dengan jumlah terbatas, seperti pembuatan undangan, menu, brosur untuk launching, dan banyak lagi.

Untuk pembuatan packaging, sertifikat dan label yang membutuhkan data variabel juga bisa dipenuhi oleh teknologi ini. Selain itu aplikasi proofing untuk memprediksi dan persetujuan klien juga dimungkinkan melalui akurasi dan konsistensi warna yang dihasilkan oleh digital printing.

Advertising belakangan ini mengalami masa sulit akibat munculnya media specialist. Banyak advertising agency yang beralih menjadi brand activation agency, di mana komunikasi disalurkan tidak lagi melalui media konvensional, tetapi melalui beragam titik sentuh. Salah satu medium yang bisa dimanfaatkan adalah direct marketing yang personalized, di mana kita bisa menjalankan mass customization untuk pelanggan.


Pracetak


Lahirnya CTP (computer to plate), digital proofing dan solusi Adobe Acrobat® ternyata memberikan dampak besar terhadap perkembangan dunia cetak dan pracetak. Beberapa perusahaan imagesetter telah meninggalkan produksi mesin ini. Nasib industri pracetak menjadi tanda tanya besar.

Dalam kurun waktu 10 tahun mendatang bisa dipastikan bahwa jasa pracetak akan terlibas. Perusahaan pracetak perlu menemukan dirinya kembali. Salah satunya adalah dengan masuk ke industri digital printing.


Penerbitan


Saat ini jumlah judul buku yang diterbitkan makin bervariasi tetapi seringkali kebutuhan buku ini tidak dalam jumlah banyak. Kutukan 3000 adalah tantangan besar bagi penerbit karena buku harus dicetak dengan jumlah 3000 buah baru tercapai economic of scale. Oleh karena itu sangat dibutuhkan teknologi digital printing untuk kebutuhan publikasi dalam jumlah terbatas. Beberapa contoh publikasi dalam jumlah terbatas ini adalah buku skripsi, modul pelatihan, riset marketing, proposal dan laporan. Selain itu juga buku untuk kebutuhan industri yang sempit misalnya kesehatan, teknis, dll.

Penerbit saat ini dihadapkan pada banyaknya buku yang tidak terjual hanya dihargai sebagai kertas bekas. Dengan teknologi on demand printing di mana pencetakan hanya dilakukan sebatas kebutuhan, maka teknik ini menjadi solusi saving cost yang sangat baik. Hampir 80% buku yang ada di dunia saat ini belum habis masa hak ciptanya tetapi sudah tidak beredar di pasaran karena jika harus dicetak ulang biaya minimum cetak sudah tidak sepadan. Sangat besar potensi pasar untuk revitalisasi isi buku melalui cetak on demand ini.


Percetakan

Persaingan yang amat tajam di industri percetakan sangat memberatkan bagi para pelaku industri. Beberapa metode yang dilakukan oleh pelaku industri cetak ini di antaranya adalah memilih pasar yang sempit dan banyak pula yang melakukan perang harga. Salah satu peluang yang terbuka lebar adalah melayani pasar yang lebih besar dengan digital printing.

Selain itu digital printing juga bisa dimanfaatkan sebagai teknologi proofing bagi klien sebelum pencetakan jumlah banyak dengan offset dijalankan.

Perubahan teknologi ini membuka kesempatan bagi percetakan untuk melayani pasar yang lebih luas karena dengan mengizinkan limit yang lebih kecil untuk jumlah cetak, tentu akan lebih banyak pelanggan yang tertarik untuk melakukan publikasi dan promosi.
Belum lagi dengan digital printing, down time mesin hampir tidak ada sehingga produktivitas bisa jauh lebih tinggi.


Fotocopy & Imaging

Harga dasar foto kopi dan digital printing sudah berimbang dan kualitas digital printing jauh di atas foto kopi. Dalam waktu tidak terlalu lama besar kemungkinan para pelaku industri foto kopi harus bergeser menggunakan teknologi digital printing. Teknologi foto kopi warna yang berkembang pesat di berbagai negara sudah dengan mudah direplikasi dengan hasil yang lebih baik oleh digital printing.

Dengan kemampuan direct to print, makin banyak perusahaan mempercayakan pencetakan dokumen ke supplier. Perusahaan besar seperti bank, telekomunikasi, consumer goods, dll saat ini sangat menekankan pentingnya training di mana semua modul training ini bisa disimpan secara digital dan dicetak bilamana perlu.

Digital Printing memberikan ruang gerak yang masih sangat luas bagi para pionir, pelaku bisnis dan entrepreneur yang memiliki visi bisnis yang tajam. Melalui digital printing, beberapa industri besar akan berevolusi dan terjadi konvergensi di berbagai bidang industri.

Masih terbuka luas peluang di industri digital printing. Ini adalah kesempatan emas untuk terlibat, bukan terlibas!

Andi S. Boediman
Sebagai entrepreneur, Andi mendirikan Digital Studio (www.digitalstudio.co.id)–sekolah computer graphics pertama di Indonesia dan Admire (www.admire.co.id)–integrated marketing communication dengan klien seperti Timezone dan Walls.


* Artikel dimuat di Expre – Expo Preview FGD Expo

Packaging Design. Silent Salesman No More!

An Insight Behind Packaging Design Strategy

Today market is cluttered with competing brands and media, marketers have to exploit all angles of a brand's experience with the consumer. Given the various media choices and market fragmentation, marketing tools are being reviewed, and more emphasis is being put on packaging.

Packaging has often been called the 'silent salesman'. Packaging can be the source of visual inspiration. Packaging is essential in creating the brand image that comes to mind when discussing a brand. So, it is time the silent salesman was silent no longer.


Packaging Design as Competitive Strategy

Once economic crisis hit throughout Asia, Indonesia is severely hit by this turmoil. The short-term side effect has been a temporary slowdown in domestic demand and economic growth. And a good business sentiment is needed to improve the market climate.

Some of the changes in consumer behavior when economic crisis happened is that everybody will have to lower their standard of living – for example, somebody who used to use liquid soaps will use bar soaps and somebody who used to use bar soap will use ‘sabun colek’.


With previous experience facing economic crisis in various country, Blue Band quickly anticipate this problem. Since the packaging cost is prohibitively expensive compare to the packaged goods, tin packaging will have to be changed to carton packaging.

The packaging should also act as a point of sales since in rural and remote area the product will be self-displayed in small kiosk as the main distribution point. People will buy margarine by weight instead of buying them in a package. A simple design solution is crafted using a longer flap for the top flange and put a graphic that is used as a self-display.

Unluckily, bakery expressed their concern since changing the package will affect margarine flavor as their utmost selling point.

Then the packaging design serves the purpose for keeping the brand competitive and self sustain during the economic crisis. Today Blue Band has retained its leadership as the leading brand in margarine.



Packaging Design as Storytelling

What makes multinational brands want to cater to market that has a very low per capita consumption. It means large untapped potential!

Indonesia has lower ice cream consumption than many other countries. In order to educate the market, Wall’s starting at the very early age. Through Paddle Pop, its flagship brand for kids, they build brand stature through various creative strategy, such as creating adventure story for Paddle Pop Lion mascot. Its rainbow colors and fun flavors are a hit! The Paddle Pop Lion is the friendly face of fun and adventure and this ice-cream rates the fastest selling and most popular ice-cream among school-going children.

Before the concept story unfold, it started with various possible direction. Packaging plays an important role to define the visual direction for the story. It is then adapted to various application such as point of sales, range card and other promotional items.

Through activities, media, promotion and packaging, Unilever engage 360° marketing strategy to create a personal experience for the consumer. In this case, packaging become one of the end vehicle to fulfill kid’s imagination in enhancing the experience.

Millward Brown was hired to evaluate the strategy and its effectiveness. This study then used as a base for the next year strategy.

Within the past 7 years, Wall’s compound annual growth in Indonesia has replaced Thailand as the brand development center. The packaging design was then adopted as the visual direction and inspiration for other countries, such as Thailand and Singapore.


Packaging Design as International Gateway

A cassava chip is a slim slice of a cassava deep fried or baked until crisp. This chips serve as an appetizer or snack. Commercial varieties are packaged for sale, usually in bags. The simplest chips are simply cooked and salted, but manufacturers can add a wide variety of seasonings. Cassava chip is considered an export commodity.

Kusuka is created as a strategy to optimize factory production cycle. Instead of using common distribution channel, this product is spread through Mum’s network because the factory won’t be able to commit the product continuous supply. This unique distribution methods quickly become ‘word of mouth’ strategy and people start looking for the product.

Conventional clear plastic packaging soon replaced by a new packaging design. A design study is conducted considering Kusuka will compete with other products on hypermarket shelves. Hypermarkets are becoming increasingly important for the consumer retail business. Also known as 'non-selling floors’, these environment allow consumers to browse unaided through rows of boxes, following a 'scan-and-choose' purchase procedure. This distribution model has intensified the packaging design role within a marketing strategy. Rather than merely protecting products, packaging, together with the supporting point of sale and retail solutions, has become the means to sell them, the 'silent salesman' that triggers consumers in their selection process.

The final design solution use combination of yellow and green to create a very appetizing look. Client’s favorite element is the use of the product photo from above. With the new design, consumer quickly identify Kusuka as the leading brand in cassava chip.

Even the big brand curiously and continuously watch this new player and before long, they started to copy the product. Some of the key feature that keep Kusuka as the leading brand is the product experience, unique distribution point and fresh look packaging design.

At the moment, Kusuka enjoys a high growth demand in local market and started become an export darling. It has just been introduced to Phillipines and distributed to various other countries through Alibaba.com, the leading global trader website.


Packaging Design as Brand Strategy

Trends towards healthier eating and an increasing interest in more organic products are the key reasons for the growth in fruit juice market. Healthy living is a growing trend and people just can't get enough of these kinds of products. It was then a commodity product and takes times to prepare. And consumers are demanding high quality premium products.

Based on this idea, Mama Roz brand is created. Starting with the name, it signifies the product is prepared by human being in a warm environment, freshly produce and prepared everyday to the consumer door. The identity gives a living brand personality. The use of warm color and stylized photo illustration engage an emotional relationship towards the brand promise.

One of the challenges in mixed juice is that they don’t blend very well. Therefore an opaque bottle is used surrounded by nicely designed label.

This key identity then defines the whole campaign, from packaging to advertising. Consistent look and feel communicates the brand promise in a credible and convincing way.

The future lies in an integration of harmonized solution media channels and communication. We are talking about marketing communications, point of sales materials, retail environments and packaging.

To create a complete brand experience, every single product communication activity will become an important tool within a total brand communications arsenal. The packaging could no longer be a silent salesman.

* This article will be published in international packaging magazine.

Andi S. Boediman is an award winning designer living in Jakarta – Indonesia. His design is awarded The Best Creative Graphic Design by IdN (International Design Network) and has been exhibited in Singapore, Hongkong, USA. His works has been published by PIE Books, Japan. He is the founder of Admire – Integrated Marketing Communication (www.admire.co.id), which serves international clients such as Unilever, Timezone and many others.