Sunday, October 24, 2004

Interview by Packaging Magazine

T. Hal-hal apa yang memicu Anda untuk membuka training center di bidang computer graphic?

J. Awalnya saya mengalami bahwa untuk terjun ke industri diperlukan skill dan knowledge khusus yang ternyata tidak bisa dipenuhi hanya dengan belajar di sekolah. Selain itu, rekan-rekan di industri juga banyak mengalami kesulitan karena kurang adanya sosialisasi tentang pengetahuan produksi yang baik.

Pengalaman yang kita dapatkan di lapangan tersebut sangat berharga untuk bisa di-share ke pelaku industri maupun para pemula yang ingin terjun. Ini adalah alasan yang memicu kita mengembangkan pendidikan computer graphic.

T. Kendala apa yang Anda hadapi pada saat pertama membuka training center?

J. Kita membuka training center dengan hanya modal semangat :), jadi tidak punya pengalaman management, marketing, dll. Kendala awal yang muncul adalah proses sosialisasi dan marketing, kemudian berlanjut ke standarisasi (modul dan pengajar), dan setelah itu adalah administrasi dan sistem. Yang belakangan berhubungan dengan SDM.

T. Kontribusi apa yang sudah disumbangkan Digital Studio selama membuka training center ini?


J. Kita memiliki Workshop dan College, di mana workshop ke arah pelatihan singkat (skill) dan College adalah program panjang 16 bulan yang menggabungkan skill dan knowledge. Lulusan workshop saat ini sudah lebih dari 5000 orang di Jakarta, Surabaya, Bandung. Sedang untuk College berjumlah sekitar 200 orang.

T. Kendalah apa yang masih dimiliki dalam rangka mengembangkan training centre ini, baik ke bidang yang lain atau meluaskannya ke berbagai daerah lain?

J. Untuk pengembangan ke daerah lain, kendala terbesar adalah standarisasi pengajaran, sedang untuk pengembangan ke bidang lain, kendalanya adalah dibutuhkan research dan development serta usaha introduksi yang tidak kecil ke masyarakat.

T. Hal apa yang masih Anda cita-citakan dan belum tercapai? Mengapa?

J. Secara jangka pendek adalah pengembangan ke daerah lain. Saat ini kita memilih secara bertahap karena perkembangan yang terlalu pesat sangat menyulitkan dari sisi pengembangan SDM dan supervisi kualitas.

Secara jangka panjang, kita memiliki potensi ke beberapa aspek, seperti sebagai partner SDM dalam skala yang lebih luas, konsepnya seperti human resource center, di mana kebutuhan perusahaan dan SDM masing-masing bisa kita jembatani. Berikutnya kita bisa memasuki sebagai project center, di mana kita mempertemukan buyer dan seller project kreatif.

Rencana-rencana semacam ini sebaiknya memang dilakukan bertahap karena kita sendiri masih harus melakukan uji coba pasar.

T. Anda juga membuat design grafis dari packaging Walls (Unilever). Bagaimana di usia muda Anda sudah mendapatkan kepercayaan untuk pekerjaan penting dan dari perusahaan yang sangat bereputasi tersebut?

J. Terjadinya krisis ternyata memberikan banyak tantangan baru, klien saya yang sebelumnya banyak di real estate banyak mengalami krisis. Perusahaan consumer goods seperti Unilever yang besar bisa memberikan kesempatan kepada kita karena mencari desain yang bagus dengan harga reasonable.

Sebagai tambahan informasi, di awal kita diberi tantangan untuk implementasi logo Walls yang membutuhkan banyak detail teknis di berbagai media seperti freezer, kendaraan dan pabrik. Inilah yang menumbuhkan kepercayaan dari mereka.

Kepercayaan tersebut kini berlanjut dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan packaging di Asia Tenggara dan ada desain kita yang sudah digunakan secara regional.

T. Pendapat Anda mengenai desain kemasan di Indonesia pada umumnya?

J. Kita perlu melihat dalam wacana yang lebih luas bahwa masih banyak perusahaan di Indonesia yang berada di fase manufacture yang product oriented, padahal kini dibutuhkan perusahaan yang berorientasi kepada market dengan menciptakan brand. Perlu diingat bahwa product is created in the factory and brand is created in the mind.

Packaging sebagai salah satu ujung tombak pemasaran bukan sekedar bungkus, tetapi bagian dari consumer touching point yang mengkomunikasikan positioning dan diferensiasi produk serta mampu menciptakan impulse buying.

Oleh karena itu, kita bukanlah sekedar desainer, tetapi strategic partner yang perlu memahami seluruh proses produk dan marketing secara holistik. Hanya dalam posisi ini kita bisa memiliki bargaining dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan yang lebih baik.

Salah satu aspek yang belum tergali adalah riset perilaku konsumen yang terintegrasi dalam proses desain. Di sini bisa ditawarkan solusi kepada klien, mulai dari riset awal, proses desain hingga pengujian di lapangan.

Secara umum, proses berpikir desainer masih dalam skala sempit dan hanya masalah estetis dan teknis yang jadi perhatian. Dari sisi klien, proses berpikir hanya melihat dari sisi produk dan bukan dari sisi marketing.

Desain kemasan di Indonesia pada umumnya ditangani oleh 4 kelompok:
  1. Bagian desain pabrik (in house desainer)
  2. Desainer atau bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan
  3. Studio desain dengan penekanan pada grafis
  4. Perusahaan periklanan

T. Apakah terdapat kesulitan dalam pengambilan keputusan mengenai spesifikasi desain, dll. Komunikasi yang kurang baik dari berbagai pihak tersebut?

J. Sebenarnya hal ini tergantung pada skala project dan klien. Ada perusahaan yang memiliki in-house designer yang cukup kompeten, tetapi ada pula yang hanya diarahkan untuk support.

Pada perusahaan multinational yang cukup besar, spesifikasi packaging biasanya ditentukan terlebih dahulu karena menyangkut biaya produksi. Kemudian inhouse design menyiapkan technical specification dan diberikan kepada designer luar untuk dijadikan sebagai patokan.

Untuk perubahan minor dan brand extension product, banyak dilakukan oleh inhouse design daripada diberikan ke pihak luar. Tetapi untuk product baru, mereka lebih cenderung mengundang pitch beberapa agency untuk mendapatkan fresh perspective.

Desainer bagian processing perusahaan percetakan atau kemasan memulai dari batasan teknis dan mencari alternatif desain yang mungkin. Klien yang mereka layani umumnya perusahaan yang product oriented di mana cost produksi menjadi hal utama. Cukup sering desain kurang dipertimbangkan dari sisi marketing.

Studio desain grafis biasanya memberikan rancangan yang lebih menarik dengan konsentrasi pertimbangan estetis. Tantangan yang dihadapi perusahaan grafis adalah masalah teknis yang bisa diatasi melalui komunikasi dari awal dengan pihak produksi packaging serta klien.

Pada perusahaan periklanan, diskusi diawali dengan konsep marketing dan baru masuk ke packaging sebagai bagian dari integrasi komunikasi. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah teknis produksi.

Jadi setiap kelompok desainer selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Semuanya ini bisa diatasi dengan komunikasi berbagai pihak dari awal.

T. Adakah desain Anda yang mendapat kesulitan untuk mewujudkannya (teknik cetak kurang dikuasai percetakan, tinta yang tidak memadai kualitasnya, kertas yang itu itu saja adanya, dll?

J. Cukup sering, misalnya dalam kasus label tub packaging Walls, digunakan tinta cetak metalik, saat itu solusinya adalah dengan menggunakan proof cetak, di mana kita mengalokasikan budget untuk membuat beberapa versi film, plat dan dijalankan di mesin cetak untuk mendapatkan hasil akhir yang dipilih klien.






Pada kasus lid Thick Shake Walls, rencana awal digunakan tinta CMYK pada plastik. Kemauan klien untuk mendapatkan warna coklat yang solid tidak bisa dipenuhi karena penggunaan separasi. Akhirnya diputuskan untuk menambahkan warna spot untuk coklat dengan mengalokasikan budget cetak tambahan.

Biasanya kesulitan teknis banyak dialami saat menyiapkan final artwork karena packaging punya batasan teknis yang cukup banyak, misalnya persiapan bleed, desain yang tidak boleh terputus karena akan dicetak secara continuous, reproduksi warna-warna khusus, pengetahuan bahan biasanya mempengaruhi pemuaian, penggunaan raster (halftone screen) yang tepat dan banyak lagi.

Desainer untuk packaging mutlak memahami proses produksi tersebut untuk membuat rancangan yang implementable dan hasilnya memuaskan klien, desainer dan produksi.

T. Apa saran Anda untuk memperbaiki kondisi tersebut ?


J. Sinergi berbagai pihak akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap seluruh industri. Dari sisi produsen pengemasan, bisa dibuat sosialisasi tentang proses kerja dan batasan teknis baik kepada klien maupun desainer.

Dari sisi desainer, sebaiknya memahami proses packaging tidak sekedar dari estetis, tetapi melihat dari sisi marketing dan branding. Mereka juga bisa mempelajari hal-hal teknis produksi. Sebagai lembaga pendidikan mungkin bisa mempertemukan antara para pelaku industri ini untuk saling sharing tentang proses produksi.

Thursday, September 30, 2004

Let Digital Lifestyle Lead Your Future!

Berani taruhan!? Anda semua yang sedang membaca artikel ini sesekali berhenti karena menjawab panggilan ha-pe dan es-em-es, untuk mengintip gosip terbaru, menjawab panggilan do’i tercinta atau tuntutan rekanan bisnis. Siapa yang nggak punya handphone ngacung! Demi model terbaru yang pake kamera, meski bela-belain tiga empat bulan gaji juga nggak apa. Padahal dari segudang fitur, yang kita gunakan tiap hari mungkin tidak ada sepertiganya. That’s us, right!

Mengapa kita menggunakan gadget canggih? Apakah untuk show off? Untuk menjadi techno-nerd? Untuk menunjukkan kita berada pada garda depan teknologi? Apakah itu tujuan teknologi diciptakan? I think it’s NOT ONLY about high tech, but it’s about high touch! Kita menggunakan perangkat tersebut untuk selalu berhubungan. It’s NOT ONLY about digital, it’s about lifestyle! Bukan teknologinya, tetapi gaya hidupnya. Paradoks global membuat kita makin individual, tetapi makin perlu terhubung dan terkoneksi dan teknologi adalah fasilitasnya. Teknologi bukan tujuan, tetapi sarana.

Telepon butuh 100 tahun untuk menjadi bagian dari hidup kita. Listrik butuh 80 tahun dan televisi 40 tahun. Bayangkan hidup tanpa telepon, tanpa listrik dan tanpa televisi. Tanpa lampu, tanpa kulkas, tanpa AFI, tanpa sinetron tercinta, tanpa news update terbaru. Basi banget deh! Teknologi digital, komputer dan Internet hanya butuh kurang dari 20 tahun to be a part of our life.

Dengan teknologi, dunia telah menjadi global village (kampung global), tetapi kita tidak mau kehilangan jati diri. Dengan tingkat clutter televisi tertinggi di dunia (sumber: Kompas), di mana setiap menit kita dibombardir satu iklan, kita sudah mengaktifkan radar untuk menekan remote control begitu melihat iklan. Kita menghendaki kontrol atas informasi yang kita terima. Informasi seharusnya on demand dan interaktif, a la SMS siapa yang harus pulang pada konser Indonesian Idol berikutnya.

Kita simpan our slice of life melalui medium foto, video dan audio. Digital memberikan harga lebih murah, lebih cepat dan tahan lama. Tidak hanya foto keluarga, kamera digital kita manfaatkan untuk menyimpan kliping gambar favorit atau flyer dari pameran. Koleksi CD terbaru kita transfer ke mini iPod, mp3 player paling gres dari Apple. Video hasil shooting kita kombinasi dengan foto-foto untuk disimpan ke VCD atau DVD menggunakan software iDVD. Pada akhirnya, kebutuhan untuk melihat, merasakan, mendengar, berpikir dan berhubungan yang membuat kita being human. Let Digital Lifestyle Lead Your Future!


Further Reading
High Tech, High Touch – John Naisbitt
Being Digital – Nicholas Negroponte
Crossing the Chasm – Geoffrey Moore

previously published at PS Magazine

Sunday, August 08, 2004

Quo Vadis Komvis?

Perjalanan ke sekolah ditemani oleh penyiar kesayangan dari radio gaul. Saat pelajaran berlangsung, gosip paling gres tetap terpantau via SMS. Obrolan saat istirahat dipenuhi dengan guyonan dari tagline iklan di TV kemarin. Setelah makan siang di McD, mampir ke toko kaset membeli theme song Spiderman dan AFI yang lagi marak, tongkrongan wajib di Internet center adalah online game Ragnarok atau chatting via Friendster dan Yahoo Messenger. Sebelum pulang, kunjungan ke toko buku sekedar mengintip majalah Cosmogirl untuk tips dan iklan dari brand favorit. Tidak lupa manga (komik Jepang), novel serta DVD Harry Potter dibawa pulang. Itulah secuil gambaran kehidupan remaja saat ini. Penuh dinamika komunikasi yang amat visual dan multimedia. Globalisasi informasi telah membawa pop culture menjadi lifestyle baru.

Memang inilah gelombang ketiga era komunikasi dan informasi yang sudah diramalkan oleh Alvin Toffler. Paradoks besar dalam era ini adalah dengan makin tingginya tingkat globalisasi, makin tinggi individualisme, artinya kebutuhan untuk be different makin besar. Makin banyaknya produk yang ditawarkan akibat komoditisasi, makin perlu penciptaan brand yang membedakan satu produk dengan lainnya, sekaligus mendorong pertumbuhan komunikasi yang makin multichannel.

What is Brand?

Brand is not what you say it is, it is what they say it is.

Brand bukanlah apa yang kita bilang, tetapi adalah apa yang orang lain bilang. Dalam hal ini brand bukanlah sekedar produk atau logo, tetapi keseluruhan persepsi tentang produk/jasa. Komunikasi memainkan peranan amat penting dan hanya melalui komunikasi persepsi terhadap brand bisa dibentuk. Keuntungan yang ditawarkan oleh gelombang industrialisasi adalah kita memiliki demikian banyak pilihan. Brand memudahkan konsumen membedakan pilihan yang satu dengan yang lain.

Di dalam industri kreatif, fungsi brand lebih dari sekedar membedakan, tetapi menciptakan kontinyuitas pengalaman, sebagai contoh Disney, mulai dari menonton filmnya, orang membeli merchandise, mengunjungi Disneyland dan menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Ini yang mendasari orang mengkoleksi merchandise Hardrock padahal barang serupa tanpa brand bisa dibeli jauh lebih murah. Hanya satu produk yang bisa memiliki harga paling murah, produk lain membutuhkan brand.

Komoditisasi Produksi

Negara pengekspor terbesar ketiga dunia saat ini dipegang oleh Cina. Dengan perkembangan ekonomi di atas 2 digit, Cina menjadi produsen mobil terbesar kelima dunia mengalahkan Jerman, mereka menjadi produsen handphone terbesar dunia hanya melalui market lokalnya. Dengan daya tarik sumber daya manusia yang demikian banyak dan murah, perusahaan-perusahaan memindahkan produksinya ke Cina untuk mendapatkan harga murah. Peralihan ini mengakibatkan merosotnya produksi di berbagai negara. Lulusan di bidang manufacturing dan engineering di berbagai negara maju kesulitan mencari pekerjaan akibat hal ini.

Industri Kreatif

Kebalikan dengan merosotnya komoditas, industri kreatif mampu berkembang dengan pesat. Amerika menjadi pemimpin dengan lebih dari 7% berasal dari industri kreatif. Industri yang meliputi film, video, musik, publikasi dan software ini berkembang 360% dalam waktu 20 tahun. Di Inggris industri kreatif ini berkembang 16%, jauh di atas rata-rata perkembangan ekonomi yang hanya 6%. Riset yang dilakukan oleh beberapa negara menunjukkan bahwa perkembangan ini mendorong terbentuknya konsep Ekonomi Kreatif yang akan menjadi strategi persaingan global di masa depan.

Beberapa negara telah mengantisipasi hal ini. Hongkong mempersiapkan West Kowloon Project yang dirancang oleh arsitek kenamaan Norman Foster yang mengintegrasikan kawasan untuk seni, entertainment dan kebudayaan. Korea memiliki Seoul Digital Media City yang dipersiapkan sebagai kompleks inovasi dan pusat produksi yang berfokus pada broadcasting, film, game, musik dan e-learning. Dubai mempersiapkan TECOM (Technology, Electronic Commerce and Media Free Zone) yang mencakup Dubai Internet City. Irlandia tidak ketinggalan dengan konsep Digital Hub yang menjembatani project new media melalui riset, pengembangan dan pembelajaran di kawasan Dublin.

Belajar dari Singapore

Negara tetangga Singapore kini menargetkan untuk menggandakan 3% industri kreatif menjadi 7% dari total GDP di tahun 2012. Strategi besar Singapore adalah Renaissance City, Media 21 dan Design Singapore. Dengan konsep ini Singapore mempersiapkan diri dari sisi infrastruktur untuk menjadi media hub dan kreator konten. Pembentukan organisasi MDA (Media Development Authority) menjadi fasilitator seluruh industri dan asosiasi terkait untuk bekerja sama. Dengan program ini, pemerintah Singapore menyediakan berbagai program bagi masyarakatnya yang ingin menekuni bidang kreatif, seperti menyediakan bea siswa, sponsor bagi sekolah untuk program kreatif, insentif pajak bagi industri kreatif, dan banyak lagi.

Hubungan G to G (government to government) dengan New Zealand mengirimkan tenaga kerja Singapore ke Weta, kreator film Lord of the Ring. Kerjasama dengan Jepang, memberikan kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan game. Bahkan Pixar yang populer dengan Finding Nemo juga memiliki cabang di Singapore untuk talent scouting (pencari bakat).

Trend Pendidikan

Tidak heran jika minat terhadap edukasi dan profesi bergeser. Film, broadcast, iklan, animasi, multimedia dan desain menjadi icon baru model pendidikan favorit. Banyak universitas mainstream menyediakan pendidikan komunikasi dan komunikasi visual untuk menjawab kebutuhan ini. Jika ditanya mengapa memilih bidang tersebut, banyak yang belum memahami sepenuhnya apa itu komunikasi visual dan bidang profesi apa yang bisa diterjuni setelah lulus nanti. Tidak sedikit yang memilih dengan alasan bahwa ‘komvis lagi favorit’ dan‘temen-temen gaul’ memilih bidang tersebut.

Booming pendidikan ini ternyata tidak diimbangi oleh meratanya SDM, infrastruktur dan informasi. Sangat banyak tantangan dihadapi oleh berbagai pihak yang terlibat. Dari sisi industri, lulusan komvis masih belum memenuhi kebutuhan industri, baik dari sisi skill maupun conceptual thinking. Dari sisi akademis, tidak tersedianya pengajar dan referensi cukup. Dari sisi pemerintah, standar kurikulum yang sudah dibakukan tidak lagi bisa menjawab tantangan kebutuhan industri dan perkembangan zaman.

Perbedaan Komunikasi Visual dan Grafis

Istilah komunikasi visual, singkatnya komvis digunakan belakangan ini menggantikan jurusan desain grafis. Di dalam komunikasi visual ini dipelajari semua bentuk komunikasi yang bersifat visual seperti desain grafis, periklanan, multimedia dan animasi. Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan grafis murni. Periklanan dipelajari dalam konteks desain, bukan komunikasi marketing dan penciptaan brand. Multimedia dipelajari dalam konteks tampilan dan pelengkap desain, bukan interaksi manusia dengan komputer. Animasi dipelajari dalam konteks penciptaan gerak yang menarik, bukan untuk bertutur dan bercerita. Dalam hal ini konsentrasi utama adalah desain grafis yang diimbuhi bidang-bidang lain sebagai pelengkap.

Mengacu pada pendidikan komunikasi visual yang mature seperti Amerika, terdapat dua lembaga berbeda yang menyediakan pendidikan serupa. College atau Academy yang ditargetkan untuk menciptakan praktisi desain, memisahkan Graphic Design, Advertising, Multimedia dan Animation menjadi bidang-bidang yang dipelajari secara terpisah. Universitas yang lebih berorientasi akademis dan melahirkan pemikir banyak menggunakan istilah Visual Communication. Kedua lembaga ini tetap terakreditasi untuk meluluskan sarjana, baik setingkat Undergraduate (setara S1) atau Graduate (setara S2).

Konsep Pengetahuan

source: Understanding Comics – Scott McCloud

Scott McCloud dalam bukunya Understanding Comics membuat segitiga peta pengetahuan yang memiliki 3 sudut. Sudut pertama adalah, abstraksi, komposisi - yang dekat dengan desain dan seni murni. Sudut kedua adalah realita – yang dekat dengan ilustrasi dan fotografi. Sudut terakhir adalah bahasa, simbol, semiotik – yang dekat dengan komunikasi. Meskipun demikian, semua disiplin ilmu melibatkan ketiga puncak ini.

Problem yang dihadapi oleh pendidikan komunikasi visual adalah mana yang dipilih menjadi dasar utama. Mazhab Amerika yang dipengaruhi Bauhaus – Jerman sangat menekankan pada pengetahuan tipografi dan komposisi. Tipografi adalah dasar utama pembelajaran grafis. Huruf dipelajari sebagai form (bentuk), bukan sebagai tulisan. Sedang aliran Eropa berkonsentrasi pada ilustrasi dan gambar yang realistis. Perkembangan komersialisme di Amerika mendorong maraknya advertising yang awalnya bermula dari para copywriter (penulis naskah iklan), atau bisa dikatakan periklanan awalnya adalah bagian dari komunikasi.

Kebutuhan Dunia Industri

Kebutuhan marketing dan komunikasi berawal dari strategi. Konsep strategis yang awalnya digunakan oleh agensi periklanan Inggris ini disebut dengan account planning atau strategic planning. Tugasnya sangat analitis untuk menemukan letak masalah, kebutuhan komunikasi, apa yang perlu dikomunikasikan, kepada siapa dan bagaimana komunikasi disampaikan dan hasil akhirnya dirangkum dalam brief singkat. Brief ini diberikan kepada creative director yang memimpin departemen kreatif. Melalui brainstorming dengan seluruh tim kreatif, akhirnya didapatkan ide-ide desain dan eksekusi iklan.

source: Brand Gap – Martin Neumeier

Masalahnya adalah kedua departemen ini membutuhkan dua kemampuan yang benar-benar berbeda, di satu sisi analitis, di sisi lain kreatif, di satu pihak membutuhkan otak kiri, di pihak lain otak kanan. Dalam hal ini dibutuhkan jembatan antara logic dan magic, antara strategi dan desain.

Tantangan berikutnya adalah untuk melakukan eksekusi desain, saat ini sangat dibutuhkan pemahaman teknologi komputer. Skill komputer ini biasanya memberikan kesempatan awal untuk terjun ke industri. Pada awalnya kita membutuhkan skill yang cenderung vertikal dan baru kemudian menjadi pengetahuan yang lebih horizontal. Artinya untuk masuk ke bidang tertentu, perlu dipelajari secara intensif satu pengetahuan secara mendalam dan setelah teknis tidak menjadi hambatan, baru seseorang bisa memperluas pengetahuan dan wawasannya ke bidang-bidang yang lain.

Hal ini cukup menyulitkan bagi siswa untuk mempelajarinya karena setiap orang biasanya memiliki dasar kemampuan berbeda. Buktinya bisa dilihat bahwa siswa yang berbakat menggambar, belum tentu komposisi desain grafisnya menarik. Siswa yang kemampuan menulis dan komunikasinya bagus, sering tidak diimbangi kemampuan menggambar yang baik. Untuk membentuk manusia yang utuh, perlu dipelajari seluruh pengetahuan ini.

Tantangan Akademis

Langkanya SDM (sumber daya manusia) menjadi tantangan terbesar di sisi akademis. Jika para pengajar tidak pernah terjun ke industri menghadapi kasus-kasus yang sebenarnya, akan sulit membagikan pengetahuan dan wawasan yang praktis. Salah satu solusi adalah dengan mengundang praktisi secara berkala di lingkungan akademis untuk mengadakan lokakarya dan seminar meskipun tetap ada keterbatasan waktu. Alternatif berikutnya adalah dengan mengajak siswa dan pengajar terlibat langsung di dalam proyek yang sebenarnya. Faktor lokasi menjadi isyu yang cukup penting mengingat bahwa belum tentu industri sudah terbentuk di berbagai kawasan sehingga kesempatan untuk mendapat wawasan langsung ini menjadi diskriminatif secara geografis.

Hambatan dari Pemerintah

Indonesia saat ini memiliki jumlah sekolah salah satu yang terbanyak, sayangnya tidak semua sekolah ini terbukti mengeluarkan lulusan berkualitas. Cukup banyak di antaranya yang sekedar memberi gelar. Oleh karena itu pemerintah menutup izin sekolah-sekolah baru dan memberi batasan yang lebih ketat kepada sekolah-sekolah bermasalah. Sisi positifnya adalah ini merupakan langkah konkrit membuat standar yang lebih baik, tetapi sisi negatifnya ini juga membatasi kesempatan bagi sekolah berkualitas lahir dan bertumbuh.

Batasan lain yang diberikan oleh pemerintah di dalam pembukaan bidang studi baru adalah sekolah harus memiliki beberapa pengajar S2. Karena bidang komunikasi visual ini terbilang baru, pengajar S2 masih langka, akibatnya terjadi komersialisasi gelar untuk mendapatkan izin dari pemerintah. Belum lagi persyaratan pengajar harus bergelar, padahal praktisi-praktisi terbaik cukup banyak yang berasal dari lapangan dan tidak pernah mengeyam pendidikan yang relevan sebelumnya.

Dengan makin cepatnya perkembangan teknologi, makin banyak pula disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh industri. Di sisi lain, ada pula batasan setiap pembukaan bidang studi atau jurusan baru sudah harus memiliki preseden sebelumnya. Tentu antara fleksibilitas dan kontrol ini menjadi bersinggungan yang sangat membatasi kemampuan merespon perkembangan.

Standar kurikulum antara pemerintah dan yang boleh diatur sendiri adalah 40-60. Cukup tingginya muatan pemerintah ini pada akhirnya membebani siswa dengan pelajaran yang tidak mereka butuhkan dan sekolah terpaksa menambahkan banyaknya pelajaran tambahan agar siswa mencapai standar kualitas yang lebih baik. Akibatnya waktu belajar menjadi lama dan siswa banyak membuang waktu mempelajari hal-hal yang tidak dibutuhkan.

Visi Pendidikan

India telah membuktikan mampu bersaing di pasar dunia dengan teknologi informasi, Thailand dengan periklanan, Korea dengan game dan elektronik, Cina dengan manufacturing dan Singapore tengah bersiap-siap menghadapi tantangan industri kreatif yang menjadi trend besar dunia. Indonesia punya potensi besar dari sisi SDM dan banyaknya bakat yang sudah terbukti dari karya cipta seni yang mendunia. Tetapi potensi ini tidak akan berkembang tanpa kesempatan dan dukungan.

Sangat dibutuhkan inisiatif pemerintah untuk turun tangan dan mengajak seluruh industri membangun bersama pendidikan di Indonesia. Langkah liberalisasi dengan memberikan insentif dan otonomi yang lebih luas sangat dibutuhkan oleh masyarakat.


previously published at Kedaulatan Rakyat website

Monday, July 26, 2004

Mengenal Karakter Software Sesuai Jenis Proyek

Belakangan ini perkembangan software maju dengan sangat cepat. Hal ini dipacu oleh persaingan di kalangan software developer dan perkembangan Internet yang membuat siklus hidup software lebih pendek karena feedback pelanggan lebih cepat diterima. Siklus update software saat ini adalah 12 hingga 18 bulan, padahal sebelumnya bisa terjadi dalam waktu 2 tahun tidak ada update sama sekali.

Dengan makin banyaknya aplikasi, terjadi spesialisasi software-software pada komputer grafis. Untuk memahami hal ini, kita perlu mengerti software yang terbukti menjadi pemimpin di masing-masing industri.

Desktop Publishing
Revolusi desktop publishing dimulai dengan komputer Apple dan software Aldus PageMaker. Tetapi dengan tingkat stabilitas output yang baik, QuarkXpress banyak menjadi pilihan bagi dunia penerbitan. Di Indonesia PageMaker banyak digunakan di penerbitan majalah sedang QuarkXpress di penerbitan koran.

Saat Aldus diakusisi Adobe, mereka mengembangkan InDesign. Dengan kemampuan object-oriented fungsi-fungsi di InDesign dirancang menjadi modul-modul yang bisa berkembang dengan fleksibel. Saat ini InDesign perlahan mulai menggantikan PageMaker dan QuarkXpress.

Adobe juga memiliki standar dokumen elektronik yang disebut Adobe Acrobat dengan file berekstensi .pdf (portable digital format). Standar ini telah digunakan untuk distribusi dokumen elektronik seperti e-book, e-government (form-form perpajakan) dan juga archival perpustakaan serta dokumen pada transaksi asuransi. Keunggulan Acrobat adalah security yang baik dan saat menggunakan form bisa disertai dengan digital signature.

Kombinasi InDesigan dan Acrobat sangat membantu pada perubahan workflow desain yang kini tidak lagi membutuhkan film dan langsung ke cetak. Teknologi ini digunakan oleh koran yang menggunakan teknologi cetak jarak jauh untuk mencetak beberapa versi berbeda di berbagai daerah secara simultan. Sebagai contoh kasus Kompas sudah mulai menerima file digital untuk pemasangan iklan.

Digital Illustration dan Design
Tidak lama setelah PageMaker, software ilustrasi berbasis vektor yang pertama kali muncul adalah Adobe Illustrator dan menjadi standar industri di seluruh dunia. Uniknya, di Jakarta perusahaan-perusahaan periklanan menggunakan Freehand yang dulunya adalah milik Aldus saat ini telah diambil alih oleh Macromedia. Di seluruh kota besar lain, tingkat pemakaian CorelDraw terbukti sangat tinggi di kalangan industri cetak. Banyak perusahaan memiliki software CorelDraw original karena tersedia bundel yang sarat clip art. Meskipun demikian, hingga saat ini CorelDraw masih sering menghadapi kendala teknis saat cetak dan banyak perusahaan pracetak memilih menggunakan Freehand dan Illustrator.

Digital Imaging
Tidak diragukan lagi, Photoshop adalah salah satu software terpopuler yang pernah ada. Semua kebutuhan komputer grafis sedikit banyak memanfaatkan Photoshop di dalam proses manipulasi citra, seperti desain grafis, periklanan, animasi, multimedia, video, dll. Versi terakhir dari Photoshop sarat dengan fungsi fotografi digital yang belakangan menjadi trend dunia. Photoshop saat ini dibundel dengan ImageReady yang ditargetkan untuk aplikasi web, tetapi software ini masih belum mampu menyaingi Fireworks dari Macromedia. ImageReady adalah software berbasis raster/bitmap, sedang Fireworks merupakan kombinasi software bitmap dan vektor sehingga sangat fleksibel untuk kebutuhan rancang elemen situs.

Bagi para pemakai yang concern dengan masalah copyright, tersedia software Paint Shop Pro dan Gimp dengan fitur-fitur yang relatif bagus dan menyerupai Photoshop.

Multimedia
Pada dekade 90-an, perkembangan CD-ROM memicu industri multimedia interaktif yang menggunakan software Macromedia Director. Di sini semua elemen multimedia seperti suara, gambar, video, animasi dan proses interaktifitas digabungkan. Belakangan Director memiliki fungsi untuk 3D interaktif dan membuat menu DVD.

Sofware multimedia paling populer saat ini adalah Flash yang awalnya dirancang sebagai software animasi kartun berbasis vektor yang memungkinkan distribusi animasi dengan ukuran relatif kecil. Flash dilengkapi dengan fungsi Actionscript yang menggunakan sintaks seperti Javascript memberikan kontrol yang sangat fleksibel.

Flash adalah software client side, di mana saat file diakses, server mengirimkan source file dan animasi serta interaktifitas dilakukan oleh komputer browser. Ini sangat berbeda dengan Director yang melakukan hal ini di server.

Perkembangan terakhir dari Flash adalah diperkuatnya integrasi dengan database sehingga memungkinkan membuat situs yang dynamic. Selain itu juga dikembangkan fitur Flash untuk kebutuhan mobile device seperti pocket PC.

Web Design
Integrasi Macromedia Dreamweaver dengan Fireworks dan Flash menjadi solusi desain situs yang sangat populer. Dreamweaver memberikan fitur baik bagi para desainer maupun developer. Software lain yang cukup banyak digunakan adalah Microsoft Frontpage.

Digital Video dan Visual Effects
Di kalangan semi professional, Adobe Premiere Pro adalah software editing video yang banyak digunakan. Sedang di kalangan para hobbyist, Ulead Media Studio cukup banyak dimanfaatkan. Sayangnya Premiere Pro tidak tersedia di komputer Macintosh di mana saat ini terdapat Final Cut Pro yang bahkan telah digunakan untuk penyuntingan film unggulan Oscar - Cold Mountain (sutradara Anthony Minghella).

Adobe After Effects yang terintegrasi baik dengan Premiere merupakan standar industri untuk aplikasi motion graphic dan visual effects. Seluruh industri film, video dan televisi menggunakan After Effects untuk membuat animasi bumper antar acara dan membuat efek-efek film sinegron yang belakangan ini sering menghiasi layar kaca.

Kini juga mulai hadir software DVD seperti Ulead DVD, Adobe Encore DVD dan Apple DVD Studio Pro atau iDVD.

3D Animation
Film animasi dan efek yang belakangan marak hanya bisa diwujudkan berkat dukungan software-software animasi. Di dunia film software terpopuler adalah Alias Maya, di dunia game adalah Discreet 3DS Max dan di layar kaca adalah Lightwave. Dari sisi popularitas, 3DS Max adalah yang paling banyak dipakai sehingga sangat resource yang tersedia sangat banyak. Maya merupakan software yang sangat powerful untuk character animation dan sesuai untuk siklus produksi yang besar. Sedang Lightwave yang relatif lebih ringan sesuai untuk animator yang bekerja

Digital Audio
Salah satu software yang populer adalah CoolEdit yang kini diakuisisi oleh Adobe dan diberi nama Adobe Audition. Di kalangan praktisi, software Protools masih tetap menjadi pilihan utama.

Kesimpulan
Demikian banyaknya software grafis tentunya memberikan kemudahan tetapi sekaligus membingungkan. Kunci mempelajarinya adalah memilih bidang yang kita minati dan berkonsentrasi. Setelah kita cukup menguasai, baru pindah ke bidang lain.

Sebaiknya dipilih software-software mainstream sehingga kita bisa yakin bahwa software tersebut kontinyuitasnya terjaga, di alam industri desktop publishing dan digital video, Adobe adalah leader, di bidang web dan multimedia dikuasai oleh Macromedia dan di 3d animation, Discreet paling banyak penggunanya.

Jika Anda tertarik mempelajari penggunaan software di atas, silakan mendapatkan informasi di Digital Studio (www.digitalstudio.co.id).

Sunday, June 27, 2004

Marketing & Branding Industri Pendidikan

Trend Industri Pendidikan

Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan signifikan dengan diserbunya tempat-tempat pendidikan di kota-kota besar. Orang tua rela antri dan bahkan camping di depan sekolah untuk membeli formulir pendaftaran sekolah TK. Demi anak, orang tua rela pindah ke lokasi perumahan tempat sekolah berada karena sekolah lain sudah penuh. Tidak jarang mereka menghabiskan waktu 1 – 2 jam dari subuh mengantar anaknya ke sekolah. Trend ini bisa dicermati khususnya pada sekolah-sekolah yang memiliki jaringan mulai dari TK hingga SMU. Sekolah yang memiliki jaringan luas dari hulu ke hilir, TK hingga SMU, banyak diminati karena orang tua seakan membeli jaminan anaknya bisa meneruskan pendidikan di institusi tersebut, meskipun di setiap tingkat masih harus melakukan investasi tidak sedikit untuk sumbangan sekolah.

Pada pendidikan anak, saat ini yang sedang mengalami perkembangan pesat adalah Montessori, yang merupakan metoda pendidikan dari Maria Montessori. Sekolah berlabel ini bisa mematok harga tinggi karena metode pendidikan yang berbeda, perangkat pendidikan khusus dan pengajar Montessorian yang bersertifikasi. Sekolah-sekolah national plus juga bermunculan seperti High Scope, Global Jaya dan Sekolah Pelita Harapan. Banyak di antaranyanya menggunakan standar luar negeri.

Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang sudah established seperti UI, UGM dan Binus tidak mau kalah dengan menggandeng perguruan tinggi luar sehingga siswa bisa mendapat double degree dari dalam dan luar negeri.

Sebagai paradoks, pemerintah kini menutup izin Perguruan Tinggi baru karena Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi salah satu terbanyak di dunia dan sangat banyak di antaranya yang tidak bisa mempertanggung jawabkan fungsinya sebagai pendidik dengan menurunnya jumlah siswa serta banyaknya kasus perguruan tinggi bodong. Sekolah yang tidak memiliki brand kuat banyak yang terengah mencari murid. Kota pendidikan seperti Jogja yang dulu diserbu mahasiswa luar daerah kini mengalami penurunan jumlah siswa secara signifikan. Hanya sekolah dengan brand saja yang bertahan dan malah mampu menambah kursi.


Pendidikan sebagai Industri

Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi sekolah berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke sekolah-sekolah di Singapore dan Malaysia, sangat banyak mahasiswa dari Indonesia dan tidak sedikit yang berprestasi sangat baik. Pelajar-pelajar terbaik dari negara tersebut malah menuntut ilmu di negara-negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. Untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak sekolah dari luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia dengan Monash dan RMIT, Malaysia dengan Inti College, India dengan NIIT, Singapore dengan Informatics dan Canada dengan LaSalle College. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri.

Maraknya media dengan pameran pendidikan luar negeri menunjukkan kesadaran negara berkembang seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan Malaysia mendatangkan siswa dari Indonesia yang banyak mendatangkan devisa. Ada sekolah yang bagus, ada pula yang tidak beres, sekedar memberikan kesempatan mendapat izin tinggal untuk kerja atau menjual sertifikat. Sekembalinya siswa ke Indonesia bisa mengatakan bahwa mereka pernah belajar di luar negeri, sebagai gengsi, strategi positioning personal dan modal untuk mencari kerja tentunya.

President University yang berada di Cikarang mungkin satu-satunya sekolah yang mendapatkan siswa dari China dan Vietnam berkat dukungan beasiswa dari pemain-pemain industri besar. Ini adalah salah satu langkah awal bagi Indonesia untuk bisa masuk ke pasar pendidikan secara internasional.

Beberapa sekolah yang pantas disimak perkembangannya adalah Binus dan Gunadarma. Sekolah ini berkembang dari kursus, ATK (akademi teknik komputer), sekolah tinggi dan akhirnya universitas dalam waktu relatif singkat. Kini Binus menjadi salah satu universitas paling bergengsi dengan gedung di mana-mana, dan menambah portfolionya dengan Binus High dan Binus Training. Di Surabaya, UK Petra berkembang pesat dengan setiap jurusan favorit seperti Komunikasi, Desain Komunikasi Visual dan Ekonomi.

Pada tingkat akademik, Bina Sarana Informatika dan Interstudi di Jakarta diikuti ribuan mahasiswa karena mematok harga sangat terjangkau, seperti halnya Wearness di kota Malang dan Denpasar serta SOB (School of Business) juga di Malang.

Model pengembangan lain dalam bentuk franchise seperti yang diterapkan oleh Englisih First, ILP, LP3I dan Primagama sukses membuat cabang di mana-mana. Pemain lain yang juga banyak dikenal di dunia IT adalah Inixindo. Digital Studio yang berkonsentrasi di dunia multimedia dan komputer grafik berkembang menjadi 10 cabang di berbagai kota hanya dalam kurun waktu 4 tahun dan menggandeng partner Metrodata.


Knowledge Liberation dengan Komoditasi Pendidikan

Komoditasi pendidikan ini memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena terjadi liberasi pengetahuan. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi accessible bagi banyak orang.

Kursus yang berkonsentrasi pada skill akan melengkapi institusi perguruan tinggi yang banyak berorientasi pada knowledge. Pada banyak kasus, mereka yang hanya belajar skill malah mampu melampaui mereka yang belajar di perguruan tinggi saat mereka bekerja. Hal ini mendorong pertumbuhan luar biasa untuk pendidikan luar sekolah dan akademi.

Di jalur kemampuan terapan, ada SMK, akademi (D1, D2, D3 dan D4) yang berkonsentrasi kepada kemampuan terapan. Sedang jalur SMK dan perguruan tinggi (S1) berorientasi pada kemampuan analitis dan riset. Tidak berarti kemampuan terapan lebih rendah dari kemampuan analitis. Asumsi ini timbul karena perbedaan jalur ini kurang dipahami dan kurangnya sosialisasi. Trend ini mulai berubah dengan banyaknya universitas besar menawarkan program Extension dan D1 seperti halnya UI dan UGM.

Dikmenjur (Direktorat Menengah Kejuruan) di bawah kepemimpinan Gatot Hari Priowirjanto sukses melakukan banyak terobosan. Dengan membuat SMK TI, jaringan sekolah SMK telah membantu penyelenggaraan Pemilu 2004 karena para lulusannya siap menjadi operator data entry. Perbaikan kurikulum SMK Grafika mengundang pelaku industri seperti Forum Grafika Digital yang merupakan gabungan vendor dan praktisi dunia pracetak dan cetak. Kini sedang dikembangkan SMK Desain Grafis, Rekayasa Perangkat Lunak dan Multimedia yang lulusannya memiliki kemampuan sebagai operator yang handal dan siap pakai.

Microsoft juga tidak mau kalah dengan program satu sekolah satu lab satu komputer, di mana Microsoft menyediakan secara gratis satu buah komputer bekas (standar Pentium III), software original dan training untuk para guru di setiap sekolah. Dengan menggandeng Pemda dan Telkom, mereka mendorong terciptanya melek IT di seluruh Indonesia karena pemerintah daerah mendukung pendanaan dan infrastruktur koneksi ke Internet. Sayangnya program ini terhenti karena adanya peraturan pemerintah yang melarang PC bekas dilarang masuk ke Indonesia.


Lifecycle Model Pendidikan

Sebagai produk, pendidikan juga memiliki cycle dari mulai introduksi ke masyarakat, mulai dikenal hingga menjadi trend. Kursus Bahasa Inggris yang dulu hanya ‘nice to have’, belakangan ini marak di berbagai kota karena telah menjadi kebutuhan yang ‘must have’. English First, ILP dan LIA merupakan beberapa brand yang cukup dikenal publik yang masing-masing menyasar segmen berbeda. Perkembangan luar biasa khususnya dialami oleh English First, dengan brand kuat, bentuk desain logo yang lugas dan dikomunikasikan dengan memasang plang di mana-mana, kini tersebar luas di kota-kota seluruh Indonesia dan mampu melampaui popularitas para jago kandang di tempat mereka berada. Bisa diprediksikan bahwa China yang kini telah menjadi pengekspor terbesar ketiga dunia setelah US dan Jepang bakal mendorong pendidikan Bahasa Mandarin sebagai kebutuhan. Meminjam istilah Geoffrey Moore dalam buku Crossing the Chasm, pendidikan Bahasa Inggris telah melalui ‘chasm’ dari para early adopter ke early majority dan late majority.

Kondisi serupa dialami oleh pendidikan mental aritmetika dan matematika Kumon juga mengalami perubahan market, cukup banyak masyarakat sudah cukup banyak mendengar kelebihan metode ini dan ingin anaknya mengikuti kursusnya. Perbedaannya, Kumon memiliki brand yang dikenal, sedang mental aritmetika sebagai kategori muncul tanpa adanya satu market leader yang tangguh karena lemahnya usaha membangun brand. Tidak ada diferensiasi antara satu tempat belajar yang lain.


Era Kompetisi dan Brand Building

Komoditasi pendidikan seperti ini menuntut pengelolaan sekolah tidak lagi sebagai institusi yang product-oriented, tetapi sekolah perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun brand dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning sekolah.

Mau tidak mau, sekolah dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, kendala yang dihadapi adalah standarisasi kurikulum, modul dan pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas.

Begitu memasuki era market mainstream di mana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini institusi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi. Nama besar dari industri IT sukses menjual kurikulum seperti Cisco dan Microsoft. Menggunakan infrastruktur Internet, semua kurikulum, modul dan pengajaran bisa dideliver dengan standar, di mana pengajar hanya menjadi fasilitator dan pembimbing. Metode lain untuk memperkuat brand adalah menggandeng nama-nama bergengsi untuk terlibat di dalam industri pendidikan seperti Roy Sembel di Binus, Rhenald Kasali di UI.

Konsep positioning dan membentuk kategori yang lebih sempit adalah salah satu strategi di era kompetisi. Jika Binus adalah IT, maka Inixindo adalah IT untuk high-end, Linuxindo adalah IT menggunakan Linux dan Digital Studio adalah multimedia. Strategi diferensiasi juga bisa dimanfaatkan, mulai dari metode pembelajaran, harga, local genius dan banyak lagi. Satu contoh adalah sekolah seni di Solo didatangi siswa dari luar negeri yang ingin mempelajari the real thing di dalam seni tari dan dalang. Montessori dan Kumon adalah diferensiasi dari sisi metode. Franchise dari luar negeri adalah diferensiasi dari awal mula kurikulum berasal. Diferensiasi dari sisi agama juga bisa digunakan seperti sekolah Islam (Al Azhar - Jakarta, Al Izhar - Jakarta), Kristen (UKI - Jakarta, UK Petra - Surabaya) dan Katolik (BPK - Jakarta) yang masing-masing memiliki captive market yang sangat besar.


Membentuk Pasar dari Komunitas

Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas.

Inggris dengan British Council membuktikan hal ini. Mempromosikan kegiatan budaya akan menarik komunitas awal (disebut alpha pada buku Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman) yang akan mempengaruhi komunitas yang lebih besar (disebut bees). Riri Riza dan Ira Kusno sebagai penerima beasiswa dari Inggris adalah para alpha yang menjadi influencer para bees – siswa dan pelajar di British Council yang nantinya mempengaruhi mainstream market. Japan Foundation juga menggunakan metode serupa dengan membawa pendidikan manga dan anime ke Indonesia, mereka mengundang animator senior Indonesia seperti Dwi Koendoro dan Deddy Djoenaid untuk membimbing pembelajaran membuat komik dan animasi.


Model Pendidikan Masa Depan

Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosan-terobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya seperti home schooling, yang populer di kalangan gereja, atau e-learning yang meskipun saat inipun di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.

Moore’s Law mengatakan bahwa prosesor akan memiliki kecepatan 2 kali lipat setiap 18 bulan dengan harga sama. Hal sama terjadi pada GPU (graphical processing unit) atau kemampuan kartu grafik komputer menampilkan gambar, hanya di sini nilai tersebut dikuadratkan. Artinya, dalam waktu beberapa tahun, kita akan memiliki kemampuan tampilan seperti gambar bioskop dengan hampir real time untuk game. Saat ini di dunia industri game sudah lebih besar dari industri film. Model pembelajaran masa depan akan menggunakan game sebabagai simulator, mulai dari pelajaran kreativitas, strategi hingga pembentukan karakter bisa dilakukan dengan game.

Macromedia membuat model computer-based training menggunakan Director, Dreamweaver, Flash, dan Breeze untuk membuat online interactive learning atau webinar (web seminar). Adobe dengan produk Acrobat mencoba menciptakan standar archival untuk digital library yang bisa disearch dengan mudah. Infrastruktur ini akan dimanfaatkan sebagai knowledge database system yang bisa diakses di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Standarisasi melalui tes tidak lagi dilakukan dengan kertas, tetapi online seperti yang sudah ditunjukkan oleh brainbench.com


Narasumber:
Alain Chesnais – Siggraph President, untuk masa depan game dan multimedia
Lee Yong Tsui – Nanyang Polytechnic, untuk pendidikan di Singapura
Barbara Kerb - Ohio University dan Alan Palmers – UK untuk data e-learning
Dwi Koendoro, kreator Panji Koming untuk informasi Japan Foundation
Goenadi Haryanto – Edlink, untuk data siswa yang belajar di luar negeri
Toney Anwari – Cisco, untuk kurikulum Cisco dan implementasinya di Indonesia
Marta – Microsoft, untuk kegiatan edukasi Microsoft di Indonesia
Bagiono – Dikmenjur, untuk kegiatan edukasi Dikmenjur
Kwarta Adimphrana – SMKN 4 Malang, untuk penyusunan kurikulum TI
Taufik – SMK 6 Jakarta, untuk penyebaran edukasi di Indonesia timur
Sendy – President University, untuk informasi siswa dari China dan Vietnam
Ratna – Montessorian, salah satu pendidik senior metode Montessori untuk guru2 di Indonesia
Julius – Modern School of Design Jogja, untuk data sekolah di Indonesia dan berkurangnya jumlah siswa di perguruan tinggi dan akademi di Jogja
Susi Chen – Digital Studio Surabaya, untuk sekolah di Australia
Ita Boediman – Sydney, untuk sekolah di Australia
Herman Pratomo – Forum Grafika Digital, untuk penyusunan kurikulum grafika
Handy Suhendra – Admire, untuk data ekspor China

Majalah: Britzone dari British Councill

Buku:
Positioning: the Battle for Your Mind – Al Ries & Jack Trout
Differentiate or Die – Jack Trout
Crossing the Chasm – Geoffrey Moore
Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman, Ira Matathia, Ann O’Reilly
Tipping Point – Malcolm Gladwell


Situs:
www.macromedia.com
www.adobe.com
www.cisco.com
www.microsoft.com

Milis:
dikmenjur@yahoogroups.com
ds-milist@yahoogroups.com

Riset kunjungan:
- Indonesia: Jakarta, Bandung, Bogor, Jogja, Surabaya, Malang, Medan
- Luar Indonesia: Singapore, Kuala Lumpur - Malaysia, New York dan San Francisco - Amerika

Tuesday, May 04, 2004

Homeland - the first animated film in Indonesia

posted at Creative Circle mailing list



Pemutaran Homeland untuk para undangan di Graha Bakti Budaya TIM padat dihadiri berbagai kalangan, mulai dari pekerja seni hingga wartawan. Dengan durasi kira-kira 1,5 jam, film ini bertutur tentang pengalaman seorang anak bernama 'Bumi' yang mendapat warisan kastil ayahnya, di mana kastil tersebut punya sejarah panjang simbol perdamaian empat kerajaan. Film full 3D animation pertama di Indonesia ini diproduksi oleh Studio Kasatmata di Jogja yang didukung oleh Yayasan Visi Anak Bangsa.

Alur cerita berjalan lambat dengan memperkenalkan para tokoh, mulai dari tokoh protagonis Naga, Bob dan Sireni hingga tokoh antagonis sang jendral dari Kerajaan. Adegan-adegan silih berganti dari satu tempat ke tempat lain, beberapa cukup menghibur dengan adanya kombinasi action, dance dan dialog. Adegan terbang Matrix masih mendominasi yang sesekali mengundang tawa penonton. Meskipun didukung oleh beberapa pengisi suara dari Project P,
dramaturgi dan pengadeganan masih belum tercipta secara kuat. Mungkin masih perlu sentuhan dan finishing touch di sisi editing untuk bisa bertutur lebih. Unsur menarik dari film ini terletak pada desain produksi yang baik. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi tontonan yang cukup menghibur bagi anak-anak dan remaja.

Secara teknis, proses pembuatan animasi cukup baik, bahkan hanya diproduksi dengan resolusi HDTV, gambar tampil cukup tajam. Melihat dari tim Studio Kasatmata yang rata-rata berusia belia dan mayoritas masih kuliah, total budget film yang hanya 300 juta, dan didukung oleh 6 komputer dengan software 3DS Max untuk rendering yang mayoritas kini tergeletak kelelahan, film ini merupakan satu fenomena tersendiri di jagat film dan animasi Indonesia. Saya acung jempol atas keberanian, kerja keras, teamwork dan dukungan Visi Anak Bangsa terhadap karya besar ini. Biarlah semangat dan keberanian ini menular kepada generasi muda lain untuk tetap berkarya...

Bravo untuk Studio Kasatmata dan Visi Anak Bangsa!

Andi S. Boediman
Digital Studio

Thursday, February 19, 2004

Kunjungan Siggraph ke Indonesia

Hi All,

Pertemuan Animator Forum dengan Siggraph kemarin sukses besar. Semuanya berlangsung lancar, dan tamu-tamu delegasi SIGGRAPH yang berjumlah 4 orang terlihat impress dengan acara yang kita selenggarakan. Terimakasih atas antusiasme rekan-rekan yang sudah datang, Kita telah tunjukan ke mereka kalau CG(Computer Graphics) di Indonesia exist !

Alain Chesnais, president Siggraph yang ternyata ramah itu mengatakan kalau dia telah mendapatkan apa yang dia cari ke Jakarta. Siggraph pada intinya ingin mengumpulkan informasi mengenai dunia CG di Indonesia, dan dengan demikian bisa lebih efektif dalam mencarikan solusi untuk masalah-masalah yang kita hadapi di bidang industri dan pendidikan.

Acara dimulai dengan presentasi dari Alain Chesnais, mengenai trend masa depan CG. Presentasi yang sangat jelas dan meyakinkan, karena dia adalah salahsatu orang yang berpengaruh dalam menentukan arah perkembangan CG dunia.

Dilanjutkan kemudian oleh Andi S. Boediman yang menjelaskan mengenai dunia pendidikan CG di Indonesia, kondisi saat ini, problem, potensi-potensinya, dan apa kegiatan yang telah dilakukan. Kesimpulannya adalah Indonesia adalah tidak memiliki jurusan yang spesifik mengajarkan CG. Kalaupun ada hanya diajarkan sebagai satu mata kuliah (sekitar 30 jam) di jurusan Visual Komunikasi, Computer, Informatika, Asitektur, atau advertising. Setelah itu Wong Lok Dien juga memberi presentasi tambahan untuk dunia pendidikan programmer CG di Indonesia.

Ada kejadian yang unik kemarin, ketika delegasi menanyakan ke forum "berapa orang disini yang sehari-harinya berkutat dengan CG?" semua mengangkat tangan, namun ketika ditanya "berapa orang yang secara formal belajar CG" maka sedikit sekali. Intinya sebagian besar belajar otodidak, dan team SIGGRAPH surprise dengan kenyataan itu. Untuk pendidikan SIGGRAPH bersedia membantu dengan menyediakan materi yang siap pakai secara gratis, namun harus mendapat dukungan dari institusi-institusi pendidikan di Indonesia, dan tentu saja pemerintah.

Presentasi dilanjutkan oleh Daniel Harjanto mengenai perkembangan CG di Indonesia dari tahun 1980-an (CMIIW) sampai sekarang. Beliau membahas dari perkembangan masing-masing pasar baik CAD/CAM, broadcast, arsitektural, film, dan mulai munculnya game developer. Presentasi ini diikuti oleh beberapa profile company dari masing-masing bidang.

Pembicara terakhir adalah Y.T.Lee dari SIGGRAPH Singapore, mengenai contoh riset dalam dunia CG yang telah dia lakukan. Walaupun teknis, tapi menarik karena di Indonesia tidak pernah ada yang pernah melakukan hal seperti ini. Menurut saya disinilah kelebihan mereka, yang kerap melakukan riset CG hingga tidak sekedar menjadi user melainkan juga membuat sesuatu.

Setelah semua selesai, diadakan sesi tanya-jawab antara delegasi dengan forum, seputar mengenai apakah SIGGRAPH itu, apa keuntungan menjadi bagian dari organisasi itu, dan mengenai Industri Indonesia pada umumnya seperti sofware bajakan, E-learning, dan support yang dibutuhkan. Tanya jawab ini berlangsung santai dan dilanjutkan dengan acara bebas ngobrol2 bersama.

Acara ini kemudian dilanjutkan dengan acara reguler animator forum yang dimulai dari jam 18.00 sampai malam, Para delegasi SIGGRAPH kagum dengan antusiasme para peserta yang datang berjubel. Ini memperlihatkan bahwa peminat CG di Indonesia memang banyak sekali. Mungkin untuk lengkapnya acara reguler AF bisa di tulis menyusul.

Disela-sela acara yang padat, banyak hal2 lain yang bisa dicatat. Seperti saya melihat berkumpulnya para pelaku CG dari Jakarta, Bandung, Jogja, dan Surabaya saling bertemu dan diskusi, membahas aneka ragam topik bisnis, teknis, maupun personal. Selain itu kita berkesempatan untuk berbincang-bincang dekat dengan anggota delegasi yang pengalamannya ajaib. Saya sendiri sempat berbincang tentang bagaimana cara mereka membuat software MAYA, membuat film DINOSAURS, dan lucunya para pembuat aplikasi2 highend 3D itu saling mengenal karena orangnya itu-itu saja. Secara informal mereka juga menganjurkan kalau para pelaku industri berkumpul untuk membentuk chapter SIGGRAPH di Jakarta....

Pada akhirnya kita harus kasih salut ke team yang sudah mempersiapkan acara ini, karena walau dadakan akhirnya bisa juga berlangsung lancar. Dan pertanyaan yang sulit dari semua ini adalah, what next... membuat SIGGRAPH Jakarta ? mungkin bisa jadi topik bahasan baru :-)

----
b u
l i t
----
Bullitt Sesariza

Tuesday, February 17, 2004

ACM SIGGRAPH-SEAGRAPH Delegation to Singapore

posted by Alan Chalmers & Barb Helfer at http://www.cs.bris.ac.uk/~alan/SIGGRAPH/SEAsia/details.htm

Singapore 14 – 17 February 2004




Local Hosts: Singapore Chapter

SIGGRAPH Singapore
c/o Centre for Graphics and Imaging Technology
Nanyang Technological University
Nanyang Avenue
Singapore 639798
Fax: 6792 4117
Email: ashsseah@ntu.edu.sg
http://singapore.siggraph.org/





Figure: Visiting the venue of Graphite 2004, which will be held at the impressive facilities of Nanyang Technical University


Centre for Graphics and Imaging Technology

Started in 1989 as the Computer Graphics Centre, the Centre now, together with industrial partners, the Centre now serves as the focal point for graphics and imaging related research and development activities among the university, industry, and business. It aims to advance, promote and transfer such technology to local industry and the international community through training courses, collaboration, consultancy, seminars, and publication. Research in CGIT is conducted by faculty members, full-time and part-time postgraduate students, and undergraduate students of the School of Computer Engineering (SCE), the School of Electrical and Electronic Engineering (EEE), the School of Mechanical and Production Engineering (MPE), and the School of Communication and Information (SCI).

During the delegation’s visit to the Centre, Dr KC Wong showed etails of the work that they have been dong to develop Maya tools to provide an easy interface for creative people. This work includes tools to easily animate bird flight and snakes.



Figure: (a) Dr Wong welcomes the delegation (b) showing the work on animating snakes

Alain Chesnais presented a talk “Current Trends in Computer Graphics” to staff and students of Nanyang Technical University.



Figure: (a) Alain being introduced by YT (b) the audience who were very interested in what Alain had to say, especially about the implications of future GPU developments

Saturday, February 14, 2004

ACM SIGGRAPH-SEAGRAPH Delegation to Singapore, Indonesia, Philippines, Malaysia, Thailand and India

posted by Alan Chalmers & Barb Helfer

14 February – 1 March 2004


Local Hosts: Singapore Chapter

SIGGRAPH Singapore
c/o Centre for Graphics and Imaging Technology
Nanyang Technological University
Nanyang Avenue
Singapore 639798
Fax: 6792 4117
Email: ashsseah@ntu.edu.sg

http://singapore.siggraph.org/

Figure: Visiting the venue of Graphite 2004, which will be held at the impressive facilities of Nanyang Technical University

6.1.1 Centre for Graphics and Imaging Technology

Started in 1989 as the Computer Graphics Centre, the Centre now, together with industrial partners, the Centre now serves as the focal point for graphics and imaging related research and development activities among the university, industry, and business. It aims to advance, promote and transfer such technology to local industry and the international community through training courses, collaboration, consultancy, seminars, and publication. Research in CGIT is conducted by faculty members, full-time and part-time postgraduate students, and undergraduate students of the School of Computer Engineering (SCE), the School of Electrical and Electronic Engineering (EEE), the School of Mechanical and Production Engineering (MPE), and the School of Communication and Information (SCI).

During the delegation’s visit to the Centre, Dr KC Wong showed etails of the work that they have been dong to develop Maya tools to provide an easy interface for creative people. This work includes tools to easily animate bird flight and snakes.









Figure: Dr Wong welcomes the delegation

Alain Chesnais presented a talk “Current Trends in Computer Graphics” to staff and students of Nanyang Technical University.








Figure: Alain being introduced by YT

6.2 Jakarta, 17-19 February




Local Hosts: Arianto Bigman and Roy Adimulyo

6.2.1 The Animator Forum

Bullitt Sesariza
Jl.Rathkamp AA-10/1 Duren Sawit
JAKARTA 13440

Started in 1999 the Animator Forum is a non profit organization, providing a forum for animators and animation enthusiast in Indonesia to get to know each other, sharing knowledge and experience. This forum was created to encourage a productive climate for animation development in Indonesia. Everyone is invited. The Forum often has events with 60-100 attendees. Their biggest events have been together with digital studios including an animation and visual effects conference, technical workshop, exhibition and presentations.

In Indonesia, most of university work is in graphic design, while animators attend colleges such as digital studio, cybermedia college. Between 75-90 students attend each 15 month course. Most stay as free lancers (50%) in Indonesia. Maya taught although at $2000 for a licence in Indonesia it is hard for most companies to afford it. 3DS max is typically used in industry, while SoftImage is also used in postproduction.

There are only 2 games companies, but 9 TV channels wanting a lot of commercial work. In the last 2 years the movie industry has been growing significantly. The consensus is that Indonesia needs more exposure. This can be perhaps achieved by links off the SEAGRAPH and SIGGRAPH websites


















Figure: Setting the visit agenda with Roy and Ari

6.2.2 Visit to Eltra Studio, a post production house

Jl. Raya Kedoya Al Kamal No. 7
Jakarta 11520
Indonesia
Tel: +62-21-5821567
Wibisana Wibawa: President Director

Bimo Pamungkas: General Manager

The work of Eltra Studio is mainly involved with TV commercials. After a tour of the facilites a general discussion was held on the roof with many graphics professionals in Jakarta.

Wibisono: Free lance production

Bullitt Sesariza: Art director Matahari studios - game developers

Henry (Vince) Iswaratioso: Executive Director Polaris-net - render farm for architectural visualisation

Andi Boediman: President Director Digital Studio

David Normal, Chair Bali SIGGRAPH Chapter











Figure: Tour of the Eltra Studio facilities





6.2.3 Animator Forum meeting

Attendees included:

Roy Adimulyo, Animator Forum [community]

Bullit Sesariza, Animator Forum

Juliana Anderson, Animator Forum

Andi S. Boediman, Digital Studio College

Arianto Bigman, Digital Studio College

Sonny, Freelance Production [production / animation]

Lucky Nugroho, The Post Office [post production]

Daniel Harjanto, Next Animation [animation]

Syah Inderaprana [Jindol], Pixel Effects [production / post production]

Andreas Bastedo, Director PT. TIGA Dimensi Solusi Indonesia

Deswara Aulia, executive Producer Dementia animation

Daniel Harjanto, Managing Director PT. Dunia Animasi Rabani

Syah Inderaprana, Director Pixel effects

Rudi Setiawanm, Sinz Animation

Suzanna V. Mokalu, General Manager, Cybermedia College

Luck Nugroho, Operations Manager The Post Office

Maria Tjhin, General Manager Castle Production

Meeting at Jakarta Design Centre with 40 leading Indonesian graphics professionals.

The meeting was chaired by Roy Adimulyo from AF. Firstly Alain gave his talk on trends in computer graphics. This was followed by:

Andi Boediman: graphics education in Indonesia

At Universities, graphics education is only part of visual communication. Vocational training is provided by a number of institutes, collegesand training centres. The biggest problem facing CG in Indonesia is the exchange rate which makes software and hardware prohibitively expensive and the fact that most people don’t speak English.

Strategic problems

  • CG Industry is only in advertising, CAD (Architecture and engineering) and motion graphics. Film and games are a small portion with most companies in Jakarta
  • Knowledge distribution - 200 million people, 18,000 islands
  • Human resource distribution - lack of good teachers
  • Standardization - no adopted standards
  • Education material - no good quality material
Tactical problem
  • Lack of government support
  • No communication/collaboration between key players
  • Only a few animation events/seminars/exhibitions
Possible solutions
  • Distribution is most important
  • Education centres need to be more common with substantial support
  • Education material
  • work with publishers
  • use the Internet - only 3 or 4 mailing lists on CG - none on CG education
  • use TV as education channel - make CG understandable to everyone

Standardization

  • work with schools and government

Local initiatives

  • develop closer relationships between industry and education
  • tour to other centres to promote CG - high school road shows - but there areLOT of schools
  • problem is still lack of people to do this
  • support government initiative incurriculum
  • invite international speakers to come and promote CG
  • ITB asked by government to prepare curriculum graphics, photograph and design - only at operator level
  • Yogya animation seminar and exhibition
  • FGD (printing industry) - FGD-Expo - 17,000 attendees

Opportunities

  • lot of interest amongst young people
  • Indonesia has a lot of talent for visuals
  • competitive human resource cost
  • very big local market size - but still consumer of foreign film

Needs

  • network of professionals to be invited
  • good education material
  • endorsement - to get support from government - government will not allow the creation of new schools - each new school proposed must have at least 2 x MSc level teachers
  • open a new market - get attendees from the region eg China and Vietnam
  • a major computer graphic event














Figure: Roy introduces Alain

Wong Lok Dian: Game programmer, a personal presentation

  • Most people interested in CG research will go do IT and CS courses. Universities take their curriculae from outside mainly from USA and Germany
  • CG an option of 30 hours
  • Students can also do computer vision
  • People are not used to doing CG research in Indonesia - most research is for government
  • Most research in algorithms and AI
  • Students typically have to learn most CG themselves from Internet
  • They can also learn through the local game developers community

Andreas Bastedo: Christian University of Petra

  • Students study in Informatics, does include some studying some games
  • Visual communication design is only at the application level
    • visual effects, broadcast etc
  • do teach some global illumination eg raytracing
  • using 3DS max, mental-ray - only user level

Daniel Harjanto: Industry perspective

Daniel has been working in the CG since 1983, mainly doing CAD using Intergraph workstations

  • Small community - same people still involved
  • Mainly TV commercials
  • No visualisation for weather forecast
  • Some CG for manufacturing design - for aircraft
  • Almost 500 members on CG mailing list for Indonesia
  • IndoCG - new community formed in July 2003 as a portal for Indonesia for CG artists
  • Games industry - currently 2 companies (used to be 3)
  • Post production houses - before 1997 there were 7 - now more than 20
  • Engineering/architecture - a couple using CAD visualization
  • Film - more than 50 (Jakarta more than 25) - mostly in Java
  • Digital divide between Jakarta/Java and the rest of Indonesia - little internet outside Java (18,000 islands)
  • Some companies have their own research and training facilities
  • Industry still have to employ people even if their course/school not acredited by Government
  • Industry judged by competence - government (for contracts) judge by certificates/paper
  • There is some industry/education collaboration eg Digital Studio
  • Indonesian people have talent but lack traditional skills eg story telling, timing etc makes it difficult to enter global market










Figure: Questions about Indonesian CG industry for Daniel









Figure: YT describing SEAGRAPH’s plans for the region

6.2.4 Evening session

The evening session was a typical meeting of the Animator Forum and attracted over 90 attendees. Highlights of the numberous presentations (mainly in Indonesian) were David Normal’s presentation in English and Indonesian on his plans for Baligraph, the proposed SIGGRAPH chapter in Bali to bring together foreign and Indonesian graphic artists and the Katatmata studios showing their animations.










Figure: David Normal presenting the proposed SIGGRAPH Chapter on Bali



6.3 Manila 19-21 February




6.3.1 Ateneo De Manila University: Meeting of Minds

The Ateneo de Manila University was initially a primary school, established by Spanish priests in 1859. In 1621, Pope Gregory XV authorized the San Ignacio, through the archbishop of Manila, to confer degrees in theology and arts. Two years later, King Philip IV of Spain confirmed the authorization, making the school both a papal and a royal university, thus the first university in the Philippines and in Asia. In 1959, the Ateneo became a university and in 1977, the University opened a new campus for its professional schools in Salcedo, in the bustling business district of Makati. Today, nearly 140 years after its beginnings, the Ateneo de Manila University is among the leading universities in the Philippines.

On Friday 20 February, SIGGRAPH Manila hosted the “Meeting of Minds” to bring together local "activists" and the delegation to explore, discuss and support the generation and dissemination of information on computer graphics and interactive techniques in the Philippines and the Asia Pacific Region.

Attending

Fatima Lasay (SIGGRAPH Manila coordinator)

Ramon RichieLerma (Ateneo Art Gallery)

Dondon Carlos (Advanced Science and Technology Institute (ASTI/DOST)

Glenn de Leon (Office for International Programs/OIP)

Sandra Lovenia (Department of Information Systems and Computer Science/DISCS)

Sacha Chua (Ateneo/DISCS)

Eric Vidal, Lecturer, Ateneo de Manila University

Russell Santos (Ateneo CompSAT)

Simon Villaruel (Ateneo-Interactive Ateneo/iAteneo)

Brian Bringas (College of St. Benilde-School of Design and Arts, Multimedia Arts Program)

Vanessa Puente (College of St. Benilde-School of Design and Arts, Multimedia Arts Program)

Norelyn Babiera (Fiera de Manila, Inc./GraphicExpo)

Luis Sarmenta (Ateneo Java Wireless Competency Center/DISCS)

Fr. Rene Javellana (Fine Arts Program, Ateneo)

Rhandley Cajote (University of the Philippines, College of Engineering, Dept of Electronics and Electrical Engineering/EEE)

Rowena Cristina Guevara (University of the Philippines, College of Engineering, Dept of EEE)

Ruben DF Defeo, Florentina Colayco, Ruben De Jesus, Leonardo Rosete (UP College of Fine Arts)

Kailah Ramchandani, Link Commercial

Martin Gomez, Ateneo de Manila University

The day started with a visit by the delegation to facilities on Ateneo including the Ateneo Java Wireless Competency Center, and Department of Information Systems and Computer Science.














Figure: Students hard at work

Ritchie Lerma was the master of ceremonies for the day. The meeting was opened by Dr Handleness and then the presentations began with Alain giving his talk on “Future Trends in Computer Graphcis. All talks were simulcast to a number of Universities around Philippines. Norelyn Babiera then described Fiera de Manila Inc., which is a full service exhibition company which organises and manages trade shows, conferences, in-store promotions, selling missions, corporate product launchings, and special events. Of particular interst id Graphics Expo 2004, now in its 9th year and due to be held at the Philippine Trade Training Center 16-19 June. This expo covers: graphic design, digital imaging and photography, pre-press and print production, large format advertising, web publishing and multimedia and animation. The number of exhibitors is typically 65-75 with 120 booths and some 5,000 visitors. Attendees for previous years are: 5% government, education, students, 34% design studios, ad agencies, photographers, 27% businessmen, 17% commercial printers, publishers and 17% IT professionals.

Jun Miranda went on to tell the audience about the Philippine Center for Creative Imaging. Founded in 1998 the Center is an innovative learning facility that combines art and digital technology. It was established to answer the need for intensive, hands-on personal training for graphic designers, visual communicators, multimedia practitioners, and photographers in the Philippines. It is a recognised certified Adobe, macromedia, Kodak, Apple, Epsom training facility which provides: provides free public seminars, eg on photography, photograph exhibits, product launches, trade shows and provincial road shows. The teachers are practicing artists, certified experts or instructors. The Centre offers 42 photography and graphics-oriented courses















Figure: Ritchie introduces the day

Daniel Enriquez then described Multimedia Arts at the College of Saint Benilde, De La Salle University. This is the only Bachelor degree program of its kind in the country. The objective is to combine text, graphics, speech, sound and images and to link traditional art and design concepts with technology. The curriculum of the 3½ year degree comprises: arts foundation, photography, computer graphics (photoshop etc), use of tools, web design and production, video, 2D animation - cell, clay animation, flash animation, 3D animation - creative use of software, interactive authoring - CD or DVDs, interctive gaming (new feature - 3 electives), and sound (multimedia sound production).

DISCS at Ateneo University offers a series of electives to CS students including: introduction to MM eg colour theory, compression; Electronic pubishing eg desktop publishing, typesetting for electronic publishing; CG program eg basic mathematics, OpenGL programming; Computer Aided Instruction eg IT in the classroom, online tutorials/educational packages; Web page design eg design concepts and techniques, HTML; 3D animation and modelling eg theories, geometry; Human computer interaction, underlying principles, psychology and physiology; and an introduction to flash scripting.

The Department of Electrical and Electronic Engineering, College of Engineering at the University of Philippines has a DSP Laboratory established in 1990 with main research groups: Speech, Audio, Digital image, DSP in communications. Some of the research presented by Rhandley Cajote includes: machine vision: Soccer playing robot, stereo ranging, motion from optical flow; Document processing and analysis; pattern analysis and recognition (handwriting recognition, graph anaylis); video coding and analysis; and, image processing eg painting identification (based on colour preference), finger print classification, contour line extraction, invisible watermarking for PDF, real world image segmentation using stereo. The DSP laboratory is currently looking at more collaborations with other research groups, working with industry and the conversion of image processing and CG (this is a growing world wide phenomenon for which a conference, IEE VIE 2005 will be held in the UK in April 2005)

Dondon Carlos, Multimedia over IP Team Leader of ASTI (Advanced Science and Technology Institute), presented the Philippine Research, Education and Government Information Network - PREGINET. PREGINET is a nationwide broadband network that links academic, research, and government institutions in the Philippines. It interconnects institutions for research and education activities and spearheads the development of applications on areas such as distance education, telemedicine, agriculture, disaster monitoring and network technologies. PREGINET facilitates interchange of research information, research and training, collaboration, and access to international databases. As of 17/2/2004 there are 82 partner institutes and 10 international partners. The communities being addressed include:

  • education eg digital libraries, host websites, distance learning, video conferencing
  • agriculture eg Open Academy for Philippine Agriculture, provide information to farmers
  • bioinformatics/telemedicine eg access to large databases (biomirror.preginet.net), organised workshop (1st Philippine Bioinformatics Workshop)
  • government eg interconnectivity, host electronic local government units
  • network R&D - testbed for next generation of network technologies, services and applications, grid computing, Philippine eLibrary

After lunch there were two parallel technical talks, “Real-time high fidelity graphics for archaeological site reconstructions” by Alan and “Extracting 3D models from 2D sketches” YT. The final presentation for this session was “A comparative review of recent shadow rendering algorithms for real-time applications” Eric Vidal, Ching Tan Room. That concluded the second part of the day’s activities.















Figure: Multimedia Arts at College of Saint Benilde

6.3.2 Visits

The delegation and a number of participants then went on to the Advanced Science ad Technoloy Institute, ASTI to see PREGINET at work providing high speed networking to the Philippines and the University of Philippines, EEE Dept for a tour of their labs.














Figure At ASTI Watching PREGINET at work









Figure: Visiting the DSP Lab, University of Philippines, Fatima with some of her art work on display there

6.3.3 Ateneo Art Gallery

The final event for the day was a gathering at the Aleneo Art Gallery for more talks and discussion as part of the 25th meeting of Artspeak. Ritchie again chaired the event which started with a talk by Martin Gomez entitled “Towards hybrid engineer-designers in the Philippines”. The goal is to merge art, design, science and technology achieving computational media design similar to MIT’s DBN courseware.

The Ateneo Art Gallery is widely recognized today as the first museum of Philippine modern art. It showcases works by postwar Filipino artists donated to the Ateneo de Manila University from 1959 to 1961 by the late Fernando Zóbel de Ayala (1924-1984). In 1967 the museum moved to spacious quarters on the Rizal Library ground floor where it has remained ever since. After the talk Ritchie gave us a guided tour of the Gallery.










Figure: Ritchie opens proceedings

6.3.4 Facility visits in the Makati area of Manila

In the morning before the delegation departed Manila, we visited a number of key media companies including:

  • HolyCow Animation, a 2D and 3D animation facility, where in depth discussions were held with Marlyn Montano, the Managing Director, who is also President of the Animation Council of the Philippines. The Animation Council is a non-profit organization whose member companies specialize mainly in, but not limited to, either 2D or 3D animation. It is an organization recognized and supported by the Philippine government whose aim is to promote Filipino talent both locally and internationally.
















Figure: Facility visits HolyCow Animation, Marlyn Montano on the right

  • A photographic studio run by Narelyn’s husband

  • Unitel Productions, the most multi-awarded production house in the Philippines. Our visit was hosted by Kailash Ramchandani
















Figure: Discussions at the studio

[Back to TOC]

6.4 Kuala Lumpur 21-24 February

Local Organisers: Alain Zaugg and MP Nathan, ACM SIGGRAPH Kuala Lumpur Professional Chapter




6.4.1 Dinner with KL SIGGRAPH Chapter officers

The dinner at the Bombay Palace was with the officers of the KL SIGGRAPH Chapter. During the dinner informal discussions were held about the previous and future planned activities for this active Chapter. Our hosts for the evening were Optidigit and ClickGrafix.

Optidigit’s virtual talent studio combines a master-apprentice type 18 month training situation with a production studio. ClickGraphix offers a wide selection of services and multimedia, digital animation and non-linear video editing products











Figure: Going over the details of the visit with MP Nathan and Alain

6.4.2 KL SIGGRAPH Chapter Special Event

The KL SIGGRAPH Chapter arranged the meeting of graphic enthusiasts at the E-Innovation Centre, Creative Applications and Development Centre, in Cyberjaya. The event was to include screening of the Expose 1 Book Launching and Power Breakfast (internet TV show), Alain Chesnais’ talk on “Current Trends in Computer Graphics”, screening of the ACA Media Arts Festival and a mini exhibition of media companies in the afternoon.

Attending included:

Alain Zaugg, Executive Producer/Co. Director, Optidigit Sdn Bhd. (Chair KL SIGGRAPH Chapter)

M.P. Nathan, President/CEO, Astrio Sdn BhD Animation House (Vice Chair KL SIGGRAPH Chapter)

Steven Stahlberg, Animation Director/Co. Director, Optidigit Sdn Bhd. (Treasurer KL SIGGRAPH Chapter)

Dr Siti Mayiyam bt Shamsuddin, Head of Department, Department of Computer Graphics and Multimedia, Universist Teknologi Malaysia

Mohd Shahrizal Sunar, Lecturer in the Department of Computer Graphics and Multimedia, Universist Teknologi Malaysia

Norhaida Mohd Suaib, Lecturer in the Department of Computer Graphics and Multimedia, Universist Teknologi Malaysia

Datuk Dr. Mohamed Airf Nun, Chief Executive Officer, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Dr Muhammad Ghazie Ismail, Senior Vice President, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Kamil Othman, Vice President, Creative Multimedia, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Jag Dhaliwal, Vice President, Finance, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Ismal Mohamed, Project Manager, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Chin Palik Kum, Head of VRC, Multimedia Development Corporation Sd. Bhd.

Dr Nik Marzuki Nik Muhammad, Managing Director, VisualXtremes

Tunku Eddy Mudzaffar, Marketing, Asia-pacific videolab

Marc Calvin Gan, Motion gfx designer, Asia-pacific videolab

Michael Newberry, Xilar8

Evelyn Lee, EL Videographics















Figure: Early morning meeting with key people from the Multimedia Development Corporation

Alain Zaugg opened the meeting and then showed one of the Cyberjaya TV shows which included an interview with Expose 1 artists, Steven Stahlberg and Rob Chang. A copy of the excellent Expose 1 Book was then presented to Datuk Dr Mohamed Ariff Nun (CEO of MDC), En Kamil Othman (VP Creative Multimedia Departments), MDC and Alain Chesnais (President of ACM SIGGRAPH).














Figure: Presenting a copy of the Expose 1 book

6.4.3 Lunch with the Malaysian Development Coorporation

The Malaysian Multimedia Super Corridor is a exciting 15x50 km corridor from Kuala Lumpur International Airport to Kuala Lumpur specially designed as an integrated environment for business and activities specialising in ICT and multimedia technologies. The corridor includes special cyberlaws, policies and practices to promote multimedia technology and a physical infrastructure of 2.5-10GB network. As a result there are now many exciting opportunities for multimedia activity in Malaysia and many companies are setting up, or locating offices there.










Figure: Working lunch discussing the potential of the Malaysian Multimedia Super Corridor for computer graphics in the region.

6.4.4 Mini-expo

In the afternoon a mini-expo has held. This was a POSTAM initiative in collaboration with KL-SIGGAPH to present the work and talents of the CGI industry of Malaysia to the ACM SIGGRAPH delegation.
















Figure: Exhibits at the expo MP Nathan presents “Action Cut Seminar”















Figure: Stan Lee presents Stan art
















Figure: Watching the VR presentation














Figure: Michael Newberry of Xilar8 presents his virtual aquariums




















Figure Evlyn presents El Videographics













Figure: There is even a whole University devoted to Multimedia

[Back to TOC]

6.5 Bangkok 24-26 February



Local Organisers: Araya Choutgrajank, Chair of ACM SIGGRAPH Bangkok, Santi Laohaburanakit, Vice Chair ACM SIGGRAPH Bangkok

6.5.1 Dinner with ACM SIGGRAPH Bangkok











Figure: Discussions at dinner Alain, Santi, Barb, Araya, Alisa, Saksiri and YT

6.5.2 Moving towards digital content community

On the morning of Wednesday 25 February, a round table discussion was held at the Ministry for Information and Communication Technology, chaired by Santi was held to determine future direction of Thailand’s digital media industry. Attending:

Kruewal Somana, advisor to the Minister of Information and Communication Technology

Araya Choutgrajank, Chair of ACM SIGGRAPH Bangkok

Santi Laohaburanakit, General Manager, Vithita Animation Co. Ltd., Vice Chair ACM SIGGRAPH Bangkok

Saksiri Koshoasharin

Alisa Uthaithum

Suvicha Mingkwan, Manager, Kenan Institute Asia

Dr Napaporn Girapunthong, Senior Consultant, Kenan Institute Asia

Dr Frankie Roman, Chief-of-party, Thailand Competitiveness Initiative, Kenan Institute Asia

Dr Niracharapa Tongdhamachart, SIPA (Software Industry Promotion Agency)

Mr Teeranit Ratabavaraha, Software Park, Thailand

Watanapun Krutasaen, Department of Visual Communication Design, Faculty of Decorative Arts, Silpakorn University

The opening address was give by Kruewal Somana who emphasized that the government of Thailand will strongly develop IT sector - to compete with world wide standards. The opening talk was followed by the handing over, by Alain, of official certificate of ACM SIGGRAPH charter to the Bangkok chapter. Alain then gave his talk on ACM SIGGRAPH and SEAGRAPH and then the discussion began. Topics discussed included:

What should be the modest first steps for Bangkok SIGGRAPH?

Develop a networking facility - get universities and industry to get together

Is there a manual for Chapter activities?

Yes -details of facilities available for chapters

Bangkok Chapter’s website will be up middle of March

Thailand to craft its own strategy for digital content

YT Lee: Singapore case study, government side - forward looking, provides vision and funding for industry to position itself

Industry - depends on market, Singapore market too small - need to look outside own market

Alain: Canada Case study - 20 year initiative to build CG industry, Alias, SideFX, Softimage, Discreet Logic (3DS max)

How to make Thailand competitive, software accessibility, price barrier?

Go to key software suppliers and look at country wide strategy - best to be done at the end of a quarter, when companies are reporting their results

Work with competitors through the chapter to achieve lower prices through volume

Bangkok chapter negotiate with government?

No - chapter is the facilitator

Technical assistance?

Bigger package ordered, better deal is possible

How to overcome IPR problems in developing countries?

Must make clear stance to protecting IP - follow up with policy

Can you protect software from piracy?

No - more complicated mechanisms lead to more interest from pirates

Good example is the Apple way of doing things

Need more education explaining why these protections need to exist

Can ACM SIGGRAPH help identify the trends in the field?

through conference and activities - yes we can help see the future

We will see a MAJOR change in the way things are going to change - through the low cost GPUs

People must change to be able to adopt this new technology

Speakers to explain impact on industry and training institutes

Need to get CG courses in Universities up to date - now

Human resource development - how do we best do this?

Work with CGEMS project - both University and Vocational training

Key thing is what the goals are - get University and Industry to work together

Raise awareness - make festivals to show case what is possible

Females in CG?

Thailand girls still mainly in art

SIPA trying to build this

Korea has animation High School - start early

Balance between art and science? Too much money going to science

currently a lot of it is done out of school

SIGGRAPH membership is split between technical and art practitioners

CG industry is being driven by art eg films and games

Apart from Education what else can be done to grow industry?

Indetify what are the barriers to competitiveness

IP issues - look at Soho net organisation in London - various CG houses have pooled their resources to work together to compete effectively - interesting mix between competition and collaboration - don’t work alone - pool knowledge and know how on high quality resources

Suggestions

1. Continuous networking, locally, regionally, internationally

2. Investment in universities for the long term to focus on key initiatives

3. Work as a group to negotiate good deals

4. Education and building up HR skills, vocational skills, raise awareness, create exciting role models, art drives technology

5. Look at Soho net

Government needs to make it very clear what the strategic goals are:

then put the incentives in place, eg tax incentives, bring in knowledge/key people from outside, send your people out and hope they come back

Art in Thailand

previously little attention paid to locals

SIPA - now supports culture of Thai people - good skills, but lack numbers of peoples, and lack software tools

SIPA - non-profit - first time in history, can get eg low cost computers to local industry, from eg Microsoft gave PCs for 10% of cost, try to reduce broadband costs

SIPA - has full authority to help SMEs - talking up to 1 million units - Alain to act as negotiator/consultant for SIPA

Can SIGGRAPH help provide training for local people?

Travelling courses - help facilitate leading people to come to the region

Help with short term Human Resource development

Two level soultion

Short term - speakers providing training

Long term - support to Universities
















Figure: The entrance to ICT















Figure: ACM SIGGRAPH Bangkok is officially chartered by Alain




6.5.3 Presentations

In the afternoon presentations were made by a number of people to a large audience to further explore digital media in Thailand. Attendees included:

Dr Walaiporn Nakapan, Rangsit University

Saksiri Koshpasharin, Managing Director, Imagimax

KriengKrai Supornsahusrungsi, General Manager, Imagimax

Chahin Vanijwongse, Marketing Director, CyberPlanet Inititive Co. Ltd.

Hongthong Narongchai, Assistnat Managing Director, MotionMax Co. Ltd.

The first address was given by Manoo Oradeedolchet on SIPA and the Digital Content Industry. Opportunities for growth include:

  • film and TV
  • Games
  • Education
  • Thailand has a sizeable automotive industry

Thailand does not have any visibility in SW market compared with eg Ireland and India yet, but they want to reach $4 billion in five years. In 2000 there were about 20,000 software engineers in the country (India 410,000, Philippines 22,000, Malaysia 20,000, Korea 150,000, Japan 250,000, Ireland 200,000, China 180,000, Vietnam 10,000, Myanmar 5,000). SIPA trying to improve organization skills and personnel skills

Target

  • at least 100,000 software workers in 5 years to produce $4billion worth of SW products and services in:
  • transaction based (enterprise) software
  • animation and multimedia
  • mobile software
  • embedded systems/software

How SIPA plays its role

  • help developing a large group of creative talent in digital content
  • help create job opportunities
  • help establish market access

The Thai Government will relax immigration law so foreigner experts can be encouraged to go there while Thailand builds up its own workforce. Training programs will be introduced for software specialists, expecially computer arts and there is a real need to create job opportunities for new graduates eg 1.5 hour project about Bhudda - jobs for 100 people for this local content project.

SIPA is pooling scattered talent into manageable resource pool

  • provides “one source” access for small SMEs - need a large group to provide important bargaining platform - go from freelancers to entrepreneurs
  • develop business model to get investors to work with clusters of freelancers

Thailand is making serious offer to the film making community that opportunities exist in this part of the world.

Promote training for animation and multimedia talent in 2d & 3D animation, gaming techniques etc.

  • 3 different trial programs this summer to train 500 animators and CG artists in 3 ICT cities and Bangkok

Starter Digital Content projects - workstudy/internship projects and experience building for new trainees

  • 2 starter projects
  • full length feature films with investiment of 50 million Baht

SIPA working in affiliation with Universities and software parks to provide skill upgrade, incubation services, laboratory services for new digital media startups

  • will be Digital Content Studio and incubator centers in ICT Cities
  • working with local companies on co-production arrangements
  • SIPA receives six proposals, total value 1000 million Baht, creat up to 500 jobs in animation and MM related skills
  • want to make youngster enthusiastic about the industry and its future

SIPA to make Thailand a Gateway to a large talent of digital talent workers

  • ecommerce marketting and selling channel for Thai businesses to access global sourcing
  • create TV programs - eg programs on “ICT Stars” to make the people recognisable to the local and global market
  • ICT Star monthly journal - to introduce people and products
  • road show programs and participation in world events - Japan, Korea and Hong Kong

Manoo Oradeedolchet’s very informative talk was followed by presentations by Alain, Alan and YT. These were followed by Suvicha Mingkwan on “Thailand as a regional hub for digital content: Opportunities and threats”

  • Streaming media: audio, text, video etc
  • gigabit solutions (Intel, Cisco and IBM) - big companies also have to collaborate
  • Hollywood of Asia
  • Digital content market size = $2,000 million by 2009 (ICT minister)
  • number of workers from 100,000 to 250,000 by 2009 (SIPA)
  • Thailand is following the same path as Ireland - are there shortcuts?
  • Korea has excellent infrastructure to become digital world power
  • Key concern for competitiveness is not the brand equity or economy of scale, but it lines on human capacity, creativity and technology advancement
  • time for a global competitive strategy instead of domestic rivalry
  • Thai digital content business should reinforce interfirm cooperation and move along a value chain to minimize their risk hence eligible to access new source of (venture) funding
  • Use Thailand “good living” to attract foreign experts
  • rivalry on quality not price
  • promote elearning using latest technology
  • focus on differentiation, Thai style with international appeal
  • enhancing IPR and strict enforcement
  • re-inforce interfirm, cooperation (DC cluster, BKK SIGGRAPH)

Common interests between suppliers, key business, related & supporting industries

  • market research
  • package deal
  • HRD - human resource development
  • Financial sources - minimize risk through collaboration
  • bidding

Strategic initiative Supporting action

Reinforce inter firm cooperation Completion of cluster directory, establish international assoc
and cluster linkage

enhance business climate benchmarking study, improve IPS safeguards

Strengthen workforce capability virtual business incubator, global match making for high quality firms

Key success factors

  • IPR protection
  • networking
  • early education and skill training
  • access to information and advance technology e-library
  • arts drive the industry
  • strong government support - infrastructure, better business environment

CG and animation alone does not create much value unless combined with other products/industries

  • Advertising
  • Entertainment
  • Edutainment

The afternoon session was closed by Araya who emphasized there was still a lot of work to be done and to ensure followup, three more seminars were planned for the rest of the year















Figure: Registration for the afternoon session
















Figure: Presentation from the Chapter to Alain and Kruewal Somana















Figure: Suvicha Mingkwan’s presentation

6.4 Company visits















Figure: Araya explains what her company does

6.5.5 Meeting with His Excellency Surapong Suebwonglee

One of the highlights of the delegation’s tour was the hour long meeting with His Excellency Surapong Suebwonglee, Thailand’s Minister of Information and Communication Technology. He was particularly interested in how ACM SIGGRAPH, SEAGRAPH and the Bangkok Chapter could play a role in Thailand’s ambitious plans for multimedia.











Figure: (a) Meeting with the Minister (b) Detailed discussions

[Back to TOC]

6.6 Mumbai 27 February – 1 March




Local Organisers: Askahy Darbari

6.6.1 Meeting with Kinga Sithup from Bhutan










Figure: (a) Kinga explains what CG activities there are in Bhutan (b) YT describes how SEAGRAPH may be able to help

6.6.2 Patni Computer Systems Ltd

Attending:

Sandhya Sule, Manager, Patni Computer Systems

Vidyesh Nabar, Senior consultant

Akshay Darbari, Senior software engineer

Patni Computer Systems is 25 years old which went public a week before the delegation’s visit. It has a suite of offerings including industry and technical solutions and services. It has a world wide presence with General Electric as its largest client. Technical expertise includes:

  • audio, imaging, video, automotive, home networks, mobile & wireless eg
  • MPEG 2 - audio video codec library
  • MPEG 2 - audio/video streaming solution
  • MPEG4 - video encoder
  • JPEG 2000 Vendor evaluation and Motion JPEG2000
  • Image difference analyzer (for detecting damage in vehicle rental)
  • IPP based player development
  • semi conductor image defect classifier
  • raytracing
  • 3D viewer

A CAD/CAM group is based in Pune

  • work in form of services, porting/migration development and support
  • clients include Boeing, Airbus, Peugeot etc
  • enhancement of various companies CAD systems
  • eg Boeing for ATA compliance










Figure: Patni makes us welcome










Figure: (a) and (b) Demonstrations of the innovative work going on at Patni

6.6.3 Indian Institute of Technology

In the afternoon there was a series of presentations at the Indian Insitute of Technology. Attending:

Professor Subhasis Chaudhuri, Department of Electrical Engineering, IIT Bombay

Sharat Chandran, Department of Electrical Engineering, IIT Bombay

Vinay Kulkarni, Director, Geometric Software Solutions

Venkatesh H.R., General Manager, Wipro Techmologies

Plus a number of students from IIT

Alain started off by presenting the goals of the delegation and his talk on “Current trends in Computer Graphics”. This was followed by Sharat who presented the activities of IIT:

  • India has its own research conferences
  • Indian Conference on vision, graphics and image processing
    • started in 1995, every two years
    • 170 papers submitted, 65 selected, 3 day event, 250 participants incl 50 overseas
    • usually held in December
    • ACM gave travel grants to strudents
    • in co-operation with IAPR (International Association for Pattern Recognition)
    • EE and CS depts in India support this

Also

  • 23 editions of the theory conference FSTTCS
  • VLSI design conference
  • M programming competition
  • various other international conference
  • Alternate years - National Workshop

As for the Students of IIT

  • CG is not favoured by PhD students
  • field needs kick start in the region
  • no job potential for graduates
  • many good students go to the US

Faculty: Ravi Pooviah (IDC) teaches graphics/animation packages

The IIT presentation was followed by Venkatesh HR describing the activities of Wipro Techmologies:

  • service provider
  • no dedicated CG group
  • VLSI design, mobile devices, games, simulators etc

Core Competance

  • productisation
  • optimisation for cross platform support
  • not continous CG work - so not good for PhD students to join

Then Dr Vinay Kulkarni presented Geometric

  • Service and products, have an R&D department
  • CAD/CAM and CAE
  • examples of work
    • orthodontic technology eg milling teeth
    • collaborative design
    • streaming large CAD models across the web
    • motion analysis for security applications
    • modelling tires so structure doesn’t affect motion
    • interested in contributing in research into 3D design
    • application of CG - interested in training














Figure: Alain presents ACM SIGGRAPH

6.6.4 Round table discussion: Computer Graphics in India and Bhutan

Attending:

Nilesh Ghatpande

Akshay Darbari

Karthik Murthy

Kinga Sithup

Akshay got the idea of a Chapter while he was doing his degree

  • taught CG at university as there was no CG available - then joined Patni to try and convince them to adopt CG
  • problem in India is most companies are driven by services - R&D not done in Industry
  • must include industry in Chapter in India - here individuals not focussed as not many jobs in Graphics
  • NO industry members - but can include key industrial people

Big difference between work done in West and in India

  • research in India not in sync with industry - there is no participation in University projects

Business model in India

  • see the client first - not using the technology to attract clients

There is govt support, but to things like call-centres and outsourcing, not the development of new technologies

What can ACM SIGGRAPH and SEAGRAPH do?

  • provide qualified opinions on CG area - white papers can be sent to Industry/Government

There already exist an Indian non-profit organisation for arrange activities for IT field, NASSCOM. This is well thought of and has a well established model. Nasscom has a very good hold with Indian industry, provides training etc. Iindustry supports NASSCOM and helps sets trends and gives vision eg what will be the Indian IT revenue, where the support will be coming from etc. However, the activities are not very focused. NASSCOM has published a report on animation in India

How to form Mumbai Chapter?

  • how we orientate the Chapter is important
  • Spoke to a lot of industry about the delegation’s visit. Their main concern was what happens after this delegation’s visit. Need to identify key volunteers - who will take this further?
  • Use Indian conference as a focus for first activity - show ET and perhaps a panel session on “CG in Indian Industry” - organised by NASSCOM
  • have more interaction with Chapters around the region















Figure: The participants

6.7 Wrap up 1 March




Figure: Wrapping up the delegation’s visit. It was an exhausting but very successful trip. Experiences gained will provide important guidelines for future such delegations to other parts of the world.