Showing posts with label branding. Show all posts
Showing posts with label branding. Show all posts

Monday, December 28, 2009

Bagaimana “Cara Mengetahui Siapa yang Melihat Profil Facebook Kita” Mendefinisikan Siapa Kita?

Belakangan hampir semua pengguna Facebook mendapat undangan untuk bergabung ke Facebook Group Cara Mengetahui Siapa yang Melihat Profil Facebook Kita?” Undangan ini demikian menariknya bagi kita semua dan hingga saat ini memiliki 2 juta anggota. Demikian petunjuk langkah yang diajarkan di dalam group ini:


1 ► KLIK "Join this Group" ATAU "Gabung ke Grup Ini"
(hanya anda yang telah bergabung yang bisa menggunakan fasilitas ini!)
2 ► KLIK "Invite People to Join" ATAU "Undang Orang untuk Bergabung"
3 ► CENTANG Semua teman anda,
(hanya teman anda yang telah di undang yang bisa anda lihat segala aktivitasnya di facebook anda!)
4 ► KLIK Tombol "Send Invitations" ATAU "Kirim Undangan"





Group ini ternyata hanya usaha untuk mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya dan tidak memberikan jawaban siapa yang melihat Facebook kita. Perlu diwaspadai tentunya meskipun hingga saat ini belum ada tanda bahwa data yang dikumpulkan di sini ditujukan untuk sesuatu yang negatif.

2 juta anggota ini menunjukkan sifat dasar manusia yang pada dasarnya punya keinginan untuk eksis. Di Facebook, hal ini diukur dengan melihat berapa banyak teman maupun siapa yang sangat peduli dengan kita.

Tweet saya beberapa saat lalu “Who you knows is more important that what you know and who knows you is more important than who you know.” Kita memulai perjalanan hidup kita dengan mempelajari hal-hal di sekitar kita dan belajar apa yang perlu kita lakukan. Ini adalah ‘what you know’, yang mendasari skill dan knowledge kita. Dilanjutkan dengan kita membangun hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, sebagai keluarga dan teman. Ini adalah ‘who you know.’ Pada akhirnya ketika apa yang kita lakukan, apa yang kita percaya dan apa yang kita tunjukkan mendefinisikan ‘siapa kita,’ maka ‘who knows you,’ sebagaimana orang melihat, mengenal dan mengenang kita. ‘Trust’ akan terbentuk dari orang-orang yang mengenal kita.

Dalam kasus Sri Mulyani dalam kasus Bank Century muncul dukungan publik melalui Facebook KAMI PERCAYA INTEGRITAS SRI MULYANI INDRAWATI! yang percaya bahwa Sri Mulyani tidak bersalah. Mereka percaya bahwa selama ini Sri Mulyani konsisten anti KKN dan mereka yang dirugikan dengan kebijakan anti KKN ini menunggangi kasus Century.




Pada kasus Prita Mulyasari dan RS Omni, muncul gerakan KOIN PEDULI PRITA yang merupakan bentuk simpati publik di mana para penggagas Posko Koin Peduli Prita hanya mengenal Prita dari media.




Facebook telah membuka wacana baru bahwa ekspresi suara masyarakat bisa terwujud melalui self organized society. Opini publik mewakili hal yang dirasa benar oleh masyarakat. Sekali lagi, ‘trust’ akan terbentuk dari orang-orang yang mengenal secara personal ataupun melalui media, dari media konvensional maupun media sosial. Kita bisa melihat superficial, apa yang nampak di permukaan. Kita juga bisa melihat jauh ke dalam, esensi dari sosok tertentu. Keseluruhan citra inilah yang membentuk persepsi ‘a brand called YOU!’

Jadi, bagaimana sikap kita di dalam era media sosial saat ini? Sebelum hal buruk menimpa kita, saatnya kita berbagi passion and belief. Ini saatnya kita mendefinisikan ‘who we truly are’ dan satu hari nanti ketika saatnya tiba, orang yang kenal dengan kita akan menjadi orang yang memahami kita dan mungkin menjadi sahabat kita melalui opini mereka.

Jadi, mulailah membangun esensi Anda sendiri mulai hari ini! The brand called YOU!

Read the blog in English. Please leave comments on Ideonomics.com. My Twitter @andisboediman.

Monday, December 08, 2008

Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Branding

by: Mendiola B. Wiryawan, penulis Kamus Brand



Hari itu saya mengisi penuh tangki mobil saya. Pada saat membayar sejumlah uang sesuai yang tertera di meteran, saya mulai merenungkan ‘value’ uang yang saya bayarkan. Beberapa tahun yang lalu, jumlah uang yang sama bisa saya gunakan untuk 3 kali mengisi bensin! Wow! Inflasi berjalan begitu cepat. Hari-hari ini memang bukan hari yang mudah. Seorang klien saya yang baru saja kembali dari berpameran di Drupa (sebuah pameran terbesar industri percetakan) mengeluhkan: “Pameran ini pameran Drupa tersepi yang pernah ada. Hal ini ditandai juga dengan sedikit sekali orang Amerika yang datang ke sana,” lanjutnya. Krisis memang bukan hanya milik kita. Sejak minyak melambung menjadi begitu mahal, krisis telah menjadi milik dunia!

Dalam aksara ideogram China krisis ditulis (weiji) bisa dilihat menjadi dua bagian yaitu: bahaya dan kesempatan. Intinya adalah: kesempatan kita untuk melangkah maju selalu ada. “Out of chaos comes order”, ada kesempatan di dalam setiap krisis. Dunia memang selalu berubah, “Nothing endures but change,” ujar Heraclitus sang filsuf. Karenanya kesempatan selalu ada. Yang penting kita harus sigap dalam menghadapi perubahan.

Apakah profesi desainer berubah? Jelas! Seorang dosen dan senior saya pernah bercerita, di masa mudanya, sangat mudah mencari uang dengan menjadi desainer. Dengan penghasilannya dia bisa mencicil rumah di daerah kelapa gading yang sampai kini masih ditinggalinya. Bagaimana desainer muda yang baru bekerja sekarang? Dalam acara kumpul rekan-rekan desainer, selalu ada saja curhat tentang keadaan yang sangat ‘tough’ menjalankan bisnis hari-hari ini. Mereka mengeluhkan standar harga, kompetisi yang tidak sehat, dsb. Kalau saya buat daftar curhat teman-teman akan sangat panjang rasanya. Profesi desainer berubah ke arah yang lebih baik?

Tapi saya tidak mau berpanjang-panjang dengan penjabaran krisis yang ada. Yang pasti semua orang pasti merasakannya, baik langsung maupun tidak langsung. Yang saya mau bahas di sini adalah tentang peluang yang kita bisa dapatkan.

Untuk dapat menang dari persaingan yang ada, selalu harus ada competitivenes advantage. Dan keunggulan kompetitif ini selalu merupakan keunggulan nilai (value advantage). Manusia sebagai mahluk yang berbudi luhur, menempatkan nilai sebagai pemahaman terdalam atas apa yang terjadi di sekitarnya. Nilai setiap orang akan berbeda satu sama lainnya, dan nilai manusia yang satu akan mempengaruhi nilai manusia lainnya.

Desainer pada dasarnya memang seorang pencipta keindahan, dan keindahan inilah sebuah nilai. Nilai keindahan ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai kepuasan, pencapaian diri, nilai ekonomi, dsb. Tapi seringkali nilai ini berbeda antara desainer dan klien, yang menyebabkan tidak akurnya klien dan desainer. Desainer menyalahkan klien tidak punya taste, kampungan, sok tahu. Klien menyalahkan desainer sok jual mahal (“Kerjain gini gua juga bisa”), keras kepala, tidak bisa diatur, sok tahu. Sebenarnya dari masalah tadi terlihat jelas bahwa masalah sebenarnya bukan pada objek desain karya desainer. Di balik hubungan desainer dan klien banyak hal yang mengarah pada berbedanya standar nilai dari desainer dan klien. Ada perbedaan harapan antara desainer dan klien. Seorang desainer atau perusahaan desain hebat yang sanggup menempatkan diri di posisi teratas dalam bisnis adalah desainer yang sanggup mengkomunikasikan nilai, baik nilai dirinya maupun perusahaannya, dan mampu menerjemahkan nilai tadi menjadi bahasa yang sama dengan kebutuhan klien. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap harapan ’nilai’ ini dari kedua belah pihak.

Nah, kalau kita berbicara tentang penciptaan ‘value’ ini, kita tidak mungkin tidak membicarakan Brand dan Branding. Brand dan Branding pada intinya adalah penciptaan nilai suatu entitas, bisa berupa produk atau jasa, bagi khalayaknya. Coba lihat Brand apa yang melekat pada kita sehari-hari. Mulai dari makanan, minuman, baju, tas, film, musik, tokoh politik dsb. Brand tadi telah melalui proses Branding, baik melalui proses yang sadar maupun tidak sadar. Mengapa kita memilih Brand A dibanding Brand B? Mengapa kita menyukai Brand C dibanding Brand D. Mengapa kita benci produk yang satu tapi fanatik dengan produk laiinya? Renungkanlah sedikit. Biasanya banyak hal yang bisa kita dapatkan dari pengalaman dengan Brand di sekeliling kita.

Jadi kembali ke poin di atas, bagaimana desainer dapat menang dari kompetisi di tengah krisis karena hebatnya persaingan, buruknya daya beli, dsb, dsb? Desainer atau perusahaan desain harus melakukan Branding, sebuah harga mutlak! Desainer harus menciptakan sebuah nilai. Inilah yang saya kira menjadi dasar seorang desainepreneur! Designpreneur adalah desainer yang bisa menciptakan nilai, terutama nilai ekonomi!

Selama ini desainer kebanyakan memang telah menciptakan nilai, tapi hanya sebatas ‘nilai tambah’, sebuah value added. Kita ambil contoh desain sebuah kemasan. Dengan kemampuannya seorang desainer mengolah kemasan menjadi menarik, menggugah konsumen untuk melihat, mengkomunikasikan kegunaannya, menciptakan identitasnya, dan membujuk emosi konsumen agar membeli atau mengkomsumsi produk tertentu. Value sebenarnya dari sebuah produk adalah zat materiil, atau pengalaman dari penggunaan benda tersebut. Desain hanya berfungsi sebagai ‘tambahan’ nilai dari benda yang dikemasnya.

Lalu apakah desainer sebagai value creator? Kita ambil contoh Apple yang menjadi merek fanatik di kalangan desainer. Apple bukan pencipta pertama mp3 player. Apple juga bukan pencipta pertama music player portable (yang sudah dimulai Sonny dengan walkmannya). Tapi Apple menciptakan suatu pengalaman mendengarkan musik baru. Kita dapat mencermatinya dari cara apple mengkomunikasikan Ipod. Apple tidak pernah mengkomunikasikan secara besar-besaran seberapa besar kapasitas harddisk ataupun memory yang dapat ditampung setiap gadget-nya. Alih-alih mengatakan 4 GB, 8 GB,dst, apple lebih suka mengatakan 1000 songs, 20000 songs, 40000 songs. Apple mengerti kebutuhan terdalam konsumennya, mempunyai perpustakaan musik pribadi yang menemani kemanapun konsumennya pergi. Ini salah satu contoh penciptaan value. Manakah yang lebih cepat dicerna? Memiliki alat dengan 160 GB atau memiliki lagu 40000 judul yang bisa kita putar setiap saat?

Jadi apakah bedanya value additor dengan value creator? Value additor hanya menambahkan nilai. Desainer dengan sikap value additor bersifat pasif menunggu order, menunggu brief yang ada, dan membangun experience desain dari benefit lainnya. Seorang Value creator menciptakan sebuah kebutuhan hidup dengan desainnya, membangun experience khalayaknya lewat desain, dan menciptakan kesempatan baru berdasarkan prediksi, wawasan, intuisi, perhitungan dan pengalamannya. Seorang designpreneur adalah seorang value creator.

Saat saya memulai profesi desainer bertahun-tahun lalu, saya berlatih keras menjadi desainer profesional yang baik. Saya melatih diri saya lewat pengalaman formil dan non formil untuk dapat menerjemahkan sebuah komunikasi menjadi sebuah desain yang komunikatif namun estetis. Seiring pengalaman, saya sadar bahwa desain yang baik akan jauh lebih bernilai jika integritas diri sang desainer tertuang di dalam desain tersebut. Integritas ini meliputi wawasan, persepsi, perspektif, cara berpikir, cara bersikap, strategi, dsb, yang pada intinya adalah penuangan keseluruhan sang desainer. Dari situ saya merasa perlu banyak hal yang harus kita perlengkapi dalam menjalankan profesi sebagai desainer. Dalam perjalanannya saya mengenal mengapa wawasan Brand dan Branding merupakan suatu wawasan yang mutlak jika kita ingin mengembangkan diri menjadi seorang desainer yang advance. Dari situ saya mulai menyelami bidang ini hingga saat ini.

Ternyata, brand dan branding adalah lautan yang sungguh begitu luas. Begitu dinamis, fleksibel, dan banyak hal yang tidak pernah baku. Kita dapat melihat Brand dan Branding dari berbagai sudut, dari sisi marketing, desain, psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dsb. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan banyak sumber tentang hal ini, dan menemukan bahwa Brand dan Branding melibatkan banyak hal: emosi, pikiran, kecerdasan, analisa, intuisi yang tajam, wawasan, serta kepekaan terhadap banyak hal.

Kebetulan saya juga seorang pengajar. Saya mencintai dunia ajar mengajar. Untuk mempelajari sesuatu dengan baik, kita dapat memulai mempelajari bahasa yang digunakan dalam disiplin tertentu. Kalau kita mau mempelajari ekonomi, kita harus memulainya dengan mempelajari istilah-istilah ekonomi. Kalau kita mau belajar bermain saham, kita harus tahu benar arti istilah-istilah ‘bullish’, ‘bearish’, ‘rebound’, dsb. Dengan mengenal istilah-istilah ini kita akan mudah untuk berkomunikasi di dalam komunitas disiplin tersebut. Begitu juga kalau kita mau belajar ‘Brand dan Branding’. Tentunya kita harus mengenal istilah-istilah yang sering dipakai dalam ‘Brand dan Branding’. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan istilah istilah ini dari berbagai sumber, mulai membanding-bandingkannya, menarik kesimpulan dan menuangkannya dalam KAMUS BRAND.

Semoga dengan mempelajari istilah-istilah di dalam kamus ini merupakan suatu langkah awal dalam mengembangkan kapasitas kita dalam pemahaman Brand dan Branding.

Akhir kata, mari kita berubah, menuju ke masa depan yang lebih baik. Mulai dari merubah ‘Value’ kita, mulai dengan memperluas wawasan kita, dan mulai mempelajari istilah-istilah dalam Kamus Brand serta mendiskusikannya. Kelak kita akan melihat dampaknya yang luar biasa.

Friday, August 18, 2006

Packaging Design. Silent Salesman No More!

An Insight Behind Packaging Design Strategy

Today market is cluttered with competing brands and media, marketers have to exploit all angles of a brand's experience with the consumer. Given the various media choices and market fragmentation, marketing tools are being reviewed, and more emphasis is being put on packaging.

Packaging has often been called the 'silent salesman'. Packaging can be the source of visual inspiration. Packaging is essential in creating the brand image that comes to mind when discussing a brand. So, it is time the silent salesman was silent no longer.


Packaging Design as Competitive Strategy

Once economic crisis hit throughout Asia, Indonesia is severely hit by this turmoil. The short-term side effect has been a temporary slowdown in domestic demand and economic growth. And a good business sentiment is needed to improve the market climate.

Some of the changes in consumer behavior when economic crisis happened is that everybody will have to lower their standard of living – for example, somebody who used to use liquid soaps will use bar soaps and somebody who used to use bar soap will use ‘sabun colek’.


With previous experience facing economic crisis in various country, Blue Band quickly anticipate this problem. Since the packaging cost is prohibitively expensive compare to the packaged goods, tin packaging will have to be changed to carton packaging.

The packaging should also act as a point of sales since in rural and remote area the product will be self-displayed in small kiosk as the main distribution point. People will buy margarine by weight instead of buying them in a package. A simple design solution is crafted using a longer flap for the top flange and put a graphic that is used as a self-display.

Unluckily, bakery expressed their concern since changing the package will affect margarine flavor as their utmost selling point.

Then the packaging design serves the purpose for keeping the brand competitive and self sustain during the economic crisis. Today Blue Band has retained its leadership as the leading brand in margarine.



Packaging Design as Storytelling

What makes multinational brands want to cater to market that has a very low per capita consumption. It means large untapped potential!

Indonesia has lower ice cream consumption than many other countries. In order to educate the market, Wall’s starting at the very early age. Through Paddle Pop, its flagship brand for kids, they build brand stature through various creative strategy, such as creating adventure story for Paddle Pop Lion mascot. Its rainbow colors and fun flavors are a hit! The Paddle Pop Lion is the friendly face of fun and adventure and this ice-cream rates the fastest selling and most popular ice-cream among school-going children.

Before the concept story unfold, it started with various possible direction. Packaging plays an important role to define the visual direction for the story. It is then adapted to various application such as point of sales, range card and other promotional items.

Through activities, media, promotion and packaging, Unilever engage 360° marketing strategy to create a personal experience for the consumer. In this case, packaging become one of the end vehicle to fulfill kid’s imagination in enhancing the experience.

Millward Brown was hired to evaluate the strategy and its effectiveness. This study then used as a base for the next year strategy.

Within the past 7 years, Wall’s compound annual growth in Indonesia has replaced Thailand as the brand development center. The packaging design was then adopted as the visual direction and inspiration for other countries, such as Thailand and Singapore.


Packaging Design as International Gateway

A cassava chip is a slim slice of a cassava deep fried or baked until crisp. This chips serve as an appetizer or snack. Commercial varieties are packaged for sale, usually in bags. The simplest chips are simply cooked and salted, but manufacturers can add a wide variety of seasonings. Cassava chip is considered an export commodity.

Kusuka is created as a strategy to optimize factory production cycle. Instead of using common distribution channel, this product is spread through Mum’s network because the factory won’t be able to commit the product continuous supply. This unique distribution methods quickly become ‘word of mouth’ strategy and people start looking for the product.

Conventional clear plastic packaging soon replaced by a new packaging design. A design study is conducted considering Kusuka will compete with other products on hypermarket shelves. Hypermarkets are becoming increasingly important for the consumer retail business. Also known as 'non-selling floors’, these environment allow consumers to browse unaided through rows of boxes, following a 'scan-and-choose' purchase procedure. This distribution model has intensified the packaging design role within a marketing strategy. Rather than merely protecting products, packaging, together with the supporting point of sale and retail solutions, has become the means to sell them, the 'silent salesman' that triggers consumers in their selection process.

The final design solution use combination of yellow and green to create a very appetizing look. Client’s favorite element is the use of the product photo from above. With the new design, consumer quickly identify Kusuka as the leading brand in cassava chip.

Even the big brand curiously and continuously watch this new player and before long, they started to copy the product. Some of the key feature that keep Kusuka as the leading brand is the product experience, unique distribution point and fresh look packaging design.

At the moment, Kusuka enjoys a high growth demand in local market and started become an export darling. It has just been introduced to Phillipines and distributed to various other countries through Alibaba.com, the leading global trader website.


Packaging Design as Brand Strategy

Trends towards healthier eating and an increasing interest in more organic products are the key reasons for the growth in fruit juice market. Healthy living is a growing trend and people just can't get enough of these kinds of products. It was then a commodity product and takes times to prepare. And consumers are demanding high quality premium products.

Based on this idea, Mama Roz brand is created. Starting with the name, it signifies the product is prepared by human being in a warm environment, freshly produce and prepared everyday to the consumer door. The identity gives a living brand personality. The use of warm color and stylized photo illustration engage an emotional relationship towards the brand promise.

One of the challenges in mixed juice is that they don’t blend very well. Therefore an opaque bottle is used surrounded by nicely designed label.

This key identity then defines the whole campaign, from packaging to advertising. Consistent look and feel communicates the brand promise in a credible and convincing way.

The future lies in an integration of harmonized solution media channels and communication. We are talking about marketing communications, point of sales materials, retail environments and packaging.

To create a complete brand experience, every single product communication activity will become an important tool within a total brand communications arsenal. The packaging could no longer be a silent salesman.

* This article will be published in international packaging magazine.

Andi S. Boediman is an award winning designer living in Jakarta – Indonesia. His design is awarded The Best Creative Graphic Design by IdN (International Design Network) and has been exhibited in Singapore, Hongkong, USA. His works has been published by PIE Books, Japan. He is the founder of Admire – Integrated Marketing Communication (www.admire.co.id), which serves international clients such as Unilever, Timezone and many others.

Tuesday, March 22, 2005

Innovation & Activation as a Strategy for Brand Leadership

What is Brand?

Brand bukanlah logo dan brand bukanlah produk. Apa yang membedakan produk dan brand? Produk diciptakan di pabrik, sedang brand diciptakan di benak manusia. Ketika kita menyebut pasta gigi, Pepsodent dan Close Up adalah brand yang teringat, ketika kita menyebut ayam goreng, KFClah top of mind-nya.

Jadi brand adalah gut feeling kita tentang suatu produk, bukan apa yang yang ingin diungkapkan oleh si pemilik brand, tetapi persepsi dari konsumen tentang brand.

Benak manusia hanya mampu mengingat 2 - 3 brand di setiap kategorinya. Oleh karena itu beragam cara untuk membuat brand menjadi stand-out. Cara paling mudah adalah dengan membuat brand untuk harga murah, contoh, Attack menyerang Rinso, Avanza diposisikan menduduki pangsa mobil murah menggantikan Kijang yang naik kelas.

Metode lain adalah dengan memperkecil kategori, jika Pepsodent adalah brand untuk pasta gigi keluarga, maka ada Close Up untuk pasta gigi remaja. Jika ada KFC untuk ayam goreng, maka ada Suharti, Fatmawati dan Pemuda untuk ayam goreng lokal.

Menciptakan kategori baru juga merupakan salah satu solusi, seperti halnya Irex untuk pria sejati dan Extra Joss untuk penambah tenaga, padahal perbedaannya hanyalah tingkat konsentratnya. Salah satu brand yang cukup piawai membius adalah Pocari Sweat – pengganti ion tubuh. Masih ingat minuman yang rasanya asin manis…? Ya benar, oralit tepatnya! Pocari Sweat adalah oralit dengan tambahan ‘gas’. Nah sekarang silakan nikmati minuman ini setelah Anda tahu.

That’s the power of brand!


Diferensiasi

Salah satu metode paling kuat untuk menciptakan brand adalah diferensiasi, silakan dibaca sebagai ‘Apa sih bedanya?’ Diferensiasi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dari produk, bentuk, layanan dan distribusi. Masih banyak hal lain yang bisa dideferensiasi seperti halnya packaging, iklan, dll.

Dari segudang obat batuk, yang satu untuk batuk kering, yang lain batuk berdahak, ada pula obat batuk yang tidak bikin ngantuk. Jika ada biangnya, buat apa pilih botolnya, menandakan diferensiasi dari sisi ‘bentuk produknya’. Banyak produk jamu yang saat ini perlu mengalami perubahan bentuk karena tuntutan zaman, misalnya jamu dalam bentuk kaplet, atau cairan. Masih ingat Komix yang menggunakan sachet ketimbang botol? Saat saya tanya ke konseptor Komix dan Extra Joss kenapa punya ide brilyan memilih sachet, jawabannya adalah ‘Karena kita nggak punya mesin botol!’

Jika Anda harus datang ke Pizza Hut untuk makan, Domino Pizza menggaransi 15 menit pizza terkirim ke rumah, ini adalah contoh diferensiasi distribusi. Studi kasus paling sukses mungkin adalah becak dari Walls, di mana kita nggak perlu mencari toko ice cream, tetapi ice cream akan datang ke rumah Anda.

Ketika saya datang ke Hard Rocks di eX – Plaza Indonesia, si pelayan begitu sok coolnya berjongkok dengan dagu nempel di meja sambil bersiul-siul nunggu kita mesen. Wow, that’s diferensiasi dari sisi layanan, begitu menyebalkan buat saya, tapi mungkin pas buat pasar orang-orang sok cool di seluruh Jakarta! Buktinya rame tuh!

Siklus Produk

Ketika produk mulai diperkenalkan, orang selalu bertanya ‘Apa itu?’ berikutnya adalah ‘Bisa ngapain tuh?’, dilanjutkan dengan ‘Gue demen nggak tuh?’ yang terakhir adalah ‘Gue musti punya, it’s so damn cool!’.

Ketika produk baru diperkenalkan, semua orang bertanya buat apa sih, di sini kita mengkomunikasikan ‘What it is!’ Dengan What it does’ kita memperkenalkan fungsi dan keuntungan produk, misalnya Blue Band memberikan resep2 bagaimana membuat berbagai menu menggunakan margarin, Aqua menganjurkan minum 3 liter sehari, prinsipnya adalah increase usage. Perlu diingat, mandi, cuci rambut dan sikat gigi setiap hari adalah konsep yang diperkenalkan oleh consumer product seperti P&G di abad 20. Seabad lalu, kita melakukan hal ini mungkin seminggu sekali.

Ketika produk menjadi komoditi, kita mulai memilih berdasarkan perasaan, muncullah Pepsi ‘the next generation’ minuman untuk generasi muda yang mudah diidentifikasi dengan musik sebagai tanda zaman. Coca Cola yang kehilangan banyak pasar membalas dengan ‘the real thing’, ini baru yang aslinya, bukan ikut-ikutan!

Siklus berikutnya adalah ketika brand telah menjadi identitas. Bos-bos berkeliling menggunakan Harley Davidson untuk mengidentifikasi ‘big boys toys’. Hanya yang benar-benar desainer yang menggunakan Apple. Jika Mercedes identik dengan ‘bos gedhe’ maka BMW sebagai ‘mainan eksekutif muda sukses’. Di sini brand mengajak untuk Join the Club. Kampanye A Mild yang aneh dan nggak nyambung banget itu karena mencoba untuk masuk ke posisi ini.

Kondisi pasar dan segmentasi akan menentukan strategi yang kita gunakan.

Innovation

source: Crossing the Chasm – Geoffrey Moore

Dari sekian banyak inovasi di dunia, hanya sedikit yang mampu bertahan hidup dan muncul sebagai produk konsumen. Inovasi produk diikuti oleh para innovator dan early adopter, mereka yang ‘mau memahami teknologi’. Tetapi para early dan late majority selalu akan menunggu hingga ‘teknologi yang mengerti Anda’. Laggards adalah mereka yang ngotot tidak mau mengikuti teknologi.

Produk berada pada siklus early dan late majority ketika kita tidak perlu menjelaskan apa itu produk, contoh: handphone dan Internet sekarang berada pada siklus ini. Tetapi database Oracle dan SAP akan tetap untuk para innovator dan early adopter karena mereka hidup dari niche market.

Ketika berada di siklus innovator dan early adopter, product leadership selalu bisa dijual dengan harga premium karena itu adalah nature dari market ini seperti halnya komputer SGI. Market ini selalu membutuhkan solution provider karena merekalah yang akan menggabungkan berbagai teknologi untuk menjadi solusi siap pakai.

Intel adalah contoh perusahaan yang mampu melakukan innovation terus menerus. Innovation tidak berarti teknologi harus kompatibel dengan masa lalu, seperti halnya teknologi AMPS, GSM dan CDMA pada handphone, atau Wordstar dan Miscrosoft Word untuk software pengolah kata. DuPont yang terkenal dengan Lycra (bahan stretch), Teflon dan CFC (chloro fluoro carbon, bahan AC) merupakan contoh perusahaan kimia yang selalu muncul dengan innovation dan ketika produk mulai menjadi komoditi, mereka akan menjualnya karena profit terlalu kecil.


Activation

Ketika produk masuk ke pasar mainstream, maka harga harus relatif murah, sangat mudah digunakan dan ditandai dengan servis atau distribusi yang baik. Di seluruh rangkaian siklus adopsi ini, ketiga faktor, produk, servis dan distribusi harus dipilih dua dari tiga.

Innovation pada siklus ini terjadi untuk membuat produk lebih mudah atau lebih murah. Sedang activation kita lakukan untuk brand agar dikenal masyarakat. Agar menjadikan Biore pore pack relevan dengan masyarkat, activation dilakukan dengan menggunakannya as a fashion statement di eX, semua orang yang masuk ditempelin biore di hidungnya. Activation Panther dilakukan dengan lomba irit, Lux dengan fashion show, rokok dengan konser musik. Pertanyaannya adalah ‘Does it always work?’

Activation ditujukan untuk membangun brand awareness, membuat terjadinya product trial dan menjalin relationship dengan customer dan distributor. Semua events, sampling, dll, hanyalah alat. Orang akan bosan dengan metode yang sama dilakukan berulang-ulang. Jadi yang harus disusun adalah core value dari brand dan mencari metode yang selalu segar di dalam kampanye komunikasi.

Dengan fragmentasi media dewasa ini, activation tidak bisa memisahkan above atau below the line communication, tetapi bagaimana menciptakan total campaign yang mengkombinasikan berbagai media dengan model 360º communication. Media bisa broadcast seperti televisi, koran, majalah, radio, bisa juga sponsorship pada acara musik, fashion, dll, bahkan acara public relation yang menghadirkan publisitas tinggi seperti memecahkan rekor dunia. Dengan konsep media neutral campaign, media bisa sangat kreatif, seperti happening art jamur berlari-larian di seputar Hotel Indonesia untuk kampanye Daktarin atau stiker promosi Snapple – minuman segar rasa buah di Amrik yang ditempel pada buah segar beneran. Sebagian orang menyebutnya dengan ambience media.


Brand Steward

Banyak model hubungan kerja antara pemilik brand dan agensi. Pemilik brand bisa menyerahkannya kepada perusahaan Integrated Marketing Communication, di mana agensi ini bisa memiliki seluruh tim secara inhouse atau mereka menjadi organizer dari agensi khusus lain yang menangani masing-masing elemen komunikasi.

Alternatif berikutnya adalah perusahaan memiliki brand steward yang mengorganisasikan seluruh elemen ini, bisa sebagai posisi brand manager, marketing manager/director atau dipegang oleh CEO langsung.

Analogi terbaik posisi brand steward adalah ibarat seorang sutradara film dan konduktor musik, mampu menggabungkan berbagai elemen untuk menghasilkan satu kesatuan komunikasi yang harmonis.


Consumer Insight

Dengan memahami consumer insight, Sampoerna Ijo menerjemahkan ‘mangan nggak mangan asal ngumpul’ menjadi kampanye yang berhasil. Tetapi adaptasi ‘kalo nggak ada lu nggak rame’ malah bergeser dari consumer insight yang sebenarnya.

Kampanye ‘Pria punya selera’ yang lebih ke pria pernah digeser ke selera dengan iklan yang menunjukkan ke selera masa kini, menjemput cewek pake pesawat, bermain basket tanpa melihat, dll. Mungkin ini too smart untuk target marketnya sehingga kini kembali ke kampanye semula.


Brand Leadership

Agar brand menjadi tetap relevan, brand perlu mengambil sikap leadership. Mereka tidak bertanya dan menunggu permintaan dari pelanggan, tetapi brand menunjukkan apa yang konsumen mau. Sony dengan walkman, Apple dengan iPod, merupakan contoh konkrit hal ini. Lux melakukan kesalahan dengan meminta publik untuk mengatakan siapa yang pantas menjadi Bintang Lux. Lux sebagai brand leader kini menunjukkan leadershipnya dengan memilih dan menunjuk seseorang menjadi Bintang.

Brand leaders don’t ask people what they want, but they tell them what people want!


Further Study:
Brand Gap – Marty Neumeier
Crossing the Chasm – Geoffrey Moore
Differentiate or Die – Jack Trout
Eveolution – Faith Popcorn

Sunday, June 27, 2004

Marketing & Branding Industri Pendidikan

Trend Industri Pendidikan

Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan signifikan dengan diserbunya tempat-tempat pendidikan di kota-kota besar. Orang tua rela antri dan bahkan camping di depan sekolah untuk membeli formulir pendaftaran sekolah TK. Demi anak, orang tua rela pindah ke lokasi perumahan tempat sekolah berada karena sekolah lain sudah penuh. Tidak jarang mereka menghabiskan waktu 1 – 2 jam dari subuh mengantar anaknya ke sekolah. Trend ini bisa dicermati khususnya pada sekolah-sekolah yang memiliki jaringan mulai dari TK hingga SMU. Sekolah yang memiliki jaringan luas dari hulu ke hilir, TK hingga SMU, banyak diminati karena orang tua seakan membeli jaminan anaknya bisa meneruskan pendidikan di institusi tersebut, meskipun di setiap tingkat masih harus melakukan investasi tidak sedikit untuk sumbangan sekolah.

Pada pendidikan anak, saat ini yang sedang mengalami perkembangan pesat adalah Montessori, yang merupakan metoda pendidikan dari Maria Montessori. Sekolah berlabel ini bisa mematok harga tinggi karena metode pendidikan yang berbeda, perangkat pendidikan khusus dan pengajar Montessorian yang bersertifikasi. Sekolah-sekolah national plus juga bermunculan seperti High Scope, Global Jaya dan Sekolah Pelita Harapan. Banyak di antaranyanya menggunakan standar luar negeri.

Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang sudah established seperti UI, UGM dan Binus tidak mau kalah dengan menggandeng perguruan tinggi luar sehingga siswa bisa mendapat double degree dari dalam dan luar negeri.

Sebagai paradoks, pemerintah kini menutup izin Perguruan Tinggi baru karena Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi salah satu terbanyak di dunia dan sangat banyak di antaranya yang tidak bisa mempertanggung jawabkan fungsinya sebagai pendidik dengan menurunnya jumlah siswa serta banyaknya kasus perguruan tinggi bodong. Sekolah yang tidak memiliki brand kuat banyak yang terengah mencari murid. Kota pendidikan seperti Jogja yang dulu diserbu mahasiswa luar daerah kini mengalami penurunan jumlah siswa secara signifikan. Hanya sekolah dengan brand saja yang bertahan dan malah mampu menambah kursi.


Pendidikan sebagai Industri

Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi sekolah berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke sekolah-sekolah di Singapore dan Malaysia, sangat banyak mahasiswa dari Indonesia dan tidak sedikit yang berprestasi sangat baik. Pelajar-pelajar terbaik dari negara tersebut malah menuntut ilmu di negara-negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. Untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak sekolah dari luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia dengan Monash dan RMIT, Malaysia dengan Inti College, India dengan NIIT, Singapore dengan Informatics dan Canada dengan LaSalle College. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri.

Maraknya media dengan pameran pendidikan luar negeri menunjukkan kesadaran negara berkembang seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan Malaysia mendatangkan siswa dari Indonesia yang banyak mendatangkan devisa. Ada sekolah yang bagus, ada pula yang tidak beres, sekedar memberikan kesempatan mendapat izin tinggal untuk kerja atau menjual sertifikat. Sekembalinya siswa ke Indonesia bisa mengatakan bahwa mereka pernah belajar di luar negeri, sebagai gengsi, strategi positioning personal dan modal untuk mencari kerja tentunya.

President University yang berada di Cikarang mungkin satu-satunya sekolah yang mendapatkan siswa dari China dan Vietnam berkat dukungan beasiswa dari pemain-pemain industri besar. Ini adalah salah satu langkah awal bagi Indonesia untuk bisa masuk ke pasar pendidikan secara internasional.

Beberapa sekolah yang pantas disimak perkembangannya adalah Binus dan Gunadarma. Sekolah ini berkembang dari kursus, ATK (akademi teknik komputer), sekolah tinggi dan akhirnya universitas dalam waktu relatif singkat. Kini Binus menjadi salah satu universitas paling bergengsi dengan gedung di mana-mana, dan menambah portfolionya dengan Binus High dan Binus Training. Di Surabaya, UK Petra berkembang pesat dengan setiap jurusan favorit seperti Komunikasi, Desain Komunikasi Visual dan Ekonomi.

Pada tingkat akademik, Bina Sarana Informatika dan Interstudi di Jakarta diikuti ribuan mahasiswa karena mematok harga sangat terjangkau, seperti halnya Wearness di kota Malang dan Denpasar serta SOB (School of Business) juga di Malang.

Model pengembangan lain dalam bentuk franchise seperti yang diterapkan oleh Englisih First, ILP, LP3I dan Primagama sukses membuat cabang di mana-mana. Pemain lain yang juga banyak dikenal di dunia IT adalah Inixindo. Digital Studio yang berkonsentrasi di dunia multimedia dan komputer grafik berkembang menjadi 10 cabang di berbagai kota hanya dalam kurun waktu 4 tahun dan menggandeng partner Metrodata.


Knowledge Liberation dengan Komoditasi Pendidikan

Komoditasi pendidikan ini memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena terjadi liberasi pengetahuan. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi accessible bagi banyak orang.

Kursus yang berkonsentrasi pada skill akan melengkapi institusi perguruan tinggi yang banyak berorientasi pada knowledge. Pada banyak kasus, mereka yang hanya belajar skill malah mampu melampaui mereka yang belajar di perguruan tinggi saat mereka bekerja. Hal ini mendorong pertumbuhan luar biasa untuk pendidikan luar sekolah dan akademi.

Di jalur kemampuan terapan, ada SMK, akademi (D1, D2, D3 dan D4) yang berkonsentrasi kepada kemampuan terapan. Sedang jalur SMK dan perguruan tinggi (S1) berorientasi pada kemampuan analitis dan riset. Tidak berarti kemampuan terapan lebih rendah dari kemampuan analitis. Asumsi ini timbul karena perbedaan jalur ini kurang dipahami dan kurangnya sosialisasi. Trend ini mulai berubah dengan banyaknya universitas besar menawarkan program Extension dan D1 seperti halnya UI dan UGM.

Dikmenjur (Direktorat Menengah Kejuruan) di bawah kepemimpinan Gatot Hari Priowirjanto sukses melakukan banyak terobosan. Dengan membuat SMK TI, jaringan sekolah SMK telah membantu penyelenggaraan Pemilu 2004 karena para lulusannya siap menjadi operator data entry. Perbaikan kurikulum SMK Grafika mengundang pelaku industri seperti Forum Grafika Digital yang merupakan gabungan vendor dan praktisi dunia pracetak dan cetak. Kini sedang dikembangkan SMK Desain Grafis, Rekayasa Perangkat Lunak dan Multimedia yang lulusannya memiliki kemampuan sebagai operator yang handal dan siap pakai.

Microsoft juga tidak mau kalah dengan program satu sekolah satu lab satu komputer, di mana Microsoft menyediakan secara gratis satu buah komputer bekas (standar Pentium III), software original dan training untuk para guru di setiap sekolah. Dengan menggandeng Pemda dan Telkom, mereka mendorong terciptanya melek IT di seluruh Indonesia karena pemerintah daerah mendukung pendanaan dan infrastruktur koneksi ke Internet. Sayangnya program ini terhenti karena adanya peraturan pemerintah yang melarang PC bekas dilarang masuk ke Indonesia.


Lifecycle Model Pendidikan

Sebagai produk, pendidikan juga memiliki cycle dari mulai introduksi ke masyarakat, mulai dikenal hingga menjadi trend. Kursus Bahasa Inggris yang dulu hanya ‘nice to have’, belakangan ini marak di berbagai kota karena telah menjadi kebutuhan yang ‘must have’. English First, ILP dan LIA merupakan beberapa brand yang cukup dikenal publik yang masing-masing menyasar segmen berbeda. Perkembangan luar biasa khususnya dialami oleh English First, dengan brand kuat, bentuk desain logo yang lugas dan dikomunikasikan dengan memasang plang di mana-mana, kini tersebar luas di kota-kota seluruh Indonesia dan mampu melampaui popularitas para jago kandang di tempat mereka berada. Bisa diprediksikan bahwa China yang kini telah menjadi pengekspor terbesar ketiga dunia setelah US dan Jepang bakal mendorong pendidikan Bahasa Mandarin sebagai kebutuhan. Meminjam istilah Geoffrey Moore dalam buku Crossing the Chasm, pendidikan Bahasa Inggris telah melalui ‘chasm’ dari para early adopter ke early majority dan late majority.

Kondisi serupa dialami oleh pendidikan mental aritmetika dan matematika Kumon juga mengalami perubahan market, cukup banyak masyarakat sudah cukup banyak mendengar kelebihan metode ini dan ingin anaknya mengikuti kursusnya. Perbedaannya, Kumon memiliki brand yang dikenal, sedang mental aritmetika sebagai kategori muncul tanpa adanya satu market leader yang tangguh karena lemahnya usaha membangun brand. Tidak ada diferensiasi antara satu tempat belajar yang lain.


Era Kompetisi dan Brand Building

Komoditasi pendidikan seperti ini menuntut pengelolaan sekolah tidak lagi sebagai institusi yang product-oriented, tetapi sekolah perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun brand dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning sekolah.

Mau tidak mau, sekolah dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, kendala yang dihadapi adalah standarisasi kurikulum, modul dan pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas.

Begitu memasuki era market mainstream di mana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini institusi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi. Nama besar dari industri IT sukses menjual kurikulum seperti Cisco dan Microsoft. Menggunakan infrastruktur Internet, semua kurikulum, modul dan pengajaran bisa dideliver dengan standar, di mana pengajar hanya menjadi fasilitator dan pembimbing. Metode lain untuk memperkuat brand adalah menggandeng nama-nama bergengsi untuk terlibat di dalam industri pendidikan seperti Roy Sembel di Binus, Rhenald Kasali di UI.

Konsep positioning dan membentuk kategori yang lebih sempit adalah salah satu strategi di era kompetisi. Jika Binus adalah IT, maka Inixindo adalah IT untuk high-end, Linuxindo adalah IT menggunakan Linux dan Digital Studio adalah multimedia. Strategi diferensiasi juga bisa dimanfaatkan, mulai dari metode pembelajaran, harga, local genius dan banyak lagi. Satu contoh adalah sekolah seni di Solo didatangi siswa dari luar negeri yang ingin mempelajari the real thing di dalam seni tari dan dalang. Montessori dan Kumon adalah diferensiasi dari sisi metode. Franchise dari luar negeri adalah diferensiasi dari awal mula kurikulum berasal. Diferensiasi dari sisi agama juga bisa digunakan seperti sekolah Islam (Al Azhar - Jakarta, Al Izhar - Jakarta), Kristen (UKI - Jakarta, UK Petra - Surabaya) dan Katolik (BPK - Jakarta) yang masing-masing memiliki captive market yang sangat besar.


Membentuk Pasar dari Komunitas

Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas.

Inggris dengan British Council membuktikan hal ini. Mempromosikan kegiatan budaya akan menarik komunitas awal (disebut alpha pada buku Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman) yang akan mempengaruhi komunitas yang lebih besar (disebut bees). Riri Riza dan Ira Kusno sebagai penerima beasiswa dari Inggris adalah para alpha yang menjadi influencer para bees – siswa dan pelajar di British Council yang nantinya mempengaruhi mainstream market. Japan Foundation juga menggunakan metode serupa dengan membawa pendidikan manga dan anime ke Indonesia, mereka mengundang animator senior Indonesia seperti Dwi Koendoro dan Deddy Djoenaid untuk membimbing pembelajaran membuat komik dan animasi.


Model Pendidikan Masa Depan

Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosan-terobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya seperti home schooling, yang populer di kalangan gereja, atau e-learning yang meskipun saat inipun di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.

Moore’s Law mengatakan bahwa prosesor akan memiliki kecepatan 2 kali lipat setiap 18 bulan dengan harga sama. Hal sama terjadi pada GPU (graphical processing unit) atau kemampuan kartu grafik komputer menampilkan gambar, hanya di sini nilai tersebut dikuadratkan. Artinya, dalam waktu beberapa tahun, kita akan memiliki kemampuan tampilan seperti gambar bioskop dengan hampir real time untuk game. Saat ini di dunia industri game sudah lebih besar dari industri film. Model pembelajaran masa depan akan menggunakan game sebabagai simulator, mulai dari pelajaran kreativitas, strategi hingga pembentukan karakter bisa dilakukan dengan game.

Macromedia membuat model computer-based training menggunakan Director, Dreamweaver, Flash, dan Breeze untuk membuat online interactive learning atau webinar (web seminar). Adobe dengan produk Acrobat mencoba menciptakan standar archival untuk digital library yang bisa disearch dengan mudah. Infrastruktur ini akan dimanfaatkan sebagai knowledge database system yang bisa diakses di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Standarisasi melalui tes tidak lagi dilakukan dengan kertas, tetapi online seperti yang sudah ditunjukkan oleh brainbench.com


Narasumber:
Alain Chesnais – Siggraph President, untuk masa depan game dan multimedia
Lee Yong Tsui – Nanyang Polytechnic, untuk pendidikan di Singapura
Barbara Kerb - Ohio University dan Alan Palmers – UK untuk data e-learning
Dwi Koendoro, kreator Panji Koming untuk informasi Japan Foundation
Goenadi Haryanto – Edlink, untuk data siswa yang belajar di luar negeri
Toney Anwari – Cisco, untuk kurikulum Cisco dan implementasinya di Indonesia
Marta – Microsoft, untuk kegiatan edukasi Microsoft di Indonesia
Bagiono – Dikmenjur, untuk kegiatan edukasi Dikmenjur
Kwarta Adimphrana – SMKN 4 Malang, untuk penyusunan kurikulum TI
Taufik – SMK 6 Jakarta, untuk penyebaran edukasi di Indonesia timur
Sendy – President University, untuk informasi siswa dari China dan Vietnam
Ratna – Montessorian, salah satu pendidik senior metode Montessori untuk guru2 di Indonesia
Julius – Modern School of Design Jogja, untuk data sekolah di Indonesia dan berkurangnya jumlah siswa di perguruan tinggi dan akademi di Jogja
Susi Chen – Digital Studio Surabaya, untuk sekolah di Australia
Ita Boediman – Sydney, untuk sekolah di Australia
Herman Pratomo – Forum Grafika Digital, untuk penyusunan kurikulum grafika
Handy Suhendra – Admire, untuk data ekspor China

Majalah: Britzone dari British Councill

Buku:
Positioning: the Battle for Your Mind – Al Ries & Jack Trout
Differentiate or Die – Jack Trout
Crossing the Chasm – Geoffrey Moore
Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman, Ira Matathia, Ann O’Reilly
Tipping Point – Malcolm Gladwell


Situs:
www.macromedia.com
www.adobe.com
www.cisco.com
www.microsoft.com

Milis:
dikmenjur@yahoogroups.com
ds-milist@yahoogroups.com

Riset kunjungan:
- Indonesia: Jakarta, Bandung, Bogor, Jogja, Surabaya, Malang, Medan
- Luar Indonesia: Singapore, Kuala Lumpur - Malaysia, New York dan San Francisco - Amerika

Friday, October 11, 2002

Brand Insight vs Consumer Insight discussion

posted at Marketing Club mailing list

Hani Susilo Handoyo

Brand Meaning


To give meaning to a brand, it's important to create a brand image and establish what the brand is characterized by and should stand for in customers' minds. Brand meaning can be broadly distinguished in terms of more functional, performance-related considerations vs. more abstract, imagery related considerations. These brand associations can be formed directly from a customer's own experiences and contact with the brand through advertising or some other source of information (e.g., word of mouth). Performance. The product is the heart of brand equity. It is the primary influence of what consumers experience, what they hear about, and what the firm tells customers about the brand. To create brand loyalty and resonance, consumers' experiences with the product must meet, if not surpass, their

expectations.

Brand performance is the way the product or service attempts to meet customers' more functional needs. It refers to the intrinsic properties of the brand, including inherent product or service characteristics.


The performance attributes and benefits making up functionality will vary by category. However, five important types of attributes and benefits often underlie brand performance.
Primary characteristics and supplementary features:
  • Product reliability, durability, and serviceability
  • Service effectiveness, efficiency, and empathy
  • Style and design
  • Price
Brand performance transcends just the "ingredients" that make up the product or service to encompass aspects of the brand that augment these ingredients. Any of these different performance dimensions can help differentiate the brand.

Imagery. Brand meaning also involves brand imagery, which deals with the extrinsic properties of the product or service, including the ways the brand attempts to meet customers' more abstract psychological or social needs. Four categories of brand imagery stand out:
  • User profiles--the creation of a profile or mental image of users or idealized users based on brand imagery.
  • Purchase and usage situations--the formation of associations of a typical purchase situation may be based on type of channel, specific store, ease of purchase, or associated rewards.
  • Personality and values--the assignment of a personality to a brand, which Aaker describes in five dimensions: sincerity, excitement, competence, sophistication, and ruggedness.
  • History, heritage, and experiences--the creation of brand associations based on their past and certain noteworthy events in the brand history ........
http://www.hamiltonco.com/features/newsletter/enews022802/KellerSummary.html



Andi S. Boediman
Ini kata-kata Bill Bernbach, salah satu advertising man terbesar:
"At the heart of an effective creative philosophy is the belief that nothing is so powerful as an insight into human nature, what compulsions drive a man, what instincts dominate his action, even though his language so often camouflages what really motivates him. For if you know these things about a man you can touch him at the core of his being."
- Truth, Lies & Advertising - Jon Steel

Gampangnya, insight adalah 'isi hati' dari seseorang, yg mendorong ia melakukan sesuatu. Bukan apa yg ia ucapkan, tetapi yg ia rasakan dan lakukan. Dengan melakukan studi terhadap perilaku target market, kita bisa melakukan komunikasi hingga ke subconcious level, mis dlm contoh iklan Sampoerna Ijo adalah orang Indonesia adalah masyarakat guyub yg seneng
ngumpul, dalam contoh iklan Axe adalah cowok sebenarnya suka kalo didekati cewek.

Sunday, May 19, 2002

Ide Buat Brand Revitalization


Q: Ada yang pernah denger Brand Revitalization(Meningkatkan brand yang loyo)

kan, Nah saya butuh tuker pikiran nih soal yang satu ini. Bagaimana suatu brand yang sudah usang tetapi ingin mengembalikan vitalitasnya beberapa tahun yang lalu. Jadi ceritanya nih ada brand tahun 80an yang sedang berjaya, tapi karena ketidakpekaan perkembangan brand, maka competitor dapat mencuri posisi tersebut. Dan keadaannya makin hari makin turun. Sebelum terlambat harus ada usaha mengembalikan posisi brand itu kembali.

Nah gimana tuh, apa harus ganti nama, apa harus bertahan pake brand name yang lama, melihat masih ada sisa kejayaan masa lalu, atau pake cara/ metode yang gimana?

A: Ada banyak cara untuk melakukan brand revitalization. Mungkin bisa dengan melakukan repositioning, di mana service/produk diberikan satu posisi baru di benak target market. Contoh kasus: Garuda, dari yang kurang terpercaya menjadi, kini lebih baik. Cara lain bisa dengan menggunakan nama baru dengan asosiasi baru. Cara lain lagi bisa dengan melakukan co-branding, digandengkan dengan brand besar yang sudah punya posisi dan didefinisikan
kembali.

Ini adalah strategi, bukan mana yang lebih baik. Jika dipilih strategi manapun, harus konsisten dan sinergi dengan kegiatan marketing communication.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Brand atau Marketing strategy?


Q: haihaiahia...thanx banget buat masukan2nya, nah tapi gini nih setelah diteliti dan diperiksa emang brandnya bermasalah, tapi hal kedua yang ngga kalah pentingnya tuh integrasi dengan marketing strategynya.

A: Setuju. Ada banyak cara membangun integrasi brand dan strategi marketing. Malah menurut saya ini adalah bagian yang sangat penting di dalam bagaimana perusahaan tersebut mengkomunikasikan positioning, diferensiasi dan segmentasinya.

Q: Nah masalahnya para kompetitornya belum ada yang memposisikan brand dengan begitu kuat, dan semua kompetitornya akhirnya memiliki brand yang dibangun justru oleh marketing strategynya. Ngga ada kompetitor yang peduli dengan unsur estetik dalam pembetukan brand.

A: Kenyataannya strategi komunikasi (termasuk bauran promosi, advertising, pr, marketing, dll) adalah cara membangun brand. Bukan karena desainnya bagus, kemudian orang akan inget. Bukan brand ATAU marketing strategy, tapi brand DAN marketing strategy.

Q: nah kalo gitu gimana? apa lebih mudah atau harus melihat pola pikir pasarnya lagi? siapa tau pasar ngga peduli dengan unsur2 estetik, mungkin buat pasar malahan lebih penting produknya, distribusinya atau malah harganya lebih penting dari desain packaging, logo, etc.

A: Kenyataannya pasar tidak terlalu ngurus apakah tipografinya bagus, kerningnya OK, ilustrasinya pas atau warnanya kena. Setelah tujuan komunikasi ditentukan, maka desain logo harus balik kepada konsep tersebut.

Ambil contoh, waktu kita ngeliat logonya Garuda, kesan apa yang kita terima (bagus, gagah, keren?) Kemudian tugas dari advertising dan PR membangun komunikasi dari niat Garuda. Publik memberikan judgment apakah komunikasi tersebut dan logonya nyambung.

Ambil contoh lain lagi, siapa sih yang peduli apakah bulu di Garuda itu kalo diitung adalah 8, 17 dan 45. Ini sangat dangkal dan literer. Secara emosional, tidak banyak orang mampu relate kepada simbol tersebut. Apakah waktu ngeliat simbol tersebut kita punya konotasi sama (bagus, gagah, keren?).

Tugas kita sebagai desainer adalah memiliki kepekaan sebagai seorang yang mampu mewujudkan tujuan atau konsep dari korporat melalui bahasa visual. Bagus dan tidaknya logo dilihat dari kesesuaian dengan tujuan komunikasi awalnya. Nyampe nggak!?

Mas Novel nyebutin tentang Citibank. Menurut saya redesain logo punya beberapa maksud. Jika mau jujur, mungkin tidak banyak orang yang inget dengan logo lama Citibank, gimana bentuk persisnya, gendut kurusnya, gedhe kecilnya. You know when you see it, right! Tapi begitu ada logo baru, kita jadi memperhatikan, menduga-duga artinya, ngeliat detailnya, kita jadi care.

Kan ini tujuan dari company, make people relate, get in touch, punya hubungan personal. Jika ini tercapai, apapun bentuk dan bagus tidaknya tampilan logo, paling tidak company sudah merasa beruntung bahwa tujuannya tercapai. Akan lebih baik lagi jika ternyata orang mampu menangkap makna yang ingin dikomunikasikan.

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Friday, March 08, 2002

Mengapa Propaganda Digital Studio?

posted at Designcampur mailing list

Q: Kabar angin katanya ada "propaganda"..tapi tau deh kebenarannya. tapi effort event ini bagus karena belum ada yang berani selain dari Digital Studio, tapi ada embel-embel kursus jadinya kurang netral gitu..he..he..he.. (maklum tempat kerja saya kompetitornya DS.hua..ha..ha..ha..ha..)

A: Ini mah bukan kabar angin, tapi kabar topan. Kenyataannya emang bener bahwa Digital Studio pasti diikutin dalam tiap event dong. Ini adalah proses dari brand building dari Digital Studio. Digital Studio=computer graphic. Dan kenyataannya kita tidak hanya melakukan ini saja. Kita melakukan 360 derajat branding, mulai dari iklan, kegiatan PR, emotional branding, buzzword marketing, peluncuran produk baru, peningkatan layanan customer service dan
masih banyak lagi.

Jadi bagi yang nanya apa sih tugas advertising, ya ini jawabannya, KOMUNIKASI baik dari sisi above maupun below. Sayangnya banyak perusahaan Ad yang hanya mengandalkan TV, radio dan print ad aja. Nggak ada terobosan media, under the radar communication, account planning yang baik. Ini juga yang membedakan antara perusahaan adv asal bentuk dengan yang udah pro. Kuncinya bukan di output desain, tapi pada strategi komunikasi, strategi kreatif dan eksekusinya.

Saya pernah ditanya kok sekarang Digital Studio lebih komersial ketimbang dulu, di mana saya sering diundang oleh banyak pihak tanpa dibayar (ini dengan suka rela lho).

Saya ngeliatnya gini, dulu waktu saya sering sharing dan ngajar di beberapa sekolah (UPH, LaSalle, diundang juga ke Trisakti untuk ngedevelop kurikulum lab computer graphic), problem utamanya adalah sulit sekali untuk mendapat dukungan dari berbagai kalangan untuk sadar bahwa kurikulum sekolah seharusnya serupa dengan pekerjaan di lapangan. Sekolah biasanya mempunyai prosedur yang amat birokratis.

Sebaliknya, saya hanya bisa mengajar di kalangan tertentu saja seperti Grup Gramedia, Sinar Mas, Tempo, dll (pasar high end) dan mendapat kompensasi yang cukup baik. Kompensasi ini tentu saja bermanfaat bagi saya untuk tetap bisa berinvestasi terhadap ilmu-ilmu baru baik melalui buku ataupun workshop yang saya ikuti di luar negeri yang ujung-ujungnya bisa lagi dibagikan ke rekan-rekan.

Jika Digital Studio dibangun dengan kacamata dan kekuatan satu orang saja, benefit yang saya bisa bagikan kepada industri hanyalah berimpact hanya pada maksimal mungkin 100 orang setahun. Padahal saya melihat industri kita jauh tertinggal. Dengan membangun pendidikan yang baik, ini impactnya dirasakan oleh banyak banget orang. Di th 2000 kemaren, kita mencatat 750 orang dan di tahun 2001 menjadi 800 orang. Bahkan dengan adanya Digital Studio, muncul banyak rekan-rekan lain yang akhirnya melihat potensi dunia computer graphic dan membuka pendidikan yang serupa dengan yang ditawarkan oleh DS. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja publik. Dengan adanya kompetisi kualitas, harga dan persaingan yang sehat, masyarakat menjadi lebih terbuka wawasannya. Let public be the judge dan memilih yang terbaik.

Mungkin bisa kita lihat, bahwa keberadaan DS sejak th 2000 membuat adanya gairah di dunia computer graphic, muncul komunitas, workshop, seminar, perusahaan tandingan, dll. Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu bersama sejak dulu? Terciptanya industri?

Kalo boleh jujur, th 1999 kemaren saya udah males balik ke Indo karena saya lihat perkembangan di Amrik saat itu sangat luar biasa. Tetapi berkat masukan dari rekan-rekan saya di sana, juga rekan-rekan saya di Indo mengingatkan bahwa sudah sepantasnya saya menyumbangkan apa yang saya tahu ke dunia akademis. Tujuannya adalah memberikan wacana dan dobrakan baru. Bahkan saya lihat Trisakti pun kini sudah mulai berbenah dan merancang kurikulum baru bagi para siswanya. IKJ membuka jurusan animasi. Muncul sekolah-sekolah baru di dunia computer graphic. Bahkan hingga saat ini, saya tetap membantu temen-temen di LaSalle College untuk penjurian lomba desain mereka. Ini apa untungnya buat saya? Sebaliknya, saya berpikir bahwa jika tujuannya sama, mestinya dibangun sinergi.

Mungkin aja satu hari nanti, saya melihat bahwa sumbangan saya udah cukup, saya akan mundur lagi dari dunia pendidikan dan bisa jadi artis lagi. Bisa jadi jika Digital Studio sudah memenuhi misinya, kita nggak lagi berkecimpung di dunia computer graphic. Siapa tahu!?

Hingga saat ini, cukup banyak kritik terhadap Digital Studio dan saya pribadi, apakah itu dari segi maksud dan tujuan, layanan, kualitas, dll. Saya melihatnya dari sudut yang positif, bahwa rekan-rekan yang memberikan kritik ini 'care' thd DS dan ini memacu tim DS untuk bekerja lebih baik lagi mendeliver apa yang diharapkan komunitas computer graphic. Kita jauh dari sempurna dan perlu dikritik terus untuk memberikan apa yang terbaik.

Secara personal, saya suka dengan kompetisi, kayak balapan lari, gimana kita ngukur kecepatan dan kehebatan lari jika nggak ada yang diajak lari bareng.

Satu lagi soal marketing dan profit. Bangsa kita ini kelihatannya takut sekali dengan embel-embel 'profit'. Kalo bisa semuanya non profit, nggak dibayar, saling sharing secara gratis. Pengalaman saya begini, cukup banyak temen atau generasi muda yang datang ke saya untuk bertanya dan belajar. Sayangnya dari waktu yang saya alokasikan, komitmen, semuanya seringkali dianggap nggak ada harganya dengan nggak muncul saat seharusnya muncul, telat, dll. Malah ketika usaha yang sama saya berikan harga, mereka bisa menghargainya dengan datang tepat waktu dan mengapresiasi ilmu yang saya berikan dengan antusias.

Model gotong royong inipun muncul saat kita sekolah dulu. Murid yang pintar mungkin tidak disukai karena 'mereka pintar, belajar dengan keras'. Maunya ilmunya dicontekin aja ke kita pas ulangan. Bahkan diajak belajar barengan sebelumnya pun mungkin kita males. Akhirnya kita nggak punya keunggulan bersaing saat bekerja atau ketakutan saat ada pesaing dari luar negeri masuk.

Nggak ada yang namanya kita dikasih duit dulu baru mulai bekerja. Yang ada hanya bekerja dulu (atau kita membayar dulu), baru nanti mendapat hasilnya. Begitu pula dengan ilmu dan keuangan, yang ada selalu kita berinvestasi dulu baru nanti mendapat benefit belakangan.

Pendapat saya bahwa kita seharusnya merangkul komersialisme, bukan dari sisi negatif. Bukan kita diperbudak olehnya. Uang tidak pernah boleh menjadi tujuan. Yang benar adalah kita punya tujuan, yang dari mana kita akan memperoleh uang sebagai suatu reward.

Contoh kasus Bill Gates dan Ted Turner (boss CNN), saat mereka berdua menjadi amat kaya dari bisnis, mereka malah bisa nyumbang sekian milyar dollar untuk amal. Duit semua lho itu! Saya mau nanya nih, apakah orang mendapat benefit saat mereka berdua miskin atau saat mereka berdua kaya? Apakah orang yang mengkritik mereka berdua bisa nyumbang secuil aja dari nilai yang sudah disumbangkan tsb.

Dunia marketing Indonesia punya Hermawan Kertajaya, di mana mereka punya acara bulanan untuk membahas buku baru, sharing dari rekan marketer dan saling berkenalan. Mereka perlu membayar 2-4 juta untuk ikut acara sepanjang tahun. Apakah ini mahal? Ternyata yang ikut bilang, wah ini murah banget. Kita dapet network dan dapet ilmu. Sekarang mereka mendapat keuntungan bersaing dengan kemampuan yang lebih baik. Mereka puas karena berkonsentrasi
pada APA YANG MEREKA DAPATKAN, bukan pada APA YANG ORANG LAIN DAPATKAN. Dan mereka berkonsentrasi pada APA YANG BISA MEREKA HASILKAN, bukan APA YANG SUDAH MEREKA HABISKAN.

Kita cenderung takut untuk memberi harga pada diri sendiri. Ingat, penghargaan tidak datang dari orang lain, kita harus percaya dan menghargai diri sendiri dulu baru kita bisa dihargai oleh orang lain apalagi oleh bangsa lain.

Andi
Digital Studio