Showing posts with label creative industry. Show all posts
Showing posts with label creative industry. Show all posts

Sunday, November 28, 2010

Interview by Notsogeeky



Topik:
  • Tren industri kreatif saat ini, terutama bila dikaitkan dengan perkembangan di bidang teknologi informasi
  • Dengan semakin banyak yang mengadopsi media digital, bagaimana pengaruhnya terhadap media konvensional?
  • Hal apa yang harus diperhatikan sebuah brand untuk pemanfaatan media online



Topik:
  • Cerita dibalik rebranding plasa.com dan konsep baru yang diusung
  • Solusi plasa.com untuk menjawab konsep e-commerce dalam arti sesungguhnya
  • Mekanisme pembayaran dan model bisnis yang diterapkan oleh plasa.com

Sunday, December 13, 2009

Opini tentang Main Games untuk Warta Ekonomi

1. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai sosok Marlin Sugama secara pribadi maupun karya-karya yang telah dibuatnya?

Marlin Sugama memiliki passion yang kuat di bidang game. Pemahaman atas value chain industri sangat bagus dan ini jarang ditemukan di kalangan kreator game. Marlin memiliki perspekti bisnis kreatif yang positif dan punya kemampuan untuk mewujudkan visinya.

Hebring, salah satu karya animasi dari Main Studio sangat inspiratif dan memberikan sentimen positif atas penciptaan karakter orisinal Indonesia.


2. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai bisnis Marlin Sugama - Main Studios?

Model bisnis sebagai game developer bagus untuk mendapatkan income dan business model awal. Kemudian ini dikonversi perlahan menjadi industri kreatif melalui penciptaan karakter seperti Hebring.

Model ini perlu dipertahankan karena adanya kombinasi antara service industry yang profitable tetapi kurang sustainable dikombinasikan dengan creative industry yang pada awalnya cukup mahal saat pengembangan intellectual property, tetapi pada akhirnya akan lebih sustainable.


3. Adakah kekurangan dari bisnis Marlin yang harus dibenahi lagi agar menjadi lebih baik?

Main Games saat ini adalah perusahaan animasi dan game dalam skala SME. Perlu adanya road map untuk mampu menggerakkannya menjadi perusahaan besar. Dengan adanya road map yang jelas, akan bisa mengundang investor yang potensial. Ini adalah tantangan terberat karena dalam satu titik, hampir semua bisnis SME memerlukan resource untuk meningkatkan skalanya.


4. Bagaimanakah prospek dari Main Studios ke depan?

Main Studio dalam tahun mendatang perlu memikirkan untuk lebih sustainable dan scalable dengan benar-benar berkonsentrasi masuk ke industri kreatif yang memiliki intellectual property, salah satunya melalui Hebring.

Akan diperlukan partner yang kuat dari sisi marketing dan distribusi untuk mencapai skala bisnis yang besar. Idealnya di setiap channel (baca: animasi, atau game), diperlukan partner yang berbeda dan memiliki penguasaan atas basis distribusi digital content. Untuk game adalah perusahaan telekomunikasi yang dijembatani oleh Content Provider dan untuk animasi adalah televisi yang dijembatani oleh distributor.


5. Bagaimanakah prospek dari profesi sebagai animator dan game developer ke depannya?

Animasi dan game development adalah business yang bisa dilihat sebagai service industry, di mana animasi melayanai kebutuhan dari pelanggan. Di sini cocok untuk perusahaan berukuran kecil karena modal yang dibutuhkan relatif kecil. Contoh kasusnya adalah animasi untuk kebutuhan visualisasi dan advertising, juga game untuk pesanan perusahaan atau outsourcing.

Potensi terbesar adalah melihat animasi dan game sebagai bagian dari creative industry, di mana intellectual property dimiliki oleh sang kreator. Setiap utilisasi dari animasi dan game, kreator akan mendapat royalti. Di sini animasi digunakan sebagai marketing tools untuk industri merchandise, misalnya programming dari Sponge Bob men-drive penjualan barang-barang yang menggunakan karakter.

Game publisher juga mempu menghasilkan kemampuan sustainability dan scalability ketika kreator mampu memiliki intellectual property. Beberapa contoh adalah industri game Massive Multiplayer Online Role Playing Games (MMORPG) di Korea, seperti Ragnarok dan Ayo Dance. Juga game yang dimainkan di Facebook, seperti Farmville dan Mafia Wars. Ataupun game yang didistribusikan via mobile seperti Fifa World Cup. Model industri kreatif ini menjadi basis utama industri digital content yang size-nya sangat besar.

Sunday, November 22, 2009

Belajar dari Industri Konten Korea

Game merupakan sarana belajar yang efektif dan efisien, akan mempermudah siswa mengingat dan mengimplementasikan pelajarannya. Mahasiswa teknik bisa membuat visualisasi dengan program animasi 3D tanpa perlu membongkar-pasang barang aslinya―tak ada risiko dan kerugian apapun. Anatomi tubuh pun dapat dipelajari tanpa menggunakan organ tubuh sungguhan atau benda tiruan karena bisa menggunakan animasi 3D. Bahkan kini, teknologi yang dipakai dalam game perang-perangan dikembangkan NASA dan otoritas militer Amerika untuk membuat program serangan jarak jauh yang berguna bagi perang masa depan. Game telah menjadi wahana simulasi, cara murah dan mudah untuk mereplika sistem yang rumit menjadi interaktif dan bisa dipelajari oleh banyak orang.

Bono, bintang rock legendaris Band U2 asal Irlandia mengobarkan perang melawan aktivis politik sayap kiri dengan berinvestasi di video game tentang Venezuela dalam versinya. Ia berinvestasi sebasar 300 juta dolar di perusahaan Pandemic Studios, California, untuk produksi game Mercenary 2: World in Flames. Banyak orang heran akan aksi Bono, tapi nyata, bahwa game pun tak melulu berisi permainan saja, tapi bisa jadi alat untuk menyampaikan pesan apapun.

Game online sebagai salah satu produk industri kreatif animasi dan konten di Korea Selatan, berkembang pesat dengan kemudahan akses internet bagi lebih dari 80% penduduknya. Dalam pengembangan pasar dalam negeri tersebut, Korea Selatan mencatat angka pengguna game-game yang mudah dipelajari dan dimainkan, free casual game, cukup tinggi. Ini bisa dijadikan contoh pengembangan industri konten di Indonesia.

Dalam dunia pendidikan, kini juga mulai diminati aplikasi pembelajaran dengan Game Edukasi untuk media belajar kreatif dan atraktif bagi siswa tingkat sekolah dasar sampai menengah atas, terutama bidang matematika dan sains. Ternyata, selain untuk hiburan, ada nilai positif dari game dalam hal merangsang kreatifitas, berpikir taktis, serta belajar mengatur strategi.


Mana dulu, Infrastruktur Distribusi atau Konten?

Jika diperbandingkan dengan penduduk indonesia, suatu keterbalikan fakta bahwa Korea selatan lebih dari 80% penduduknya terkoneksi internet. sedangkan di Indonesia lebih dari 80% penduduk belum mengenal internet. Namun begitu, dengan besarnya jumlah penduduk, Indonesia dengan pengguna internet sebanyak 10 persen saja sudah mencapai angka 20juta - 30 juta orang. Dalam perkembangan industri animasi dan konten, koneksi internet memegang peran sangat penting.

Begitu banyaknya klaster bisnis dalam industri kreatif animasi dan konten, termasuk didalamnya benda-benda virtual dan microtransaction di Korea menempati angka penjualan cukup tinggi, diantaranya ditunjukkan dengan 67% dari user berumur 20 hingga 30-an telah membayar untuk memperoleh konten digital. Belanja musik secara online oleh pengguna internet bahkan menempati angka sampai 91%. Pengunjung portal utama dari kalangan dewasa mencapai satu juta pengunjung tiap hari.

Infrastruktur adalah komoditinya, dan konten adalah daya tariknya! Artinya tidak bisa dipisahkan antara konten sebagai value added dan jaringan distribusi sebagai komoditinya. Kabel broadband memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berlangganan konten dan membayar secara berkesinambungan dengan harga terjangkau. Ini yang disebut model bisnis subscription-based.

Lahirnya game MMORPG [Massive Multiplayer Online Role Playing Game], di mana suatu dunia game diakses oleh puluhan hingga ratusan ribu orang bersama-sama, merupakan jawaban atas tingginya pembajakan di Asia. Game dibagikan secara gratis, pemain hanya membayar koneksi ke server atau ketika membeli barang-barang virtual di dalam permainan, misalnya senjata, kekuatan tambahan dan banyak aksesoris lainnya. Item-based model menjadi alternatif dari subscription.

Masih rendahnya penetrasi broadband di Indonesia memerlukan daya tarik konten, jadi pembangunan pipa distribusi adalah untuk mengalirkan konten game, musik dan edutainment. Ekosistem infrastruktur dan konten menjadi bagian tidak terpisahkan karena adanya saling ketergantungan.


Kerjasama dan Alih Teknologi

Electronic Arts, Inc. [EA] sejak 2006 lalu berpartner dengan perusahaan Korea, Neowiz Corporation, meluncurkan game online EA Sports FIFA dan memiliki lebih dari 4 juta pelanggan. Dari banyak game online terlaris tercatat antara lain Tales Runner, RAGNAROK, Dungeon Fighter yang kesemuanya dikembangkan dari Korea. Indonesia masih baru berupa pasar dan belum ada tahapan alih teknologi yang signifikan.

Ada keengganan bagi pengembang perangkat lunak ketika masuk ke pasar baru untuk melakukan kustomisasi. Ini menyangkut belum terujinya adopsi pasar dan resiko biaya. Mereka yang punya kekuatan adalah mereka yang sudah memiliki pasar. Film dan musik Indonesia telah menjadi tuan rumah setelah rantai distribusi siap. Dalam paradigma serupa, jika game sudah memiliki jumlah pasar yang cukup signifikan, sudah saatnya untuk melakukan alih budaya, minimal dari sisi bahasa dan bisa dikembangkan lebih lanjut dengan pengembangan virtual asset dari game menjadi lebih lokal. Game Ayo Dance saat ini pun sudah mulai menggunakan musik Indonesia. Langkah cerdas untuk membuka pasar yang lebih luas.


Pengembangan Konten Lokal

Harry S Tjandra dari Pesona Edu adalah salah satu yang pertama menekuni software konten edukasi, murni untuk alat bantu peraga pendidikan khususnya matematika dan sains. Ia melihat dari kontingen KOCCA yang datang ke Indonesia juga mengembangkan edutainment, namun belum ada yang masuk ke game edukasi murni seperti yang ia tekuni. Itu artinya, game edukasi yang kini mulai banyak diminati akan menjadi peluang emas di dalam negeri. "Perkiraan belanja Depdiknas dan dinas-dinas pendidikan di seluruh Indonesia terhadap software game edukasi tahun 2010, akan mencapai sekitar 2 triliun. Saya sendiri baru mengembangkan untuk matematika dan sains karena saya punya target pasar internasional. Tapi ini juga peluang bagi pengembang konten di dalam negeri untuk misalnya mengembangkan di cabang mata pelajaran lain seperti sejarah dan sebagainya," demikian kata Harry.

KOCCA memang rajin menyoal pengembangan industri konten, mulai dari mengadakan kunjungan, hingga menyediakan beasiswa bagi yang mau belajar industri konten digital (animasi-komik-games) di Korea. Bambang Gunawan yang dikenal sebagai Bambi, salah satu anggota tim CAMS, mendapatkan beasiswa 6 bulan ke Korea. Pengetahuan pengembangan industri konten itu kini diterapkan menjadi program Animart, di mana animator lokal mengumpulkan karyanya untuk didistribusikan ke sejumlah TV lokal oleh CAMS, demikian disampaikan oleh Peni Cameron, Direktur CAMS Solution.

Maria Tjhin, General Manager Castle Production mengungkap, bahwa Indonesia sudah mampu membuat pesanan animasi untuk pasar internasional. Beberapa karyanya adalah The Adventure of Carlos Caterpillar yang bercerita mengenai petualangan seekor ulat untuk televisi Spanyol, The Story of Jim Elliot tentang misionaris di Ekuador untuk televisi Inggris, dan cerita anak-anak Cherub Wings untuk televisi AS. Castle mengerjakan seluruh proses animasi, sedangkan cerita dan karakter sesuai pesanan. Belakangan, Kabayan Liplap, produksi animasi orisinalnya, malah mendorong penjualan merchandise di toko buku Gramedia. Ini adalah bukti bahwa animasi dan konten kreatif adalah alat terbaik untuk menjual produk konsumen yang menggunakan lisensi karakter.



Pendidikan Konten Kreatif

Selain bertemu dengan pelaku industri konten dan kunjungan ke beberapa perusahaan game, animasi dan televisi, KOCCA juga berkunjung ke IDS|international design school yang memiliki program Animasi dan Game.

Ungkapan kagum muncul sebagai apresiasi ketika Deswara Aulia dan Rully Rochadi, pengajar animasi IDS|international design school bercerita tentang program pendidikan yang merupakan simulasi kerja dan sebelum lulus siswa bahkan sudah ditarik bergabung ke berbagai industri multimedia nasional maupun internasional di negara tetangga.

Giliran managemen IDS dibuat gembira dengan pernyataan rombongan KOCCA yang ingin merekrut siswa IDS bekerja di perusahaan mereka di Korea Selatan. "Wow...!"

Kunjungan KOCCA pada akhirnya membuka wawasan dari delegasi Korea dan juga pelaku industri konten tanah air untuk saling membuka diri atas potensi masing-masing. Indonesia bukan sekedar pasar, tetapi juga sumber tenaga kreatif yang luar biasa, yang mampu menghasilkan banyak karya orisinal yang patut untuk dibawa ke ajang internasional.

Please leave comments on http://www.ideonomics.com and follow me on http://www.twitter.com/andisboediman

Wednesday, November 18, 2009

Kharisma Industri Konten Korea



Catatan kunjungan KOCCA 2009

KOCCA sebagai sebuah organisasi terbesar dalam bidang Creative Content di Korea, memiliki anggota yang merupakan perusahaan-perusahaan pemain utama dalam industri ini. Di dalam negeri Korea Selatan, pasar game online mencapai $ 2 miliar per tahun. Hal ini dipengaruhi kesadaran masyarakat yang semua rumahtangganya telah terkoneksi internet, untuk membeli konten game online.

Korea Creative Content Agency (KOCCA) merupakan organisasi terbesar dalam bidang Creative Content di Korea yang disupport oleh 4 departemen, KOCCA akan mengadakan kunjungan serta melaksanakan serangkaian kegiatan di Jakarta pada tanggal 18 s.d 21 November 2009, kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kerjasama dan membuka peluang bisnis antara Indonesia dan Korea.

KOCCA mengadakan business matching pada Kamis / 19 November 2009 Hotel Sultan, Jakarta, dihadiri oleh 16 perusahaan dari Korea yang bergerak dalam Creative Content antara lain mobile game, PC game, mobile comics, education dan banyak lagi. Terbuka kesempatan untuk melakukan coproduction, licensing, distributorship dan joint venture dengan perusahaan-perusahaan Korea ini.

Siapkan kehadiran Anda pada acara business matching ini! Agar Indonesia tidak sekedar menjadi pasar, manfaatkan kesempatan emas untuk melakukan alih teknologi dan masuk ke industri konten dunia.


Daftar Perusahaan Korea

Neowiz Games, yang memproduksi game online S4 League (TPS), Slugger (Sports), CrossFire, A.V.A (FPS); NOWCOM ["Talesrunner“ Online Casual Game]; Aeonsoft yang memproduksi “FlyF-Fly for Fun dan Airmatch. FlyF sendiri diterjemahkan dalam 10 bahasa di 14 negara; Quarterview produsen dan pengembang Game, konten edutainmen sperti IVU English. Selain itu ada CJ SYSTEMS yang bergerak dibidang Entertainment & Media (Game, Mobile Contents, Cable TV, Movie, Music, Infra); Iann Corporation [Game, Animation, Multimedia]; E2plus Edutainment yang merupakan perusahaan nomor satu di Korea yang menjalankan bisnis di bidang Mobile Games, Comics, Education Contents.

Designseol, Produsen dan Distributor animasi dalam Merchandizing, Licensing, Distribusi karakter seperti “Ddung” yang sukses menjadi merek terkemuka Korea, China, Hong Kong, Jepang, Thailand dan Inggris. bahkan Ddung juga dalam kontrak licensi karakter di Korea sebanyak 18, China:19, dan beberapa negara sebanyak 6 kontrak sejak 2004 lalu.

DPS, pengembang animasi Tori Go Go dan Let’s Go MBA juga hadir dalam bersama rombongan KOCCA, dengan peluang kerjasama yang mungkin dilakukan antara lain Joint Venture, Co-production, Licensing, Distributorship dari produk-produk animasi yang dikembangkannya.

Di samping nama-nama diatas, ada Liquidbrain Studio, G&G Entertainment-pengembang animasi 2D dan 3D untuk anak-anak dan memenangi penghargaan Outstanding Animation Award di Korea Multiple Times untuk "Maskman & I’m Sorry” and “I love you”.

PICTO Studio-perencana dan pengembang produksi animasi 3D dan konten TV untuk anak-anak yang telah mendapat sertifikat ISO 9001dan ISO 14000. Terhadap perusahaan ini, investro di Indonesia dapat menjalin kerjasama dalam lingkup kerjasama produksi, transfer teknologi, lisensi, pemasaran dan distribusi.

Juga hadir GK Entertainment [“Dungeon & Fighter”] dan Goldilocks Studio Inc.; Serta menarik sekali dengan kehadiran Itonic Corp., sebuah perusahaan yang mengembangkan konten untuk aplikasi telepon seluler dalam format 3D seperti “StoryMessage” yang mana menjadi pemegang paten atas “Method of Providing Movie Message Service” dan “Providing Service about Making Contents and 3D Animation”

Dari perusahaan-perusahaan kreatif konten dan animasi Korea diatas, NOWCOM adalah salah satu yang menonjol dengan menjadi pemenang Best Publisher Award di Hong Kong [2009] dan Best Publisher Award and Best Casual Game Award di China pada 2008 dan 2009 ini melalui "Talesrunner“ Online Casual Game. Aeonsoft juga menjadi perusahaan yang luar biasa dengan mengembangkan FlyF dalam 10 bahasa di 14 negara, begitu juga dengan Quarterwiew yang dipilih oleh Ministry of Education, Science and Technology-kementerian pendidikan dan Ilmu pengetahuan sebagai Good E-learning Company. Selain itu, juga membawa IVU English 'menyeberang' sampai China dan memenangi Grand Prize Digital Contents oleh kementerian informasi dan komunikasi Korea Selatan.

Saturday, May 30, 2009

Industri Kreatif 'Dihantui' Software Bajakan

Source: Detikinet

Jakarta
- Industri kreatif merupakan sektor industri yang digadang-gadang bakal jadi primadona di 2009. Namun perkembangan sektor industri ini sepertinya harus diwaspadai, sebab produk ilegal seperti software bajakan masih menghantui untuk menghancurkannya.

Demikian penilaian dari Joe Kaesshaefer, Commercial Counselor dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, di sela seminar bertajuk 'The Importance of Strict Corporate IT Policy as Defense Agains Legal Claims of Software Piracy' yang digelar di US Commercial Service, Jakarta, Kamis (28/5/2009).

Menurutnya, geliat produk bajakan merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap perkembangan hidup dari industri yang membutuhkan daya kreatifitas pembuatnya ini.

"Ketika Anda sedang menonton penyanyi ataupun artis di layar TV, coba bayangkan sampai berapa lama ia akan berkarya seperti itu. Tentu tak akan selamanya. Lalu jika produk mereka (musik dan film) yang baru saja keluar sudah dibajak, bagaimana mereka mendapat pemasukan," jelasnya kepada sejumlah wartawan.

Kaesshaefer pun meyakini jika hasil kreasi para pencipta tersebut harus dilindungi. Sebab, dari itulah mereka bisa hidup. "Kreativitas akan mati jika tak ada reward bagi penciptanya," tegasnya.

Indonesia sendiri, pada tahun 2009 ini sudah mencanangkan sebagai Tahun Industri Kreatif. Sektor industri inilah yang digadang-gadang dapat sukses menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah hantaman krisis finansial dunia. Ada sekitar 14 lini bisnis yang dijadikan andalan, mulai dari animasi, film, fashion, piranti lunak dan masih banyak lagi.
( ash / sha )

Friday, April 03, 2009

Ceruk Peluang di Saat Krisis

Sumber: Kompas
Jumat, 3 April 2009 | 04:29 WIB

Alunan petikan sampek, alat musik khas Dayak, berpadu dengan gendang Batak. Diiringi nyanyian dengan lirik pedih dan gambar hutan perawan yang dibabat, tayangan audio visual itu begitu mencekam, mencitrakan sepotong wajah Indonesia yang berubah.

Tayangan berjudul ”My Forest's Tears” berdurasi delapan menit itu diputar seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4), saat membuka pemaparannya tentang industri kreatif. Sejak diunggah oleh panelis tahun lalu di situs YouTube, tontonan audio visual itu mendapat apresiasi dari berbagai belahan dunia dan diputar sebagai pembuka dalam beberapa kongres PBB yang terkait dengan perubahan iklim.

Itulah kekuatan kreativitas, dasar dari industri kreatif. ”Industri kreatif

tak bisa mati selama manusia masih hidup dan berkarya. Industri ini pabriknya adalah pikiran dan hati manusia,” kata panelis.

Kini, kegundahan terhadap krisis ekonomi dunia menggiring berbagai pihak untuk menoleh potensi ekonomi yang bersumber dari kekayaan kreativitas manusia, yaitu bagaimana kreativitas, pengetahuan, dan akses informasi disatukan dengan aspek ekonomi, budaya, teknologi, dan aspek sosial di semua level, makro maupun mikro.

Berdasar laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Creative Economy Report 2008, selama kurun 2000-2005, pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa berbasis industri kreatif rata-rata 8,7 persen per tahun.

Ekspor dunia dari industri kreatif pada tahun 2005 sebesar 424,4 triliun dollar AS, sementara pada tahun 1996 hanya 227,5 triliun dollar AS. Permintaan produk industri kreatif berkembang pesat. Bagaimana Indonesia menangkap peluang ini?

Potensial

Secara global, Indonesia belum menjadi pemain penting untuk produk keseluruhan industri kreatif, kecuali lukisan di urutan ketiga setelah China dan Thailand dengan ekspor 83 juta dollar AS (2,92 persen dari global) tahun 2005.

Dari sisi kontribusi terhadap ekspor nasional, peranan industri kreatif Indonesia masih kecil. Selama 2002-2006, kontribusi industri kreatif di Indonesia rata-rata Rp 79,08 triliun, atau 4,74 persen dari total nilai PDB nasional.

Angka ini cenderung meningkat, mencapai 8 persen pada 2006 (Rp 45,13 miliar). Angka ini masih di bawah rata-rata negara berkembang, yang kontribusinya mencapai 29 persen dari total ekspor tahun 1999 dan 41 persen tahun 2005.

Ketika dunia dilanda resesi global, menghantam hampir semua sektor di Tanah Air, terutama manufaktur yang diproduksi massal dengan orientasi ekspor, ceruk pasar untuk industri kreatif di Indonesia justru terbuka. Khususnya industri kreatif yang berbasis pada kreativitas desain dan berbahan baku lokal.

Sebagai contoh, sejumlah factory outlet (FO) di Bandung yang kesulitan mengekspor produknya kini diserbu pembeli dalam negeri yang dulunya belanja barang bermerek di luar negeri. Bahkan, pembeli dari negeri jiran, Malaysia, banyak juga yang ramai-ramai ke Bandung.

Jika selama ini perdagangan pernak-pernik dan pakaian di Indonesia didominasi oleh barang impor, termasuk barang bekas yang diimpor, kini bisnis distro yang berbasis kreativitas desain menjadi pengisi ceruk pasar itu. Pengetatan impor pakaian jadi oleh pemerintah, khususnya pakaian bekas, menjadi berkah bagi bisnis distro ini.

Fenomena produk distro yang berdasar elemen industri kreatif berbahan baku lokal dengan orientasi pasar lokal menjadi tawaran untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat saat menghadapi krisis.

Secara terpisah, Creative Entrepreneur Ideopoliz yang juga Direktur Digital Studio Workshop Andi S Boediman mengatakan, beberapa konsumen besar di bidang desain, percetakan, dan kemasan yang dulu memakai jasa industri kreatif skala multinasional kini beralih ke pelaku industri kreatif skala kecil dengan alasan pengetatan anggaran.

”Percetakan massal skala besar memang turun, tapi variannya dan pelaku yang mendapat order bertambah. Karena itu, UKM industri kreatif banyak limpahan order, khususnya di bidang desain dan kemasan,” kata dia.

Panelis mengungkapkan, pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia sangat menjanjikan, mengingat besarnya kekayaan budaya kita. Dalam seni pertunjukan, misalnya, musik gamelan telah dipertontonkan sejak awal pencanangan kebudayaan populer dalam Festival Debussy yang pertama kali, berbarengan dengan peresmian Menara Eiffel di Paris, Perancis, tahun 1889.

”Ini contoh pengakuan dunia internasional terhadap budaya Nusantara yang telah berlangsung sejak lama,” kata dia.

Good will dan dedikasi individu-individu dari luar negeri yang ”jatuh cinta” kepada kesenian Indonesia tidak sedikit. Individu-individu seperti ini banyak yang membantu menghubungkan kesenian Indonesia ke berbagai institusi filantropis di dunia.

Selain institusi Smithsonian/Folkway, yayasan yang bergerak di bidang permuseuman di Amerika Serikat, yang mensponsori rekaman 20 volume compact disk ”Music of Indonesia”, pendekatan antarindividu seniman Indonesia dengan ”pencinta” seni Indonesia di luar negeri telah menghasilkan produk kultural yang spektakuler di pentas dunia.

Pementasan teater I La Galigo yang disutradari oleh Robert Wilson adalah salah satu contohnya. Karya klasik Bugis di Sulawesi ini mendapat sentuhan good will seorang pembuat film independen, Rhoda Grauer. Ia menulis script dan meyakinkan Robert Wilson untuk menyutradarainya.

Film Grauer sendiri dibantu pembiayaannya oleh sejumlah lembaga filantropi. Biaya latihan untuk pementasan termasuk musik yang dikerjakan Rahayu Supanggah (pengarah musik I La Galigo) juga dibantu lembaga filantropi.

”Ini adalah salah satu ceruk pasar yang bisa dimanfaatkan industri kreatif seni pertunjukan yang berbasis kekayaan budaya tradisional,” kata panelis.

Tanpa landasan

Namun, sejauh ini, ekonomi kreatif di Indonesia tumbuh dengan mengandalkan lobi-lobi personal. Campur tangan pemerintah sangat minim, untuk dibilang tidak ada.

Andi S Boediman mengatakan, pemerintah belum memberi dukungan yang memadai untuk pengembangan industri kreatif. ”Program- program pemerintah terkait industri kreatif hanya slogan kosong,” kata dia.

Industri kreatif di Indonesia, menurut Andi, banyak dijalani orang-orang muda kreatif. Namun, upaya mereka kerap menghadapi tantangan, terutama masalah modal. Selain permodalan, perkembangan industri kreatif juga dihadapkan pada soal lemahnya pengembangan kapasitas.

Andi menekankan pentingnya membangun landasan berpijak bagi pengembangan industri kreatif di Indonesia. ”Industri kreatif di Indonesia bergerak hanya mengandalkan pelaku, tapi tanpa rel dan landasan yang jelas,” kata dia.

Dari pengalaman di negara lain, untuk membangun suatu basis industri kreatif yang solid dan berkelanjutan yang mampu mentransformasikan dari gagasan menuju konsumen sebagai pasarnya, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilalui. Mulai dari proses seleksi, penguatan kapasitas, pematangan di inkubator, mempertemukan dengan distributor, hingga dengan pemberi modal, sampai membangun pasarnya. Pemerintah semestinya bisa mengambil peran ini. (AIK/ken/isw/tat)

Sunday, January 18, 2009

Bersifat Padat Karya, Industri Kreatif Sumbang 4,74% PDB Nasional

Source: Suara Surabaya
17 Januari 2009, 15:27:25, Laporan Noer Soetantini


suarasurabaya.net| Industri kreatif mampu berkontribusi terhadap product domestic bruto (PDB) nasional. Industri kreatif sangat cocok dikembangkan di Indonesia sebagai industri padat karya.

Mengutip laporan yang dirilis Departemen Perdagangan, ANDI S BOEDIMAN Strategic Innovation Consultant, Creative Industry Evangelist di sela pembukaan Digital Studio Pucang, Sabtu (17/01), mengatakan industri kreatif dalam negeri menduduki peringkat ke-9 dari 10 lapangan usaha utama yang didefinisikan Biro Pusat Statistik.

Laporan tersebut disusun berdasarkan kontribusi PDB sektoral atas dasar harga konstan tahun 2000, untuk periode 2002-2006. Rata-rata, nilai kontribusi industri kreatif pada tahun 2002-2006 adalah Rp 79,08 trilyun, atau sebesar 4,74% dari total nilai PDB nasional. Kontribusi PDB terbesar pada tahun 2006 yakni sebesar Rp 86,914 trilyun atau 4,71% dari total PDB nasional.

Industri kreatif di Indonesia, dapat dikelompokkan menjadi empat kelas besar yakni konten kreatif (seperti film, musik, iklan, dan karya sastra) ; produk kreatif (terdiri dari fesyen, barang kerajinan, seni visual (lukisan dan foto), museum dan galeri, seni arsitektur, penerbitan, kuliner, dan desain grafis) ; pertunjukan kreatif seperti pertunjukan seni, tari, dan musik serta sains kreatif yang terdiri dari game interaktif, technotainment, dan bisnis internet.

“Kita dapat mengukur tingkat kompetisi ekonomi suatu negara berdasarkan tiga faktor atau 3T, yakni Technology, Talent, dan Tolerance. Istilah 3T itu digagas Richard Florida dalam bukunya yang berjudul The Rise of the Creative Class. Pendidikan bisa dikatakan sebagai satu diantara faktor yang dibutuhkan untuk mendapatkan 3T itu,”kata ANDI yang juga founder Digital Studio.

Industri kreatif di Indonesia, menurut ANDI, banyak dijalani orang-orang muda kreatif. Hanya saja, upaya mereka kerap menghadapi tantangan, terutama saat mendirikan usahanya. Diantaranya, modal yang biasanya dihadapi para pengusaha kecil pemula.

Untuk itu, mereka dapat mencari angel investor (istilah bagi para pengusaha yang telah sukses yang biasanya tertarik untuk membiayai industri (kreatif) baru meski risikonya besar). Para pengusaha kecil juga dapat melirik pinjaman lunak dari bank pemerintah. Bank-bank ini biasanya memiliki dana untuk menyalurkan kredit wirausaha untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

Selain pada permodalan, perkembangan industri kreatif juga dihadapkan pada soal pendidikan. Pendidikan untuk menciptakan orang-orang kreatif di Indonesia masih sangat minim. Di Jakarta baru ada 2 cabang yang dikembangkan Digital Studio dengan materi pembelajaran setara D1 dan Surabaya baru 1 dengan dibukanya Digital Studio Pucang.

“Konsep yang diberikan ini untuk mempersiapkan SDM menghadapi tantangan industri kreatif. Untuk pendidikan, Indonesia memang masih kalah dengan Thailand yang memiliki konsep taman edukasi melalui Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif,”paparnya.

Selain pendidikan, penghargaan juga perlu diberikan bagi para pengusaha kreatif dan berbakat—untuk mendorong mereka terus berkreasi dan menumbuhkan industri kreatif. Satu diantara bentuk penghargaan yang sudah ada yakni International Young Designer of The Year (IYDEY).

“Untuk mengembangkan industri kreatif dalam negeri, Indonesia membutuhkan dukungan dari negara-negara tetangga sebagai mediatornya. Contohnya, Singapura dan Malaysia. Lagi pula, untuk dapat menjadi bagian dari industri global, bukankah kita harus menjadi tuan di pasar sendiri (dalam negeri dan Asia) terlebih dulu,”pungkas ANDI. (tin)

Teks foto :
1. ANDI S BOEDIMAN
2. Animasi 3D banyak dibutuhkan untuk industri production house
Foto : TITIN suarasurabaya.net

Sunday, December 07, 2008

Creative sector experts tout the need for a 'Bali brand'

Source: Jakarta Post

Wed, 12/03/2008 11:08 AM | Bali

Creative industry thinkers and practitioners creatively concluded at the end of a two-day seminar that there was a need to develop Bali as Indonesia's global brand -- in the creative sector.

Andi S. Boediman, a creative industry evangelist, titled his presentation, "What is Bali?". His answer to the question paved the way for a discussion on the possibility of transforming the resort island into something more than just a tourist destination.

"Bali has such a strong cultural and religious heritage. People come here, love it and stay. But what we need is more than just Bali as a destination but Bali as a brand," Andi said.

In his eyes, Bali has the potential to become the global brand for the country's creative industry.

"In spite of its modernism, Bali has managed to maintain its rich, local heritage."

With so many people staying access to foreign markets is another opportunity that should not be squandered, he added. "The more we export, the more we have to make it known from where the product actually came from."

He then drew comparisons to Italy as the iconic brand that stood for quality leather shoes or Cannes in France that has became the embodiment of the global film industry.

Bali has cultural rituals such as fashion week, film festivals and similar events.

"They could be great opportunities to position Bali not only as a tourist destination but as the Southeast Asian Getaway for all sorts of interests," Andi said.

The idea to set up the "Made in Bali" label as a way to develop the island into a global brand has became a hot topic in recent times but how to implement the idea has been subject to debate.

"We cannot instantly come up with a new brand that is called *Made in Bali*. We first must think about quality, uniqueness and character of Bali products. This is our responsibility," initiator of Bali Creative Community, Arief Budiman said.

Arief and fellow local players are working on a brand study and a showcase model for the idea. The legal aspects of the Bali brand have yet to be discussed at a government level.

The recently founded Bali Creative Community, which also organized the Bali Creative Power 2008 gathering held at Sanur Paradise Plaza Hotel on Nov. 29 to 30, would like to take over as advisors to the process.

Christian Fritz, founder of the Bali Export Development Organization (BEDO) is convinced of the idea.

"There could be nothing better than Bali's own brand, I just hope that it can be accomplished on a national level," he said.

A jewelry designer, Stephanie Vermaas, shared a similar sentiment.

"If tourism keeps growing as it did in 2007, people will be proud to purchase goods that are produced in Bali and even produce their own things on the island, which will be great for the economy," she said.

Players from a broad spectrum of the creative industry, including architects, designers, musicians, builders and publishers attended the meeting which was aimed at empowering them to move forward as one, unified force.

"We want creative people living in Bali to look across the borders of their own industries and to exchange knowledge," Arief said.

With its fast-growing tourism, expanding trade, people moving in and foreign nationals staying, Bali has become the center of global attention for many interests, he said. -- JP/Claudia Sardi

Monday, October 27, 2008

Jangan Padam di Tengah Jalan

Source: Kompas

Jumat, 26 September 2008 | 00:34 WIB

Kata siapa kita kekurangan orang kreatif? Kalau saya bertemu dengan orang Singapura, mereka terheran-heran dengan kehebatan orang kita. Daya survival kita luar biasa. Kalau orang kita tinggal di Singapura, mungkin semua sudah jadi konglomerat. Sebaliknya, kalau orang Singapura tinggal di sini, mati semua karena dikasih fasilitas terlalu banyak.”

Pernyataan tokoh industri kreatif Andi S Boediman itu tidak dimaksudkan sebagai hiperbola. Bagaimana tidak? Dalam istilah dia dan para pengamat industri kreatif, orang Indonesia tak ada matinya. Sampah dan limbah disulap jadi produk bernilai jual sangat tinggi di pasar ekspor. Di industri musik, hampir setiap minggu ada band dan artis baru bermunculan dengan genre dan keunikan tersendiri.

Di film, rumah produksi menjamur dan hampir tiap bulan ada judul produksi baru. Film karya anak negeri mulai berkibar di bioskop, bersanding dengan film box office Hollywood.

Sekolah talenta mendadak laku keras diserbu peminat. Begitu juga dengan permainan interaktif, seperti animasi dan games, penyiaran, desain, dan arsitektur. Booming juga terjadi di periklanan dan fashion. Demam industri kreatif menyengat dan memabukkan semua orang. Semua pejabat negara mendadak fasih bicara mengenai pentingnya mengembangkan industri kreatif.

Berbagai departemen, BUMN, dan perusahaan swasta besar beramai-ramai merancang berbagai program dan event, termasuk menyediakan diri jadi inkubator atau penyedia modal ventura untuk industri kreatif.

Daerah atau kota tak mau kalah, berlomba dengan inisiatif sendiri. Kalender acara mereka padat sampai akhir tahun, bahkan beberapa tahun ke depan.

Antusiasme itu memompakan semangat baru yang luar biasa, dan pada saat yang sama membangkitkan kembali kesadaran identitas budaya dan kebebasan berekspresi bangsa yang beberapa tahun ini terpasung dalam psikologi bangsa sakit.

Mendadak ada cahaya terang di ujung lorong. Banyak industri UMKM, yang lama mati suri, bangkit kembali di bawah uluran tangan departemen, BUMN, atau perusahaan swasta dalam hubungan saling menguntungkan.

Persoalannya, bagaimana membuat jangan sampai eforia ini berhenti di tengah jalan? Kekhawatiran yang muncul di kalangan pengamat ini bisa dipahami. Mereka belum melihat adanya upaya pemerintah membangun platform yang lebih berkesinambungan.

Kesenjangan

Kalangan pengamat mengatakan, membangun industri kreatif tak cukup hanya dengan menyusun road map dan membuat beberapa event, seperti pameran di luar negeri. Yang lebih penting, implementasi di lapangan.

Tak sedikit pengamat menyatakan skeptis mengingat reputasi pemerintah selama ini, di mana hampir semua perencanaan ternyata tak jalan di lapangan. Ada gap lebar antara perencanaan dan program aksinya. Bahkan, penyusunan program aksi departemen yang ditargetkan tuntas September hingga kini belum kelar.

Masalah klasik yang dikeluhkan pelaku ekonomi kreatif, seperti masalah pemasaran atau hak paten, dari dulu juga sudah ada. Tetapi tidak pernah ada terobosan atau solusi kebijakan yang memberdayakan pelaku usaha.

Jangan sampai industri kreatif atau isu UMKM hanya menjadi jualan menjelang pemilu. Istilah ekonom Mudradjad Kuncoro, ”disanjung dan diberi angin surga, setelah itu ditelantarkan”. Belum waktunya pemerintah menepuk dada atas kiprah sukses segelintir pelaku industri kreatif Indonesia yang sudah diakui di panggung internasional sekarang ini.

Ibarat kereta api, mereka yang sudah mampu menembus panggung global ini baru lokomotif, tanpa platform gerbong dan rel. Tugas pemerintah dan swasta menciptakan platform ini. Peran pemerintah terutama adalah memfasilitasi dan mengatasi kendala yang dihadapi para pelaku industri. Termasuk perizinan, pembiayaan, dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.

Perlu dijajaki lebih banyak model kolaborasi, termasuk dengan perusahaan besar. Banyak pelaku usaha kreatif enggan berhubungan dengan pelaku besar karena, seperti dalam kasus industri perhiasan perak di Bali dan mebel di Jepara, usaha besar hanya mengambil keuntungan sendiri dengan mengklaim hak cipta karya perajin lokal yang turun-temurun.

Beberapa gagasan yang diungkapkan Andi S Boediman dan pengajar Sekolah Bisnis Manajemen ITB Togar Simatupang adalah mengalihkan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang selama ini tak jelas jejak dan efektivitasnya ke upaya pemberdayaan industri kreatif. Pemerintah bisa memberikan fasilitas pajak, seperti tax holiday pada perusahaan yang SCR-nya bisa membangun komunitas kreatif yang berkelanjutan, baik secara kegiatan maupun ekonomi.

Inovasi tidak hanya dituntut dari pelaku industri, tetapi juga aktor lain industri kreatif, termasuk pemerintah dalam membuat terobosan kebijakan. Jangan sampai peluang justru ditangkap pihak asing atau negara lain, dan kita kembali hanya menjadi penonton.

Boosting Indonesia's Creative Industries

Source: Budpar website

By Tuti Sunario
For Indonesia Digest

Lately the Indonesian batik has come very much in vogue throughout the country. Gone are the days when fashionable young people considered batik as traditional, out-of-date, and dull, only good for museums or to wear around the house.

Now that Indonesians top fashion designers have come up with trendy new styles, the batik blouse or dress has suddenly become a must have in any respectable wardrobe and can be seen worn by teens to older ladies, in malls or even to gala events, from fashionable celebrities on television, to models on the catwalk, to government ministers on formal occasions, all wear batik.
No longer the strict traditional wear, batik has suddenly come alive with a new elegance fit for young and old. This about-face is most unusual and unexpected, since Indonesian women are known to be very fashion conscious, preferring foreign brands. This is, therefore, proof what changes design can bring about.

Another positive development is Indonesias music scene. Indonesian bands, singers and CDs have suddenly become top hits not only in Indonesia but also in Singapore and Malaysia, to the annoyance of a number of Malaysian officials, and to the surprise of Indonesians themselves.

The other side of this popularity, however, is that piracy of music and CDs is rife, and traditional Indonesian songs, dances and designs have been patented by foreigners claiming these to be their intellectual rights, to the chagrin of Indonesian artists and artisans themselves. Indonesians have protested to Malaysia, since Malaysia has claimed the song Rasa Sayange and the traditional reog dance as their own, whereas any Indonesian knows that Rasa sayange comes from the Moluccas and the reog dance originates from Ponorogo in East Java. Recently, Balinese silver craftsmen have staged demonstrations objecting to the fact that their traditional designs have been pirated by foreigners and patented abroad.

Two years ago, the government decided to boost the creative industries, and today creativity has become the buzz word nation-wide.

Apparently, among developing countries, Indonesia is among the 10 top exporters of creative industries with a value of US$ 2.83 million . Top countries being China, Hong Kong, India, Turkey, Thailand, Mexico, Malaysia, Singapore and South Korea. Indonesia is no 7 in arts and crafts, no. 9 in celebrations, no. 3 in wicker ware, no. 3 in other arts and crafts, no. 7 in design, no. 10 in fashion, no. 4 in interior decoration, no. 7 in games, no. 5 in graphic design, no. 3 in glassware, no. 7 in video games, no. 8 in publication, no. 3 in newspapers, no. 7 in visual art, no. 8 in photography, no. 7 in sculpture, and no. 9 in other visual arts, writes Kompas daily of 26 September 2008.

According to the Creative Economy Report 2008 by John Howkins, continues Kompas, within developing countries on average, the creative industries contributed 29% to total exports in 1999 and 41% in 2005. In 1999 they contributed 7.3% to the global economy.

In Indonesia on the contrary, creative industries contribution to exports has only reached 8% in 2006 with a Rp. 45.13 billion value in exports. On the other hand, Indonesia is the 8th. largest importer of audiovisual creations, and no. 8 importer of films.

Nonetheless, Creative Industries together form the 7th. top contributor to Indonesias GDP, and the fourth largest in exports in the period between 2002-2006, surpassing performance of the transportation and communication sector, and the construction sector.

It is these potentials that Indonesia has in the creative industries that has pushed Minister of Trade, Mari Pangestu to insist that creative industries must form an integral part of Indonesia Long term Development Plan, in which she plans to develop the industries in two phases, namely the strengthening phase between 2008-2015 and acceleration from 2016-2025.

The plan envisages creative industries to contribute between 6%-8% to exports between 2008-2015, increasing to between 9%-11% from 2016-2025, with a growth from 7%-9% to 11%-13% in the latter phase. These industries are also planned to provide employment from todays 6.5% share of national workforce to 10% nation-wide.

Fashion, Handicrafts, Design and Music, Indonesias top Creative Industries

Creative industries are divided into 14 sectors. In Indonesia, top exporters are, in descending order: (1) fashion " not surprisingly since Indonesian women are very fashion conscious. (2) Handicrafts, (3) Design, (4) Music, (5) Publishing and Printing, (6) Interactive Games, (7) the Art market and Antiques, (8) Advertising, (9) Film, video and Photography, (10) Architecture, (11) the Performing Arts, (12) Computer Services and Programming, (13) Television and Radio, and (14) Research and Development.

According to 2006 data, Fashions share was largest at 43.71% of total, with a net export value of Rp . 45.8 billion, followed by Handicrafts at 25.51% with a Rp. 26.7 billion contribution. Advertising is no. 3 with a 7.93% share at Rp. 8.3 billion, and Design at no. 4 with a 5.88% share at Rp. 6.1 billion, and no. 5 is Architecture at 3.95% share with Rp. 4.1 billion contribution.

In terms of provider of employment compared to Indonesias industries, in 2006, some 4.9 million were employed in creative industries or 5.14% of total national workforce. This figure compares to 42.05% or 40.13 million people employed in agriculture, animal husbandry, forestry and fishery. While Trade, hotel and restaurants absorbed 15.9 million workers or 16.73% of total national workforce. Public Services absorbed 11.15 million or 11.68% of total workforce, and manufacturing industries provided 10.55 million jobs or 11.05% of total workforce.

But Indonesia is still in the initial stage of developing its creative expressions into industries. Indonesia has plenty of creative workers and artisans, however, this can as yet not be called a viable industry.

According to Togar Simatupang, lecturer at the Business and Management School of the ITB University in Bandung, today Indonesia is only at the introductory stage of creative industries, moving towards the development and investment stage before reaching the competitive stage and continue with efforts towards sustainability.

Similarly, Andi S. Boediman, Innovation Consultant Creative Industry Evangelist, said that following the experience of other countries, it is most important to build first a sustainable supply chain platform that is capable of transforming creative powers to meet the wishes of consumers. Then there is capacity building, before continuing with development, next are meetings with distributors, and partnership with investors, to finally build market potentials.

Film producer, Nia Dinata is, however, convinced that we must first create a strong foundation, which must be based on capable human resources, for which Indonesia will need more film academies. Today, there is only one film academy in Indonesia compared to 30 in India and 7 in South Korea, said Dinata.

Those active in the creative industries further maintain that todays business climate is not yet sufficiently conducive, writes Kompas. This is because government regulations often do not support or may even hamper development of creative industries. There are the problems of lack of promotional funds, credit access, moreover there is little government protection of intellectual property rights.

Nonetheless, with such a wealth of talents and artistic prowess in the country, there is the promise that Indonesias creative industries will thrive economically, provide employment to millions more, and at the same time revitalize Indonesias plentiful cultural assets.

(Source: Kompas daily, 26/9/2008)

Sunday, October 26, 2008

Potensi Industri Kreatif di Surabaya?

Tanya:

Menurut bapak sebagai pengamat industri kreatif, industri kreatif yang berkembang di Surabaya apa ya pak? Soalnya saya kemarin survey ke disperindag Surabaya, tidak ada pengklasifikasian tentang hal ini. bahkan mereka tidak familiar soal ini.




Jawab:

Kekuatan utama dari industri kreatif bukanlah coverage pada bidang industrinya, tetapi menurut saya terletak pada intellectual property exploitationnya, artinya dengan menciptakan karya, si kreator berhak atas royalti atas eksploitasi karya itu di kemudian hari.

Jangan mengharapkan untuk mendapatkan referensi dari Departemen karena mereka tidak punya latar belakang yang kuat di dalam mengamati trend yang terjadi. Mereka hanya berorientasi kepada industri yang sudah jadi, bukan yang baru akan berkembang.

Saya melihat subsektor dari industri kreatif yang bisa dikembangkan di Surabaya adalah Musik. Khususnya musik rock memiliki basis yang amat besar di Jawa Timur. Malang merupakan tempat yang menghasilkan band-band kreatif. Surabaya sendiri merupakan pasar musik rock yang sangat besar. Soundrenaline adalah acara yang merupakan wujud dari ekspresi ini.

Dari subsektor yang lain saya kurang melihat kontribusi signifikan dari Surabaya. Tetapi jika memperlebar pemahaman bahwa tujuannya adalah eksploitasi dari intellectual property, saya melihat mengapa membatasi industri kreatif hanya terbatas pada subsektor yang ada (Advertising • Live and recorded music • Architecture • Performing arts and entertainments • Crafts, designer furniture • Television, radio and • Fashion clothing internet broadcasting • Film and video • Visual arts and antiques production • Writing and publishing • Graphic design • Leisure software & computer games)

Ini jika dilihat dari subsektornya. Tetapi jika dipahami value chainnya, sentra industri kreatif bukanlah hanya dari kaca mata produksi, tetapi juga komersialisasi dan eksploitasi properti intelektual.

Potensi Surabaya cukup banyak. Surabaya adalah trade center melalui pelabuhan dan banyak yang menyebutnya sebagai gerbang ke Indonesia timur. Seberapa banyak orang/komunitas/asosiasi/pemerintah Surabaya yang memahami konsep ini? Caranya sebenarnya mudah, tinggal mendekati sentra-sentra industri kreatif di seluruh Indonesia Timur dan memberikan fasilitas kepada mereka untuk memiliki kantor representatif di Surabaya. Tujuannya adalah produsen bertemu dengan calon konsumen. Surabaya tinggal menciptakan pameran-pameran yang menampilkan produk2 industri kreatif dari Indonesia Timur yang saya yakin jumlahnya banyak sekali. Hongkong dan Singapura menggunakan model ini.

Selain itu olahraga juga memiliki kontribusi kuat. Manchester United membuktikan kepada dunia bahwa olahraga bisa dijual sebagai destination. Orang datang untuk melihat stadion, mengkoleksi kaos, maskot, dll. Surabaya adalah penggila bola yang luar biasa. Mengapa Persebaya tidak bisa dibranding seperti ini? Apa yang dibutuhkan? Jawabannya adalah musim kompetisi yang konsisten dan dipasarkan dengan baik. Ini merupakan pasar komunitas dan akan sangat banyak mendapat dukungan sponsor.

Penyebaran agama Islam berasal dari Gresik. Ini sangat bisa digunakan sebagai tujuan wisata. Contohnya adalah AA Gym tadinya memiliki lokasi tetirah yang dikunjungi oleh ribuan pengunjung. Mengapa Surabaya tidak mengembangkan wisata religius bekerja sama dengan Gresik.

Arsitektur berbasis budaya juga menarik jika bisa dikembangkan dengan baik. Contohnya adalah di Malang banyak turis datang dari Belanda karena romantika masa lalu. Ini bisa dikembangkan dengan mengangkat kembali budaya warisan kolonial (kuliner, tarian, musik, foto, dll) dan dihidupkan kembali. Buktinya hotel Tugu Park, Toko Oen di Malang sukses. Di Surabaya hal ini juga banyak tetapi sudah dilupakan.

Surabaya disebut sebagai kota pahlawan. Mana suasananya? Apakah ada tempat untuk benar-benar 'Experience' heroisme ini? Apakah ada performance atau tempat untuk ini? Sura dan Baya sebagai simbol tidak dikembangkan. Apa artinya. Bagaimana experiencenya?

Perlu diingat bahwa alasan orang datang ke suatu tempat dan alasan orang tinggal di satu tempat itu memiliki 2 alasan yang berbeda. Alasan orang datang adalah Acara. Alasan orang tinggal adalah Suasana. Apakah Surabaya sudah mengembangkan adanya program2 untuk membuat orang datang secara rutin misalnya konser, exhibition, performance, dll. Sedang alasan orang tinggal adalah membangun infrastruktur dan konsep yang menarik agar orang betah.

Banyak sekali pekerjaan rumah yang DAPAT dilakukan untuk membangun konsep industri kreatif di Surabaya.

Salam,

Andi S. Boediman

Thursday, October 16, 2008

Arsitektur Industri Kreatif?

Saya adalah Amy, mahasiswi arsitektur tingkat 3. Saat ini, saya sedang mengerjakan penelitian tentang ruang-ruang yang mendukung pembentukan industri kreatif. Bila tidak keberatan, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai ruang-ruang yang terlibat dalam industri kreatif pada Anda. Mohon bantuannya :)

Saya telah melakukan pengamatan tentang distro, bistro, cafe, warung tegal, mcdonald's, dan starbucks, baik dari segi sosial, ekonomi, juga ruang. Dari proposal yang telah saya ajukan, saya berpendapat bahwa dalam industri kreatif berlaku 3 macam kegiatan inti: produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian, ruang-ruang yang mendukung pembentukan industri adalah ruang-ruang yang mendukung tiga kegiatan tersebut. Saat ini, saya memfokuskan pada studi kasus mengenai distro. Distro adalah contoh kreatifindustri kreatif yang paling umum dan mungkin yang paling berhasil di Jakarta dan Bandung. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ruang-ruang retail distro yang atraktif dan mendorong terjadinya kegiatan konsumsi, mendukung pembentukan industri kreatif. Keberhasilan sebuah industri kreatif akan memicu pembentukan industri kreatif lain yang sejenis.

Dari studi kasus creative city seperti Austin, Seattle, Toronto, dll. saya mengamati adanya pembangunan banyak ruang yang dianggap mampu mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kreatif, seperti galeri seni, penyediaan bangunan retail, taman-taman kota (urban space) yang dianggap mampu mendukung kegiatan kreatif, dll.

Yang ingin saya tanyakan, apa Bapak memiliki referensi yang mampu mendukung asumsi-asumsi seperti di atas? Selain itu, saya juga mohon pendapatnya mengenai asumsi yang saya simpulkan saat ini. Apa Bapak setuju dengan asumsi-asumsi sejenis? Bila tidak, asumsi seperti apa yang menurut Bapak benar?

Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih :)



Pertanyaannya yang sangat arsitek :)

Industri kreatif bukan sekedar ruangan. Industri kreatif perlu platform. Ini yang harus dibangun oleh pemerintah dan swasta.

Saya sertakan konsep value chain (rantai nilai) dari industri kreatif. Para pembuat produk dan kreator biasa merupakan rantai paling kecil tapi sangat penting karena dari mereka lahir produk2 dan jasa2. Dari sini muncul peran inkubator yang tujuannya membangun kapasitas produksi. Mis: tukang bikin kaos tidak bisa jika menangani order 5000 kaos/hari jika tidak memiliki tukang dan proses bertahun2. Yang saya propose pemerintah memainkan peran untuk membantu eksposure karena biaya publikasi dan pameran sangat mahal. Setelah mendapat garansi order dari calon distributor, gov membantu menjodohkan dengan lembaga keuangan.

Value yang kamu susun sudah baik, ada distribusi, konsumsi dan produksi. Tetapi tidak akan bisa secara mudah dianggap hanya 3 saja. Lihat value chain yang saya susun.

Jika kamu mengambil contoh dari industri distro, pertanyaan pertama adalah siapa pasarnya, dan bagaimana distribusi. Ct: pasar orang Jakarta yg melihat distro lg trend, maka toko akan dipastikan ramai pada hari Jumat - Minggu dan hari libur, di luar itu sepi. Maka kebutuhan ruang menjadi bagaimana orang Jkt akan merasa nyaman datang ke toko karena merupakan destination. Bagaimana jika mereka bawa keluarga, jika lapar, jika bosan, buat yang pria? Ct lain adalah jika target distribusi distro adalah pasar luar negeri, maka diperlukan model eBay. Di sini kebutuhan ruang lebih kepada gudang. Alternatif lain adalah jika peminat distro mau ditujukan ke pasar timur tengah, jadi harus ada showcasing produk di market ini. Para pemain distro perlu diajak jalan ke sana, memahami kebutuhan pasar, dll.

Lokasi produksi dan lokasi distribusi tidaklah harus dalam satu lokasi. Malah ini tidak bijak. Yang biasa terjadi adalah clustering dari sisi produksi, clustering dari sisi distribusi, clustering dari sisi meeting, marketing, financing.

Konsep inkubator adalah bukan untuk bayi sampai dewasa, tetapi bayi diinkubasi untuk sementara waktu dan ketika mulai mandiri harus pindah ke lokasi lain.

Jadi di dalam kebutuhan arsitektur, tentukan dulu bagian dari value chain mana yang akan dipenuhi. Tidak mungkin seluruhnya di dalam satu lokasi.

Studi banding sustainable industry adalah Silicon Valley, Broadway, Las Vegas. Ini adalah konsep kawasan, bukan bangunan. Kalau mau mempelajari konsep inkubator, biasanya area yang lebih kecil, banyak dilakukan oleh Inggris. Silakan search "creative cluster"

Andi S. Boediman

Friday, September 26, 2008

Ekosistem Industri Kreatif di Indonesia

Oleh: Andi S. Boediman
Strategic Innovation Consultant,
Creative Industry Evangelist
www.ideonomics.com

Dimuat di QBHeadlines

Mungkin belum banyak orang yang paham tentang industri kreatif. Mungkin juga banyak yang mengira industri kreatif sebagai sesuatu yang baru, padahal nyatanya tidak begitu. Kreatif industri sudah ada sejak jaman dahulu. Bahkan, UK Government Department of Culture pernah menyebutkan, kegiatan apapun yang dilakukan oleh seseorang, dengan mengandalkan kreativitas, keahlian, dan bakatnya; yang memiliki potensi ekonomi dan mampu menciptakan peluang kerja bagi banyak orang, dapat dikatakan sebagai industri kreatif.

Inggris kehilangan industri manufakturnya karena outsourcing dan offshoring. Tenaga kerja murah menggantikan produksi di negara-negara maju menjadi tidak feasible. Industri kreatif sebagai industri terbesar kedua di Inggris setelah finansial ternyata mampu memberikan kontribusi value added yang luar biasa.

Menurut definisi Inggris, industri kreatif dapat dikelompokkan menjadi beberapa subsektor—periklanan, arsitektur, ketrampilan dan desain furnitur, fashion clothing, produksi film dan video, desain grafis, aplikasi komputer dan games, musik live maupun rekaman, hiburan dan seni panggung, televisi, radio, dan internet broadcasting; seni visual dan barang antik, serta industri surat kabar dan penerbitan.


Sesuai dengan definisinya, kreatif industri sangat mengandalkan kreativitas, keahlian, dan bakat seseorang. Artinya, sumber daya manusia menjadi hal terpenting untuk menciptakannya. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk yang sangat besar, bisa dikatakan industri kreatif sangat cocok untuk dikembangkan di negeri kita ini.


Pasar Industri Kreatif

Perkembangan teknologi telekomunikasi mendorong peningkatan jumlah penggunaan handset. Hal itu pun mempengaruhi industri mobile secara global. Vendor telekomunikasi asal Finlandia, Nokia, melaporkan bahwa di tahun 2008, industri mobile telah berkembang senilai 625 miliar dolar AS. Dari semuanya, tercatat bahwa jumlah penggunaan layanan data meningkat sebanyak 30%, sedangkan penggunaan layanan suara dan telefoni meningkat hingga 5%. Ini berarti, industri konten berpotensi untuk tumbuh dengan pesat.

Di Jepang, industri konten menjadi industri populer yang berpotensi besar untuk menjadi industri utama—bahkan lebih besar ketimbang industri manufaktur. Fakta tersebut dirilis dalam laporan yang dibuat oleh Divisi Industri Media dan Konten, Biro Kebijakan Perdagangan dan Informasi; Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Jepang.

Sebanyak 60% bisnis media di Jepang memroduksi manga dan anime. Bahkan, produksi manga mencapai tiga kali lipat produksi kertas toilet. Manga (komik Jepang) dan anime (film kartun Jepang) telah menjadi tren global—bukan hanya populer di negaranya.

Sekarang, kita beralih ke Korea. Pemerintah Negeri Ginseng itu merencanakan untuk menjadikan konten digital sebagai mesin pengembang industri TI broadband di sana. Divisi Industri Pengetahuan dan Sosial, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Korea, berharap untuk meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 40% dari industri game, animasi, serta konten mobile, e-learning, dan televisi digital. Saat ini, industri game memberikan sumbangan ekonomi terbesar di Korea, yakni senilai 1 miliar dolar. Model distribusinya dilakukan secara online, dengan karakteristik berdasarkan lisensi dan franchise.

Bagaimana dengan Singapura? Negeri Singa tersebut menargetkan untuk meningkatkan pendapatan domestik brutonya (PDB) dari industri kreatif, yakni dari 3% menjadi 7% di tahun 2012. Target ini akan dikejar dengan mengembangkan projek Media 21, DesignSingapore, dan Renaissance City.


Lalu, bagaimana perkembangan industri kreatif di Tanah Air? Di Indonesia, industri kreatif dapat dikelompokkan menjadi empat kelas besar—konten kreatif yang terdiri dari film, musik, iklan, konten mobile, dan karya sastra; produk kreatif yang terdiri dari fesyen, barang kerajinan, seni visual (lukisan dan foto), museum dan galeri, seni arsitektur, penerbitan, kuliner, dan desain grafis; pertunjukan kreatif seperti pertunjukan seni, tari, dan musik; serta sains kreatif yang terdiri dari game interaktif, technotainment, dan bisnis internet.

Menurut laporan yang dirilis oleh Departemen Perdagangan, industri kreatif dalam negeri menduduki peringkat ke-9 dari 10 lapangan usaha utama yang didefinisikan oleh Biro Pusat Statistik. Laporan tersebut disusun berdasarkan kontribusi PDB sektoral atas dasar harga konstan tahun 2000, untuk periode 2002-2006. Rata-rata, nilai kontribusi industri kreatif pada tahun 2002-2006 adalah Rp79,08 triliun, atau sebesar 4,74% dari total nilai PDB nasional. Kontribusi PDB terbesar adalah pada tahun 2006, yakni sebesar Rp86,914 triliun atau 4,71% dari total PDB nasional.

Pendidikan dan Penghargaan

Kita dapat mengukur tingkat kompetisi ekonomi suatu negara berdasarkan tiga faktor yang sering disingkat 3T, singkatan dari Technology, Talent, dan Tolerance. Istilah 3T itu digagas oleh Richard Florida dalam bukunya yang berjudul The Rise of the Creative Class. Pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu faktor yang dibutuhkan untuk mendapatkan 3T itu.

Ada beberapa momen bersejarah yang dipercaya mempengaruhi perkembangan dunia pendidikan, termasuk di antaranya adalah revolusi industri (1760-1830), perang sipil (1776-1782), dan revolusi Prancis (1789). Sejarah tersebut juga mempengaruhi kebutuhan pendidikan, mendorong peningkatan kreativitas sumber daya manusia dan terciptanya industri kreatif.

Terjadinya revolusi TI pertama di akhir 1900-an—ditandai dengan lahirnya PC, multimedia, dan internet—mendorong terciptanya berbagai layanan dan aplikasi, juga pengembangan ekonomi. Revolusi TI ke-2 kemudian terjadi di awal 2000-an, ditandai dengan meningkatnya teknologi mobile dan kebutuhan akan konten yang bagus. Di sini, inovasi secara terus-menerus menjadi hal yang dituntut dari tiap orang.

Pada akhirnya, untuk terus menumbuhkan kreativitas, pendidikan kreatif juga harus diciptakan. Itulah yang mendorong lahirnya sistem taman edukasi dan pendidikan virtual yang menyenangkan. Di Thailand, konsep taman edukasi telah diaplikasikan dalam Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan bahkan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif.

Selain pendidikan, penghargaan juga perlu diberikan bagi para pengusaha kreatif dan berbakat—untuk mendorong mereka terus berkreasi dan menumbuhkan industri kreatif. Salah satu bentuk penghargaan yang sudah ada adalah International Young Designer of The Year (IYDEY).

Selain digelar untuk merayakan bakat orang-orang kreatif, ajang penyerahan penghargaan IYDEY juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat jaringan dan “mempertajam” keahlian para pekerja kreatif. Pada akhirnya, ini dapat mendorong pertumbuhan industri desain internasional.

Tantangan

Industri kreatif, termasuk yang di dalam negeri, utamanya dilakoni oleh orang-orang muda kreatif. Mereka kerap menghadapi tantangan, terutama pada saat-saat awal mendirikan usahanya. Masalah modal biasanya dihadapi oleh para pengusaha kecil pemula. Untuk itu, mereka dapat mencari angel investor, istilah bagi para pengusaha yang telah sukses yang biasanya tertarik untuk membiayai industri (kreatif) baru meski risikonya besar.

Selain angel investor, para pengusaha kecil juga dapat melirik pinjaman lunak dari bank pemerintah. Bank-bank ini biasanya memiliki dana untuk menyalurkan kredit wirausaha untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

Pada intinya, untuk mengembangkan industri kreatif dalam negeri, Indonesia membutuhkan dukungan dari negara-negara tetangga sebagai mediatornya. Contohnya Singapura dan Malaysia. Lagi pula, untuk dapat menjadi bagian dari industri global, bukankah kita harus menjadi tuan di pasar sendiri (dalam negeri dan Asia) terlebih dulu?

*Artikel diolah oleh Restituta Ajeng A. dari materi presentasi Creative Industry Ecosystem in Indonesia, Andi S. Boediman.

Wednesday, July 09, 2008

Govt pumps export potential of the 'creativity industries'

Source: Jakarta Post

Novia D.Rulistia , The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 03/17/2008 12:38 AM | Business

If a variety of culture is considered the main determinant of national creative output, Indonesia would likely be one of the richest countries as home to no less than 300 ethnicities and 500 languages and dialects.

Whatever the case, figures on exports of local creative products have shown Indonesia still lags behind even regional competitors.

Possibly unnerved by Malaysia's ability to make the most of its comparatively limited cultural resources, which prompted the recent copyright claim fiasco over an allegedly Indonesian traditional song (used for promotions by Malaysia's Tourism Ministry late last year), the government has apparently emerged from a deep slumber and is boasting plans to prop up the local creative sector.

The plans, referred to as a road map, seems nothing short of ambitious, aiming to "guide the creative industries, encourage people to be more actively involved in creative industries and help drive the national economy," as Trade Minister Mari Elka Pangestu said at the Java Jazz music festival last week.

Creative industries are industries whose products originate from individual creative endeavors, skills and talents. Such fields have potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.

There are 14 such industries formally recognized by the government: music and musical instruments, advertising, architecture, art and antiques, craft, design, fashion, film, video and photography, interactive games, performing arts, printing and publishing, computer services and software, and radio and television.

Indonesia's creative sector presently comprises around 2.5 million companies, 1.3 million of which are in fashion, 900,000 in craft, 200,000 in graphic design and some 25,000 in other areas, according to data from the Trade Ministry.

Over the 2002 to 2006 period, the creative sector contributed an average 6.3 percent of the national GDP, equivalent to around Rp 104.68 trillion, absorbing some 5.4 million workers and ranked fifth among the Indonesia's top export commodities.

Creative industry exports were worth an average Rp 70 trillion over the same period, with a peak in 2006 of Rp 81.5 trillion.

This year, the ministry predicts, creative exports would increase in line with national export growth targets, between 10 and 15 percent.

Of all Indonesia's creative industries, fashion goods contributed the most to the export figures, with annual growth of around 30 percent.

Many of Indonesia's fashion industry players were able to grow their businesses by relying on design power rather than capital might, as seen in the "distro" phenomenon.

Distro (short for distributor outlets) have been pioneered by creative professionals from Bandung, West Java.

Dendy Darman, a founder of one of the country's first established distros, 347, shared part of his story of starting the business from scratch.

347 was set up by a surfing community, interested in arts and product design, who pooled their ideas and built their first line of products using no more money than a college student's monthly allowance.

"Distros are usually established by communities and have grown big now, but we don't see other distros as rivals. Instead we compliment each other," Dendy said.

"By complimenting each other we can breed new creativity," he said.

The 13-year-old 347 now produces some 200 different t-shirt designs every month, and has 5 stores including two stores in Singapore and Australia, employing a total of 150 people.

There are estimated to be around 1,500 distros across Indonesia, managed by the young and creative, some of which have total revenues of up to US$ 100,000 a month.

Distro businesses are resilient because they dare to challenge ideas and can be flexible in managing their finances due to their small size, said Yudhi Soerjoatmodjo, a British Council project team leader for learning and creativity.

"Young entrepreneurs were willing to grow their businesses gradually, and tended not to risk more than they could afford to lose," Yudhi said.

Commenting on the government's creativity road map, industry players said the government needs to address numerous issues which have hampered growth, mainly in the lack of access to investment capital, weak entrepreneurship and limited networks for distribution.

"The extent of our creativity is often limited by shortages of funding," Indonesian Fashion Designers Association (APPMI) chairman Taruna K.Kusumayadi said.

Not just financial incentives were needed, Taruna said, but, most importantly, non-fiscal incentives like greater access for product distribution.

"Our creative fashion industry is already big, but to make it bigger there should be incentives from the government and deeper cooperation between bigger and smaller industry players," he said.

Indonesian Creative and Smart Foundation chairman Seto Mulyadi said the creative industries also suffered from a weak link in the country's education system.

"The education system has a very rigid curriculum that gives a very limited space for students to express their creativity," Seto said.

Without creativity, he said, "there would be no opportunities for work."

National export development body (BPEN) head Bachrul Chairi said the government would complete the road map in May.

"The road map will define existing opportunities and ways to tackle challenges in the industry, including the lack of awareness, to improve creativity in schools and accelerate domestic and export growth."

Other issues highlighted in the plan, as hinted by the Trade Minister, would include means to further integrate creative minds with developments in science and technology.

"Creativity is not only based in the arts, but can also be based on science and engineering," Mari said.

Tuesday, July 08, 2008

Creative industries a hit, but still need support

Source: Jakarta Post

The Jakarta Post , Jakarta | Sun, 06/08/2008 12:01 PM | Headlines

Skeptics who say Indonesia's animation can not compete in the international scene should meet "Hebring".

The animated character, Hebring's, rescue of an old woman from a runaway bus has been a hit with local and overseas visitors to the four-day Indonesian Cultural Product Exhibition at Jakarta Convention Center (ending Sunday).

In blue tights, red gloves, boots, a scarf and big H-sign on his chest (think of Superman without the red underwear on the outside), Hebring has helped bring support and potential business deals to its developer, Main Game Studio.

At least 20 potential investors, including a Japanese institution, have engaged so far in "advanced" talks with the company, said Andi Martin of Studio.

Hebring -- which means 'great' in Sundanese -- is a new player in the exhibition which aims to promote Indonesia's creative industries.

"Last year, we had 17 categories ranging from craft to batik designers. This year, there are 38 with new categories including animation, painting, graphic design and multimedia," exhibition committee member Fauzi Azis said on Saturday.

The new exhibitors had garnered an "unprecedented" amount of interest from local and foreign investors, said Fauzi who is also the Industry Ministry director-general of small and medium enterprises.

"Which just goes to show the massive potential for this industry."

As of Saturday, the event has had roughly 20,000 visitors while facilitating total transactions worth as much as Rp 9 billion (around US$960,00) from retail sales and contract deals.

Last year's event facilitated more than Rp 16 billion in sales and contract deals and received around 27,000 visitors.

"This year, we expect to receive 30,000 visitors, and if the exhibition can stimulate transactions worth around Rp 20 billion, this would already be a wonderful achievement," Fauzi said.

However, he said, the industry still needs a lot of government support, such as tax breaks and copyright law education.

"Take the painting industry. Indonesian painters prefer to auction their paintings in Singapore. Why? Because Singapore charges 7 percent in auction taxes, while our government charges 21 percent. How are we supposed to compete?"

"Another problem is copyright laws. We need more education to protect software copyright and other intellectual property because that is the main complaint I keep receiving from our friends in the creative industry," Fauzi said. (anw)

Saturday, July 05, 2008

Govt to shield creative industry with copyrights

Source: Jakarta Post

Novia D. Rulistia , The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 06/05/2008 10:12 AM | Business

The government plans to provide a framework for the protection of copyrights and financial assistance to help encourage creative businesses, a minister Wednesday said.

Trade Minister Mari Elka Pangestu said the framework would form part of industry's development blueprints.

"With the protection of copyrights and provision of financial assistance for small and medium businesses, we expect to be able to nurture the industry," she said, without elaborating.

The included creative industries comprise some 14 areas; music and musical instruments, advertising, architecture, handicrafts and art festivals, antiques, design, fashion, film, video and photography, interactive games, performing arts, printing and publishing, computer services and software and radio and television.

A lack of effort by the government in developing the industry and protecting copyrights has discouraged many companies from engaging in the sector.

Analysts have regularly said Indonesia's creative industry is lagging far behind other developing countries in Asia, with China estimated to be 18 years ahead in the sector.

By providing concrete facilities, including hefty tax exemptions and discounts and sufficient business infrastructure, China has already managed to attract global giant software firms, while also stimulating the emergence of local creative firms.

China's Hangzhou city, for example, established in 1990 the Hangzhou Hi-Tech Industry Development Zone, which now houses research and development centers for Microsoft, Intel, Nokia Siemens Networks and Samsung.

Software designers and engineers are also exempted from income tax to encourage them to engage in the industry, despite the fact that China is the world's biggest copyright violator.

Mari, however, remained upbeat Indonesia would achieve the target of 11 percent contribution to the country's gross domestic product (GDP) by 2025, as stated in the blueprint.

"Between 2009 and 2015, our efforts will be to strengthen the basic creative economy, while the acceleration (of that process) will occur between 2015 and 2025," she said without mentioning any methods.

Mari said during the acceleration period, the industry would contribute 9 to 11 percent to the GDP and account for 12 to 13 percent of the country's total exports.

According to the Central Statistics Agency, between 2002 and 2006, the creative industry contributed an average 6.3 percent to the national GDP, or equivalent to Rp 104.68 trillion.

The industry absorbs some 5.4 million workers and ranks fifth among Indonesia's top export commodities.

Friday, July 04, 2008

Govt looks to creative industries as source of competitiveness

Source: Jakarta Post
Thu, 04/10/2008 11:25 PM | Headlines

The government is now drafting a roadmap to help develop creative industries in the country that cover 14 sectors, including musics, art, craft, design, fashion, film and software. To get a better a picture of the government's plan for these industries, The Jakarta Post's Riyadi Suparno and Novia D. Rulistia interviewed Trade Minister Mari Pangestu, the leading figure behind the government's initiative to develop the creative industries.

Why has the government suddenly moved to help creative industries?

First of all, it's not suddenly. The President has always emphasized how important Indonesia's creativity is, and we started out in the context of handicrafts. Then we held exhibitions, and tried to make exhibitions more attractive, and included more sectors which, in the end, we realized were the components of the creative economy, such as film and animation.

Indonesia has a lot to offer in terms of creativity. For example, we began to see a lot of things happening in the film industry, and also in the music industry in the last two years.

We've been trying to get creative people, and you see what they're doing, and we try to help bring a theme here: "local in value but contemporary in spirit".

Take batik, for example. With the usual batik clothing, it's not really exciting to wear it. As soon as young designers enter the picture, though, you see now many of them are wearing batik in many styles with affordable prices. So this is what I mean; Indonesia is very creative.

We have identified three potential services exports. The first group is IT-based, like media and game animation. The second is design, architecture and engineering. Third is professional skilled labor.

But we must start with the domestic market so we are competitive, and we have a big domestic market. When we are competitive in the domestic market, then we can start exporting.

Can you explain the roadmap the government is currently drafting?

We have four parts in it. The first part is the study of the creative economy, in which we try to take a picture of the 14 sectors.

The second and third parts deal with blueprints to develop the creative economy, and creating specific blueprints for each of the 14 sectors. And the fourth part mandates that each department (ministry) should come up with its own action plan to implement the roadmap.

The ministry of trade's task is to coordinate the process, and we hope it will be ready by the end of the year. But for the implementation it will take longer. The first phase is 2008-2016 and the second is 2016-2025. We call the first phase "Strengthening the foundation and pillars of the creative economy".

We also try to develop creative human capital for every industry. We need creative communities. But it's not just the government that should do it, but also with the private sector and stakeholders and academics, as they are the pillars.

Where is the government's help needed most?

The focus in all our discussion groups is intellectual property rights, the protection of their ideas, their innovations. It always comes up in every discussion.

The other one is competition between each other or between them and foreign products. But that's actually where the theme of "local in value but contemporary in spirit" becomes very important.

They may apprehend competition from foreign players as they have technology, resources, financing and stronger positions. If that's the issue, the role of the government will be to facilitate, to strengthen the government-private partnership to strengthen the areas that make them less competitive with foreign competitors.

In terms of ideas and creativity, probably we are much stronger, but the issue is how we make sure we can nurture it so they can have technology and resources and not be too dependent.

Some of these creative industries are growing fast simply because there is no intervention from the government. How would you make sure the government's entrance into creative industry would not be counterproductive?

The government's role is to facilitate, not try to hinder the development of the growing sectors. We try to understand what they need to grow better.

We have a lot of creative communities. They are geographically concentrated at the moment in Yogyakarta, Bali and Bandung; these are the three centers.

They have creative communities, and they don't want government intervention. They're very allergic. "What is the government doing? We are quite happy without the government's interference."

We're not trying to interfere; we're trying to facilitate. For my ministry, my role to facilitate is to give them accessibility to the market so they have the demand to grow their business and to help them promote it.

Do you have any example of a government's helpful intervention in creative industries?

In Korea, for example, they promoted their film industry. Ten years ago or so, before Korean soap operas and films took off, the government created a capital fund to help young filmmakers. They also have a quota for cinema of both local and foreign films.

What sectors would you develop the most?

Handicrafts for sure; it's already big. Fashion, IT-based, animation and musical instruments. But we should go beyond that. Don't look at it by sectors; having creative human capital in our country is already the source of our competitiveness.