Monday, October 27, 2008

Jangan Padam di Tengah Jalan

Source: Kompas

Jumat, 26 September 2008 | 00:34 WIB

Kata siapa kita kekurangan orang kreatif? Kalau saya bertemu dengan orang Singapura, mereka terheran-heran dengan kehebatan orang kita. Daya survival kita luar biasa. Kalau orang kita tinggal di Singapura, mungkin semua sudah jadi konglomerat. Sebaliknya, kalau orang Singapura tinggal di sini, mati semua karena dikasih fasilitas terlalu banyak.”

Pernyataan tokoh industri kreatif Andi S Boediman itu tidak dimaksudkan sebagai hiperbola. Bagaimana tidak? Dalam istilah dia dan para pengamat industri kreatif, orang Indonesia tak ada matinya. Sampah dan limbah disulap jadi produk bernilai jual sangat tinggi di pasar ekspor. Di industri musik, hampir setiap minggu ada band dan artis baru bermunculan dengan genre dan keunikan tersendiri.

Di film, rumah produksi menjamur dan hampir tiap bulan ada judul produksi baru. Film karya anak negeri mulai berkibar di bioskop, bersanding dengan film box office Hollywood.

Sekolah talenta mendadak laku keras diserbu peminat. Begitu juga dengan permainan interaktif, seperti animasi dan games, penyiaran, desain, dan arsitektur. Booming juga terjadi di periklanan dan fashion. Demam industri kreatif menyengat dan memabukkan semua orang. Semua pejabat negara mendadak fasih bicara mengenai pentingnya mengembangkan industri kreatif.

Berbagai departemen, BUMN, dan perusahaan swasta besar beramai-ramai merancang berbagai program dan event, termasuk menyediakan diri jadi inkubator atau penyedia modal ventura untuk industri kreatif.

Daerah atau kota tak mau kalah, berlomba dengan inisiatif sendiri. Kalender acara mereka padat sampai akhir tahun, bahkan beberapa tahun ke depan.

Antusiasme itu memompakan semangat baru yang luar biasa, dan pada saat yang sama membangkitkan kembali kesadaran identitas budaya dan kebebasan berekspresi bangsa yang beberapa tahun ini terpasung dalam psikologi bangsa sakit.

Mendadak ada cahaya terang di ujung lorong. Banyak industri UMKM, yang lama mati suri, bangkit kembali di bawah uluran tangan departemen, BUMN, atau perusahaan swasta dalam hubungan saling menguntungkan.

Persoalannya, bagaimana membuat jangan sampai eforia ini berhenti di tengah jalan? Kekhawatiran yang muncul di kalangan pengamat ini bisa dipahami. Mereka belum melihat adanya upaya pemerintah membangun platform yang lebih berkesinambungan.

Kesenjangan

Kalangan pengamat mengatakan, membangun industri kreatif tak cukup hanya dengan menyusun road map dan membuat beberapa event, seperti pameran di luar negeri. Yang lebih penting, implementasi di lapangan.

Tak sedikit pengamat menyatakan skeptis mengingat reputasi pemerintah selama ini, di mana hampir semua perencanaan ternyata tak jalan di lapangan. Ada gap lebar antara perencanaan dan program aksinya. Bahkan, penyusunan program aksi departemen yang ditargetkan tuntas September hingga kini belum kelar.

Masalah klasik yang dikeluhkan pelaku ekonomi kreatif, seperti masalah pemasaran atau hak paten, dari dulu juga sudah ada. Tetapi tidak pernah ada terobosan atau solusi kebijakan yang memberdayakan pelaku usaha.

Jangan sampai industri kreatif atau isu UMKM hanya menjadi jualan menjelang pemilu. Istilah ekonom Mudradjad Kuncoro, ”disanjung dan diberi angin surga, setelah itu ditelantarkan”. Belum waktunya pemerintah menepuk dada atas kiprah sukses segelintir pelaku industri kreatif Indonesia yang sudah diakui di panggung internasional sekarang ini.

Ibarat kereta api, mereka yang sudah mampu menembus panggung global ini baru lokomotif, tanpa platform gerbong dan rel. Tugas pemerintah dan swasta menciptakan platform ini. Peran pemerintah terutama adalah memfasilitasi dan mengatasi kendala yang dihadapi para pelaku industri. Termasuk perizinan, pembiayaan, dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.

Perlu dijajaki lebih banyak model kolaborasi, termasuk dengan perusahaan besar. Banyak pelaku usaha kreatif enggan berhubungan dengan pelaku besar karena, seperti dalam kasus industri perhiasan perak di Bali dan mebel di Jepara, usaha besar hanya mengambil keuntungan sendiri dengan mengklaim hak cipta karya perajin lokal yang turun-temurun.

Beberapa gagasan yang diungkapkan Andi S Boediman dan pengajar Sekolah Bisnis Manajemen ITB Togar Simatupang adalah mengalihkan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang selama ini tak jelas jejak dan efektivitasnya ke upaya pemberdayaan industri kreatif. Pemerintah bisa memberikan fasilitas pajak, seperti tax holiday pada perusahaan yang SCR-nya bisa membangun komunitas kreatif yang berkelanjutan, baik secara kegiatan maupun ekonomi.

Inovasi tidak hanya dituntut dari pelaku industri, tetapi juga aktor lain industri kreatif, termasuk pemerintah dalam membuat terobosan kebijakan. Jangan sampai peluang justru ditangkap pihak asing atau negara lain, dan kita kembali hanya menjadi penonton.

Kuncinya di Penguatan Fondasi

Source: Kompas

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO / Kompas Images
Kegiatan komunitas Openlab ketika berkumpul dengan berbagi ilmu baru di Common Room, Jalan Kyai Gede Tapa, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/9) malam. Selain sharing ilmu dan software musik baru, mereka juga mendemokan musik baru mereka di hadapan anggota komunitas lainnya.
Jumat, 26 September 2008 | 03:00 WIB


Sebagai industri, sebagian besar subsektor industri kreatif Indonesia masih pada tahap sangat awal pembentukannya. Untuk menjadi sebuah industri kreatif yang berdaya saing, perjalanan masih sangat panjang. Demikian pula pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, sangat banyak.

barat kereta api, menurut Innovation Consultant Creative Industry Evangelist yang juga Direktur Digital Studio Workshop Andi S Boediman, Indonesia sekarang ini baru memiliki lokomotifnya, yakni para wiraswasta (entrepreneur) di bidang kreatif. Sementara platform, yakni rel dan gerbongnya, belum ada.

Dari pengalaman di negara-negara lain, untuk membangun suatu basis industri kreatif yang solid dan platform (supply chain platform) yang berkelanjutan yang mampu mentransformasikan dari gagasan (kreativitas) menuju konsumen sebagai pasarnya, ada tahapan-tahapan proses yang harus dilalui. Mulai dari proses seleksi, penguatan kapasitas (capacity building), pematangan di inkubator, mempertemukan dengan distributor, mengawinkan dengan pemberi modal, sampai membangun pasarnya.

Dari tahapan pengembangan industri, menurut pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung, Togar Simatupang, kita juga baru pada tahap pertama, yakni tahap menyadarkan (pengenalan), sebelum kemudian masuk ke tahap mengembangkan (investasi), membangun industri berdaya saing, dan mengupayakan keberlanjutannya.

Kalangan pelaku industri kreatif, seperti produser film dari Kalyana Shira Film Nia Dinata dan Ketua Jurusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Kusen Dony Hermansyah, menekankan pentingnya membangun fondasi yang mantap lebih dulu sebelum mengembangkan lebih lanjut industri kreatif di Indonesia. Fondasi di sini, terutama, adalah sumber daya manusia atau modal manusianya.

Tanggung jawab menyiapkan SDM ini terutama ada pada perguruan tinggi. Sayangnya, di Indonesia itu belum terjadi. Togar mengakui, kampus kalah dibandingkan dengan ”Universitas Google” dan penerbit buku teks dalam mengembangkan pengetahuan sebagai komoditas.

Selama ini, pengetahuan ditransfer ke mahasiswa tanpa melihat konteksnya di dunia nyata. Kampus semata menjadi pabrik yang hanya mencetak lulusan, bukan menghasilkan sarjana yang mampu berkontribusi. ”Kampus menjadi menara gading yang telah kalah pamor dibandingkan dengan perusahaan dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat,” ujarnya.

Menurut Nia Dinata dan Kusen Dony, masalah utama di industri kreatif seperti industri film adalah pendidikan filmnya. Di Indonesia, sekarang ini baru ada satu sekolah film formal di Indonesia, yakni IKJ. India yang industri filmnya maju punya 30 sekolah film dan Korea tujuh sekolah film.

”Pendidikan merupakan basis paling utama yang harus dikuatkan dulu. Salah satu kunci sukses industri film nasional adalah tersedianya SDM, pekerja film yang profesional, sesuai standar internasional. Ini membutuhkan ruang pendidikan film dengan kurikulum sesuai standar internasional pula,” ujar Nia.

Sekarang ini tokoh sinema bisa dikatakan hanya segelintir. Juga belum banyak sutradara dan penulis skenario yang memiliki ”suara jernih”, lantang, serta orisinal dalam berkarya.

Dari sisi bisnis, baru segelintir produser film yang mampu menyeimbangkan dua kepentingan, yakni mentransformasikan kreativitas sutradara dan penulis skenario menjadi bernilai ekonomis serta memiliki production value dan content yang bisa dipertanggungjawabkan.

Persaingan usaha yang sehat juga belum terbentuk karena terbiasa dengan keberadaan pemilik tunggal bioskop yang tak memberi tempat pada karya sinema loka. Pemilik fasilitas produksi dan pascaproduki juga belum memiliki alat produksi yang bisa dikatakan cukup memadai.

Belum kondusif

Kalangan pelaku industri melihat belum cukup kondusifnya iklim usaha di industri kreatif. Peran pemerintah belum berjalan. Dari sisi regulasi, tak jarang kebijakan pemerintah sendiri justru menjadi kendala utama berkembangnya industri kreatif ini, termasuk perundang-undangan, perpajakan, perizinan.

Pelaku usaha juga mengeluhkan kendala seperti promosi, akses pembiayaan, dan sulitnya memperjuangkan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI).

Pengusaha senior Benny Soetrisno menceritakan pengalamannya dengan seorang pekerja kreatif yang mendapatkan kontrak dari perusahaan Walt Disney, AS. Kontrak kerja itu ternyata tidak laku dijadikan jaminan kredit di bank-bank nasional.

Padahal, kredit ini dibutuhkan sebagai modal untuk pengerjaan proyek animasi tersebut. ”Setelah ditolak banyak bank di Indonesia, akhirnya anak muda ini justru bisa mengerjakan proyeknya dengan jaminan kontrak itu dari bank di Singapura,” ujar Benny.

Wakil Direktur Utama Bank BNI Felia Salim mengakui, sosialisasi yang lebih luas tentang potensi ekonomi industri kreatif masih amat diperlukan oleh kalangan perbankan nasional. Menurut Felia, perbankan di Indonesia sudah cukup akrab dengan produk industri kreatif yang tangible seperti kerajinan.

Namun, dukungan kredit bagi usaha kreatif yang berangkat murni dari gagasan, seperti animasi, masih menjadi hal baru bagi perbankan. ”Padahal, di Hongkong, industri film berkembang pesat juga karena ada dukungan perbankan yang memadai untuk pembuatan film,” ujar Felia.

Belum adanya kesamaan visi di antara para pemangku kepentingan, termasuk di dalam pemerintah sendiri, banyak dikeluhkan oleh para pelaku industri. Dalam kasus industri film, misalnya, belum semua departemen dan juga DPR yang bertugas membina film paham luar dalam soal visi industri kreatif. (nmp/day/tat)

Boosting Indonesia's Creative Industries

Source: Budpar website

By Tuti Sunario
For Indonesia Digest

Lately the Indonesian batik has come very much in vogue throughout the country. Gone are the days when fashionable young people considered batik as traditional, out-of-date, and dull, only good for museums or to wear around the house.

Now that Indonesians top fashion designers have come up with trendy new styles, the batik blouse or dress has suddenly become a must have in any respectable wardrobe and can be seen worn by teens to older ladies, in malls or even to gala events, from fashionable celebrities on television, to models on the catwalk, to government ministers on formal occasions, all wear batik.
No longer the strict traditional wear, batik has suddenly come alive with a new elegance fit for young and old. This about-face is most unusual and unexpected, since Indonesian women are known to be very fashion conscious, preferring foreign brands. This is, therefore, proof what changes design can bring about.

Another positive development is Indonesias music scene. Indonesian bands, singers and CDs have suddenly become top hits not only in Indonesia but also in Singapore and Malaysia, to the annoyance of a number of Malaysian officials, and to the surprise of Indonesians themselves.

The other side of this popularity, however, is that piracy of music and CDs is rife, and traditional Indonesian songs, dances and designs have been patented by foreigners claiming these to be their intellectual rights, to the chagrin of Indonesian artists and artisans themselves. Indonesians have protested to Malaysia, since Malaysia has claimed the song Rasa Sayange and the traditional reog dance as their own, whereas any Indonesian knows that Rasa sayange comes from the Moluccas and the reog dance originates from Ponorogo in East Java. Recently, Balinese silver craftsmen have staged demonstrations objecting to the fact that their traditional designs have been pirated by foreigners and patented abroad.

Two years ago, the government decided to boost the creative industries, and today creativity has become the buzz word nation-wide.

Apparently, among developing countries, Indonesia is among the 10 top exporters of creative industries with a value of US$ 2.83 million . Top countries being China, Hong Kong, India, Turkey, Thailand, Mexico, Malaysia, Singapore and South Korea. Indonesia is no 7 in arts and crafts, no. 9 in celebrations, no. 3 in wicker ware, no. 3 in other arts and crafts, no. 7 in design, no. 10 in fashion, no. 4 in interior decoration, no. 7 in games, no. 5 in graphic design, no. 3 in glassware, no. 7 in video games, no. 8 in publication, no. 3 in newspapers, no. 7 in visual art, no. 8 in photography, no. 7 in sculpture, and no. 9 in other visual arts, writes Kompas daily of 26 September 2008.

According to the Creative Economy Report 2008 by John Howkins, continues Kompas, within developing countries on average, the creative industries contributed 29% to total exports in 1999 and 41% in 2005. In 1999 they contributed 7.3% to the global economy.

In Indonesia on the contrary, creative industries contribution to exports has only reached 8% in 2006 with a Rp. 45.13 billion value in exports. On the other hand, Indonesia is the 8th. largest importer of audiovisual creations, and no. 8 importer of films.

Nonetheless, Creative Industries together form the 7th. top contributor to Indonesias GDP, and the fourth largest in exports in the period between 2002-2006, surpassing performance of the transportation and communication sector, and the construction sector.

It is these potentials that Indonesia has in the creative industries that has pushed Minister of Trade, Mari Pangestu to insist that creative industries must form an integral part of Indonesia Long term Development Plan, in which she plans to develop the industries in two phases, namely the strengthening phase between 2008-2015 and acceleration from 2016-2025.

The plan envisages creative industries to contribute between 6%-8% to exports between 2008-2015, increasing to between 9%-11% from 2016-2025, with a growth from 7%-9% to 11%-13% in the latter phase. These industries are also planned to provide employment from todays 6.5% share of national workforce to 10% nation-wide.

Fashion, Handicrafts, Design and Music, Indonesias top Creative Industries

Creative industries are divided into 14 sectors. In Indonesia, top exporters are, in descending order: (1) fashion " not surprisingly since Indonesian women are very fashion conscious. (2) Handicrafts, (3) Design, (4) Music, (5) Publishing and Printing, (6) Interactive Games, (7) the Art market and Antiques, (8) Advertising, (9) Film, video and Photography, (10) Architecture, (11) the Performing Arts, (12) Computer Services and Programming, (13) Television and Radio, and (14) Research and Development.

According to 2006 data, Fashions share was largest at 43.71% of total, with a net export value of Rp . 45.8 billion, followed by Handicrafts at 25.51% with a Rp. 26.7 billion contribution. Advertising is no. 3 with a 7.93% share at Rp. 8.3 billion, and Design at no. 4 with a 5.88% share at Rp. 6.1 billion, and no. 5 is Architecture at 3.95% share with Rp. 4.1 billion contribution.

In terms of provider of employment compared to Indonesias industries, in 2006, some 4.9 million were employed in creative industries or 5.14% of total national workforce. This figure compares to 42.05% or 40.13 million people employed in agriculture, animal husbandry, forestry and fishery. While Trade, hotel and restaurants absorbed 15.9 million workers or 16.73% of total national workforce. Public Services absorbed 11.15 million or 11.68% of total workforce, and manufacturing industries provided 10.55 million jobs or 11.05% of total workforce.

But Indonesia is still in the initial stage of developing its creative expressions into industries. Indonesia has plenty of creative workers and artisans, however, this can as yet not be called a viable industry.

According to Togar Simatupang, lecturer at the Business and Management School of the ITB University in Bandung, today Indonesia is only at the introductory stage of creative industries, moving towards the development and investment stage before reaching the competitive stage and continue with efforts towards sustainability.

Similarly, Andi S. Boediman, Innovation Consultant Creative Industry Evangelist, said that following the experience of other countries, it is most important to build first a sustainable supply chain platform that is capable of transforming creative powers to meet the wishes of consumers. Then there is capacity building, before continuing with development, next are meetings with distributors, and partnership with investors, to finally build market potentials.

Film producer, Nia Dinata is, however, convinced that we must first create a strong foundation, which must be based on capable human resources, for which Indonesia will need more film academies. Today, there is only one film academy in Indonesia compared to 30 in India and 7 in South Korea, said Dinata.

Those active in the creative industries further maintain that todays business climate is not yet sufficiently conducive, writes Kompas. This is because government regulations often do not support or may even hamper development of creative industries. There are the problems of lack of promotional funds, credit access, moreover there is little government protection of intellectual property rights.

Nonetheless, with such a wealth of talents and artistic prowess in the country, there is the promise that Indonesias creative industries will thrive economically, provide employment to millions more, and at the same time revitalize Indonesias plentiful cultural assets.

(Source: Kompas daily, 26/9/2008)

Sunday, October 26, 2008

Potensi Industri Kreatif di Surabaya?

Tanya:

Menurut bapak sebagai pengamat industri kreatif, industri kreatif yang berkembang di Surabaya apa ya pak? Soalnya saya kemarin survey ke disperindag Surabaya, tidak ada pengklasifikasian tentang hal ini. bahkan mereka tidak familiar soal ini.




Jawab:

Kekuatan utama dari industri kreatif bukanlah coverage pada bidang industrinya, tetapi menurut saya terletak pada intellectual property exploitationnya, artinya dengan menciptakan karya, si kreator berhak atas royalti atas eksploitasi karya itu di kemudian hari.

Jangan mengharapkan untuk mendapatkan referensi dari Departemen karena mereka tidak punya latar belakang yang kuat di dalam mengamati trend yang terjadi. Mereka hanya berorientasi kepada industri yang sudah jadi, bukan yang baru akan berkembang.

Saya melihat subsektor dari industri kreatif yang bisa dikembangkan di Surabaya adalah Musik. Khususnya musik rock memiliki basis yang amat besar di Jawa Timur. Malang merupakan tempat yang menghasilkan band-band kreatif. Surabaya sendiri merupakan pasar musik rock yang sangat besar. Soundrenaline adalah acara yang merupakan wujud dari ekspresi ini.

Dari subsektor yang lain saya kurang melihat kontribusi signifikan dari Surabaya. Tetapi jika memperlebar pemahaman bahwa tujuannya adalah eksploitasi dari intellectual property, saya melihat mengapa membatasi industri kreatif hanya terbatas pada subsektor yang ada (Advertising • Live and recorded music • Architecture • Performing arts and entertainments • Crafts, designer furniture • Television, radio and • Fashion clothing internet broadcasting • Film and video • Visual arts and antiques production • Writing and publishing • Graphic design • Leisure software & computer games)

Ini jika dilihat dari subsektornya. Tetapi jika dipahami value chainnya, sentra industri kreatif bukanlah hanya dari kaca mata produksi, tetapi juga komersialisasi dan eksploitasi properti intelektual.

Potensi Surabaya cukup banyak. Surabaya adalah trade center melalui pelabuhan dan banyak yang menyebutnya sebagai gerbang ke Indonesia timur. Seberapa banyak orang/komunitas/asosiasi/pemerintah Surabaya yang memahami konsep ini? Caranya sebenarnya mudah, tinggal mendekati sentra-sentra industri kreatif di seluruh Indonesia Timur dan memberikan fasilitas kepada mereka untuk memiliki kantor representatif di Surabaya. Tujuannya adalah produsen bertemu dengan calon konsumen. Surabaya tinggal menciptakan pameran-pameran yang menampilkan produk2 industri kreatif dari Indonesia Timur yang saya yakin jumlahnya banyak sekali. Hongkong dan Singapura menggunakan model ini.

Selain itu olahraga juga memiliki kontribusi kuat. Manchester United membuktikan kepada dunia bahwa olahraga bisa dijual sebagai destination. Orang datang untuk melihat stadion, mengkoleksi kaos, maskot, dll. Surabaya adalah penggila bola yang luar biasa. Mengapa Persebaya tidak bisa dibranding seperti ini? Apa yang dibutuhkan? Jawabannya adalah musim kompetisi yang konsisten dan dipasarkan dengan baik. Ini merupakan pasar komunitas dan akan sangat banyak mendapat dukungan sponsor.

Penyebaran agama Islam berasal dari Gresik. Ini sangat bisa digunakan sebagai tujuan wisata. Contohnya adalah AA Gym tadinya memiliki lokasi tetirah yang dikunjungi oleh ribuan pengunjung. Mengapa Surabaya tidak mengembangkan wisata religius bekerja sama dengan Gresik.

Arsitektur berbasis budaya juga menarik jika bisa dikembangkan dengan baik. Contohnya adalah di Malang banyak turis datang dari Belanda karena romantika masa lalu. Ini bisa dikembangkan dengan mengangkat kembali budaya warisan kolonial (kuliner, tarian, musik, foto, dll) dan dihidupkan kembali. Buktinya hotel Tugu Park, Toko Oen di Malang sukses. Di Surabaya hal ini juga banyak tetapi sudah dilupakan.

Surabaya disebut sebagai kota pahlawan. Mana suasananya? Apakah ada tempat untuk benar-benar 'Experience' heroisme ini? Apakah ada performance atau tempat untuk ini? Sura dan Baya sebagai simbol tidak dikembangkan. Apa artinya. Bagaimana experiencenya?

Perlu diingat bahwa alasan orang datang ke suatu tempat dan alasan orang tinggal di satu tempat itu memiliki 2 alasan yang berbeda. Alasan orang datang adalah Acara. Alasan orang tinggal adalah Suasana. Apakah Surabaya sudah mengembangkan adanya program2 untuk membuat orang datang secara rutin misalnya konser, exhibition, performance, dll. Sedang alasan orang tinggal adalah membangun infrastruktur dan konsep yang menarik agar orang betah.

Banyak sekali pekerjaan rumah yang DAPAT dilakukan untuk membangun konsep industri kreatif di Surabaya.

Salam,

Andi S. Boediman

Thursday, October 16, 2008

Arsitektur Industri Kreatif?

Saya adalah Amy, mahasiswi arsitektur tingkat 3. Saat ini, saya sedang mengerjakan penelitian tentang ruang-ruang yang mendukung pembentukan industri kreatif. Bila tidak keberatan, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai ruang-ruang yang terlibat dalam industri kreatif pada Anda. Mohon bantuannya :)

Saya telah melakukan pengamatan tentang distro, bistro, cafe, warung tegal, mcdonald's, dan starbucks, baik dari segi sosial, ekonomi, juga ruang. Dari proposal yang telah saya ajukan, saya berpendapat bahwa dalam industri kreatif berlaku 3 macam kegiatan inti: produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian, ruang-ruang yang mendukung pembentukan industri adalah ruang-ruang yang mendukung tiga kegiatan tersebut. Saat ini, saya memfokuskan pada studi kasus mengenai distro. Distro adalah contoh kreatifindustri kreatif yang paling umum dan mungkin yang paling berhasil di Jakarta dan Bandung. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ruang-ruang retail distro yang atraktif dan mendorong terjadinya kegiatan konsumsi, mendukung pembentukan industri kreatif. Keberhasilan sebuah industri kreatif akan memicu pembentukan industri kreatif lain yang sejenis.

Dari studi kasus creative city seperti Austin, Seattle, Toronto, dll. saya mengamati adanya pembangunan banyak ruang yang dianggap mampu mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kreatif, seperti galeri seni, penyediaan bangunan retail, taman-taman kota (urban space) yang dianggap mampu mendukung kegiatan kreatif, dll.

Yang ingin saya tanyakan, apa Bapak memiliki referensi yang mampu mendukung asumsi-asumsi seperti di atas? Selain itu, saya juga mohon pendapatnya mengenai asumsi yang saya simpulkan saat ini. Apa Bapak setuju dengan asumsi-asumsi sejenis? Bila tidak, asumsi seperti apa yang menurut Bapak benar?

Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih :)



Pertanyaannya yang sangat arsitek :)

Industri kreatif bukan sekedar ruangan. Industri kreatif perlu platform. Ini yang harus dibangun oleh pemerintah dan swasta.

Saya sertakan konsep value chain (rantai nilai) dari industri kreatif. Para pembuat produk dan kreator biasa merupakan rantai paling kecil tapi sangat penting karena dari mereka lahir produk2 dan jasa2. Dari sini muncul peran inkubator yang tujuannya membangun kapasitas produksi. Mis: tukang bikin kaos tidak bisa jika menangani order 5000 kaos/hari jika tidak memiliki tukang dan proses bertahun2. Yang saya propose pemerintah memainkan peran untuk membantu eksposure karena biaya publikasi dan pameran sangat mahal. Setelah mendapat garansi order dari calon distributor, gov membantu menjodohkan dengan lembaga keuangan.

Value yang kamu susun sudah baik, ada distribusi, konsumsi dan produksi. Tetapi tidak akan bisa secara mudah dianggap hanya 3 saja. Lihat value chain yang saya susun.

Jika kamu mengambil contoh dari industri distro, pertanyaan pertama adalah siapa pasarnya, dan bagaimana distribusi. Ct: pasar orang Jakarta yg melihat distro lg trend, maka toko akan dipastikan ramai pada hari Jumat - Minggu dan hari libur, di luar itu sepi. Maka kebutuhan ruang menjadi bagaimana orang Jkt akan merasa nyaman datang ke toko karena merupakan destination. Bagaimana jika mereka bawa keluarga, jika lapar, jika bosan, buat yang pria? Ct lain adalah jika target distribusi distro adalah pasar luar negeri, maka diperlukan model eBay. Di sini kebutuhan ruang lebih kepada gudang. Alternatif lain adalah jika peminat distro mau ditujukan ke pasar timur tengah, jadi harus ada showcasing produk di market ini. Para pemain distro perlu diajak jalan ke sana, memahami kebutuhan pasar, dll.

Lokasi produksi dan lokasi distribusi tidaklah harus dalam satu lokasi. Malah ini tidak bijak. Yang biasa terjadi adalah clustering dari sisi produksi, clustering dari sisi distribusi, clustering dari sisi meeting, marketing, financing.

Konsep inkubator adalah bukan untuk bayi sampai dewasa, tetapi bayi diinkubasi untuk sementara waktu dan ketika mulai mandiri harus pindah ke lokasi lain.

Jadi di dalam kebutuhan arsitektur, tentukan dulu bagian dari value chain mana yang akan dipenuhi. Tidak mungkin seluruhnya di dalam satu lokasi.

Studi banding sustainable industry adalah Silicon Valley, Broadway, Las Vegas. Ini adalah konsep kawasan, bukan bangunan. Kalau mau mempelajari konsep inkubator, biasanya area yang lebih kecil, banyak dilakukan oleh Inggris. Silakan search "creative cluster"

Andi S. Boediman