Friday, July 05, 2002

Dekonstruksi Kurikulum DKV

posted at Creative Circle Indonesia mailing list

Q: OK langsung aja.....saya nggak banyak ngerti soal art karena saya nggak pernah sekolah art.... walaupun di jurusan saya, saya dapet sekian puluh sks mata kuliah yang berhubungan dengan art. makanya saya nggak pede untuk bicara art, bicara sejarah, typografi, dll.....

A: Bagi yang melakukan studi advertising, pemahaman tentang sejarah dan tipografi tetap penting, meksipun porsinya tidak perlu sedalam di graphic design.

Q: saya lulusan UGM jurusan advetising (baru ada D3 se indonesia, S1 nya belum dilahirkan sampe sekarang) saya melihat di mail-mail terdahulu yang membahas tentang kurikulum ada beberapa hal yang sering saya temui juga di kantor saya..... yaitu gap yang kuat antara jurusan komunikasi dan turunannya (advertising, broadcasting, PR) dengan design grafis dan keluarganya.....

A: Memang demikian adanya. Cukup banyak orang advertising berlatar belakang marketing. Orang graphic desain lebih banyak berbicara branding. Tetapi menurut pendapat saya, keduanya akan bermuara sama yakni marketing communication. Level ini kelihatannya masih sulit untuk dijangkau oleh pendidikan sekolah. Di sini yang diperlukan adalah pemahaman advertising, marketing, sedikit sales, PR, dlsb.

Saya melihat jabatan art director di advertising dan graphic design punya tanggung jawab berbeda. Di graphic design, AD dituntut kepada attention to detail, punya wawasan luas di sisi desain, komposisi, tipografi, warna. Tetapi di advertising, mereka lebih memerlukan pemahaman konsep, latar belakang produk, konsumen, target market dan mereka tidak terlalu dituntut melakukan eksekusi secara mendetail. Merupakan job departemen produksi atau computer graphic untuk detailnya. Hasil yang berbeda ini tentu saja memerlukan pendidikan yang berbeda.

Jurusan komunikasi visual di Indonesia memang dibuat 'besar' bukan sekedar karena kita tidak tahu bedanya advertising, graphic design, computer graphic, animation, dll. Salah satu penyebab utamanya adalah pelajar kita pun memilih bidang studi bukan karena mereka ingin menjadi praktisi di bidang tersebut, tetapi karena jurusan tersebut 'sekarang lagi diminati' atau 'temen saya pada ngambil itu'. Ini bisa dibuktikan bahwa output dari jurusan komunikasi visual mungkin hanya separuhnya aja yang terjun ke industri komunikasi visual. Sisanya melakukan studi lanjut, terjun ke bidang yang nggak nyambung, dll.

Sekali lagi, ini tugas kita sebagai praktisi untuk 'memberitahu' generasi muda perbedaan bidang yang bisa diterjuni. Melalui kunjungan Creative Circle ke sekolah misalnya, itu memberikan wawasan tentang bidang apa yang bisa diterjuni. Malah tugas ini tidak cuman dilakukan untuk tingkat universitas saja, tetapi seharusnya hingga ke tingkatan SMA/SMK. Mereka seharusnya sudah menentukan jalan hidupnya saat memilih fakultas atau jurusan di universitas atau diploma. Bukan setelah lulus universitas baru mikir 'saya mau kerja apa'

Q: saya pernah baca kutipan omongan david ogilvy (kalo nggak salah sih dia yang ngomong) sebuah teori yang berbunyi "it's not creative unless it sells" jadi advertising menurut saya adalah bisnis komunikasi.... bukan sekedar bisnis teknologi (dalam arti jago-jagoan software) walaupun kalo bisa jago software juga lebih kompletlah.... (soalnya saya juga ngarang buku photoshop.... he..he..) bisnis ini juga bukan sekedar seni.... baik seni murni atau seni yang lainnya.... (bener kan saya nggak tau banyak soal seni)

A: Advertising memang cukup dekat ke arah marketing. Sebenarnya masalah kreativitas juga menjadi perdebatan panjang karena cukup banyak iklan yang dibuat dengan sangat kreatif tetapi melupakan esensi marketing dan salesnya.

Kalo boleh saya rekomendasikan buku The End of Marketing as We Know It - Sergio Zyman (CMO dari Coke).

Q: bener apa enggak.... yang penting PRODUK GUE LAKU NGGAK? masih ngomong soal art... coba deh kita ambil kasus iklan TV daia.... siapa yang bilang iklan daia bagus...? gue bilang sih jelek dan norak banget

A: Mungkin sebagai pembanding, P&G lah yang pertama kali melakukan pendekatan seperti ini dengan iklan Mr. Whipple (lihat buku Whipple, Squeeze This). Iklannya begitu menyebalkan sehingga semua orang inget. Iklan ini mampu menjual kertas tissue berjuta-juta dan menjadi salah satu iklan mereka paling sukses.

Q: (bukan yang premium kayak rinso dan soklin)bahkan iklan competitornya (SURF) buatan anak buahnya mbak Jeanny, yang menurut saya lebih better jauh lah.... masih nggak bisa ngedeketin salesnya daia.... emang bener itu belum tentu karena iklan semata.... karena advertising sendiri cuma bagian kecil dari marketing mix.....

A: Menurut saya ini bukan sekedar masalah advertising, tetapi pendekatan marketingnya. Advertising kan hanya merupakan muara dari marketing. Dari sisi pasar, low end tentu memiliki pasar lebih besar dibanding high end. Jika target low end yang mau disasar, pendekatan iklan tentu berbeda. Emotional branding, experiential marketing mungkin hanya cocok untuk produk high end. Program diskon, sales, bonus, dll mungkin lebih cocok di low end market, dst.

Q: Yang dari tadi mau saya sampein adalah.... kenapa nggak bapak-bapak jagoan seni kita yang dari kemaren-kemaren ngomong panjang lebar untuk nyari yang terbaik soal kurikulum sebentar mampir ngelihat kurikulum D3 advertising yang udah ada..... (kalo di jakarta ada di ITKP atau UI, di yogya ada UGM, AKINDO, di bandung ada UNPAD)

A: Saya setuju dengan ide ini. Memang susah mencari yang terbaik, tetapi memang kita perlu waktu bersama untuk saling mempresentasikan deduksi, hipotesis dan solusi kurikulum yang sudah disusun, outputnya, dst. Dari sini biar kita bisa saling belajar dari kegagalan/keberhasilan orang lain.

Q: ini emang bener-bener sokolahnya orang iklan.... lihatlah lulusan D3 advertising UI sekarang sudah mulai mendominasi lapisan muda di advertising.... karena mereka nggak kaget waktu pertama kali dikasih creative brief di tempat kerja... soalnya di kampus juga udah dapet sih.... sedangkan lulusan "censored" di kantor saya.... bengong-benong aja tuh...

A: Balik seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa target output nantinya merupakan 'positioning' dari sekolah. Tidak mungkin kita memiliki sarjana yang 'one size fits all' Bisa semua kayak Superman. Lagipula kan selera mereka terjun ke industri kan berbeda-beda.

Q: inget, di indonesia sekarang ini kalo nggak salah gaji graphic designer, web designer, 3D animator atau art director di perusahaan non advertising tuh masih tergolong kecil..... kalo udah ngerasa gede... coba rasain sebulan aja dapet gajinya "censored"..... 20 juta per bulan sih ada ya mas & mbak....jadi ke advertising aja lah.... gajinya gede loh..... jadi graphic designer nggak akan pernah nyampe kan..... (kecuali side job... he..he...)

A: Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Di dalam bekerja, bukan sekedar reward yang kita cari. Jika memang sekedar reward, ngapain capek-capek belajar art, mending ikutan program multilevel marketing aja. Setiap industri membutuhkan orang-orang yang berdedikasi di masing-masing bidang.

Di foto mungkin kita punya mas Darwis, di komik dan animasi mungkin kita punya mas Dwi Koen. Jika sekedar besarnya imbalan, saya pikir mungkin Dwi Koen udah konglomerat kali kalo nggak jadi komikus :) Kebetulan saya cukup dekat dengan mereka berdua untuk bisa tahu yang membuat mereka menjadi 'orang besar' bukanlah mengejar rewardnya, tetapi mereka punya 'passion'.

Dunia advertising dan post production yang dekat dengan unsur komersial terjadi persaingan yang kadang dirasa kurang sehat dengan saling bajak membajak. Ini balik lagi ke orangnya. Apakah mereka sudah puas baik dari sisi karya ataupun kompensasinya. Saya lihat mungkin pak Paul yang jauh lebih senior pun kini malah ngurusin 'passion' ketimbang 'profit'. Isinya ngikutin diskusi nggak ada duitnya di Internet ini ketimbang bikin konglomerasi :)

Di tahap awal karir, kita semua mengalami digaji rendah. Ada yang mengambil jalan meloncat-loncat perusahaan untuk mendongkrak gaji. Ada yang setia dengan gaji pas-pasan. Ada yang setelah bekerja sekian tahun akhirnya menjadi entrepreneur. Ada pula yang hidupnya ngurusin orang lain dan nggak pernah mikiran berapa yang saya terima. Ini sekali lagi balik ke orangnya. Apa yang dia cari.

Saya tidak terlalu setuju bahwa saat kita mengedukasi generasi muda, hanya masalah gaji dan reward yang kita bincangkan. Yang lebih penting adalah di mana letak 'passion' dari mereka.

Q: Terpancing juga dengan rame-rame diskusi tentang kurikulum dan juga Untung yang mengutip Ogilvy, saya kebetulan baca lagi buku Ogilvy yang kuno itu (Ogilvy on Advertising) dan nemu ini: Chapter 18: Lasker, Resor, Rubicam, Burnett, Hopkins and Bernbach

A: Boleh saya tambahkan, Rooser Reeves dengan bukunya Reality in Advertising (pemuka konsep 'unique selling proposition'). Saya juga merekomendasikan bukunya Claude Hopkins yang berjudul Scientific Advertising dan My Life in Advertising. Ini mungkin buku advertising pertama. Secara personal, saya paling kagum dengan karya Bill Bernbach.

Ada beberapa advertising giant baru favorit saya seperti Wieden & Kennedy (pegang Nike), Kirchenbaum & Bond (dengan konsepnya 'under the radar advertising').

Q: Bagaimana kondisi ITKP sekarang ? mungkin kita bisa mengevaluasi (saya enggak tahu kondisinya nih...jadi saya enggak bisa mengevaluasi). Menurut saya, universitas ini juga enggak kalah segmentednya. dan didirikan bahkan pengajarnya pun praktisi periklanan yang sudah berpengalaman. ITKP bisa kita jadikan sample. Yang kemudian kita ajukan ke Departemen Pendidikan sehingga bisa dijadikan bahan studi sama mereka.

A: Sedikit catatan, ITKP sekarang sudah menjadi Sekolah Tinggi, bukan universitas.

Saya pikir pendekatan semacam ini memang baik. Saya hanya ingin mengemukakan problem dan kemungkinan solusinya.

Sekolah itu memiliki silabus dan kurikulum. Silabus memuat tujuan belajar, output dan gambaran singkat mata pelajaran yang akan diterima siswa. Tahap yang lebih mendetail dimuat di kurikulum. Di dalam kurikulum ini perlu dicatat tujuan setiap pertemuan, tugas apa yang diberikan, bagaimana persentasenya, dll.

Masalah yang dihadapi oleh sekolah adalah standarisasi. Katakanlah kita bergantung kepada beberapa pengajar yang kita anggap kompeten karena memiliki latar belakang sebagai praktisi misalnya. Jika praktisi tersebut pada satu ketika harus pindah, sakit, atau deadline sehingga tidak bisa hadir pada salah satu pertemuan atau malah nggak bisa nerusin mengajar, maka di tahun berikutnya kualitas pengajaran makin lama makin menurun.

Idealnya adalah di dalam kurikulum yang bersifat terobosan, pengajar dilengkapi dengan silabus dan kurikulum yang sedikit terbuka. Di setiap pengajaran, ia mencatat seluruh proses kelas tersebut, mulai dari tugas, pembagian waktu, output, problem yang timbul, dll. Di akhir semester, catatan ini dikumpulkan ke Akademik untuk dijadikan acuan untuk perbaikan tahun depan. Di tahun depan dilakukan hal sama. Jika sewaktu-waktu pengajar tidak bisa hadir, maka pengajar lain tidak kesulitan melanjutkannya.

Sayangnya, saya tidak melihat sekolah menerapkan sistem tersebut. Begitu pula dengan pengajarnya. Kecenderungan bekerja dengan orang-orang kreatif yang cenderung praktis, agak sulit untuk meminta mereka memiliki disiplin tinggi membuat catatan tersebut. Sehingga setiap tahun kita harus reinvent the wheel. Kita perlu belajar dari bangsa Jerman dalam hal ini.

Lagipula ada kecenderungan bagi sebagian orang untuk merasa bahwa ia tidak mau mengungkapkan seluruh pengetahuannya karena takut tersaingi. Akibatnya sistematika ini kurang berjalan.

Hingga saat ini, tidak adanya komunikasi antar sekolah juga menjadi adanya gap ini. Ada persaingan, cemburu, iri, dlsb. Sebelum kita mau minta pemerintah atau memberikan rekomendasi ke pemerintah, langkah awalnya adalah menjalin komunikasi dahulu antar akademisi. Saling berbagi dan membentuk sinergi. Baru kita punya power untuk memberikan rekomendasi. Saya pikir di awalnya persis seperti PPPI.

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Wednesday, July 03, 2002

Final BuBu Awards 2002

Bisa dibilang Imelda Gunawan adalah cewek paling berbahagia pada malam itu. Mengapa begitu? Karena ialah pemenang Best Female Web Designer Awards (kategori People’s Choice Awards) dalam ajang BuBu Awards 2002 yang digelar di Fashion Cafe, Wisma 46 BNI City, Jakarta pada 3 Juli 2002. Apalagi baru tahun ini kategori khusus wanita tersebut diadakan dalam ajang yang diselenggarakan oleh BuBu Internet itu. Apalagi dia juga menang di kategori Individual bagian Flash. Kali ini, cewek memang berjaya.

Daftar Pemenang

Tetap dalam kategori yang sama, di bagian HTML dan Flash yang keluar sebagai pemenang adalah Ervanevian dan Hariara Samosir Gultom. Di luar People’s Choice Awards, masih ada kategori Corporate dan Individual. Dari kategori Corporate muncul nama-nama seperti Coca Cola Amatil Indonesia (Commercial), Bhinneka Mentari Dimensi (E-commerce), KPDE & KOM Denpasar (Government), Universitas Bina Nusantara (Education), dan PT Cakrawala Dunia Pariwisata Indonesia (News & Entertainment). Asal tahu saja, hampir semua nama yang muncul dikategori ini, juga menang di People’s Choice kategori Corporate, kecuali Coca Cola Amatil Indonesia yang kalah suara dengan MenaraVisi.

Sementara di kategori Individual ada Asoka Octavianus, Achmad Bagus Putra Laksono, dan Yuni Cahya untuk bagian HTML dan pada bagian Flash keluar nama Satya Gumilang, Imelda Gunawan ,dan Nurjaya Suyono. Khusus buat keenam orang ini, selain menerima piala, sertifikat, dan paket dari sponsor seperti yang diperoleh pemenang di kategori lain, juga memperoleh uang yang berkisar 3–5 juta rupiah. Daftar lengkap pemenang bisa juga dilihat di www.bubuawards.com/2002/mei2002.html.

Mengenai kualitas hasil karya peserta tahun ini yang mencapai lebih dari 600 situs web, “Secara umum yang saya lihat cukup bagus. Tetapi karena saya tidak melihat seluruh karya, dibagi-bagi ke beberapa juri, maka tentu tidak bisa mewakili secara keseluruhan. Dari finalis yang masuk, cukup banyak ‘nuansa lokal’ berkesempatan masuk ke final. Mungkin ini berkenaan dengan kemungkinan eksplorasi situs yang unik, khususnya di kategori Individual,” komentar Andi S. Boediman, salah satu juri untuk kategori Individual di babak semifinal dan final.

Acara

BuBu Awards digembar-gemborkan sebagai ajang kompetisi desain web paling bergengsi di Indonesia. Barangkali karena memang praktis tak ada ajang lain serupa di tanah air. Tapi andai ada pun, keseriusan BuBu dalam menggelar acara ini pun cukup patut diacungi jempol. Mulai dari mencari sponsor ke sana kemari, mengundang banyak juri lokal maupun asing, sampai menggunakan jasa kantor akuntan publik paling ternama di Indonesia, Prasetyo Utomo, untuk mengaudit hasil penjurian. Dan terakhir, mengadakan acara puncak di Fashion Cafe, Jakarta.

Tapi sayang, acara yang diberi titel Awarding Ceremony Night Bubu Awards 2002 jauh dari kesan bergengsi. Sejak awal sudah terlihat banyak kekurangan dan ketidaksiapan panitianya. Pertama-tama, sama seperti semua acara lain yang diadakan orang Indonesia, jadwalnya molor—dari jam 18.00 menjadi 19.30 WIB. Banyak pula yang kecewa karena tidak kebagian makan atau salah tempat duduk. Bahkan ketika pengumuman pemenang, pembawa acara sering keliru dalam membacakan nama-nama pemenang.

Jalan acaranya sendiri, yang dibuka oleh Menteri Negara Urusan Komunikasi dan Informasi H. Syamsul Mu’arif, berlangsung cukup meriah. Terlihat sekitar 300 orang yang berasal dari berbagai kota memadati ruangan kafe waralaba tersebut. Alunan sejumlah tembang dari Faster Acapella dan Shelomita menyemarakkan suasana.

“Soal makanan, kami tidak menyangka yang datang sedemikian banyak begitu. Lagipula seharusnya makanan hanya tersedia sampai sekitar jam 19.30 karena kita mau konsen ke show. Mungkin yang kehabisan itu datangnya terlambat,” jelas Shinta W. Dhanuwardoyo, CEO BuBu Internet, ketika dihubungi mwmag setelah acara.

Adapun soal salah baca, “Kesalahan baca itu karena kayaknya halamannya tertukar or something. Well, nobody is perfect. They tried their best though,” dalih Shinta yang mengaku BuBu diuntungkan dengan adanya acara itu karena terimbas promosi.

Masih ada hal lain yang menjadi sorotan. “Tempat yang bersifat informal seperti itu—di mana orang-orang bisa jalan-jalan, ngobrol, browsing, dan makan—membuat perhatian tidak terfokus pada pengumuman. Tidak muncul feeling siapa yang bakal menang. Situs web pemenang yang sedang diumumkan juga tidak dimunculkan di proyektor, hanya bergantung pada MC yang membacakannya satu-satu,” ujar Andi mencoba menganalisa penyelenggaraan kompetisi desain web yang tahun ini mengusung tema “Web, The Next Generation Media” tersebut.

Penjurian

Sebagai salah satu juri, Andi juga menilai dari sisi parameter penilaian masih ada kerancuan. “Antara Page Layout dan Graphic Design masih agak rancu. Di bagian Flash juga begitu. Khususnya soal unsur Interactivity, Storytelling, dan Cinematic Experience. Termasuk juga Flash yang masuk ke Motion Graphic dan Game. Semua itu mungkin perlu mendapat pemikiran serius. Di samping itu, breakdown mengenai masing-masing parameter juga perlu dilakukan sehingga standardisasi penilaian lebih konsisten, misalnya dari sisi Usability apa aja yang dinilai (interface, button, waktu download, navigasi, dan lain-lain),” kata pemilik Digital Studio itu ketika dimintai komentarnya via email.

Meskipun demikian, “Melihat dari sisi skala, BuBu sudah cukup baik dan bisa menarik cukup banyak peserta. Dan pengaruhnya untuk kemajuan dunia web desain lokal, saya kira sangat positif. Karena tanpa usaha penghargaan lokal, bagaimana kita bisa dikenal dan mengetahui perkembangan kita dari tahun ke tahun,” puji Andi.

Bicara soal juri, untuk tahun ini cukup banyak yang berasal dari luar negeri. Kalau tahun lalu hanya tiga orang, maka kali ini meningkat jauh jadi 13 orang. Di antaranya Manuel Clement (Perancis), Dave Kochanski (AS), Lynda Weinman (AS), Ferry Halim (AS), Daljit Singh (Inggris), Thomas Roope (Inggris), Rey Buzon (Philipina), dan Irving Artemas (Australia). Sementara dari Indonesia, di samping Andi, masih ada Park Hee Yong (Boleh.net), Abdul Rahman (Agrakom), David Burke (M-Web), Tunjung Saksono (HardRockFM), James Hollington (British Council), dan KRMT Roy Suryo (pengamat TI). Total semuanya, termasuk juri di babak perempat final, berjumlah 66 orang.

“Jurinya kami ambil juga dari luar negeri agar orang-orang luar tahu bahwa kerjaan orang Indonesia juga bagus-bagus,” kata Shinta yang sempat kelimpungan cari sponsor untuk acara tahunan itu. “Wah, mencari sponsor untuk acara TI saat ini nightmare deh. Mungkin juga karena para calon sponsor masih tidak faham mengenai desain web. Tapi untunglah akhirnya tim kami bisa juga.”

Karena juri yang ditunjuk berasal dari berbagai kota dan negara, maka sistem penjuriannya dilakukan secara remote. Setiap juri diberi password untuk masuk ke situs Content Management System. Setelah mengakses URL dari peserta yang harus dievaluasi, para juri tinggal memilih nilai untuk masing-masing parameter penilaian. Misalnya: Content, Graphic Design, Page Layout, Function dan Overall Feel dengan skala masing-masing dari 1 sampai 10. Untuk memastikan bahwa hasil dari penjurian adalah sah dan benar, pihak penyelenggara menggaet Ernst & Young, Prasetio, Sarwoko, Utomo & Sanjaya sebagai tim tabulator resmi.

Yang menarik, ternyata untuk ikut menilai hasil karya peserta, puluhan juri tadi itu rela tidak mendapat honor alias gratis! Ada apa gerangan?

“Semua jurinya koneksi dan teman saya. Kita biasa bergaullah… he he he. Sekarang ini buat apa bersaing. Lebih enak yang namanya strategic alliance,” ujar bos BuBu itu dengan girang. Kita catat omonganmu lho, Shin! Siapa tahu kapan-kapan butuh (kedip).

Oh ya, hampir lupa. Kepada semua pemenang, selamat ya! Dan kepada BuBu, congrats juga karena acaranya cukup sukses. Bubu Awards 2002 diikuti oleh 177 peserta korporat dan 456 peserta individual. Ini merupakan peningkatan yang cukup berarti dari penyelenggaraan pertama tahun sebelumnya, di mana pesertanya hanya sekitar 350-an peserta individual. Corporate dan Best Female merupakan dua kategori baru yang pada tahun lalu belum dipertandingkan. Tahun depan Bubu malah berencana naik ke tingkat Asia Tenggara. Best of luck! (Nugrahatama, ben)

Tuesday, July 02, 2002

Link & Match

posted at Creative Circle mailing list

Q: Untuk magang aja kita musti pontang panting, kayaknya kita musti ambil contoh Binus, mereka menjalin kerjasama dengan salah satu biro iklan besar dengan cara menangani promosi universitasnya, feed backnya mahasiswa DKV Binus dapat menjalankan program magang di biro iklan tersebut.

A: Model link and match ini kita bisa belajar dari Zoetrope, studio dan sekolah film yang dibuat oleh Francis Ford Coppola untuk menciptakan suatu environment produksi dan belajar. George Lucas juga merencanakan model yang sama akan dibangun di Presidio, San Francisco. Cara kerjanya adalah dengan membuat studio produksi bersebelahan dengan sekolah, theater dan supporting facility. Siswa di kelas lanjutan akan dilibatkan dalam 'real world production', mis membantu sebagai gaffer (tukang lampu), assistant cameraman, assistant director, dll. Di sini siswa punya kesempatan untuk melihat dan terlibat langsung di dalam produksi yang sesungguhnya.

Kemarin saya mencoba untuk menggagas hal yang sama dengan mengundang beberapa klien dan kenalan saya untuk mencoba model ini. Ancol dengan proyek multimedia untuk theme park Dufan. Content yang dibuat oleh pak Johannes Surya dijadikan sebagai storyline. Di sini tujuan dari proyek tersebut adalah memberikan unsur pembelajaran melalui multimedia di kawasan Ancol sebelum seseorang bermain. Untuk pengerjaan proyeknya, saya meminta beberapa pengajar dan lulusan DS sebagai project manager. Siswa-siswa jurusan Multimedia & Web Design yang sedang dalam masa studi saya libatkan di dalam project sebagai multimedia artist. Dengan masa pengerjaan sekitar 4 bulan, proyek ini berjalan cukup lancar. Siswa belajar memahami demand dari klien dan belajar menepati deadline. Pengajar bersikap sebagai profesional yang harus menjembatani kebutuhan klien dan memberikan pemahaman kepada siswa.

Proyek lain yang juga sudah cukup sukses saya coba adalah membantu Fotomedia di dalam proses redesain majalah. Fotomedia ingin melakukan redesain dengan pendekatan baru, di mana majalah tersebut harus mampu mencerminkan majalah untuk para fotografer. Salah satu pengajar yang kebetulan punya latar belakang sebagai Art Director majalah Neo dan Female saya minta untuk menjadi AD untuk proyek tersebut. Siswa jurusan Graphic Design & Motion
Graphic saya bagi menjadi tim-tim kecil dan masing-masing menawarkan alternatif solusi. Hasilnya kita presentasikan kepada manajemen majalah. Mereka cukup puas dan meminta seluruh alternatif tersebut karena ada beberapa solusi yang nantinya akan digabungkan di dalam perwajahan majalah. Untuk detail prosesnya mungkin bisa melihat majalah Fotomedia edisi depan.

Di jurusan Digital Animation (3D Animation & Visual Effects), sekarang kita membuat short film berdurasi sekitar 5 menit yang full 3D. Di sini tiap siswa dibagi-bagi jabatan, ada yang traffic, supervisor, modeller, compositor, animator, dll. Pengajar bertugas sebagai Art Director, Director dan Producer. Tim ini mengembangkan mulai dari cerita, karakter hingga seluruh animasinya. Ini kita lakukan karena kita melihat bahwa industri animasi Indonesia sebenarnya semu, pasarnya hanyalah Post Production yang mungkin hanya membutuhkan max 10 orang/setahun. Kita tidak memiliki industri animasi seperti Korea misalnya, yang punya pasar bermilyar dollar. Bukannya pasarnya nggak ada, tapi investorpun tidak ada yang serius mendanai proyek semacam ini karena belum ada orang/tim yang punya skala dan kemampuan produksi seperti itu.

Yang saya pikirkan sebagai solusi link and match ini adalah benar-benar membuat sekolah sebagai 'living laboratory', di mana kita melibatkan sekolah sebagai environment, pengajar dan siswa senior menjadi project manager dan supervisor. Siswa junior menjadi junior artist yang akan disupervise oleh project manager.

Salah satu acuan yang saya ambil sebagai model adalah keterlibatan di dalam proyek pembuatan teater Neuromancer yang diangkat dari novel William Gibson (pencetus istilah 'cyberspace dan penulis Johny Mnemonic). Teater multimedia ini dibuat selama 3 tahun dan nantinya saat dimainkan di panggung, background merupakan multimedia projection dari 3 proyektor (contoh lokal yang serupa: JokoTingkir.com). Proyek yang diprakarsai oleh Berkeley Contemporary Opera ini melibatkan hampir seluruh sekolah computer graphic di Bay Area (analogi lokal: seJabotabek). Ada sekitar 300 siswa yang terlibat di dalam proyek tersebut dan setiap orang menyumbangkan sekian detik animasi. Project Directornya sendiri membuat storyboard yang luar biasa detailnya (masih saya simpan hingga hari ini) sehingga tiap siswa yang terlibat tahu persis apa yang diharapkan dari proyek tersebut.

Model yang lain saya lihat diterapkan di LimKokWing, sekolah computer graphic di Malaysia. Di sini klien-klien besar diundang untuk mengadakan kompetisi desain untuk memenuhi kebutuhan solusi komunikasi mereka. Jika mereka ke salah satu agency hanya mendapat 2 atau 3 alternatif solusi, dengan memberikan kepada siswa, mereka mendapat mungkin puluhan solusi. Posisi agency dalam hal ini sebagai penilai dan mereka yang nantinya bertugas untuk melakukan finishing terhadap solusi secara mendetail, atau menerapkan gagasan-gagasan liar dari siswa menjadi masuk akal. Siswa yang terpilih solusinya, diajak untuk langsung terjun di dalam proses finishing.

Bentuk kerja sama ini kelihatannya merupakan solusi link & match yang baik dan sudah saya lontarkan ke beberapa kenalan saya. Mereka menyambut cukup antusias. Ambil contoh studio produksi, kenapa tidak memanfaatkan siswa kita sebagai bagian dari proyek yang mungkin tidak bisa mereka tangani sendiri. Problem studio produksi adalah skala proyek sangat besar dan mereka tidak punya resource cukup. Everybody wins, mereka bisa mengerjakan proyek, tim mereka sendiri berfungsi sebagai AD & PM. Setiap siswa punya portfolio 'real world' dan pengalaman dalam produksi. Siswa yang bagus di akhir produksi bisa mereka rekrut sebagai bagian dari tim tetap. Posisi sekolah sebagai katalisator dan 'living laboratory' tercapai. Bahkan dari proyek tersebut, sekolah mendapat dana tambahan untuk menyediakan fasilitas yang lebih komplit.


______________
Andi S. Boediman
Digital Studio