
Showing posts with label business. Show all posts
Showing posts with label business. Show all posts
Sunday, February 26, 2012
Wednesday, November 10, 2010
Become profitable from day one is Good!
“Advertising won’t get you there, services will possibly better to monetize”
This is the insight I got from Sarah Lacy – Techcrunch editor at large while she presents at SparxUp seminar. My schedule this week is filled up with all about startup world, from Techcrunch visit to IDS|international design school (@idseducation) on Tuesday, sharing a startup insight with Startup Lokal (@startuplokal) on Thursday to SparxUp award seminar and award on Friday and Saturday.
Learning from SparxUp and Startup Lokal
SparxUp (@sparxup) is an award initiated by Semutapi to identify the most promising startup in Indonesia. Meanwhile Startup Lokal (@startuplokal) is a regular meetup event initiated by startup community as a support group. SparxUp comes with the whiz bang celebration by having seminar inviting Yahoo, Google, Techcrunch and startup pitch at fX atrium. Meanwhile Startup Lokal is a close discussion between startup and future technopreneurs.
I was invited as one of the judge at SparxUp. Being a bad judge, I was late to do the judging process, rarely attending the brief and miss the final awarding event. Still, I am able to attend the seminar and the public pitch by these startups.
Surprisingly, quite numbers of Indonesian startup rise to the surface. In the final, the selected few are done not by first timer, they have previously done other ventures or products. Even among the one that didn’t make it, I see a good potential, either product, technology or simply future creator or entrepreneur that are able to create value.
The winner is the one with a simple business model. As a startup, this surely win the judges vote, but in a real world, it needs a business acumen to bring the business model to become sustainable and scalable. So the real test comes not to win the award, but to be able to stand the test of time.
Then, what’s next? If it’s me, I will think really hard to find a profitable business model. A profitable business model is not necessary sustainable and scalable. Then it’s perfectly ok to have more than one business model. Test the market, make mistake, that’s what startup does. To give you a sample, Google monetization comes from advertising revenue (Adsense, Adwords), software as services (GoogleApps), ecommerce (Google Checkout). They also sells white label email services to telco provider and ISP. And they also provides search engine for corporate services.
So, become profitable from day one is good! And making money besides advertising is even better!
This is the insight I got from Sarah Lacy – Techcrunch editor at large while she presents at SparxUp seminar. My schedule this week is filled up with all about startup world, from Techcrunch visit to IDS|international design school (@idseducation) on Tuesday, sharing a startup insight with Startup Lokal (@startuplokal) on Thursday to SparxUp award seminar and award on Friday and Saturday.
Learning from SparxUp and Startup Lokal
SparxUp (@sparxup) is an award initiated by Semutapi to identify the most promising startup in Indonesia. Meanwhile Startup Lokal (@startuplokal) is a regular meetup event initiated by startup community as a support group. SparxUp comes with the whiz bang celebration by having seminar inviting Yahoo, Google, Techcrunch and startup pitch at fX atrium. Meanwhile Startup Lokal is a close discussion between startup and future technopreneurs.
I was invited as one of the judge at SparxUp. Being a bad judge, I was late to do the judging process, rarely attending the brief and miss the final awarding event. Still, I am able to attend the seminar and the public pitch by these startups.
Surprisingly, quite numbers of Indonesian startup rise to the surface. In the final, the selected few are done not by first timer, they have previously done other ventures or products. Even among the one that didn’t make it, I see a good potential, either product, technology or simply future creator or entrepreneur that are able to create value.
The winner is the one with a simple business model. As a startup, this surely win the judges vote, but in a real world, it needs a business acumen to bring the business model to become sustainable and scalable. So the real test comes not to win the award, but to be able to stand the test of time.
Then, what’s next? If it’s me, I will think really hard to find a profitable business model. A profitable business model is not necessary sustainable and scalable. Then it’s perfectly ok to have more than one business model. Test the market, make mistake, that’s what startup does. To give you a sample, Google monetization comes from advertising revenue (Adsense, Adwords), software as services (GoogleApps), ecommerce (Google Checkout). They also sells white label email services to telco provider and ISP. And they also provides search engine for corporate services.
So, become profitable from day one is good! And making money besides advertising is even better!
Thursday, October 21, 2010
Apakah Perusahaan Anda Siap Menerima Investasi 5 juta dollar?
Indonesia Internet industry is hot!
Indonesia sedang marak dengan gegap gempita industri Internet, mulai dari Sparx Up hingga kedatangan perusahaan-perusahaan private equity. Perusahaan private equity ini saat ini sedang mencari kesempatan di emerging market setelah mereka sukses di China, Rusia dan Brasil. Indonesia punya potensi sebagai pasar Internet, mobile dan game terbesar ke-4 dunia. Tiger Global dan IDG ventures yang berpusat di New York serta Naspers dari Afrika Selatan. Mereka memiliki dana untuk private equity investment dan dana untuk transaksi perusahaan publik.
Mereka ini sangat tertarik dengan market size industri Internet, mobile dan game di Indonesia dan siapa pelaku2 terbesarnya. Bagi perusahaan, berapa market share dari total market menjadi sangat penting. Misalnya total industri advertising iklan 20 T, berapa persen online mendapatkan persentasenya dan berapa persen perusahaan mendapatkan kue ini. Mereka mungkin juga akan bertanya siapa kompetitor dan berapa persen kekuatan perusahaan terhadap kompetitor. Dominasi atas pasar adalah hal yang mereka inginkan di kategori industri yang bersangkutan.
Hal utama yang mereka cari adalah: first mover advantage, terbukti di beberapa emerging market, meskipun pasar belum siap, mereka yang bermain duluan dan mampu bertahan akhirnya menjadi pemain pasar yang dominan. Kemudian mereka tertarik dengan year on year growth, seberapa kemampuan perusahaan untuk tumbuh, ini seharusnya seiring atau lebih dari pertumbuhan pasar. Berikutnya, mereka juga tertarik dengan kemampuan skalabilitas perusahaan.
Model bisnis apa yang akan memberikan short term, medium dan long term growth. Menargetkan kepada pasar retail biasanya akan bagus di dalam membangun brand, tetapi nilai market risknya besar sehingga sulit mengontrol pertumbuhan. Contoh short term growth bisa didrive dari kerja sama B to B seperti memiliki akes ke corporate market (contohnya adalah ecommerce yang mengandalkan kekuatan barang) atau melalui corporate besar ke consumer (contohnya mobile content provider) akan memberikan kemampuan skalabilitas yang lebih cepat meskipun margin jauh lebih kecil ataupun direct cost menjadi besar.
Medium term bisa dengan membangun retail market di mana profitabilitas lumayan bagus tetapi mahal dari sisi branding dan marketing. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menguasai sumber product/content/service secara eksklusif. Akuisisi lisensi atas brand international atau partnership tujuannya adalah terjadi attraction factor dan transfer brand equity dari brand tersebut ke brand kita sendiri
Jadi setelah mampu membangun sustainability dari akses ke pasar di short dan medium term, bagaimana kita membangun long term business model yang scalable. Di sini posisi perusahaan harus mampu menjadi platform dan infrastruktur agar perusahaan lain bisa memanfaatkannya sebagai pertemuan antara pembeli dan penjual. Amazon melakukannya dengan membuat Zshop, dari retail menjadi marketplace. Prinsipnya, long term adalah bagaimana perusahaan akan menaikkan value sehingga mampu melakukan dominasi atas pasar.
Dari sisi funding, private equity mencari investasi minimum dengan range USD 1 - 5 juta. Pertanyaan bagi perusahaan adalah jika diberikan dana sekian, berapa akan tumbuh terhadap pasar dan jika diberikan lebih lagi, seberapa besar lagi akan tumbuh juga. Perlu diatur strategi berapa alokasi dana yang digunakan untuk pengembangan short term, medium term dan long term. Ada keuntungan yang ditawarkan oleh private equity di mana dana tersebut kadang2 kita bisa lari dari kenyataan short/medium dan hanya bertaruh pada long term. Pada beberapa kasus ini berhasil, tetapi pada banyak kasus ini membahayakan karena hanya konsentrasi pada pertumbuhan tanpa mampu melakukan monetizing.
Kesalahan besar dilakukan oleh perusahaan yang hanya berusaha menghabiskan investasi hanya untuk marketing yang ditargetkan ke pasar retail karena market risknya besar. Meskipun marketing ke market retail tetap perlu, perlu dirancang strategi akses ke market yang lebih fokus sebagai strategi short term. Kesalahan berikutnya adalah membangun operational expense yang juga terlalu besar dengan merekrut orang sebanyak-banyaknya. Kesalahan terakhir adalah dana ini digunakan untuk capital expenditure membangun platform yang terlalu besar di awal. Strategi platform adalah jangka panjang yang return di awal masih belum jelas
Investasi menjadi berharga ketika digunakan untuk membangun value seperti product, access to market, media dan attraction factor. Jadi sebagai founder dan eksekutif perusahaan, think like an investor! So, is your company ready to receive USD 5 million? It's your call my friends!
Indonesia sedang marak dengan gegap gempita industri Internet, mulai dari Sparx Up hingga kedatangan perusahaan-perusahaan private equity. Perusahaan private equity ini saat ini sedang mencari kesempatan di emerging market setelah mereka sukses di China, Rusia dan Brasil. Indonesia punya potensi sebagai pasar Internet, mobile dan game terbesar ke-4 dunia. Tiger Global dan IDG ventures yang berpusat di New York serta Naspers dari Afrika Selatan. Mereka memiliki dana untuk private equity investment dan dana untuk transaksi perusahaan publik.
Mereka ini sangat tertarik dengan market size industri Internet, mobile dan game di Indonesia dan siapa pelaku2 terbesarnya. Bagi perusahaan, berapa market share dari total market menjadi sangat penting. Misalnya total industri advertising iklan 20 T, berapa persen online mendapatkan persentasenya dan berapa persen perusahaan mendapatkan kue ini. Mereka mungkin juga akan bertanya siapa kompetitor dan berapa persen kekuatan perusahaan terhadap kompetitor. Dominasi atas pasar adalah hal yang mereka inginkan di kategori industri yang bersangkutan.
Hal utama yang mereka cari adalah: first mover advantage, terbukti di beberapa emerging market, meskipun pasar belum siap, mereka yang bermain duluan dan mampu bertahan akhirnya menjadi pemain pasar yang dominan. Kemudian mereka tertarik dengan year on year growth, seberapa kemampuan perusahaan untuk tumbuh, ini seharusnya seiring atau lebih dari pertumbuhan pasar. Berikutnya, mereka juga tertarik dengan kemampuan skalabilitas perusahaan.
Model bisnis apa yang akan memberikan short term, medium dan long term growth. Menargetkan kepada pasar retail biasanya akan bagus di dalam membangun brand, tetapi nilai market risknya besar sehingga sulit mengontrol pertumbuhan. Contoh short term growth bisa didrive dari kerja sama B to B seperti memiliki akes ke corporate market (contohnya adalah ecommerce yang mengandalkan kekuatan barang) atau melalui corporate besar ke consumer (contohnya mobile content provider) akan memberikan kemampuan skalabilitas yang lebih cepat meskipun margin jauh lebih kecil ataupun direct cost menjadi besar.
Medium term bisa dengan membangun retail market di mana profitabilitas lumayan bagus tetapi mahal dari sisi branding dan marketing. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menguasai sumber product/content/service secara eksklusif. Akuisisi lisensi atas brand international atau partnership tujuannya adalah terjadi attraction factor dan transfer brand equity dari brand tersebut ke brand kita sendiri
Jadi setelah mampu membangun sustainability dari akses ke pasar di short dan medium term, bagaimana kita membangun long term business model yang scalable. Di sini posisi perusahaan harus mampu menjadi platform dan infrastruktur agar perusahaan lain bisa memanfaatkannya sebagai pertemuan antara pembeli dan penjual. Amazon melakukannya dengan membuat Zshop, dari retail menjadi marketplace. Prinsipnya, long term adalah bagaimana perusahaan akan menaikkan value sehingga mampu melakukan dominasi atas pasar.
Dari sisi funding, private equity mencari investasi minimum dengan range USD 1 - 5 juta. Pertanyaan bagi perusahaan adalah jika diberikan dana sekian, berapa akan tumbuh terhadap pasar dan jika diberikan lebih lagi, seberapa besar lagi akan tumbuh juga. Perlu diatur strategi berapa alokasi dana yang digunakan untuk pengembangan short term, medium term dan long term. Ada keuntungan yang ditawarkan oleh private equity di mana dana tersebut kadang2 kita bisa lari dari kenyataan short/medium dan hanya bertaruh pada long term. Pada beberapa kasus ini berhasil, tetapi pada banyak kasus ini membahayakan karena hanya konsentrasi pada pertumbuhan tanpa mampu melakukan monetizing.
Kesalahan besar dilakukan oleh perusahaan yang hanya berusaha menghabiskan investasi hanya untuk marketing yang ditargetkan ke pasar retail karena market risknya besar. Meskipun marketing ke market retail tetap perlu, perlu dirancang strategi akses ke market yang lebih fokus sebagai strategi short term. Kesalahan berikutnya adalah membangun operational expense yang juga terlalu besar dengan merekrut orang sebanyak-banyaknya. Kesalahan terakhir adalah dana ini digunakan untuk capital expenditure membangun platform yang terlalu besar di awal. Strategi platform adalah jangka panjang yang return di awal masih belum jelas
Investasi menjadi berharga ketika digunakan untuk membangun value seperti product, access to market, media dan attraction factor. Jadi sebagai founder dan eksekutif perusahaan, think like an investor! So, is your company ready to receive USD 5 million? It's your call my friends!
Labels:
business,
games,
internet,
investment,
mobile
Friday, March 08, 2002
Membangun Digital Studio
posted at Designcampur mailing list
Q: Benar-benar... semenjak saya baca buku "Rich Dad, Poor Dad" saya pingin juga keluar dari perlombaan tikus... so bagi-bagi ilmu donk pak andi ttg sisi lain dari desain (baca : bisnis). Soalnya sekarang saya Cuma orang 'disuruh' kerja doank..he..he.he...
A: Udah abis, baca lanjutannya, Cashflow Quadrant (lebih bagus), terus Guide to Investing (lebih bagus lagi) dan The Richest Man in Babylon.
Start small. Saya membangun Digital Studio dengan modal 10 juta di th 96. Itu sebagian buat beli software, clip art, dll. (bukan versi Mangdu lho). Untuk operasional tinggal sekitar 3 juta. Saya start dengan bisnis web design di awal 96. NGGAK LAKU. Nggak ada yang ngerti apa itu Internet. Terus ganti haluan ke grafis. Saking nggak punya klien, duit di kantong tinggal 10 rebu. Abis itu janji pada diri sendiri 'I'll never be hungry again!!' (itu tuh, kayak film Gone with the Wind).
Dengan modal utang, ngotot cari klien lagi dari nol. Abis Arema di Jkt kan nggak punya kenalan. Jadi kenalan aja ke sana ke mari kayak maling :)
Dengan mulai dari hal-hal kecil, akhirnya dipercaya untuk hal-hal yang lebih besar. One thing lead to another. Tapi inget, jangan pernah kehilangan visi. Visi boleh besar, tetap perlu dijalankan setapak demi setapak.
Dari tiap kali kesandung, bikin kesalahan, selalu ambil hikmahnya. Hingga hari ini, saya belajar banyak dan selalu sharing ke orang lain.
Good luck
Andi
Digital Studio
Q: Benar-benar... semenjak saya baca buku "Rich Dad, Poor Dad" saya pingin juga keluar dari perlombaan tikus... so bagi-bagi ilmu donk pak andi ttg sisi lain dari desain (baca : bisnis). Soalnya sekarang saya Cuma orang 'disuruh' kerja doank..he..he.he...
A: Udah abis, baca lanjutannya, Cashflow Quadrant (lebih bagus), terus Guide to Investing (lebih bagus lagi) dan The Richest Man in Babylon.
Start small. Saya membangun Digital Studio dengan modal 10 juta di th 96. Itu sebagian buat beli software, clip art, dll. (bukan versi Mangdu lho). Untuk operasional tinggal sekitar 3 juta. Saya start dengan bisnis web design di awal 96. NGGAK LAKU. Nggak ada yang ngerti apa itu Internet. Terus ganti haluan ke grafis. Saking nggak punya klien, duit di kantong tinggal 10 rebu. Abis itu janji pada diri sendiri 'I'll never be hungry again!!' (itu tuh, kayak film Gone with the Wind).
Dengan modal utang, ngotot cari klien lagi dari nol. Abis Arema di Jkt kan nggak punya kenalan. Jadi kenalan aja ke sana ke mari kayak maling :)
Dengan mulai dari hal-hal kecil, akhirnya dipercaya untuk hal-hal yang lebih besar. One thing lead to another. Tapi inget, jangan pernah kehilangan visi. Visi boleh besar, tetap perlu dijalankan setapak demi setapak.
Dari tiap kali kesandung, bikin kesalahan, selalu ambil hikmahnya. Hingga hari ini, saya belajar banyak dan selalu sharing ke orang lain.
Good luck
Andi
Digital Studio
Labels:
business,
digital studio
Tuesday, July 04, 2000
Harga Animasi
Untuk motion graphics (bumper, logo) akan saya berikan harga yang lebih rendah dari character. Dalam hal ini saya membawa bendera perusahaan yang nota bene sudah lebih kredibel dengan bendera 'freelance animator'. Klien akan expect harga yang lebih murah jika mereka deal dengan personal. Kalau klien yang lebih profesional (punya pengalaman sebelumnya bekerja dengan profesional), mereka akan pergi ke post house dan bisa saja post house akan sub contract ke freelance animator, di mana post house bisa saja mendapatkan fee yang mungkin di atas animatornya sendiri.
Mungkin nggak perlu kesel sama hal di atas karena that's the way the world works. Contoh kasus, Digital Studio saat ini banyak mengerjakan proyek 'sisa' dari Unilever di mana proyek besar ditangani Lintas dan kalo nggak kepegang, mereka lari ke kita dengan waktu lebih tight, minta lebih bagus dan masih harus lebih murah. Kesel nggak :-) Ya tapi berhubung Digital Studio nggak sengetop Lintas, ya kita nggak bisa buka harga segedhe mereka.
Oleh karena itu, gimana supaya punya nilai jual tinggi ? Ya harus menang award banyak-banyak, publikasi banyak-banyak. Kayak dokter aja, makin tua makin ngetop, makin banyak duit dan sampe ngantri-ngantri padahal dokter plonco juga bisa ngobatin panu doang.
Dalam semua profesi atau pekerjaan yang penting bukan 'product'nya tapi 'brand', atau 'perceived value'. Oleh karena itu setiap seniman biasanya perlu seorang manager untuk mampu menjual dalam harga tinggi.
Sementara ini yang mengapresiasi tingkat kesulitan animasi cuman kita doang :-), klien mah nggak ngerti dan mungkin nggak peduli. Oleh karena itu saya pernah bilang di animator forum, tugas kitalah yang mengajari klien untuk bagaimana menilai karya sehingga mungkin bisa sedikit mendongkrak harga. Tetapi tidak berarti karya Picasso yang cuma segaret garis doang dinilai murah karena mudah. Dalam hal ini yang dia jual adalah proses belajar dan bereksperimentasi bertahun-tahun yang bisa dituangkan dalam segaret garis tadi.
Lha kalo animator kumpul-kumpulnya belajar gimana supaya bikin animasi lebih baik, kalo orang-orang marketing kumpulnya kan belajar gimana menekan cost :-). Mungkin laen kali kita mesti kumpul untuk sharing gimana supaya mendongkrak harga, belajar teknik bargaining dan tidak mudah percaya sama kebohongan standar klien (Oh, ini kan cuma awalnya, nanti bakal masih banyak kerjaan laen; Sekarang harga perkenalan dikasi murah dulu; Kamu bikin animasinya dulu deh, nanti baru dipropose ke kita setuju atawa tidak setuju)
Andi
Digital Studio
Mungkin nggak perlu kesel sama hal di atas karena that's the way the world works. Contoh kasus, Digital Studio saat ini banyak mengerjakan proyek 'sisa' dari Unilever di mana proyek besar ditangani Lintas dan kalo nggak kepegang, mereka lari ke kita dengan waktu lebih tight, minta lebih bagus dan masih harus lebih murah. Kesel nggak :-) Ya tapi berhubung Digital Studio nggak sengetop Lintas, ya kita nggak bisa buka harga segedhe mereka.
Oleh karena itu, gimana supaya punya nilai jual tinggi ? Ya harus menang award banyak-banyak, publikasi banyak-banyak. Kayak dokter aja, makin tua makin ngetop, makin banyak duit dan sampe ngantri-ngantri padahal dokter plonco juga bisa ngobatin panu doang.
Dalam semua profesi atau pekerjaan yang penting bukan 'product'nya tapi 'brand', atau 'perceived value'. Oleh karena itu setiap seniman biasanya perlu seorang manager untuk mampu menjual dalam harga tinggi.
Sementara ini yang mengapresiasi tingkat kesulitan animasi cuman kita doang :-), klien mah nggak ngerti dan mungkin nggak peduli. Oleh karena itu saya pernah bilang di animator forum, tugas kitalah yang mengajari klien untuk bagaimana menilai karya sehingga mungkin bisa sedikit mendongkrak harga. Tetapi tidak berarti karya Picasso yang cuma segaret garis doang dinilai murah karena mudah. Dalam hal ini yang dia jual adalah proses belajar dan bereksperimentasi bertahun-tahun yang bisa dituangkan dalam segaret garis tadi.
Lha kalo animator kumpul-kumpulnya belajar gimana supaya bikin animasi lebih baik, kalo orang-orang marketing kumpulnya kan belajar gimana menekan cost :-). Mungkin laen kali kita mesti kumpul untuk sharing gimana supaya mendongkrak harga, belajar teknik bargaining dan tidak mudah percaya sama kebohongan standar klien (Oh, ini kan cuma awalnya, nanti bakal masih banyak kerjaan laen; Sekarang harga perkenalan dikasi murah dulu; Kamu bikin animasinya dulu deh, nanti baru dipropose ke kita setuju atawa tidak setuju)
Andi
Digital Studio
Subscribe to:
Posts (Atom)