Showing posts with label marketing. Show all posts
Showing posts with label marketing. Show all posts

Friday, January 15, 2010

Ollie's Blog: New Wave Marketing Power Lunch

Sumber: Ollie’s Blog

Ada yang berbeda dari makan siang saya kali ini. Tgl 11-01-10 kemarin, saya makan siang rame-rame bersama Pak Hermawan Kartajaya @hermawank dan Pak Menkominfo Tifatul Sembiring @tifsembiring. Bersama artis seperti @Saykoji, @Pandji Syahrani, Piyu, Olga Lydia, News Anchor dari TVOne, Cici – Koko, Abang – None, dll. Bersama pakar-pakar dunia internet seperti @andisboediman @adarwis @dwirianto @nukman @shintabubu @ivanlaninserta teman-teman blogger @anakcerdas @agoes82 @SofiaKartika @caturpw @mahadaya @IlmanAkbar @leonisecret @enda @venustweets (kalo ada yang belum disebut maafkeun) dan tak lupa my husband @unwinged. Kami berkumpul untuk berdiskusi di New Wave Marketing Power Lunch yang digagas Pak Hermawan Kartajaya dan MarkPlus team.

Sebenarnya saya sudah pernah makan siang bareng Pak Hermawan dalam circle yang lebih kecil (please read catatannya Pak Andi S. Boediman), dan saking senangnya kami berdiskusi, akhirnya beliau memutuskan saat itu juga, bahwa Power Lunch seperti ini harus dilakukan tiap bulan dan ngundang lebih banyak orang lagi. Ternyata langsung diwujudkan niatnya setelah tahun baru, di tanggal yang spesial pula




Pak Hermawan membuka diskusi dengan brief summary tentangThe Anatomi of New Wave Cultureyang mencakup:Youth, Women & Netizen. Youth yang responsive, Women yang multitask, dan Netizen yang big impact, tiga culture ini yang seharusnya diperhatikan dalam hubungannya dengan marketing suatu brand.




@Pandji ditunjuk duluan untuk sharing tentangYouth. Dari penjelasannya kita jadi mengerti bahwa anak muda itu inginnya membuat perubahan (change agent). Piyu menambahkan bahwa platform untuk mengedarkan pesan bisa juga melalui lagu yang bisa diterima baik oleh anak muda. Ada pendapat menarik bahwaYouth itu bukan berarti umur yang muda, tapi seharusnya pola pikir yang open mind seperti anak muda. Must agree with that! ;)

@IlmanAkbar menambahkan betapa identiknya Youth jaman sekarang dengan entrepreneurship, penuh ide, ingin mandiri. Mungkin memang karena pola pikir yang udah jauh bergeser, seperti tulisan tentang Generasi Y di blog @leonisecret.

Dari obrolan tentang Youth bergeser ke tentangWomen atau wanita. Pak Hermawan menembak @Shintabubu dengan pertanyaan seputar kesibukannya sebagai direktur dan kesibukan sebagai ibu rumah tangga, on being a super woman, bagaimana pendapat suaminya tentang hal itu. Ini menggambarkan kehidupan wanita-wanita urban yang sering dihadapkan ke pertanyaan yang sama. (Makanya saya nulis tentang hal ini di novel Alphawife *promo-colongan*). Mbak Shinta bilang, wanita memang akhirnya harus dengan baik mengerjakan kedua bidang itu, corporate dan domestic, karena “Women need to prove more”. Well said. Pak Tifatul Sembiring juga akhirnya menambahkan, “Jangan senang dulu kalau dirayu dengan kata-kata ‘Kau lah segalanya’ karena artinya sebenarnya ‘Kau lah yang melakukan segalanya’!” Hahaha asli semua cewek di ruangan itu ketawa pait semua. Kenyataan soalnya hihi





Nah dengan multitasking-nya Women ini, mereka lebih mudah stress (kebanyakan cabang pikiran). Tapi in the end, mereka tetap bisa survive, karena mereka punyapassion dan love on what they’re doing. Unlike Men, yang kata Pak Hermawan, cuma mikirin Money, Power and Sex. LOL.




Diskusi lanjut keNetizen. @Saykoji sharing tentang keberhasilannya menggunakan internet hingga lagu ‘Online’ dikenal luas seperti sekarang ini. Internet lah yang menjadi sarana bagi Youth (yang responsive) dan Women (yang multitasking) untuk bisa berkarya lebih jauh dan menjadi Netizen (yang High Impact). Kalau dilihat-lihat berarti saya termasuk dalam kategori Youth, Women dan Netizen, yang katanya Pak Hermawan kalo ketiga subculture itu ada di satu orang berarti hasilnya luar biasa *narsisme-tak-terbendung* hihi.

@Enda sang Bapak Blogger menyampaikan aspirasi untuk Pak Tifatul Sembiring. Tentang UU ITE dan kebijakan-kebijakan lain. Dengan kasus Prita kemarin, people now afraid to speak. I said to Pak Hermawan, orang takut di-Prita-kan. Jadi UU ITE juga harus melindungi kebebasan berbicara Netizen di internet.
Di sisi lain, Mbak Syahrani resah karena saat ini belum ada sarana pembelajaran bagi para Netizen yang baru nyemplung di dunia internet, baik untuk masalah netiket hingga awareness untuk hal-hal berbau kejahatan di internet.Pak Hermawan lebih resah lagi takut Netizen, dengan kekuatannya, bisa bergerak untuk mendukung hal-hal yang tak seharusnya didukung, karena faktor clueless dan ikut-ikutan.

Di diskusi kecil after the event, Pak Hermawan tanya apakah kami resah juga seperti dirinya. Saya lagi makan jadi susah jawabnya :P Tapi saya mau bilang, saya nggak resah, Pak. Wisdom of Crowd seperti yang Pitra @anakcerdas bilang itu yang membuat saya selama ini tenang-tenang saja.




Terimakasih sekali lagi buat Pak Hermawan Kartajaya dan MarkPlus team terutama Mas Edo @villahadis yang sudah mengundang kami semua. So happy terutama karena 3 sosok favorite saya ada di situ: @nukman @andisboediman dan @dwirianto

Diskusi seperti tadi jangan hanya berhenti ‘di darat’ namun juga bisa lanjut ke The Marketeers Club ;)

Akhir kata…
Kuala Daik airnya tenang
Di sana biduk menambatkan tali
Mana yang baik bawalah pulang
Bila buruk tinggalkan kami
(Menggunakan pantun milik orang lain dalam upaya meniru Pak Tifatul Sembiring yang selalu konsisten berpantun :P)

ps: jangan lupa add twitter saya @salsabeela dan foto-foto New Wave Marketing Power Lunch yang lengkap ada di Flickr. Related Posts

Sunday, December 20, 2009

Insightful Lunch with Hermawan Kartajaya: New Wave + Marketing 3.0

Dear Bloggers, MarkPlus dan Hermawan Kartajaya mengundang rekan-rekan media untuk menghadiri; “Appreciation Lunch”, demikian bunyi undangan yang saya terima.

Tulisan-tulisan saya tentang media sosial ternyata membuka diskusi dengan icon marketing Indonesia – Hermawan Kartajaya. Tentu kesempatan menarik, sekaligus bertemu dengan rekan-rekan blogger seperti Pitra Satvika, Leonita Julian, pasangan blogger Aulia Halimatussadiah (Ollie) & Anang Pradipta. Juga beberapa teman baru seperti Mada Azhari, Ilman Akbar dan Hendry Gunawan.

Selain blogger, hadir pula beberapa media seperti Smart FM, Seputar Indonesia, Kompas.com, Infobank.

Beberapa rekan blogger ini menjadi community leader dari situs Marketeers.com, komunitas marketing Markplus. Mengutip dari 12 C of New Wave Marketing, ini adalah langkah konkrit dari Communitization, atau pembentukan komunitas agar user bisa saling berkomunikasi melalui platform yang difasilitasi oleh Markplus.

Yang menarik dari kegiatan ini adalah diskusi yang terlontar dari peserta yang hadir. Partisipasi menarik dari para pelaku marketing, pengamatan para blogger dan juga kontribusi dari rekan-rekan media. Hermawan mengajak semua yang hadir untuk melakukan Co-creation atas isyu New Wave Marketing dan Marketing 3.0.


Youth, Woman & Netizen

3 aspek yang menjadi perhatian Hermawan adalah Youth, Woman dan Netizen. Ketiganya akan mendapat konsentrasi khusus di tahun 2010 melalui kegiatan conference. Youth untuk merebut heart share, woman untuk merebut market share dan netizen untuk membentuk opini publik.

Youth adalah mereka yang membuat perubahan dan melihat masa depan. Pengalaman saya di dalam acara Youth Engagement Summit 2009 melalui kampanye South East Asia Change memperlihatkan kontribusi anak muda untuk memberikan suara dan membuat perubahan. Hanya dalam hitungan 6 minggu, terkumpul suara dari 150 ribu anak muda di seantero Asia Pasifik. Suara mereka bukan sekedar untuk didengar, tetapi mereka membuat perubahan di sekelilingnya. Youth adalah penentu pasar masa depan. Mereka bukan lagi generasi yang tergantung pada orang tuanya. Malah saat ini orang tua yang mengikuti tren anak-anaknya, seperti halnya penggunaan Blackberry dan iPod.

Women, adalah mahluk yang multitasking dan punya peran ganda. Ketika mereka bekerja, mereka memikirkan anaknya. Ketika sedang berbelanja, mereka memikirkan anak, suami dan orang-orang terdekatnya.

Netizen adalah mereka yang menjadi opinion leader. Kemenangan di online akan memastikan produk/jasa mendapat review positif dan menjadi pilihan pelanggan. Dalam hal ini perlu kepiawaian marketer untuk mampu mengintegrasikan media online dan offline.

Studi kasus dari Sarah Aprilia, karakter semu yang menjadi ambassadar produk Bask adalah contohnya. Hype di dunia maya ternyata tidak diikuti usaha terintegrasi marketing offline sehingga kehilangan taringnya. Kebalikan dari kampanye digital Axe di mana saya terlibat sebagai Strategic Planner bersama dengan Bubu.com dan BBH. Pemahaman insight bahwa keinginan anak muda adalah untuk punya kesempatan berkenalan dengan cewek idaman diterjemahkan menjadi kampanye Call Me, di mana hype diciptakan melalui kegiatan WAAXE (Woman Against Axe Effect), kegiatan online dipadu dengan demo di bundaran HI. Kampanye ini dilanjutkan dengan peluncuran produk dan iklan televisi yang semua berbicara dalam koridor komunikasi sama. Berwujud pada naiknya penjualan produk secara signifikan.


Ubud: Spiritual Marketing in Action

Ubud adalah kisah sukses marketing yang sesungguhnya. Proses menciptakan tempat yang begitu indah, berawal dari kultur yang terbuka, dan melalui ambassador yang tepat, maka budaya yang demikian unik menjadi bagian dari tujuan wisata dunia.

Raja Ubud, Cokorda Gede Agung Sukawati kala itu, mengundang para artis seperti Antonio Blanco dan Walter Spies. Walter Spies menemukan tempat impiannya di Ubud dan menetap hingga menjelang kematiannya. Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal dan sangat terpengaruh oleh estetika seni Bali. Ia mengembangkan gaya lukisan Bali yang bercorak dekoratif. Dalam seni tari ia juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, memoles sendratari yang sekarang sangat populer di Bali, Kecak.

Begitu pula halnya dengan Antonio Blanco. Ia membangun sebuah rumah tinggal di Ubud yang menjadi tempat istirahat dan rumah bagi karya-karyanya yang demikian unik.

Artis-artis inilah yang pertama kali menarik perhatian tokoh-tokoh kesenian Eropa terhadap Bali. Mereka memiliki jaringan perkenalan yang luas dan mencakup orang-orang kenamaan di Eropa. Sejumlah temannya banyak diundangnya ke Bali dan membawa cerita menarik sehingga Bali kini menjadi bagian dari budaya dunia.

Gagasan serupa saya lakukan ketika membuat konsep FGDexpo2007. Mimpi saya adalah melihat bahwa desain Indonesia menjadi bagian dari budaya dunia. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh desain dunia ke Indonesia, saya berharap dua hal, kita bisa belajar dari mereka dan mereka akan menjadi ambassador Indonesia. Mimpi saya menjadi kenyataan bahwa Stefan Sagmeister memutuskan untuk tinggal selama setahun di Ubud. Ia mengajak desainer Indonesia untuk menjadi apprentice, mempelajari budaya Bali dan menerjemahkannya di dalam karya desainnya. Dan yang terpenting adalah membicarakan pengalamannya ini di forum TED (technology, entertainment, design)–tempat berkumpulnya para influencer dunia.

Esensi dari Marketing 3.0 adalah ketika pemasaran tidak lagi berpura-pura, tetapi mengekspresikan apa nilai sesungguhnya dari suatu produk. Ubud adalah tempat yang memiliki inner value luar biasa, tempat berpadunya hubungan antara Tuhan, manusia dan masyarakat. Ini yang menyebabkan Ubud memiliki esensi luar biasa, karakter yang unik dan tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Anxiety & Desire: the Drive of Insight

Pemahaman aktivitas marketing tidak akan lengkap tanpa pemahaman akan sifat dasar manusia. Perjalanan memahami insight ini saya dapatkan ketika bekerja sama dengan Walls – Unilever. Rekan dekat saya, Tommy Wattimena, kini menjabat sebagai Brand Director Walls dan menangani bisnis ice cream global dari Walls yang selalu menjadi teman bicara paling seru.

Ketika saya merancang kemasan Walls, berujung pada diskusi pemahaman insight atas kebutuhan anak. Ketakutan anak terbesar adalah jauh dari orang tua, sehingga kisah petualangan Paddle Pop adalah terjemahan dari anak yang mengeksplorasi dunia baru di mana pada akhirnya akan kembali ke rumahnya. Dengan menerjemahkan kebutuhan anak ini menjadi film, Walls berhasil membuat revolusi pemasaran dengan membuat advertising sebagai content. Film Pyrata dengan Paddle Pop sebagai karakter hero membawa daya tarik luar biasa bagi anak-anak untuk datang dan menontonnya. Di sini brand story berubah menjadi kesempatan engagament dengan pelanggan.



Kebutuhan remaja tentunya berbeda. Dengan memahami keinginan anak muda untuk kenal dengan lawan jenisnya membawa pemahaman insight dan diterjemahkan ke dalam kampanye Axe Call Me. Di sini Axe membuka kesempatan bagi cowok untuk berkenalan dengan cewek melalui Conversation, satu lagi aspek New Wave Marketing. Salah satu mobile game yang diciptakan untuk memulai conversation adalah Axe-O-Meter, di mana dengan menekan tombol handphone, akan berbunyi ketika diarahkan ke cewek yang ingin kita ajak berkenalan. Ini akan memicu perbincangan awal. Pas dengan insight cowok yang ingin berkenalan dengan cewek.

Pada akhirnya, pemahaman akan ketakutan dan keinginan dasar manusia menjadi modal dasar untuk berkomunikasi. Ini adalah basis dari insight. Give them what they want and they will give you want you want. Facilitate the human insight and people will relate with the brand.

Undangan makan siang yang benar-benar tidak sia-sia. Insightful yet enjoyable!

Read the blog in English. Please leave comments on Ideonomics.com. Follow me on Twitter @andisboediman.

Sunday, December 13, 2009

Markplus Conference Manfaatkan Taktik Marketing 2.0

Barack Obama menjadi Presiden US dengan kemenangan yang siginifikan, dengan mengajak rakyat biasa menjadi pendukung dan menyumbangkan suara dan bahkan dananya melalui media sosial, email, pesan SMS dan video online. Penggunaan konektor sosial, adalah penentu keberhasilannya. Bahkan ‘Change’ kini identik dengan brand Obama, presiden yang piawai menggunakan Blackberry dan memperkenalkan program-programnya melalui Facebook. Semua itu ia jaga dengan hingga kini setiap hari masih menyapa pendukungnya dengan balasan komentar puluhan ribu.




Apakah lantas dengan adanya konektor social menggantikan pertemuan fisik? Tidak lagi perlu ‘kopi darat’? Tentu tidak. Dalam berbagai hal, banyak yang tak tercapai hanya melalui sebuah kegiatan komunikasi melalui konektor sosial.

Konektor sosial memperkenalkan soft relationship, di mana setiap orang seakan mendengar dan berinteraksi langsung meskipun tidak bertemu muka. Program ini tidak berhenti di sini. Bertemu langsung dengan pendukungnya memberikan pengalaman yang lebih intensif. Kemudian, hubungan ini diperkuat lagi dengan media sosial. Jalinan hubungan yang sirkuler ini benar-benar menciptakan ‘experience’ yang lengkap.

Dalam YES2009 SEAChange Kuala Lumpur, Youth Asia yang dimotori oleh Khailee Ng, entrepreneur muda Malaysia, mengajak generasi muda untuk menyumbangkan cerita, bagaimana mereka membuat perubahan. Hanya dalam waktu 6 minggu, mereka mendapatkan 150 ribu cerita tentang ‘Change’, suara generasi muda terbesar yang pernah terkumpul di Asia Tenggara.




Dukungan datang dari Tony Fernandes–entrepreneur AirAsia yang memberikan tiket gratis mengikuti konferensi Youth Engagement Summit dan kesempatan bertemu dengan Biz Stone–co-founder Twitter, Randi Zuckerberg–Director of Market Development Facebook, Bob Geldoff–inisiator Live Aid, Gary Kasparov–grand master catur termuda dan banyak lagi.




Di Indonesia, di semester awal tahun ini pernah dihebohkan dengan kegiatan FGDexpo2009 yang menggunakan karakter Packy, Printy & Publy sebagai ambassador. Mulai dari kegiatan kopi darat, berfoto bersama di bis kota hingga menyapa para muda kreatif menyuarakan idenya untuk acara pesta grafika ini. Demikian aktifnya kegiatan posting di Facebook membuat akun ini sempat dibekukan oleh Facebook karena diasumsikan sebagai spam.




Kini, Hermawan Kartajaya, yang ulasan-ulasan dalam New Wave Marketing memberikan arti penting bagi perubahan mindset marketer, menggunakan konektor social dalam rangka menggelar MarkPlus Conference 2010. MarkPlus Conference 2010 diikuti dengan rangkaian kegiatan menarik terutama yang melibatkan para blogger untuk berkontribusi di akun Marketeers di Facebook, sebuah komunitas yang berawal dari pembaca majalah Marketeers.




Marketeers adalah Majalah bulanan MarkPlus, mengkhususkan diri dalam bidang bisnis dan marketing dari sudut pandang New Wave Marketing. Sebagian besar isinya adalah ulasan mengenai strategi pemasaran terbaru yang ditulis oleh konsultan dan analis MarkPlus dengan rubrikasi terbagi mejadi lima, yakni Connect, Character, Conversation, Cover Story dan CMO dan distribusikan ke seluruh anggota MarkPlus Club serta ke seluruh peserta training dan partner MarkPlus.

Dalam aktifitas blogging, para blogger mendapat apresiasi dengan program MarkPlus Conference 2010-giving away 100 Tickets for 100 Bloggers! Dalam hal ini blogger diajak menulis tanggapan artikel New Wave yang dimuat di kolom Kompas.

Beberapa rekan-rekan blogger mendapatkan free invitation atas ulasan mereka, seperti Maydina Zakiah Siagian: Ketika karakter dan sisi sosial menjadi bagian penting dari sebuah brand; Pitra Satvika: Karakter Fiktif dalam Social Media; Catur Pw: Online atau Offline?; Leonita Julian: Komunitas, Kebutuhan Diterima Oleh Lingkungan Sosial; Nico Alyus: The WHO Generation; Aulia Halimatussadiah: Promotion = Conversation = Blog. Demikian pula tulisan saya Konektor Sosial, Bagian dari Community Marketing.

Taktik marketing 2.0 sudah merambah menjadi bagian dari hidup kita. Komunitas dan engagement menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjalin hubungan dengan pelanggan. Markplus Conference, yang menjadi barometer marketing di Indonesia, sudah beranjak ke 2.0, siklus media dan konektor sosial. Marketing menjadi komunikasi dua arah.

Acara puncak Markplus Conference yang dihadiri 4000 orang menjadi milestone dari kopi darat para marketer. Generasi 2.0 yang piawai dengan media sosial bertemu dengan pelaku media konvensional, untuk saling berkenalan, bertukar pandangan dan membangun model marketing yang terintegrasi.

Sukses untuk para marketer 2.0!

Read the blog in English. Please leave comments on Ideonomics.com. Follow me on Twitter @andisboediman.

Thursday, September 26, 2002

Consumer Insight

posted at Marketing Club mailing list

Insights ini bisa macem-macem deh. Basicnya cuma pengamatan atas perilaku, harapan dan persepsi dari target market/calon target market. Saya sendiri masih belum bisa melihat benang merahnya, ini beberapa contoh aja: dari survey diketahui bahwa target market dari Sampurna Ijo adalah masyarakat yg guyub, seneng maen bareng sehingga bisa muncul campaign Sampurno Ijo, asyiknya rame-rame. Contoh lain misalnya iklan Axe. Insightnya, cowok pada dasarnya pingin kalo cewek itu hit on him daripada selalu cowok yg usaha. Dari sini Axe bikin iklan ada cowok culun bersenggolan dengan cowok lain yg baru aja pake Axe. Di lift si cowok culun itu 'digarap' oleh cewek cakep.

Tidak hanya untuk iklan, pemahaman tentang insight ini dipelajari pada consumer behaviour. Kuncinya pada pengamatan Satu buku menarik yg membahas ini adalah The Science of Shopping. Salah satu contoh di situ adalah yg biasa membeli suplemen untuk anjing biasanya adalah anak-anak. Oleh karena itu dengan meletakkan barang tersebut di shelf bawah, langsung meningkatkan sales. Banyak banget deh studi kasus diulas di sini yg semuanya hanya dari sekedar proses pengamatan atas perilaku konsumen.

Saya jadi inget studi kasusnya Coke, Zyman menganalisa ada 13 fungsi/occasion di mana Coke bisa diminum. Coke adalah low involvement, kayak permen. Oleh karena itu ia bikin 13 iklan berbeda yg menjelaskan 'reason to buy Coke' dan ia ngotot ngukur efektifitasnya dari peningkatan jumlah krat yg terjual. Sebagai perbandingan, di Indo saat ini sales Sprite aja masih lebih tinggi daripada Coke, karena Coke di Indo di benak konsumen masih masuk dalam kategori 'limun', bukan kategori 'cola'. Ia bahkan menstop salah satu iklan Coke paling disukai audience, dapat award banyak dan sangat diingat penonton karena tidak meningkatkan sales. Iklannya adalah seorang anak kecil yg ngasih minum pada idolanya, Mean Joe Green, pemain football.



______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Tuesday, September 24, 2002

Consumer Adoption discussion

Shin Bernard
saya ingin memberikan sedikit opini dan banyak pertanyaan yang sekiranya dapat membantu kita semua yang ingin belajar marketing (maklum saya juga baru belajar ). Saya sangat tertarik membahas dari sisi awarenes dan high/low involvement suatu produk. Menurut Assael ada 5 langkah dalam proses adopsi suatu produk (5 stages in adoption proces):
1. Awareness
2. Knowledge
3. Evaluation
4. Trial
5. Adoption

Yang menjadi pertanyaan disini adalah, apakah semua produk entah itu high atau low involvement harus melewati semua proses/tahapan ini atau apakah bisa dari proses awareness langsung masuk ke tahap trial tanpa melalui knowledge dan evaluation? Bagaimana halnya dengan kasus permen? Apakah permen hanya membutuhkan awareness semata (ex.permen dynamite dengan rasa coklat+mint) dan langsung ke tahap trial ataukah permen juga membutuhkan 5 tahapan seperti yang telah diutarakan diatas? Itu jika dilihat dari sisi produk&konsumen, jika kita memandang dari sisi perilaku konsumen dimana ada 2 needs yang ingin mereka penuhi (utilitarian dan hedonic), apakah konsumen juga harus melewati kelima proses tersebut secara berurutan atau bisa saja mereka tidak melewati, misalnya satu tahapan dari proses tersebut? Kembali ke masalah permen, bisalah kita mengatakan kalo permen berada pada posisi produk low involvement. Sekarang pertanyaan untuk produsen permen, apakah ada keinginan dari mereka untuk memindahkan posisi tersebut ke high involvement? Apakah ada keuntungan yang mendasar (mis. dilihat dari profit yang didapatkan) jikalau suatu produk berpindah posisi dari low ke high involvement?

Hani Susilo Handoyo
Sebagai proses, 5 stage in adoption menurut saya memang ya harus runtun, akan tetapi bila kita mampu meng create "sense of attachment" towards the brand melalui markomnya, proses tadi tidak lagi akan tampak berurutan. Ada beberapa hal yang membuat saya "percaya" dengan hal tersebut;
1. Jack Trout; what matters is actually what the customer perceived about the brand.
2. Alm. Gombloh; Bila Cinta sudah melekat ... tai kucing terasa coklat...:-)

Andi S. Boediman
Saya nggak ngerti soal permen nih, tapi ingin sedikit urun rembug nih. Saya pikir permen adalah jenis produk yg tidak perlu kita jelaskan lagi apa itu. Tapi untuk menciptakan satu attachment, kita bisa berangkat dari beberapa perspektif, yg digemari oleh orang advertising pake istilah consumer insight. Di sini kita tidak cuma berangkat dari produk, tetapi membaca pasar. Kopiko sukses dengan membangun kategori baru permen anti kantuk, dulu Xon-Ce dengan buat orang yg lagi perjalanan (meskipun bukan permen). Atau Mentos untuk para Freshmaker.

Kalo saya pikir kita nggak lagi menjual rasa atau permen kita lebih manis, asin, asam, dll, tapi misalnya permen ini adalah untuk self-indulgence, atau permen untuk orang pilek, atau permen buat pesta, atau macam-macam lagi. Yg penting mungkin bukan sekedar brand awareness (diingat atau diketahui), tapi juga bisa memberikan persepsi dan identitas.

Contoh kasus sederhana mungkin Dunkin Donut. Tiap kali kita berkunjung ke temen sakit, pasti yg dibawa Dunkin. Ini hebat nih, padahal mereka cuman nitipin di tiap sinetron untuk nenteng Dunkin kalo berkunjung ke temennya :)

Pandangan saya apakah suatu produk perlu berpindah posisi dari low ke high involvement, kelihatannya sih nggak perlu ya, karena ini nature dari productnya sendiri. Yg lebih perlu gimana bisa attach ke persepsi tertentu. Misalnya permen yg kalo dimakan bareng pacar asyik deh, sekaligus cocok buat French Kiss :), atau misalnya permen yg bisa menggantikan duit 50 perak Indonesia. Iya nih, kok nggak ada produsen permen yg bikin permen seharga 50 perak dan dibentuk aja kayak 50 perak :), terus dikasih brand 'Gocap!' Taglinenya: Gocap, pengganti duit go-cap! Ini kategorinya gedhe lho dan marketnya jelas! Don't listen to me, it's just a
crazy & wild idea :)

Thursday, September 19, 2002

One to One Marketing

posted at Marketing Club mailing list

Q: Nowadayz there is new paradigm of marketing, that is so-called 1-to-1 marketing. I got from the website but unfortunately i cant reach it up what is 1-to-1 marketing? you guyz any ideas???????


Andi S. Boediman
Yg memunculkan istilah ini adalah Don Peppers & Martha Rogers di buku One to one Future. Buku ini membahas bagaimana meningkatkan hubungan personal dengan klien melalui pemikiran untuk mendeferensiasi customer, tidak sekedar produk, memanage customer, memelihara privacy mereka dan mungkin yg sekarang ini lagi hot adalah konsep CRM (customer relationship management) melalui berbagai media interaktif (fax, telepon, komputer, dll).

Shin Bernard
Pada dasarnya 1-to-1 marketing bertujuan untuk meningkatan share of wallet dari pelanggan dengan melakukan penekanan pada pembinaan hubungan jangka panjang, maka yang diharapkan tidak hanya ada repeat order tetapi juga share dari perusahaan bisa meningkat. Ada beberapa aktivitas dalam 1-to-1 marketing ini:
1. Harus dapat mengidentifikasi profil-profil individu yang terlibat dalam keputusan pembelian. Sehingga kitapun bisa mengetahui dengan jelas apa saja kebutuhan dan nilai-nilai mereka.
2. Atas dasar informasi yang diatas maka kita dapat merancang upaya pemasaran agar produk/layanan yang ditawarkan mempunyai nilai yang tinggi dimata pembeli.
3. Kita perlu melakukan interaksi melalui dialog or sharing knowledge dengan pembeli atau calon pembeliagar dapat mengetahui inside information.
4. Informasi yang kita peroleh dapat kita gunakan untuk terus meningkatkan kemampuan untuk merancang produk/layanan yang customized.

And as the time goes by....tingkat ketergantungan pembeli akan semakin tinggi sehingga para pembeli akan semakin sulit berpindah ke penjual lain. Dalam istilah pemasaran biasanya disebut dengan customer lock in. Mengenai customer lock in, ada beberapa hal yang diperkirakan mampu menciptakan situasi customer lock-in, misalnya saja struktur harga, produk /jasa yang customized, aset kolateral perusahaan (mis: kepemilikan jaringan distribusi dan pemasaran, good staff, n brand image). Pada dasarnya brand dapat memperkuat upaya lock-in ketika produk serta fungsinya belum dikenal. Karena brand (atau lebih tepatnya saja merek) bisa memberikan jaminan untuk menghilangkan keraguan terhadap performansi produk dan mendorong terjadinya pembelian berikutnya.

Untuk membangun hubungan dan mencari informasi dari pelanggan , ya...salah satunya dengan CRM itu. Mengenai 1-to-1 marketing ini, lebih tepat diterapkan pada B2B selling or personel selling? or both? any opinions?

Monday, September 16, 2002

The Fall of Advertising discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

Andi S. Boediman
Yg saya lihat dari buku ini bukan sekedar PR dalam konteks sempit, tetapi merupakan kegiatan marketing dalam konteks lebih luas ketimbang penggunaan TV, print AD & radio. Mungkin source yg baik adalah buku Scientific Advertising yg ditulis Claude Hopkins. Kelihatannya ini buku Ad pertama yg ditulis di th 30-an. Di sini banyak sekali diungkapkan bagaimana advertising pada zaman itu punya tanggung jawab besar sekali. Ambil contoh: untuk memperkenalkan komponen kue (cotosuet -> kira-kira sebangsa margarin), ia membuat acara display roti terbesar di dunia yang diliput di media dan toko tersebut menjadi ngetop. Bargaining yg ia minta kepada toko adalah untuk membuat roti tersebut, toko akan mengorder cotosuet dalam jumlah cukup besar. Si pemilik toko tentu saja sangat puas dengan hasilnya. Hopkin menyebutkan bahwa advertising adalah SALES, tetapi ditujukan kepada banyak orang. Untuk menghasilkan sales, ia membuat event, membuat publikasi di media, dll. Advertising is about all of that, bukan sekedar dalam konteks sempit yg kita lihat hari ini. Yg disebut PR oleh Ries adalah mengcreate konsepnya, bukan sekedar sebagai penyelenggara event yg sudah dipikirkan klien atau menjadi sekedar pendesain iklan seperti advertising yg banyak
kita lihat saat ini.

Contoh lokal yang menurut saya sangat sukses adalah membangun brand Clear, di mana dikombinasikan advertising dan kegiatan pendukung seperti Clear Top Ten, acara di mal, dll. Ini adalah jenis kombinasi PR & advertising yg sangat bagus.

Sumardy
kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Andi S. Boediman
Advertising bermanfaat mengingatkan akan persepsi yang kira-kira sudah terbentuk di sebagian masyarakat, sebagai satu 'enhancer' yang dampaknya bisa lebih luas. Kredibilitasnya sendiri akan dikonfirmasi oleh orang-orang yang sudah mendapat benefit dari produknya. Saya saat ini menganut bahwa advertising adalah lebih ke 'selling'. Setiap pasang iklan, saya ukur bagaimana impactnya dan saya ukur dari respon langsung. Jika respon kurang, maka iklan tidak efektif. Tetapi saat menggunakan metoda PR (event, seminar, berbagai kegiatan), saya malah tidak mengharapkan direct impact. Impact saya ukur dalam kurun waktu at least sebulan ke atas. Di sini bisa terlihat adanya peningkatan grafik sales. Jadi dalam hal ini saya malah mengkorelasikan antara advertising & sales. That's my method and it's work. Saya tidak mengatakan bahwa cara yg saya lakukan tersebut bisa dimanfaatkan oleh semua orang, tapi at least dalam cukup banyak kasus ini berhasil.

Salah satu pendukung bahwa advertising should generate sales adalah Sergio Zyman - bekas CFO Coke yg disebut si Aya Cola (lihat The End of Marketing as We Know It). Ia merevolusi metoda pembayaran ke advertising di Madison Avenue untuk menggunakan model commission based. Perusahaan advertising mendapat komisi dari peningkatan sales, tapi jika ad tidak berhasil, maka mereka nggak dibayar :), tapi jika sales meningkat, they win....big time! Ia menarik iklan Coke yg meskipun recallnya tinggi tapi nggak generate sales.

Sumardy
Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!

Andi S. Boediman
Ries malah setuju hal ini. Ia membandingkan Advertising dengan Insurance. Advertising adalah insurance bagi company untuk memperbesar/mempertahankan market share, mind share dan sales yang sudah ada, bukan bikin dari yg nggak ada. Dalam hal ini, ia tidak membandingkan advertising harus menjual, tapi tanpa advertising, penjualan akan menurun.

Sumardy
Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. Siklus hidup pasar
4. Siklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Andi S. Boediman
Setuju banget. Saya lihat setiap kondisi yg unik menyumbangkan variabel di dalam marketing. Seperti halnya diskusi yg sudah terlontar di sini beberapa hari ini, senjata kita kan ada PR, ada permission, ada emotional/experiential, dll. Kita sebagai marketer tentu memilah sendiri senjata mana yg cocok saat kita berada di kondisi apa, market apa, siapa sasarannya.

Saya tertarik pada konsep kognitif, afektif dan behaviour yg pak Sumardy sampaikan. Tadinya saya nggak kepikir hal ini, tetapi begitu terlontar, saya kepikir istilah yang banyak dipake temen-temen advertising, yakni AIDDA (attention, interest, desire, decision, action). Kelihatannya ini hanya sampai kepada kognitif dan afektif, tidak sampai behaviour. Keberhasilan advertising merubah perilaku ini contohnya adalah: Keramas setiap hari, keramas/pake sabun sekali nggak cukup dan mesti 2 kali biar lebih bersih, minum air 3 liter sehari. Sebaliknya salah satu campaign yg paling banyak dapet award di Amrik adalah 'Got Milk' yg dikampanyekan oleh asosiasi penghasil susu akibat menurunnya tingkat konsumsi susu. Tetapi kreativitas ini tidak nampak pada sales susu yg tetap menurun, alias gagal.

Ini bisa juga ditautkan pada technology adoption life cycle yg disampaikan oleh Geoffrey Moore di Crossing the Chasm. Pernah di satu waktu PAKU adalah teknologi tinggi :). Di masa awal adopsi teknologi/produk, kita membutuhkan komunikasi yang kognitif dan lebih ke arah functional benefit, pada saat teknologi/produk sudah mature, komunikasi kita maju ke tahap image dan bisa ke arah behaviour, tetapi saat teknologi sudah sampai tahap down market, maka tak pelak kita hanya memanfaatkan after market yg terjadi (contoh: mesin ketik, software Wordstar yg saat ini masih aja ada yg pake & tetap dijual baik produk maupun trainingnya:). Asumsi yg sama saya ambil dengan diskusi mengenai low involvement & high involvement produk. Bukan masalah high/low untuk mengkomunikasi functional, image, dll, tetapi kepada cycle produk. What do you think?

Sumardy
jadi Intinya adalah jangan mencoba untuk melakukan generalisasi dan diskusi kita ini dapat menjadi sebuah pelajaran karena kalau kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, banyak sekali perusahaan yang senangnya ikut-ikutan alias imitasi strategi yang dilakukan oleh perusahaan lainnya regardless of its product characteristics and other factors.

Andi S. Boediman
Bener juga, kayaknya pelajaran advertising/marketing secara general cocok untuk orang yg baru ingin memahami konsepnya, tetapi begitu sampai pada tahap implementasi, perlu adanya kombinasi stretegi/taktik. Malah mungkin pendekatannya malah bukan theoritically correct, tapi try and error (ini saran dari Claude Hopkins & Sergio Zyman), jadi setiap usaha, kita evaluasi impactnya dan kemudian kita perbaiki strategi/taktiknya :). Terus menerus!

Sumardy
ini yang akhirnya menjadi bumerang (mungkin ini juga ada kaitannya dengan values masyarakat kita) yang terjebak dalam suatu arus menuju komoditas.

Andi S. Boediman
Dari sisi produk, ini ada untungnya karena advertising/marketing kerjanya nggak terlalu berat untuk mengedukasi publik dari sisi adopsi & benefit produk, tapi di lain pihak problemnya adalah margin yg kecil sehingga terpaksa kita mendeferensiasi produk kita melalui
ad/marketing.

Me too style ini kelihatannya bukan cuma monopoli orang kita, tapi widely adopted di Barat juga. Kan aji mumpung :)

The Fall of Advertising

posted at by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

Jujur saja, saya agak sedikit bertanya2 dalam hati mengenai buku Al Ries ini yang membandingkan antara PR dan advertising dan yang lebih penting lagi (ini yang banyak salah kaprah), kita selalu memperlihatkan iklan sebagai THE ONLY AND ULTIMATE WEAPON to win the market share. THAT'S CRAZY !!!!!

Makanya muncullah buku ini yang hanya membandingkan antara sales performance dengan advertising dan tentunya dengan Public Relation dan dengan asumsi yang lain ceteris paribus. COULD YOU IMAGINE THAT WAY OF THINKING ??!!!!

kalau kita mencoba membandingkan antara advertising dan sales, maka yakin deh, sampai dunia kiamat sekalipun kita tidak akan menemukan korelasi yang linier meskipun menggunakan teknik analisis yang paling canggih sekalipun. Korelasi dan regresinya hanya akan mencengangkan dunia persilatan :))

Kita sering lupa bahwa setiap bentuk periklanan memiliki tujuan khusus yang tidak semuanya bisa diarahkan untuk menghasilkan penjualan dan AKAN MENYESATKAN kalau membandingkan biaya periklanan dengan penjualan. FORGET ABOUT IT !!!1

Iklan hanyalah merupakan salah satu bagian dari integrated marketing communication dan marketing communication itu memiliki tujuan tersendiri pada tahap dan stage tersendiri. Konsumen dalam mengambil keputusan juga memiliki proses yang harus dilalui mulai dari
cognitif, affective sampai behaviour.

dan masing-masing ketiga tahapan tersebut juga memiliki subtahap lagi yang harus dilalui oleh setiap konsumen. dan iklan sendiri juga memiliki tujuan mau mencapai yang mana, menyasar cognitive, affective atau behavior ??

Kalau iklan yang dimunculkan untuk menyasar cognitive dan kita mengharapkan menghasilkan penjualan, maka IKLAN TIDAK EFEKTIF DAN MENYESATKAN KITA SEMUA !

karena cognitive itu baru menyangkut belief, setelah ada belief harus ada evaluasi terlebih dahulu terhadap berbagai merek dan itu terdapat dalam proses affective dan masih menmbutuhkan jalan panjang menuju perilaku membeli suatu merek. terus iklannya mau disasarkan kemana ??

AL RIes dalam bukunya (in my opinion) mencoba untuk melihat segala sesuatu secara sepotong-potong dan hanya mengaitkan antara iklan dgn penjualan dan brand equity serta antara PR dengan brand equity. Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa dengan PR saja maka segala sesuatu akan terselesaikan dan kita akan memiliki mighty brand in this
universe ???

Wow........ asumsi ceteris paribus yang lebih menghenyakkan dunia pemasaran dibandingkan asumsi ceteris paribus dari supply dan demand orang ekonom yang sudah mati ketinggalan jaman sehingga muncullah buku The Death of Economics. Kalau kita mengikuti pola pikir Al Ries, maka The Fall of Advertising sekali lagi akan banyak menyesatkan kita semua dan terjadilah The Death of Categorization and Ceteris Paribus Mind-set yang membuat kita lupa terhadap kompleksitas konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian merek.

Saya tidak totally 100% menyalahkan buku tersebut tetapi PR saya akui cukup penting di era over communicated society and over loaded communication tetapi tidak bisa digeneralisasi bahwa advertising sudah menurun peranannya dan PR akan menggila menjadi the ultimate weapon for building a brand. Semua tergantung konteks :
1. Siklus hidup konsumen
2. Siklus hidup produk
3. SIklus hidup pasar
4. SIklus hidup Industri
5. Perkembangan maro enviroment especially technology

Simplifikasi permasalahan sering membuat kita gagal dalam meluncurkan strategi karena hanya melihat konsumen sebagai individu yang dicerminkan oleh cara berpikir kita sebagai produsen dibandingkan cara berpikir orang lain sebaga konsumen.

correct me if I am wrong

Any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Friday, September 13, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana? - discussion

posted at Marketing Club mailing list

Sumardy
Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Andi S. Boediman
Yap, ini yg dari dulu disebut USP (unique selling proposition). Saya pikir teknik dan media komunikasi saat ini sangat beragam untuk menunjukkan bahwa suatu produk bukanlah komoditi. Dari sisi metode, saat semua nggak ngiklan, kita ngiklan, saat semua bikin iklan produk, kita bikin iklan image, saat semua bilang experiential, kita pake PR, dll. Dari sisi positioning dan segmentasi, kita pisahkan produk berdasarkan psikografi konsumen.

Sumardy
Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Andi S. Boediman
Saya juga melihat demikian, bahwa yg menentukan strategi pendekatan sebenarnya lebih bersifat bottom-up, lebih tactical ketimbang strategic, misalnya yg high involvement kita pake jurus emotional, yg low involvement, kita pake jurus 'catch phrases'.

Sumardy
Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for consumers' fun only !!!

Andi S. Boediman
Ini udah kejadian nih, penggunaan character yg overshadow the product, contoh di Amrik, Bunny Energizer (or Duracell...people tend to think), Chihuahua Taco Bell. Di Indo ada Joshua yg di masa jayanya mengendorse lebih dari 10 produk. Di sini iklannya bikin ngetop characternya, bukan produknya :) nah lho!

Sumardy
yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk permen

Andi S. Boediman
Saya pikir ini tergantung studi market terhadap konsumen. Di dalam misalnya pembelanjaan mie instan, susu bayi atau produk yg masuk dalam kategori 'direncanakan' untuk dibeli, kita tidak perlu mengandalkan in-store promotion yg gencar, kecuali produk tersebut bersaing sebagai komoditi atau brand lain mempromosikan secara gencar. Tetapi di dalam produk yg low involvement dan 'tidak masuk direncanakan' saat pembelian seperti permen, ice cream, maka pembelian mengandalkan 'impulse buying' di mana in-store promotion memainkan peran sangat penting di mana seorang pelanggan menjadi tertarik akibat adanya 'free-tasting', prominent display, hanging mobile, branding yg kuat, dll.

Sumardy
Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

Andi S. Boediman
Setuju, tapi studi-studi yg dilakukan oleh banyak pakar marketing menurut saya lebih kepada 'koleksi jurus'. Sebagai marketer, kita tidak harus mengeluarkan semua jurus, kali ini pake permission marketing, kali lain/produk lain pake emotional branding, dll, tergantung musuhnya :), yakni consumer perception.

A Mild

Sebagai suatu ide positioning, saya pikir A-mild sukses saat campaign How Low Can You Go! Ini well done, yg mampu menciptakan suatu kategori baru di pasar rokok. Begitu pula dengan Sampurna Ijo, di mana riset consumer insight mampu menyegarkan brand yg tadinya kurang dikenal menohok di tempat ketiga produk rokok. Tetapi menurut saya pribadi, komunikasi A-mild kehilangan jati diri sejak berubah menjadi Bukan Basa-basi, kembali Ok waktu campaign Others Can Only Follow (menunjukkan kemampuan sebagai market leader dan mempertahankan posisi sebagai yg pertama -> lihat Marketing Warfare Al Ries). Dengan campaign yang terakhir ini, saya tidak melihat signifikasi dari komunikasi tersebut. Mereka nggak ngasih reason to buy the product dan saya agak skeptis dengan kesuksesannya, mungkin hanya bisa mempertahankan posisi karena kuatnya budget advertising, tapi tidak memberikan edukasi kepada konsumen dan meningkatkan sales.

Coba refer ke buku Al Ries terbaru: The Fall of Advertising & The Rise of PR, di sini ia menunjukkan bahwa advertising adalah defensif untuk MEMPERTAHANKAN BRAND dan kredibilitasnya sangat rendah, sedang komunikasi melalui kegiatan PR memiliki kemampuan MEMBANGUN BRAND. Konsep peremajaan brand, brand personality, brand value, dll, is good, tapi tanpa 'result' yg dihasilkan oleh sales adalah sia-sia. Saya ngobrol dengan seorang temen saya Brand Manager di Unilever pun tetap memiliki tolok ukur DOES IT MAKE SALES?

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Wednesday, September 11, 2002

Komunikasi Pemasaran mau dibawa ke mana?

posted by Sumardy at Marketing Club mailing list

Salam Marketer,

Berkaitan dengan diskusi kita mengenai fluoride pada permen dan dihubungkan dengan informasi yang didapat dan diberikan kepada konsumen pada tulisan saya sebelumnya, maka sebenarnya terdapat satu topik yang juga cukup menarik yang masih memiliki kaitan dengan informasi dan juga tingkat perkembangan konsumen.

Kalau kita lihat perkembangan akhir-akhir ini terutama dari segi komunikasi pemasaran, maka kita menemukan fenomena yang cukup menarik dan menjadi trend saat ini. ditengah persaingan peluncuran produk dan merek baru yang tidak terbatasi, sekarang ini muncul jargon yang namanya emotional brand atau experiential marketing and something like that yang pada intinya menekankan pada keunggulan di segi emotional benefit dan tidak hanya functional benefit lagi.

Pendapat seperti ini dimunculkan dengan asumsi bahwa functional benefit merupakan minimum requirements to enter a certain industry sehingga semua perusahaan berbondong-bondong bersaing di segi emotional benefit dengan memberikan emotional experiences yang bisa mengingat konsumen, perlombaan seperti itu tentu saja memunculkan tanda tanya tersendiri juga, apakah semua produk dapat menggunakan konsep seperti itu dan yang lebih penting lagi adalah dengan semakin banyak orang yang bersaing di segi emotional, bukankah itu akan kembali menciptakan apa yang disebut dengan commodity trap karena semua orang bersaing pada segi yang sama dan membentuk satu kerumunan, terus mereka berbedanya dimana ???

Mereka berusaha selalu tampil lebih baik dan tidak berusaha untuk tampil beda meskipun yang ditawarkan lebih baik tersebut adalah emotional and experiences, tetapi in fact it leads to a crowded emotional-community, doesn't it ??

Yang sering dilupakan oleh para pemasar dan ini terbukti kalau kita melihat marketing campaign yang mereka lakukan adalah mereka tidak pernah berpikir sebenarnya produk mereka termasuk kategori apa dari segi sudut pandang konsumen dan inilah yang membuat banyak merek jatuh karena cuma ikut-ikutan tok tanpa adanya strategic thinking
behind the actions.

Kalau kita melihat dari sudut pandang konsumen, maka ada dua needs yang mereka ingin penuhi
1. Utilitarian needs yaitu yang berkaitan dengan functional benefit dari suatu produk
2. Hedonic needs yaitu yang berkaitan dengan emotional benefit berupa dreams and fantasy beyond the features of the products.

saya percaya semua decision makers mengerti mengenai perbedaan ini, tetapi bagaimana pengaruhnya ke strategy ?

dalam menghasilkan sebuah iklan (saya memfokuskan pada marketing campaign khususnya above the line saja), perusahaan yang berusaha menghasilkan ikatan emotional berusaha menonjolkan sosok, endorser or whatever yang bisa menyentuh sisi emosional kita, tapi pernahkah dipikirkan after the campaign what the consumers' have in mind?

Perusahaan seringkali tidak bisa membedakan antara figure dengan ground dalam suatu iklan.
1. Figure merupakan sosok ataupun "jualan" utama yang ingin kita tampilkan ke konsumen dan menjadi the ultiimate weapon perusahaan dan itu bisa dalam bentuk logo, spokeperson, trademark, brand etc.
2. Ground merupakan "pernik-pernik" tambahan yang digunakan untuk "melengkapi" sosok figure sehingga menghasilkan sebuah konsep periklanan yang lebih hidup dan secara teori ground yang ditampilkan untuk menghidupi figure TIDAK BOLEH menutupi peran dan fungsi figure .

Masalah yang sering terjadi adalah ground yang ditampilkan terlalu dominan dan mencolok sehingga ground tersebut justru berubah menjadi figure dan figure justru menjadi ground. kalau yang terjadi seperti ini, maka celakalah perusahaan tersebut. Wasting money just for
consumers' fun only !!!

Dan kesalahan ini justru sering dilakukan oleh perusahaan yang produknya dapat dikategorikan sebagai high-involvement products yang sebenarnya tidak membutuhkan emotional campaign dan in fact ITU TERJADI DI INDONESIA.

yang seharusnya menonjolkan ground yang lebih exciting adalah produk-produk dengan kategori low-involvement dengan repetitive advertising karena tujuannya memang membombardir otak konsumen sehingga akan membantu dan melengkapi in-store stimuli pada in-store decision making contohnya produk perman (gimana bung Dodi?)

Jadi boleh saja ikut-ikutan trend dengan emotional branding atau experiential marketing, tetapi ingatlah marketing not just merely trend ataupun perkembangan jaman, tetapi itu lebih merupakan capabilities-consumers fit !!!

any other opinions ???

Salam Marketer

Sumardy

Ideavirus



Sedikit oleh-oleh buat yang menyukai high tech marketing. Salah satu favorit saya adalah Seth Godin (Permission Marketing, Unleashing the Ideavirus & Survival is not Enough). Dia pingin membuktikan konsep ideavirusnya dengan ngasih file pdf bukunya sendiri secara gratis di www.ideavirus.com

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Sunday, May 19, 2002

Ide Buat Brand Revitalization


Q: Ada yang pernah denger Brand Revitalization(Meningkatkan brand yang loyo)

kan, Nah saya butuh tuker pikiran nih soal yang satu ini. Bagaimana suatu brand yang sudah usang tetapi ingin mengembalikan vitalitasnya beberapa tahun yang lalu. Jadi ceritanya nih ada brand tahun 80an yang sedang berjaya, tapi karena ketidakpekaan perkembangan brand, maka competitor dapat mencuri posisi tersebut. Dan keadaannya makin hari makin turun. Sebelum terlambat harus ada usaha mengembalikan posisi brand itu kembali.

Nah gimana tuh, apa harus ganti nama, apa harus bertahan pake brand name yang lama, melihat masih ada sisa kejayaan masa lalu, atau pake cara/ metode yang gimana?

A: Ada banyak cara untuk melakukan brand revitalization. Mungkin bisa dengan melakukan repositioning, di mana service/produk diberikan satu posisi baru di benak target market. Contoh kasus: Garuda, dari yang kurang terpercaya menjadi, kini lebih baik. Cara lain bisa dengan menggunakan nama baru dengan asosiasi baru. Cara lain lagi bisa dengan melakukan co-branding, digandengkan dengan brand besar yang sudah punya posisi dan didefinisikan
kembali.

Ini adalah strategi, bukan mana yang lebih baik. Jika dipilih strategi manapun, harus konsisten dan sinergi dengan kegiatan marketing communication.
______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

Friday, March 08, 2002

Mengapa Propaganda Digital Studio?

posted at Designcampur mailing list

Q: Kabar angin katanya ada "propaganda"..tapi tau deh kebenarannya. tapi effort event ini bagus karena belum ada yang berani selain dari Digital Studio, tapi ada embel-embel kursus jadinya kurang netral gitu..he..he..he.. (maklum tempat kerja saya kompetitornya DS.hua..ha..ha..ha..ha..)

A: Ini mah bukan kabar angin, tapi kabar topan. Kenyataannya emang bener bahwa Digital Studio pasti diikutin dalam tiap event dong. Ini adalah proses dari brand building dari Digital Studio. Digital Studio=computer graphic. Dan kenyataannya kita tidak hanya melakukan ini saja. Kita melakukan 360 derajat branding, mulai dari iklan, kegiatan PR, emotional branding, buzzword marketing, peluncuran produk baru, peningkatan layanan customer service dan
masih banyak lagi.

Jadi bagi yang nanya apa sih tugas advertising, ya ini jawabannya, KOMUNIKASI baik dari sisi above maupun below. Sayangnya banyak perusahaan Ad yang hanya mengandalkan TV, radio dan print ad aja. Nggak ada terobosan media, under the radar communication, account planning yang baik. Ini juga yang membedakan antara perusahaan adv asal bentuk dengan yang udah pro. Kuncinya bukan di output desain, tapi pada strategi komunikasi, strategi kreatif dan eksekusinya.

Saya pernah ditanya kok sekarang Digital Studio lebih komersial ketimbang dulu, di mana saya sering diundang oleh banyak pihak tanpa dibayar (ini dengan suka rela lho).

Saya ngeliatnya gini, dulu waktu saya sering sharing dan ngajar di beberapa sekolah (UPH, LaSalle, diundang juga ke Trisakti untuk ngedevelop kurikulum lab computer graphic), problem utamanya adalah sulit sekali untuk mendapat dukungan dari berbagai kalangan untuk sadar bahwa kurikulum sekolah seharusnya serupa dengan pekerjaan di lapangan. Sekolah biasanya mempunyai prosedur yang amat birokratis.

Sebaliknya, saya hanya bisa mengajar di kalangan tertentu saja seperti Grup Gramedia, Sinar Mas, Tempo, dll (pasar high end) dan mendapat kompensasi yang cukup baik. Kompensasi ini tentu saja bermanfaat bagi saya untuk tetap bisa berinvestasi terhadap ilmu-ilmu baru baik melalui buku ataupun workshop yang saya ikuti di luar negeri yang ujung-ujungnya bisa lagi dibagikan ke rekan-rekan.

Jika Digital Studio dibangun dengan kacamata dan kekuatan satu orang saja, benefit yang saya bisa bagikan kepada industri hanyalah berimpact hanya pada maksimal mungkin 100 orang setahun. Padahal saya melihat industri kita jauh tertinggal. Dengan membangun pendidikan yang baik, ini impactnya dirasakan oleh banyak banget orang. Di th 2000 kemaren, kita mencatat 750 orang dan di tahun 2001 menjadi 800 orang. Bahkan dengan adanya Digital Studio, muncul banyak rekan-rekan lain yang akhirnya melihat potensi dunia computer graphic dan membuka pendidikan yang serupa dengan yang ditawarkan oleh DS. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja publik. Dengan adanya kompetisi kualitas, harga dan persaingan yang sehat, masyarakat menjadi lebih terbuka wawasannya. Let public be the judge dan memilih yang terbaik.

Mungkin bisa kita lihat, bahwa keberadaan DS sejak th 2000 membuat adanya gairah di dunia computer graphic, muncul komunitas, workshop, seminar, perusahaan tandingan, dll. Bukannya ini yang kita tunggu-tunggu bersama sejak dulu? Terciptanya industri?

Kalo boleh jujur, th 1999 kemaren saya udah males balik ke Indo karena saya lihat perkembangan di Amrik saat itu sangat luar biasa. Tetapi berkat masukan dari rekan-rekan saya di sana, juga rekan-rekan saya di Indo mengingatkan bahwa sudah sepantasnya saya menyumbangkan apa yang saya tahu ke dunia akademis. Tujuannya adalah memberikan wacana dan dobrakan baru. Bahkan saya lihat Trisakti pun kini sudah mulai berbenah dan merancang kurikulum baru bagi para siswanya. IKJ membuka jurusan animasi. Muncul sekolah-sekolah baru di dunia computer graphic. Bahkan hingga saat ini, saya tetap membantu temen-temen di LaSalle College untuk penjurian lomba desain mereka. Ini apa untungnya buat saya? Sebaliknya, saya berpikir bahwa jika tujuannya sama, mestinya dibangun sinergi.

Mungkin aja satu hari nanti, saya melihat bahwa sumbangan saya udah cukup, saya akan mundur lagi dari dunia pendidikan dan bisa jadi artis lagi. Bisa jadi jika Digital Studio sudah memenuhi misinya, kita nggak lagi berkecimpung di dunia computer graphic. Siapa tahu!?

Hingga saat ini, cukup banyak kritik terhadap Digital Studio dan saya pribadi, apakah itu dari segi maksud dan tujuan, layanan, kualitas, dll. Saya melihatnya dari sudut yang positif, bahwa rekan-rekan yang memberikan kritik ini 'care' thd DS dan ini memacu tim DS untuk bekerja lebih baik lagi mendeliver apa yang diharapkan komunitas computer graphic. Kita jauh dari sempurna dan perlu dikritik terus untuk memberikan apa yang terbaik.

Secara personal, saya suka dengan kompetisi, kayak balapan lari, gimana kita ngukur kecepatan dan kehebatan lari jika nggak ada yang diajak lari bareng.

Satu lagi soal marketing dan profit. Bangsa kita ini kelihatannya takut sekali dengan embel-embel 'profit'. Kalo bisa semuanya non profit, nggak dibayar, saling sharing secara gratis. Pengalaman saya begini, cukup banyak temen atau generasi muda yang datang ke saya untuk bertanya dan belajar. Sayangnya dari waktu yang saya alokasikan, komitmen, semuanya seringkali dianggap nggak ada harganya dengan nggak muncul saat seharusnya muncul, telat, dll. Malah ketika usaha yang sama saya berikan harga, mereka bisa menghargainya dengan datang tepat waktu dan mengapresiasi ilmu yang saya berikan dengan antusias.

Model gotong royong inipun muncul saat kita sekolah dulu. Murid yang pintar mungkin tidak disukai karena 'mereka pintar, belajar dengan keras'. Maunya ilmunya dicontekin aja ke kita pas ulangan. Bahkan diajak belajar barengan sebelumnya pun mungkin kita males. Akhirnya kita nggak punya keunggulan bersaing saat bekerja atau ketakutan saat ada pesaing dari luar negeri masuk.

Nggak ada yang namanya kita dikasih duit dulu baru mulai bekerja. Yang ada hanya bekerja dulu (atau kita membayar dulu), baru nanti mendapat hasilnya. Begitu pula dengan ilmu dan keuangan, yang ada selalu kita berinvestasi dulu baru nanti mendapat benefit belakangan.

Pendapat saya bahwa kita seharusnya merangkul komersialisme, bukan dari sisi negatif. Bukan kita diperbudak olehnya. Uang tidak pernah boleh menjadi tujuan. Yang benar adalah kita punya tujuan, yang dari mana kita akan memperoleh uang sebagai suatu reward.

Contoh kasus Bill Gates dan Ted Turner (boss CNN), saat mereka berdua menjadi amat kaya dari bisnis, mereka malah bisa nyumbang sekian milyar dollar untuk amal. Duit semua lho itu! Saya mau nanya nih, apakah orang mendapat benefit saat mereka berdua miskin atau saat mereka berdua kaya? Apakah orang yang mengkritik mereka berdua bisa nyumbang secuil aja dari nilai yang sudah disumbangkan tsb.

Dunia marketing Indonesia punya Hermawan Kertajaya, di mana mereka punya acara bulanan untuk membahas buku baru, sharing dari rekan marketer dan saling berkenalan. Mereka perlu membayar 2-4 juta untuk ikut acara sepanjang tahun. Apakah ini mahal? Ternyata yang ikut bilang, wah ini murah banget. Kita dapet network dan dapet ilmu. Sekarang mereka mendapat keuntungan bersaing dengan kemampuan yang lebih baik. Mereka puas karena berkonsentrasi
pada APA YANG MEREKA DAPATKAN, bukan pada APA YANG ORANG LAIN DAPATKAN. Dan mereka berkonsentrasi pada APA YANG BISA MEREKA HASILKAN, bukan APA YANG SUDAH MEREKA HABISKAN.

Kita cenderung takut untuk memberi harga pada diri sendiri. Ingat, penghargaan tidak datang dari orang lain, kita harus percaya dan menghargai diri sendiri dulu baru kita bisa dihargai oleh orang lain apalagi oleh bangsa lain.

Andi
Digital Studio

Thursday, February 21, 2002

Body Shop

Pada awalnya, Anita Roddik sebagai pendiri Body Shop memang punya semangat alternatif, di mana ia mendukung penggunaan kosmetika dari nature, menolak eksperimen terhadap binatang. Dalam waktu beberapa tahun, pandangan dan sikap ini menjadi suatu corporate culture yang mendatangkan publisitas (bukan iklan) yang luar biasa dari media. Ini adalah satu keuntungan besar, karena dari sisi publikasi, sorotan positif dilakukan oleh pihak ketiga,
bukan pihak yang ingin berjualan.

Di sepanjang perjalanannya, isyu ini tetap menjadi campaign besar dan mereka beriklan secara rutin dengan konsep tersebut. Iklan sebenarnya juga merupakan suatu tuntutan, karena sorotan media (publisitas) tidak lagi sebesar di awal.

Oleh karena itu pula banyak perusahaan belakangan ini memilih berkomunikasi melalui kegiatan PR yang diharapkan akan mendatangkan sorotan positif ketimbang iklan yang kadang dianggap kurang jujur.

Referensi lain yang menggunakans strategi komunikasi serupa atau bahkan lebih ekstrim adalah Benetton, bahkan mereka mengeluarkan majalah Color yang mengajak masyarakat aware terhadap isyu-isyu regional dan global yang berhubungan dengan kemanuasiaan.

Andi
Digital Studio

Kampanye Rokok & Tipping Point

posted at Kritik Iklan mailing list

Ada ulasan yang amat menarik tentang rokok ini di buku Tipping Point (yang saya rekomendasikan untuk dibaca para praktisi periklanan, politisi, pendeta, dan semua orang :). Tentu bukan masalah rokoknya, tapi bagaimana kita mempelajari anatomy menciptakan trend dan word of mouth yang bisa memberikan impact pada society.

Rokok menjadi menarik dan susah dilepaskan bagi orang yang menggunakannya adalah:
  • Rule of Few dan Contagious.
    Merokok nggak keren, tapi yang ngerokok itu keren, sehingga dari hasil survey pada awalnya semua orang yang merokok akibat melihat tokoh panutannya merokok. Rule of Few adalah orang-orang keren tersebut akhirnya membawa dampak menularkan kepada orang di sekelilingnya (contagious).
  • Konsep Stickiness.
    Pada sebagian orang, rokok hanyalah digunakan sesekali, tapi bagi yang lain merupakan kebutuhan. Ini diakibatkan oleh adanya zat tertentu di dalam rokok. Pada sebagian orang, mereka tidak membutuhkan zat tersebut, sehingga mereka tidak merasakan nikmatnya. Pada sebagian orang yang butuh secara rutin akan mengakibatkan ketagihan sehingga susah berhenti. Salah satu solusi pada masalah kedua ini adalah dengan menggunakan plester rokok yang menginjeksi tubuh dengan kebutuhan zat secara rutin.
  • Konsep Environmental.
    Ini adalah masyarakat di mana kebiasaan tersebut diterima atau tidak. Di masyarakat yang memang menerima, sudah pasti tingkat penggunaan tinggi.

Jadi bukan sekedar dilihat dari sudut pandang iklan tentunya. Iklan saya lihat lebih kepada faktor pertama.

Andi
Digital Studio