Sunday, December 20, 2009

Insightful Lunch with Hermawan Kartajaya: New Wave + Marketing 3.0

Dear Bloggers, MarkPlus dan Hermawan Kartajaya mengundang rekan-rekan media untuk menghadiri; “Appreciation Lunch”, demikian bunyi undangan yang saya terima.

Tulisan-tulisan saya tentang media sosial ternyata membuka diskusi dengan icon marketing Indonesia – Hermawan Kartajaya. Tentu kesempatan menarik, sekaligus bertemu dengan rekan-rekan blogger seperti Pitra Satvika, Leonita Julian, pasangan blogger Aulia Halimatussadiah (Ollie) & Anang Pradipta. Juga beberapa teman baru seperti Mada Azhari, Ilman Akbar dan Hendry Gunawan.

Selain blogger, hadir pula beberapa media seperti Smart FM, Seputar Indonesia, Kompas.com, Infobank.

Beberapa rekan blogger ini menjadi community leader dari situs Marketeers.com, komunitas marketing Markplus. Mengutip dari 12 C of New Wave Marketing, ini adalah langkah konkrit dari Communitization, atau pembentukan komunitas agar user bisa saling berkomunikasi melalui platform yang difasilitasi oleh Markplus.

Yang menarik dari kegiatan ini adalah diskusi yang terlontar dari peserta yang hadir. Partisipasi menarik dari para pelaku marketing, pengamatan para blogger dan juga kontribusi dari rekan-rekan media. Hermawan mengajak semua yang hadir untuk melakukan Co-creation atas isyu New Wave Marketing dan Marketing 3.0.


Youth, Woman & Netizen

3 aspek yang menjadi perhatian Hermawan adalah Youth, Woman dan Netizen. Ketiganya akan mendapat konsentrasi khusus di tahun 2010 melalui kegiatan conference. Youth untuk merebut heart share, woman untuk merebut market share dan netizen untuk membentuk opini publik.

Youth adalah mereka yang membuat perubahan dan melihat masa depan. Pengalaman saya di dalam acara Youth Engagement Summit 2009 melalui kampanye South East Asia Change memperlihatkan kontribusi anak muda untuk memberikan suara dan membuat perubahan. Hanya dalam hitungan 6 minggu, terkumpul suara dari 150 ribu anak muda di seantero Asia Pasifik. Suara mereka bukan sekedar untuk didengar, tetapi mereka membuat perubahan di sekelilingnya. Youth adalah penentu pasar masa depan. Mereka bukan lagi generasi yang tergantung pada orang tuanya. Malah saat ini orang tua yang mengikuti tren anak-anaknya, seperti halnya penggunaan Blackberry dan iPod.

Women, adalah mahluk yang multitasking dan punya peran ganda. Ketika mereka bekerja, mereka memikirkan anaknya. Ketika sedang berbelanja, mereka memikirkan anak, suami dan orang-orang terdekatnya.

Netizen adalah mereka yang menjadi opinion leader. Kemenangan di online akan memastikan produk/jasa mendapat review positif dan menjadi pilihan pelanggan. Dalam hal ini perlu kepiawaian marketer untuk mampu mengintegrasikan media online dan offline.

Studi kasus dari Sarah Aprilia, karakter semu yang menjadi ambassadar produk Bask adalah contohnya. Hype di dunia maya ternyata tidak diikuti usaha terintegrasi marketing offline sehingga kehilangan taringnya. Kebalikan dari kampanye digital Axe di mana saya terlibat sebagai Strategic Planner bersama dengan Bubu.com dan BBH. Pemahaman insight bahwa keinginan anak muda adalah untuk punya kesempatan berkenalan dengan cewek idaman diterjemahkan menjadi kampanye Call Me, di mana hype diciptakan melalui kegiatan WAAXE (Woman Against Axe Effect), kegiatan online dipadu dengan demo di bundaran HI. Kampanye ini dilanjutkan dengan peluncuran produk dan iklan televisi yang semua berbicara dalam koridor komunikasi sama. Berwujud pada naiknya penjualan produk secara signifikan.


Ubud: Spiritual Marketing in Action

Ubud adalah kisah sukses marketing yang sesungguhnya. Proses menciptakan tempat yang begitu indah, berawal dari kultur yang terbuka, dan melalui ambassador yang tepat, maka budaya yang demikian unik menjadi bagian dari tujuan wisata dunia.

Raja Ubud, Cokorda Gede Agung Sukawati kala itu, mengundang para artis seperti Antonio Blanco dan Walter Spies. Walter Spies menemukan tempat impiannya di Ubud dan menetap hingga menjelang kematiannya. Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal dan sangat terpengaruh oleh estetika seni Bali. Ia mengembangkan gaya lukisan Bali yang bercorak dekoratif. Dalam seni tari ia juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, memoles sendratari yang sekarang sangat populer di Bali, Kecak.

Begitu pula halnya dengan Antonio Blanco. Ia membangun sebuah rumah tinggal di Ubud yang menjadi tempat istirahat dan rumah bagi karya-karyanya yang demikian unik.

Artis-artis inilah yang pertama kali menarik perhatian tokoh-tokoh kesenian Eropa terhadap Bali. Mereka memiliki jaringan perkenalan yang luas dan mencakup orang-orang kenamaan di Eropa. Sejumlah temannya banyak diundangnya ke Bali dan membawa cerita menarik sehingga Bali kini menjadi bagian dari budaya dunia.

Gagasan serupa saya lakukan ketika membuat konsep FGDexpo2007. Mimpi saya adalah melihat bahwa desain Indonesia menjadi bagian dari budaya dunia. Dengan menghadirkan tokoh-tokoh desain dunia ke Indonesia, saya berharap dua hal, kita bisa belajar dari mereka dan mereka akan menjadi ambassador Indonesia. Mimpi saya menjadi kenyataan bahwa Stefan Sagmeister memutuskan untuk tinggal selama setahun di Ubud. Ia mengajak desainer Indonesia untuk menjadi apprentice, mempelajari budaya Bali dan menerjemahkannya di dalam karya desainnya. Dan yang terpenting adalah membicarakan pengalamannya ini di forum TED (technology, entertainment, design)–tempat berkumpulnya para influencer dunia.

Esensi dari Marketing 3.0 adalah ketika pemasaran tidak lagi berpura-pura, tetapi mengekspresikan apa nilai sesungguhnya dari suatu produk. Ubud adalah tempat yang memiliki inner value luar biasa, tempat berpadunya hubungan antara Tuhan, manusia dan masyarakat. Ini yang menyebabkan Ubud memiliki esensi luar biasa, karakter yang unik dan tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Anxiety & Desire: the Drive of Insight

Pemahaman aktivitas marketing tidak akan lengkap tanpa pemahaman akan sifat dasar manusia. Perjalanan memahami insight ini saya dapatkan ketika bekerja sama dengan Walls – Unilever. Rekan dekat saya, Tommy Wattimena, kini menjabat sebagai Brand Director Walls dan menangani bisnis ice cream global dari Walls yang selalu menjadi teman bicara paling seru.

Ketika saya merancang kemasan Walls, berujung pada diskusi pemahaman insight atas kebutuhan anak. Ketakutan anak terbesar adalah jauh dari orang tua, sehingga kisah petualangan Paddle Pop adalah terjemahan dari anak yang mengeksplorasi dunia baru di mana pada akhirnya akan kembali ke rumahnya. Dengan menerjemahkan kebutuhan anak ini menjadi film, Walls berhasil membuat revolusi pemasaran dengan membuat advertising sebagai content. Film Pyrata dengan Paddle Pop sebagai karakter hero membawa daya tarik luar biasa bagi anak-anak untuk datang dan menontonnya. Di sini brand story berubah menjadi kesempatan engagament dengan pelanggan.



Kebutuhan remaja tentunya berbeda. Dengan memahami keinginan anak muda untuk kenal dengan lawan jenisnya membawa pemahaman insight dan diterjemahkan ke dalam kampanye Axe Call Me. Di sini Axe membuka kesempatan bagi cowok untuk berkenalan dengan cewek melalui Conversation, satu lagi aspek New Wave Marketing. Salah satu mobile game yang diciptakan untuk memulai conversation adalah Axe-O-Meter, di mana dengan menekan tombol handphone, akan berbunyi ketika diarahkan ke cewek yang ingin kita ajak berkenalan. Ini akan memicu perbincangan awal. Pas dengan insight cowok yang ingin berkenalan dengan cewek.

Pada akhirnya, pemahaman akan ketakutan dan keinginan dasar manusia menjadi modal dasar untuk berkomunikasi. Ini adalah basis dari insight. Give them what they want and they will give you want you want. Facilitate the human insight and people will relate with the brand.

Undangan makan siang yang benar-benar tidak sia-sia. Insightful yet enjoyable!

Read the blog in English. Please leave comments on Ideonomics.com. Follow me on Twitter @andisboediman.

No comments:

Post a Comment