Friday, July 05, 2002

Dekonstruksi Kurikulum DKV

posted at Creative Circle Indonesia mailing list

Q: OK langsung aja.....saya nggak banyak ngerti soal art karena saya nggak pernah sekolah art.... walaupun di jurusan saya, saya dapet sekian puluh sks mata kuliah yang berhubungan dengan art. makanya saya nggak pede untuk bicara art, bicara sejarah, typografi, dll.....

A: Bagi yang melakukan studi advertising, pemahaman tentang sejarah dan tipografi tetap penting, meksipun porsinya tidak perlu sedalam di graphic design.

Q: saya lulusan UGM jurusan advetising (baru ada D3 se indonesia, S1 nya belum dilahirkan sampe sekarang) saya melihat di mail-mail terdahulu yang membahas tentang kurikulum ada beberapa hal yang sering saya temui juga di kantor saya..... yaitu gap yang kuat antara jurusan komunikasi dan turunannya (advertising, broadcasting, PR) dengan design grafis dan keluarganya.....

A: Memang demikian adanya. Cukup banyak orang advertising berlatar belakang marketing. Orang graphic desain lebih banyak berbicara branding. Tetapi menurut pendapat saya, keduanya akan bermuara sama yakni marketing communication. Level ini kelihatannya masih sulit untuk dijangkau oleh pendidikan sekolah. Di sini yang diperlukan adalah pemahaman advertising, marketing, sedikit sales, PR, dlsb.

Saya melihat jabatan art director di advertising dan graphic design punya tanggung jawab berbeda. Di graphic design, AD dituntut kepada attention to detail, punya wawasan luas di sisi desain, komposisi, tipografi, warna. Tetapi di advertising, mereka lebih memerlukan pemahaman konsep, latar belakang produk, konsumen, target market dan mereka tidak terlalu dituntut melakukan eksekusi secara mendetail. Merupakan job departemen produksi atau computer graphic untuk detailnya. Hasil yang berbeda ini tentu saja memerlukan pendidikan yang berbeda.

Jurusan komunikasi visual di Indonesia memang dibuat 'besar' bukan sekedar karena kita tidak tahu bedanya advertising, graphic design, computer graphic, animation, dll. Salah satu penyebab utamanya adalah pelajar kita pun memilih bidang studi bukan karena mereka ingin menjadi praktisi di bidang tersebut, tetapi karena jurusan tersebut 'sekarang lagi diminati' atau 'temen saya pada ngambil itu'. Ini bisa dibuktikan bahwa output dari jurusan komunikasi visual mungkin hanya separuhnya aja yang terjun ke industri komunikasi visual. Sisanya melakukan studi lanjut, terjun ke bidang yang nggak nyambung, dll.

Sekali lagi, ini tugas kita sebagai praktisi untuk 'memberitahu' generasi muda perbedaan bidang yang bisa diterjuni. Melalui kunjungan Creative Circle ke sekolah misalnya, itu memberikan wawasan tentang bidang apa yang bisa diterjuni. Malah tugas ini tidak cuman dilakukan untuk tingkat universitas saja, tetapi seharusnya hingga ke tingkatan SMA/SMK. Mereka seharusnya sudah menentukan jalan hidupnya saat memilih fakultas atau jurusan di universitas atau diploma. Bukan setelah lulus universitas baru mikir 'saya mau kerja apa'

Q: saya pernah baca kutipan omongan david ogilvy (kalo nggak salah sih dia yang ngomong) sebuah teori yang berbunyi "it's not creative unless it sells" jadi advertising menurut saya adalah bisnis komunikasi.... bukan sekedar bisnis teknologi (dalam arti jago-jagoan software) walaupun kalo bisa jago software juga lebih kompletlah.... (soalnya saya juga ngarang buku photoshop.... he..he..) bisnis ini juga bukan sekedar seni.... baik seni murni atau seni yang lainnya.... (bener kan saya nggak tau banyak soal seni)

A: Advertising memang cukup dekat ke arah marketing. Sebenarnya masalah kreativitas juga menjadi perdebatan panjang karena cukup banyak iklan yang dibuat dengan sangat kreatif tetapi melupakan esensi marketing dan salesnya.

Kalo boleh saya rekomendasikan buku The End of Marketing as We Know It - Sergio Zyman (CMO dari Coke).

Q: bener apa enggak.... yang penting PRODUK GUE LAKU NGGAK? masih ngomong soal art... coba deh kita ambil kasus iklan TV daia.... siapa yang bilang iklan daia bagus...? gue bilang sih jelek dan norak banget

A: Mungkin sebagai pembanding, P&G lah yang pertama kali melakukan pendekatan seperti ini dengan iklan Mr. Whipple (lihat buku Whipple, Squeeze This). Iklannya begitu menyebalkan sehingga semua orang inget. Iklan ini mampu menjual kertas tissue berjuta-juta dan menjadi salah satu iklan mereka paling sukses.

Q: (bukan yang premium kayak rinso dan soklin)bahkan iklan competitornya (SURF) buatan anak buahnya mbak Jeanny, yang menurut saya lebih better jauh lah.... masih nggak bisa ngedeketin salesnya daia.... emang bener itu belum tentu karena iklan semata.... karena advertising sendiri cuma bagian kecil dari marketing mix.....

A: Menurut saya ini bukan sekedar masalah advertising, tetapi pendekatan marketingnya. Advertising kan hanya merupakan muara dari marketing. Dari sisi pasar, low end tentu memiliki pasar lebih besar dibanding high end. Jika target low end yang mau disasar, pendekatan iklan tentu berbeda. Emotional branding, experiential marketing mungkin hanya cocok untuk produk high end. Program diskon, sales, bonus, dll mungkin lebih cocok di low end market, dst.

Q: Yang dari tadi mau saya sampein adalah.... kenapa nggak bapak-bapak jagoan seni kita yang dari kemaren-kemaren ngomong panjang lebar untuk nyari yang terbaik soal kurikulum sebentar mampir ngelihat kurikulum D3 advertising yang udah ada..... (kalo di jakarta ada di ITKP atau UI, di yogya ada UGM, AKINDO, di bandung ada UNPAD)

A: Saya setuju dengan ide ini. Memang susah mencari yang terbaik, tetapi memang kita perlu waktu bersama untuk saling mempresentasikan deduksi, hipotesis dan solusi kurikulum yang sudah disusun, outputnya, dst. Dari sini biar kita bisa saling belajar dari kegagalan/keberhasilan orang lain.

Q: ini emang bener-bener sokolahnya orang iklan.... lihatlah lulusan D3 advertising UI sekarang sudah mulai mendominasi lapisan muda di advertising.... karena mereka nggak kaget waktu pertama kali dikasih creative brief di tempat kerja... soalnya di kampus juga udah dapet sih.... sedangkan lulusan "censored" di kantor saya.... bengong-benong aja tuh...

A: Balik seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa target output nantinya merupakan 'positioning' dari sekolah. Tidak mungkin kita memiliki sarjana yang 'one size fits all' Bisa semua kayak Superman. Lagipula kan selera mereka terjun ke industri kan berbeda-beda.

Q: inget, di indonesia sekarang ini kalo nggak salah gaji graphic designer, web designer, 3D animator atau art director di perusahaan non advertising tuh masih tergolong kecil..... kalo udah ngerasa gede... coba rasain sebulan aja dapet gajinya "censored"..... 20 juta per bulan sih ada ya mas & mbak....jadi ke advertising aja lah.... gajinya gede loh..... jadi graphic designer nggak akan pernah nyampe kan..... (kecuali side job... he..he...)

A: Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Di dalam bekerja, bukan sekedar reward yang kita cari. Jika memang sekedar reward, ngapain capek-capek belajar art, mending ikutan program multilevel marketing aja. Setiap industri membutuhkan orang-orang yang berdedikasi di masing-masing bidang.

Di foto mungkin kita punya mas Darwis, di komik dan animasi mungkin kita punya mas Dwi Koen. Jika sekedar besarnya imbalan, saya pikir mungkin Dwi Koen udah konglomerat kali kalo nggak jadi komikus :) Kebetulan saya cukup dekat dengan mereka berdua untuk bisa tahu yang membuat mereka menjadi 'orang besar' bukanlah mengejar rewardnya, tetapi mereka punya 'passion'.

Dunia advertising dan post production yang dekat dengan unsur komersial terjadi persaingan yang kadang dirasa kurang sehat dengan saling bajak membajak. Ini balik lagi ke orangnya. Apakah mereka sudah puas baik dari sisi karya ataupun kompensasinya. Saya lihat mungkin pak Paul yang jauh lebih senior pun kini malah ngurusin 'passion' ketimbang 'profit'. Isinya ngikutin diskusi nggak ada duitnya di Internet ini ketimbang bikin konglomerasi :)

Di tahap awal karir, kita semua mengalami digaji rendah. Ada yang mengambil jalan meloncat-loncat perusahaan untuk mendongkrak gaji. Ada yang setia dengan gaji pas-pasan. Ada yang setelah bekerja sekian tahun akhirnya menjadi entrepreneur. Ada pula yang hidupnya ngurusin orang lain dan nggak pernah mikiran berapa yang saya terima. Ini sekali lagi balik ke orangnya. Apa yang dia cari.

Saya tidak terlalu setuju bahwa saat kita mengedukasi generasi muda, hanya masalah gaji dan reward yang kita bincangkan. Yang lebih penting adalah di mana letak 'passion' dari mereka.

Q: Terpancing juga dengan rame-rame diskusi tentang kurikulum dan juga Untung yang mengutip Ogilvy, saya kebetulan baca lagi buku Ogilvy yang kuno itu (Ogilvy on Advertising) dan nemu ini: Chapter 18: Lasker, Resor, Rubicam, Burnett, Hopkins and Bernbach

A: Boleh saya tambahkan, Rooser Reeves dengan bukunya Reality in Advertising (pemuka konsep 'unique selling proposition'). Saya juga merekomendasikan bukunya Claude Hopkins yang berjudul Scientific Advertising dan My Life in Advertising. Ini mungkin buku advertising pertama. Secara personal, saya paling kagum dengan karya Bill Bernbach.

Ada beberapa advertising giant baru favorit saya seperti Wieden & Kennedy (pegang Nike), Kirchenbaum & Bond (dengan konsepnya 'under the radar advertising').

Q: Bagaimana kondisi ITKP sekarang ? mungkin kita bisa mengevaluasi (saya enggak tahu kondisinya nih...jadi saya enggak bisa mengevaluasi). Menurut saya, universitas ini juga enggak kalah segmentednya. dan didirikan bahkan pengajarnya pun praktisi periklanan yang sudah berpengalaman. ITKP bisa kita jadikan sample. Yang kemudian kita ajukan ke Departemen Pendidikan sehingga bisa dijadikan bahan studi sama mereka.

A: Sedikit catatan, ITKP sekarang sudah menjadi Sekolah Tinggi, bukan universitas.

Saya pikir pendekatan semacam ini memang baik. Saya hanya ingin mengemukakan problem dan kemungkinan solusinya.

Sekolah itu memiliki silabus dan kurikulum. Silabus memuat tujuan belajar, output dan gambaran singkat mata pelajaran yang akan diterima siswa. Tahap yang lebih mendetail dimuat di kurikulum. Di dalam kurikulum ini perlu dicatat tujuan setiap pertemuan, tugas apa yang diberikan, bagaimana persentasenya, dll.

Masalah yang dihadapi oleh sekolah adalah standarisasi. Katakanlah kita bergantung kepada beberapa pengajar yang kita anggap kompeten karena memiliki latar belakang sebagai praktisi misalnya. Jika praktisi tersebut pada satu ketika harus pindah, sakit, atau deadline sehingga tidak bisa hadir pada salah satu pertemuan atau malah nggak bisa nerusin mengajar, maka di tahun berikutnya kualitas pengajaran makin lama makin menurun.

Idealnya adalah di dalam kurikulum yang bersifat terobosan, pengajar dilengkapi dengan silabus dan kurikulum yang sedikit terbuka. Di setiap pengajaran, ia mencatat seluruh proses kelas tersebut, mulai dari tugas, pembagian waktu, output, problem yang timbul, dll. Di akhir semester, catatan ini dikumpulkan ke Akademik untuk dijadikan acuan untuk perbaikan tahun depan. Di tahun depan dilakukan hal sama. Jika sewaktu-waktu pengajar tidak bisa hadir, maka pengajar lain tidak kesulitan melanjutkannya.

Sayangnya, saya tidak melihat sekolah menerapkan sistem tersebut. Begitu pula dengan pengajarnya. Kecenderungan bekerja dengan orang-orang kreatif yang cenderung praktis, agak sulit untuk meminta mereka memiliki disiplin tinggi membuat catatan tersebut. Sehingga setiap tahun kita harus reinvent the wheel. Kita perlu belajar dari bangsa Jerman dalam hal ini.

Lagipula ada kecenderungan bagi sebagian orang untuk merasa bahwa ia tidak mau mengungkapkan seluruh pengetahuannya karena takut tersaingi. Akibatnya sistematika ini kurang berjalan.

Hingga saat ini, tidak adanya komunikasi antar sekolah juga menjadi adanya gap ini. Ada persaingan, cemburu, iri, dlsb. Sebelum kita mau minta pemerintah atau memberikan rekomendasi ke pemerintah, langkah awalnya adalah menjalin komunikasi dahulu antar akademisi. Saling berbagi dan membentuk sinergi. Baru kita punya power untuk memberikan rekomendasi. Saya pikir di awalnya persis seperti PPPI.

______________
Andi S. Boediman
Digital Studio

1 comment:

  1. mas, mau tanya nih!
    kalau lulusan DKV trus skrg dah kerja sbg GD di perush non advertising & skrg lg kepikiran utk nambah ilmu lg, mendingan lanjut S2 atau cuma ambil kursus2 aja ya?
    kalau S2 sebaiknya ambil jurusan apa & kalau kursus sebaiknya jg apa? thanks b4 & after buat sarannya

    ReplyDelete