Monday, October 27, 2008

Jangan Padam di Tengah Jalan

Source: Kompas

Jumat, 26 September 2008 | 00:34 WIB

Kata siapa kita kekurangan orang kreatif? Kalau saya bertemu dengan orang Singapura, mereka terheran-heran dengan kehebatan orang kita. Daya survival kita luar biasa. Kalau orang kita tinggal di Singapura, mungkin semua sudah jadi konglomerat. Sebaliknya, kalau orang Singapura tinggal di sini, mati semua karena dikasih fasilitas terlalu banyak.”

Pernyataan tokoh industri kreatif Andi S Boediman itu tidak dimaksudkan sebagai hiperbola. Bagaimana tidak? Dalam istilah dia dan para pengamat industri kreatif, orang Indonesia tak ada matinya. Sampah dan limbah disulap jadi produk bernilai jual sangat tinggi di pasar ekspor. Di industri musik, hampir setiap minggu ada band dan artis baru bermunculan dengan genre dan keunikan tersendiri.

Di film, rumah produksi menjamur dan hampir tiap bulan ada judul produksi baru. Film karya anak negeri mulai berkibar di bioskop, bersanding dengan film box office Hollywood.

Sekolah talenta mendadak laku keras diserbu peminat. Begitu juga dengan permainan interaktif, seperti animasi dan games, penyiaran, desain, dan arsitektur. Booming juga terjadi di periklanan dan fashion. Demam industri kreatif menyengat dan memabukkan semua orang. Semua pejabat negara mendadak fasih bicara mengenai pentingnya mengembangkan industri kreatif.

Berbagai departemen, BUMN, dan perusahaan swasta besar beramai-ramai merancang berbagai program dan event, termasuk menyediakan diri jadi inkubator atau penyedia modal ventura untuk industri kreatif.

Daerah atau kota tak mau kalah, berlomba dengan inisiatif sendiri. Kalender acara mereka padat sampai akhir tahun, bahkan beberapa tahun ke depan.

Antusiasme itu memompakan semangat baru yang luar biasa, dan pada saat yang sama membangkitkan kembali kesadaran identitas budaya dan kebebasan berekspresi bangsa yang beberapa tahun ini terpasung dalam psikologi bangsa sakit.

Mendadak ada cahaya terang di ujung lorong. Banyak industri UMKM, yang lama mati suri, bangkit kembali di bawah uluran tangan departemen, BUMN, atau perusahaan swasta dalam hubungan saling menguntungkan.

Persoalannya, bagaimana membuat jangan sampai eforia ini berhenti di tengah jalan? Kekhawatiran yang muncul di kalangan pengamat ini bisa dipahami. Mereka belum melihat adanya upaya pemerintah membangun platform yang lebih berkesinambungan.

Kesenjangan

Kalangan pengamat mengatakan, membangun industri kreatif tak cukup hanya dengan menyusun road map dan membuat beberapa event, seperti pameran di luar negeri. Yang lebih penting, implementasi di lapangan.

Tak sedikit pengamat menyatakan skeptis mengingat reputasi pemerintah selama ini, di mana hampir semua perencanaan ternyata tak jalan di lapangan. Ada gap lebar antara perencanaan dan program aksinya. Bahkan, penyusunan program aksi departemen yang ditargetkan tuntas September hingga kini belum kelar.

Masalah klasik yang dikeluhkan pelaku ekonomi kreatif, seperti masalah pemasaran atau hak paten, dari dulu juga sudah ada. Tetapi tidak pernah ada terobosan atau solusi kebijakan yang memberdayakan pelaku usaha.

Jangan sampai industri kreatif atau isu UMKM hanya menjadi jualan menjelang pemilu. Istilah ekonom Mudradjad Kuncoro, ”disanjung dan diberi angin surga, setelah itu ditelantarkan”. Belum waktunya pemerintah menepuk dada atas kiprah sukses segelintir pelaku industri kreatif Indonesia yang sudah diakui di panggung internasional sekarang ini.

Ibarat kereta api, mereka yang sudah mampu menembus panggung global ini baru lokomotif, tanpa platform gerbong dan rel. Tugas pemerintah dan swasta menciptakan platform ini. Peran pemerintah terutama adalah memfasilitasi dan mengatasi kendala yang dihadapi para pelaku industri. Termasuk perizinan, pembiayaan, dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual.

Perlu dijajaki lebih banyak model kolaborasi, termasuk dengan perusahaan besar. Banyak pelaku usaha kreatif enggan berhubungan dengan pelaku besar karena, seperti dalam kasus industri perhiasan perak di Bali dan mebel di Jepara, usaha besar hanya mengambil keuntungan sendiri dengan mengklaim hak cipta karya perajin lokal yang turun-temurun.

Beberapa gagasan yang diungkapkan Andi S Boediman dan pengajar Sekolah Bisnis Manajemen ITB Togar Simatupang adalah mengalihkan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang selama ini tak jelas jejak dan efektivitasnya ke upaya pemberdayaan industri kreatif. Pemerintah bisa memberikan fasilitas pajak, seperti tax holiday pada perusahaan yang SCR-nya bisa membangun komunitas kreatif yang berkelanjutan, baik secara kegiatan maupun ekonomi.

Inovasi tidak hanya dituntut dari pelaku industri, tetapi juga aktor lain industri kreatif, termasuk pemerintah dalam membuat terobosan kebijakan. Jangan sampai peluang justru ditangkap pihak asing atau negara lain, dan kita kembali hanya menjadi penonton.

No comments:

Post a Comment