Monday, December 08, 2008

Change the value! From Designer to Designpreneur via Brand and Branding

by: Mendiola B. Wiryawan, penulis Kamus Brand



Hari itu saya mengisi penuh tangki mobil saya. Pada saat membayar sejumlah uang sesuai yang tertera di meteran, saya mulai merenungkan ‘value’ uang yang saya bayarkan. Beberapa tahun yang lalu, jumlah uang yang sama bisa saya gunakan untuk 3 kali mengisi bensin! Wow! Inflasi berjalan begitu cepat. Hari-hari ini memang bukan hari yang mudah. Seorang klien saya yang baru saja kembali dari berpameran di Drupa (sebuah pameran terbesar industri percetakan) mengeluhkan: “Pameran ini pameran Drupa tersepi yang pernah ada. Hal ini ditandai juga dengan sedikit sekali orang Amerika yang datang ke sana,” lanjutnya. Krisis memang bukan hanya milik kita. Sejak minyak melambung menjadi begitu mahal, krisis telah menjadi milik dunia!

Dalam aksara ideogram China krisis ditulis (weiji) bisa dilihat menjadi dua bagian yaitu: bahaya dan kesempatan. Intinya adalah: kesempatan kita untuk melangkah maju selalu ada. “Out of chaos comes order”, ada kesempatan di dalam setiap krisis. Dunia memang selalu berubah, “Nothing endures but change,” ujar Heraclitus sang filsuf. Karenanya kesempatan selalu ada. Yang penting kita harus sigap dalam menghadapi perubahan.

Apakah profesi desainer berubah? Jelas! Seorang dosen dan senior saya pernah bercerita, di masa mudanya, sangat mudah mencari uang dengan menjadi desainer. Dengan penghasilannya dia bisa mencicil rumah di daerah kelapa gading yang sampai kini masih ditinggalinya. Bagaimana desainer muda yang baru bekerja sekarang? Dalam acara kumpul rekan-rekan desainer, selalu ada saja curhat tentang keadaan yang sangat ‘tough’ menjalankan bisnis hari-hari ini. Mereka mengeluhkan standar harga, kompetisi yang tidak sehat, dsb. Kalau saya buat daftar curhat teman-teman akan sangat panjang rasanya. Profesi desainer berubah ke arah yang lebih baik?

Tapi saya tidak mau berpanjang-panjang dengan penjabaran krisis yang ada. Yang pasti semua orang pasti merasakannya, baik langsung maupun tidak langsung. Yang saya mau bahas di sini adalah tentang peluang yang kita bisa dapatkan.

Untuk dapat menang dari persaingan yang ada, selalu harus ada competitivenes advantage. Dan keunggulan kompetitif ini selalu merupakan keunggulan nilai (value advantage). Manusia sebagai mahluk yang berbudi luhur, menempatkan nilai sebagai pemahaman terdalam atas apa yang terjadi di sekitarnya. Nilai setiap orang akan berbeda satu sama lainnya, dan nilai manusia yang satu akan mempengaruhi nilai manusia lainnya.

Desainer pada dasarnya memang seorang pencipta keindahan, dan keindahan inilah sebuah nilai. Nilai keindahan ini bisa diterjemahkan ke dalam nilai kepuasan, pencapaian diri, nilai ekonomi, dsb. Tapi seringkali nilai ini berbeda antara desainer dan klien, yang menyebabkan tidak akurnya klien dan desainer. Desainer menyalahkan klien tidak punya taste, kampungan, sok tahu. Klien menyalahkan desainer sok jual mahal (“Kerjain gini gua juga bisa”), keras kepala, tidak bisa diatur, sok tahu. Sebenarnya dari masalah tadi terlihat jelas bahwa masalah sebenarnya bukan pada objek desain karya desainer. Di balik hubungan desainer dan klien banyak hal yang mengarah pada berbedanya standar nilai dari desainer dan klien. Ada perbedaan harapan antara desainer dan klien. Seorang desainer atau perusahaan desain hebat yang sanggup menempatkan diri di posisi teratas dalam bisnis adalah desainer yang sanggup mengkomunikasikan nilai, baik nilai dirinya maupun perusahaannya, dan mampu menerjemahkan nilai tadi menjadi bahasa yang sama dengan kebutuhan klien. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap harapan ’nilai’ ini dari kedua belah pihak.

Nah, kalau kita berbicara tentang penciptaan ‘value’ ini, kita tidak mungkin tidak membicarakan Brand dan Branding. Brand dan Branding pada intinya adalah penciptaan nilai suatu entitas, bisa berupa produk atau jasa, bagi khalayaknya. Coba lihat Brand apa yang melekat pada kita sehari-hari. Mulai dari makanan, minuman, baju, tas, film, musik, tokoh politik dsb. Brand tadi telah melalui proses Branding, baik melalui proses yang sadar maupun tidak sadar. Mengapa kita memilih Brand A dibanding Brand B? Mengapa kita menyukai Brand C dibanding Brand D. Mengapa kita benci produk yang satu tapi fanatik dengan produk laiinya? Renungkanlah sedikit. Biasanya banyak hal yang bisa kita dapatkan dari pengalaman dengan Brand di sekeliling kita.

Jadi kembali ke poin di atas, bagaimana desainer dapat menang dari kompetisi di tengah krisis karena hebatnya persaingan, buruknya daya beli, dsb, dsb? Desainer atau perusahaan desain harus melakukan Branding, sebuah harga mutlak! Desainer harus menciptakan sebuah nilai. Inilah yang saya kira menjadi dasar seorang desainepreneur! Designpreneur adalah desainer yang bisa menciptakan nilai, terutama nilai ekonomi!

Selama ini desainer kebanyakan memang telah menciptakan nilai, tapi hanya sebatas ‘nilai tambah’, sebuah value added. Kita ambil contoh desain sebuah kemasan. Dengan kemampuannya seorang desainer mengolah kemasan menjadi menarik, menggugah konsumen untuk melihat, mengkomunikasikan kegunaannya, menciptakan identitasnya, dan membujuk emosi konsumen agar membeli atau mengkomsumsi produk tertentu. Value sebenarnya dari sebuah produk adalah zat materiil, atau pengalaman dari penggunaan benda tersebut. Desain hanya berfungsi sebagai ‘tambahan’ nilai dari benda yang dikemasnya.

Lalu apakah desainer sebagai value creator? Kita ambil contoh Apple yang menjadi merek fanatik di kalangan desainer. Apple bukan pencipta pertama mp3 player. Apple juga bukan pencipta pertama music player portable (yang sudah dimulai Sonny dengan walkmannya). Tapi Apple menciptakan suatu pengalaman mendengarkan musik baru. Kita dapat mencermatinya dari cara apple mengkomunikasikan Ipod. Apple tidak pernah mengkomunikasikan secara besar-besaran seberapa besar kapasitas harddisk ataupun memory yang dapat ditampung setiap gadget-nya. Alih-alih mengatakan 4 GB, 8 GB,dst, apple lebih suka mengatakan 1000 songs, 20000 songs, 40000 songs. Apple mengerti kebutuhan terdalam konsumennya, mempunyai perpustakaan musik pribadi yang menemani kemanapun konsumennya pergi. Ini salah satu contoh penciptaan value. Manakah yang lebih cepat dicerna? Memiliki alat dengan 160 GB atau memiliki lagu 40000 judul yang bisa kita putar setiap saat?

Jadi apakah bedanya value additor dengan value creator? Value additor hanya menambahkan nilai. Desainer dengan sikap value additor bersifat pasif menunggu order, menunggu brief yang ada, dan membangun experience desain dari benefit lainnya. Seorang Value creator menciptakan sebuah kebutuhan hidup dengan desainnya, membangun experience khalayaknya lewat desain, dan menciptakan kesempatan baru berdasarkan prediksi, wawasan, intuisi, perhitungan dan pengalamannya. Seorang designpreneur adalah seorang value creator.

Saat saya memulai profesi desainer bertahun-tahun lalu, saya berlatih keras menjadi desainer profesional yang baik. Saya melatih diri saya lewat pengalaman formil dan non formil untuk dapat menerjemahkan sebuah komunikasi menjadi sebuah desain yang komunikatif namun estetis. Seiring pengalaman, saya sadar bahwa desain yang baik akan jauh lebih bernilai jika integritas diri sang desainer tertuang di dalam desain tersebut. Integritas ini meliputi wawasan, persepsi, perspektif, cara berpikir, cara bersikap, strategi, dsb, yang pada intinya adalah penuangan keseluruhan sang desainer. Dari situ saya merasa perlu banyak hal yang harus kita perlengkapi dalam menjalankan profesi sebagai desainer. Dalam perjalanannya saya mengenal mengapa wawasan Brand dan Branding merupakan suatu wawasan yang mutlak jika kita ingin mengembangkan diri menjadi seorang desainer yang advance. Dari situ saya mulai menyelami bidang ini hingga saat ini.

Ternyata, brand dan branding adalah lautan yang sungguh begitu luas. Begitu dinamis, fleksibel, dan banyak hal yang tidak pernah baku. Kita dapat melihat Brand dan Branding dari berbagai sudut, dari sisi marketing, desain, psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah, dsb. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan banyak sumber tentang hal ini, dan menemukan bahwa Brand dan Branding melibatkan banyak hal: emosi, pikiran, kecerdasan, analisa, intuisi yang tajam, wawasan, serta kepekaan terhadap banyak hal.

Kebetulan saya juga seorang pengajar. Saya mencintai dunia ajar mengajar. Untuk mempelajari sesuatu dengan baik, kita dapat memulai mempelajari bahasa yang digunakan dalam disiplin tertentu. Kalau kita mau mempelajari ekonomi, kita harus memulainya dengan mempelajari istilah-istilah ekonomi. Kalau kita mau belajar bermain saham, kita harus tahu benar arti istilah-istilah ‘bullish’, ‘bearish’, ‘rebound’, dsb. Dengan mengenal istilah-istilah ini kita akan mudah untuk berkomunikasi di dalam komunitas disiplin tersebut. Begitu juga kalau kita mau belajar ‘Brand dan Branding’. Tentunya kita harus mengenal istilah-istilah yang sering dipakai dalam ‘Brand dan Branding’. Dari sinilah saya mulai mengumpulkan istilah istilah ini dari berbagai sumber, mulai membanding-bandingkannya, menarik kesimpulan dan menuangkannya dalam KAMUS BRAND.

Semoga dengan mempelajari istilah-istilah di dalam kamus ini merupakan suatu langkah awal dalam mengembangkan kapasitas kita dalam pemahaman Brand dan Branding.

Akhir kata, mari kita berubah, menuju ke masa depan yang lebih baik. Mulai dari merubah ‘Value’ kita, mulai dengan memperluas wawasan kita, dan mulai mempelajari istilah-istilah dalam Kamus Brand serta mendiskusikannya. Kelak kita akan melihat dampaknya yang luar biasa.

1 comment:

  1. Nanya Mas, istilah "brand", dan juga "branding", kalau dalam bahasa Indonesianya apa? Kalau "value" kan bisa saja kita mengistilahkannya sebagai "nilai". Saya jengah mendengar orang bicara tentang brand & branding, koq sampai sekarang belum ada juga yang mencarikan dan menggunakan istilah bahasa Indonesianya.

    ReplyDelete