Thursday, March 10, 2011
Java Jazz – Ketika Jazz menjadi Lifestyle dan Ekspresi Gaya Hidup
Berbondong-bondong ke Java Jazz lumrah bagi penduduk Jakarta. Ratusan ribu orang tumpah ruah melihat sajian festival Jazz yang digelar di JIE Kemayoran selama 3 hari ini. Mulai dari Santana hingga George Benson. Fariz RM melantunkan Sakura dan Barcelona, hit di akhir 80 an dihadiri ribuan orang yang asyik melantunkan lagu ini bersama. Java Jazz menghidupkan kembali genre musik yang tadinya hanya disematkan oleh sebagian orang sebagai musik para intelektual.
Perbedaan signifikan dengan Jakarta Jazz, pendahulu Java Jazz adalah jajaran musisi yang tampil dan bagaimana sajian festival ini dikemas. Di Jakarta Jazz, targetnya adalah pendengar jazz hard core, di mana semua line-up artis adalah mereka yang memang dikenal di dunia Jazz. Hanya mereka yang benar-benar musisi Jazz yang laik tampil di sini.
Di Java Jazz sangat liberal di dalam memilih jajaran artisnya. Pop kreatif adalah sebutan bagi musik pop yang bernuansa jazz. Banyak artis Indonesia yang memiliki sentuhan musik pop kreatif mendapatkan panggung di mana mereka berjumpa dengan fansnya. Kahitna, Marcell, Fariz adalah contohnya. Pendatang baru seperti RAN, Pandji, Maliq & The Essentials pun berjaya tampil di panggung.
Jazz pun diterjemahkan secara bebas menjadi gaya hidup urban di mana genre musik ini mempersatukan para penduduk Jakarta untuk sekedar datang berkumpul bersama teman, makan-makan, berfoto dan sajian musik ringan. Jazz tidak lagi harus memiliki beban menjadi musik serius yang hanya bisa didengarkan oleh para pendengar Jazz sejati.
Mereka yang datang mengikuti konser Santana bahkan baru kenal siapa dia ketika mengikuti konser tersebut. Mereka yang datang melihat George Benson bertujuan untuk mengenang lagu nostalgia masa muda. Mereka yang bersantai melihat Fourplay mulai dari dewasa hingga anak-anak. Mereka yang mendengar New York Voices malah baru mengenalnya meskipun group ini sudah berusia 23 tahun. Mereka yang takjub mendengarkan Sandhy Sandoro juga baru tahu bahwa Indonesia memiliki musisi jazz handal dari negeri sendiri.
Ketika Jazz diterima sebagai lifestyle, tidak ada yang tabu bagi Jazz untuk dipahami ulang bahwa musik adalah untuk semua orang. Ajang ini menjadi kesempatan untuk bertemu, berkenalan dan belajar apa itu musik Jazz tanpa pretensi Jazz hanya untuk para intelektual. Java Jazz memperkenalkan musik Jazz untuk semua orang.
Dengan membuka Jazz ke pasar yang lebih besar, kini Java Jazz menghidupi ekosistem urban yang sarat dengan konsumerisme. Acara ini mampu memikat pelbagai kepentingan, mulai dari brand seperti Axis, BNI hingga penjaja makanan dan minuman sekelas Starbucks pun membuka stand kagetan di arena Java Jazz. Sebaliknya JakJazz yang berumur lebih panjang akhirnya menjadi kalah pamor karena tidak lagi mampu akrab dengan pasar yang lebih luas.
ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)
Labels:
music
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Setuju pak Andi. Yang pasti Java Festival Production memang cerdas membidik pasar yang potensial dan berhasil menciptakan trend gaya hidup baru. Semacam penanda, bahwa hadir di Java Jazz menjadi simbol bahwa seseorang eksis dalam aktivitas sosial...
ReplyDeleteSetidaknya, dengan Java Jazz juga menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia mulai dilirik oleh musisi luar negeri sebagai sebuah pasar. Terbukti tahun ini ada banyak pagelaran musik dari musisi internasional. (Berdasarkan tulisan saya ttg Bisnis Promotor Musik :)). Yah semoga saja pagelaran musik Indonesia kian bermutu, ditengah carut marut kondisi negara, masyarakat masih bisa mendapatkan hiburan. :)
Benar sekali. Tidak afdol bagi masyarakat urban di Jakarta tanpa kehadiran di Java Jazz dan berfoto di samping backrop Santana :)
ReplyDeleteDan menjadi berkat bagi pecinta Jazz seperti saya yang bisa menikmati Fourplay dan New York Voices seharga nonton di XXI.