Wednesday, July 30, 2008

Mengubah Tukang Menjadi Macan

Source: Kompas

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Aktivitas pembuatan klip video animasi di Digital Studio, Jakarta.
Minggu, 22 Juni 2008 | 03:00 WIB

DAHONO FITRIANTO

Rumah berlantai dua itu terselip di tengah Gang Sukamakmur, sebuah gang sempit di kawasan Ciputat di selatan Jakarta. Tak ada reklame atau papan nama di depan rumah bercat putih yang mulai kusam itu. Namun, di tempat itulah sebuah industri yang disebut ekonomi kreatif dijalankan selama sembilan tahun terakhir.

Sejak 1999, Andi Rusmana (39) dan tiga temannya, Johnny Rinaldi (37), Adji Sunaryo (41), dan Sukaji (39), menjalankan Mrico Animation di rumah kontrakan itu. Mereka memproduksi film-film animasi yang dijual dalam bentuk VCD.

Salah satu produknya yang cukup berhasil di pasar adalah film pendidikan anak dengan tokoh utama karakter anak kecil bernama Mrico (bahasa Jawa dari merica). ”Kami membuat film- film animasi sesuai pesanan produser di Mangga Dua. Setiap film dibeli putus seharga Rp 60 juta per episode,” kata Andi, yang populer dengan sebutan Andi Mrico.

Dengan tim beranggotakan 15 orang, Mrico Animation setiap bulan rata-rata mampu membuat satu episode film animasi berdurasi 30 menit. Selain menggarap film, mereka juga menerima pesanan animasi untuk iklan. ”Hampir semua kami kerjakan sendiri, mulai dari cerita, storyboard, gambar, sampai composing dan editing. Hanya pengisian suara dan pembuatan efek 3D (tiga dimensi) yang dikerjakan di studio lain,” ungkap Andi.

Di salah satu kamar di rumah itu yang sempit dan tanpa pendingin ruangan, Andi, Johnny, dan Adji tiap hari menggambar sendiri tokoh animasi ciptaan mereka. Dengan meja lampu (light box) sederhana, satu demi satu detail gerakan satu tokoh mereka gambar. ”Kami hanya membuat gambar-gambar kuncinya, sedangkan gambar in-between (rangkaian gambar di antara gambar kunci) dikerjakan teman- teman lain,” ungkap Johnny.

Belum inti

Begitulah industri kreatif dunia animasi dikerjakan di Indonesia. Industri berpotensi pasar triliunan rupiah ini masih dikerjakan dalam skala industri rumahan, belum dipandang serius oleh para pemilik modal.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (Ainaki) Kris H Sulisto menyebutkan, potensi pasar industri animasi di Asia saja mencapai 3 miliar dollar AS. Dari potensi pasar sebesar itu, yang dikerjakan di Indonesia selama ini baru bernilai sekitar 10 juta dollar AS, alias belum mencapai 1 persen.

Dan, yang disebut industri animasi di Indonesia itu pun belum benar-benar menyentuh inti industrinya, yakni produksi film animasi. Ketua Ainaki Denny Djoenaid mengatakan, suatu negara baru bisa disebut memiliki industri animasi jika sedikitnya ada satu serial film animasi buatan sendiri yang diputar di stasiun televisi nasional sebanyak satu episode setiap minggu selama satu tahun penuh. ”Itu asumsi minimal untuk sebuah tokoh animasi bisa diterima pasar utamanya, yakni anak-anak,” papar Denny.

Dari sekian banyak rumah produksi animasi yang ada di Indonesia, hanya segelintir yang benar-benar memproduksi film animasi utuh. ”Sebagian besar bekerja untuk dunia periklanan dan desain arsitektur,” papar Denny yang memiliki rumah produksi Denny Animation.

Sekadar ”tukang”

Kalaupun ada perusahaan besar yang memproduksi film, itu pun tak lebih dari sekadar mengerjakan order dari perusahaan- perusahaan film di luar negeri, seperti Jepang atau Amerika. ”Konsep film mulai dari cerita, storyboard, sampai karakter sudah dikirim dari negara asalnya. Kita tinggal membuat gambar- gambar in-between-nya. Makanya Indonesia hanya dikenal sebagai negara in-betweeners. Sekadar jadi pabrik atau tukang,” kata Denny, yang menimba ilmu animasi sejak 1974.

”Pabrik-pabrik” animasi pesanan luar negeri ini memang sudah sejak lama ada di Indonesia. Pada periode 1980 hingga 1990-an ada beberapa perusahaan besar, seperti Asiana Wang Animation di Cikarang, Evergreen di Surabaya, dan Marsa Juwita Indah di Bali. Menurut Gotot Prakosa, Ketua Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA), mengatakan, film-film kartun populer dari Jepang, seperti Doraemon, Crayon Sinchan, Saint Seiya, dan Sailor Moon, sebagian dikerjakan oleh pabrik-pabrik itu.

Pabrik-pabrik animasi itu juga yang turut menelurkan para animator Indonesia, yang kemudian membuat rumah produksi sendiri.

”Dulu kami sering mendapat order film-film kartun Jepang, seperti Doraemon dan Pokemon,” kenang Andi Mrico, yang bersama Johnny, Adji, dan Sukaji adalah ”alumni” Marsa Juwita.

Kemampuan para animator Indonesia kini sudah tak kalah dengan animator dari luar negeri. Andi, misalnya, mengaku bisa membuat film animasi setara serial Avatar: The Last Airbender (film animasi berkualitas 25 gambar per detik) seandainya mendapat modal cukup. Bahkan, para animator tersebut sudah mampu membuat film-film animasi 3D.

Untuk kualitas standar animasi yang setara dengan film-film semacam Doraemon atau Crayon Sinchan, beberapa rumah produksi bahkan sudah mampu membuat dalam skala industri. PT Rumah Animasi Indonesia (RAIS Pictures) di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, misalnya, sejak 2003 rutin memproduksi 3-4 episode film animasi berdurasi 24 menit setiap bulan. ”Film-film itu dipasarkan dalam bentuk VCD/DVD dan sejauh ini masih diserap pasar. Bahkan film produksi pertama pun sampai sekarang masih dicetak ulang,” ungkap Setiyo Budi Leksono, Direktur RAIS Pictures.

Sulit modal

Lalu, mengapa animasi belum jadi industri seperti yang diharapkan Denny? Salah satu faktor utama adalah ketidakseimbangan antara biaya produksi dan daya beli stasiun TV di Indonesia. ”Untuk membuat satu episode film berdurasi 24-30 menit, rata-rata dibutuhkan biaya Rp 60 juta-Rp 100 juta. Sementara stasiun TV hanya mau membeli film animasi lokal dengan harga di bawah Rp 10 juta per episode. Mereka lebih memilih membeli film animasi dari luar yang harganya hanya 500-2.000 dollar AS per episode,” papar Denny.

Hambatan kedua adalah faktor permodalan. Menurut Denny, sebenarnya distributor film-film animasi, seperti Nickelodeon dan Disney, menerima film animasi dari mana pun. Akan tetapi, mereka menuntut kapasitas produksi yang tinggi sebagai syarat. ”Mereka menuntut harus ada jaminan kita mampu membuat minimal 52 episode film yang sesuai dengan standar mereka. Nah, modal untuk membuat 52 episode itulah yang tidak ada,” tuturnya.

Denny mengibaratkan, industri animasi Indonesia adalah macan tidur. Potensi yang besar, tetapi belum digarap optimal. Pertanyaannya adalah bagaimana mengubah kultur tukang menjadi kultur macan? (BSW/IVV/IND)

1 comment:

  1. Anonymous4:10 PM

    salam kenal..
    bang Andi ..saya suka dengan design terutama animasi, saat ini saya belajar sendiri hanya sekedar hobi...karena latar belakang pendidikan saya bukan desain tapi perikanan., alamat saya di www.syam08.co.cc. kalo saya mau memperdalam animasi dimana yach?...tp bukan waktu jam kerja (pukul 08-17).

    ReplyDelete