Tuesday, June 17, 2008

Fondasi Ekonomi Kreatif

Source: Dataworks

(Dataworks Indonesia, 12/09/2006)

Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan industri kreatif. Indonesia sudah tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Apakah Indonesia mempunyai strategi yang jitu agar tidak tertinggal jauh? Apakah pemerintah dapat berperan dalam mewujudkan ekonomi kreatif yang berdaya saing? Demikian contoh sederetan pertanyaan dari para perserta seminar bertema "Membangun fondasi ekonomi kreatif di Jawa Barat" yang diselenggarakan oleh Dinas Disperindag Jabar, di Hotel Grand Serella, Sabtu (11/8) lalu.

Seminar sehari ini adalah serangkaian kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meletakkan fondasi industri kreatif di Jawa Barat ("PR", 13/8). Sehari sebelumnya Gubernur Danny Setiawan membuka Kick-Fest II (Kreative Independent Clothing Kommunity Festival) yang berlangsung 10-12 Agustus sebagai ajang pengunjukan diri industri kreatif kaus dan pakaian jadi (distro) di Bandung. Dalam sambutannya, Danny menekankan pentingnya kebersamaan yang seirama (sauyunan) untuk mewujudkan Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Jabar memiliki segudang potensi seperti modal manusia (ilmuwan, kreator, inovator), sumber daya alam, dan industri strategis. Justru yang masih lemah, menurut Danny, adalah modal sosial di antara pelakunya.

Dengan fokus yang sama yaitu kesejahteraan Jabar, kearifan lokal saling asah, asih, dan asuh berguna memantapkan pembangunan ekonomi Jabar yang bukan hanya bertumpu pada bidang industri manufaktur, agrobisnis, dan telematika tetapi bisnis yang berbasis kreavitivas. Jabar sudah dikenal sebagai pusat fashion bukan hanya warganya yang modis tetapi juga tempat lahirnya para desainer yang mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin kompetitif. Danny berharap munculnya teladan (best practice) kewirausahaan bidang industri kreatif yang unik di setiap daerah kabupaten/kota. Khusus untuk Kota Bandung, gubernur berpesan perlunya sinergi untuk mengoptimalkan potensi industri kreatif dengan kebijakan, manajemen, tata ruang kota, dan tenaga kerja yang terpadu.

Pada kesempatan ini diberikan penghargaan kepeloporan dalam industri kreatif dan desain terbaik. Penghargaan kepeloporan industri kreatif diberikan kepada Dr. H. Pribadi Tabrani dan Marius Widyarto Wiwied. Dr. Tabrani adalah guru besar FSRD ITB yang berjasa dalam pendidikan seni rupa dan desain komunikasi visual dengan mengajarkan generasi muda untuk selalu berpikir kreatif (Cikal Bakal FSRD ITB, "PR", 30/7). Marius adalah pelopor kaus (T-shirt) bergambar dengan merek C59 yang telah dikenal oleh khalayak ramai di Indonesia dan memperoleh banyak penghargaan bergengsi (www.c59.co.id).

Sedangkan desain terbaik yang terdiri atas tiga kategori dimenangkan oleh Mahanagari untuk kategori desain produk, Fast Forward Records untuk kategori pelopor tren (trend setter), dan Dataworks Indonesia untuk kategori perusahaan inovatif. Desain produk Mahanagari secara kosisten mengangkat kekhasan budaya Parahyangan, rasa kecintaan Jabar, dan sejarah Bandung ke berbagai macam bentuk pakaian dan aksesori seperti kaos, pin, gantungan kunci, poster, kartu pos, termasuk buku-buku bertema budaya lokal. Fast Forward Records (www.ffwdrecords.com) mendorong perkembangan musik indie sejak tahun 1999 dengan mencari bakat dan telah merilis 9 album (lima di antaranya rilis internasional). Kelompok musik Mocca adalah yang paling berhasil dengan album pertama "My Diary" terjual 80.000 kaset dan 8.000 keping CD.

Dataworks Indonesia (www.dataworks-indonesia.com) mengembangkan perangkat lunak untuk industri pakaian indie sejak tahun 2004. DMS 2005 adalah perangkat lunak sistem keuangan produk yang telah digunakan oleh 57 distro dengan jumlah 83 lisensi yang terjual. Pada pertengahan 2006, Dataworks merilis layanan suavecatalogue.com dan situs e-commerce yang digunakan oleh 10 perusahaan pakaian. Produk yang terbaru adalah CMS 2007 yang dapat membantu identifikasi produk, distribusi, dan pelaporan keuangan.

Pada pembukaan seminar keesokan harinya, Kadis Disperindag Jabar Agus Gustiar memaparkan, Jabar telah menggoreskan tonggak sejarah industri kreatif di Indonesia dengan mendukung pembinaan inovasi produk kreatif bernilai tambah tinggi. Kota Bandung adalah pelopor produk kaus di tahun '70-an. Setelah mengalami pasang surut di tahun '80-an, industri ini bangkit kembali di tahun '90-an dengan distro, aksesori, merek, desain, dan bahan baku yang lebih variatif. Agus menekankan bahwa membangun fondasi industri kreatif merupakan upaya bersama untuk promosi, pendataan merek, penyediaan tenaga ahli, perbaikan teknis dan manajemen, akses pemodalan, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Karena Jabar kaya akan keanekaragaman budaya, talenta, dan balai besar, industri kreatif layak menjadi titik sentral ekonomi Jabar. Tujuan pelaksanaan seminar, menurut Agus, tidak lain adalah mempersiapkan fondasi yang lebih kokoh melalui sosialisasi kebijakan pemerintah pusat yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, menumbuhkan wawasan nilai strategis industri kreatif, memahami potensi industri kreatif saat ini, dan menjaring usulan dari pengusaha, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.

Cetak biru

Dirjen Industri Kecil dan Manengah (IKM) Departemen Perindustrian RI, M. Sakri Widhianto menyajikan peranan Departemen Perindustrian dalam mengembangkan industri kreatif berbasis budaya dan warisan budaya. Menurut Sakri, Presiden SBY adalah penggagas bahwa pengembangan ekonomi baru harus berdasarkan kekayaan alam, budaya, dan warisan budaya Indonesia. Secara spesifik, Presiden mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang memadukan gagasan, seni, dan teknologi. Cetak biru pengembangan ekonomi kreatif 2007-2011 berhasil disusun berkat peran serta dari Kadin, pengamat ekonomi, para pakar dari FSRD ITB, dan kementerian terkait dari seminar dan dialog Pekan Produk Budaya Indonesia 11-15 Juli 2007.

Konsep awal dari dokumen ini membuat delapan program berikut dengan tujuan, hasil yang diharapkan, dan pihak yang bertanggung jawab termasuk peran asosiasi. Kedelapan program tersebut adalah program sosialisasi, program identifikasi (pemetaan, basis data, riset ekonomi kreatif, skala prioritas), perlindungan hukum (inpres, sosialisasi HKI), pendidikan (kurikulum pendidikan budaya yang kreatif dan inovatif), program kelembagaan, promosi dan pemasaran (aktivasi pasar), infrastruktur (komunikasi, transportasi, prasarana pelatihan dan produksi), dan insentif (festival, kredit, perizinan, kontes). Sakri menyatakan setelah konsep ini disempurnakan akan diterbitkan dalam instruksi presiden.

Pembicara kedua adalah Poltak Ambarita, Kasubdit Informasi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri yang memaparkan kebijakan pengembangan Indonesia Design Power (IDP) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Fokus dari desain adalah merek, pengemasan, dan desain. Indonesia Design Power (IDP) adalah pendayagunaan desain untuk meningkatkan kualitas, memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing produk Indonesia berbasis kekayaan intelektual dan sumber daya alam yang dilakukan melalui inovasi bersumber dari budaya dan warisan budaya.

Alasan pembentukan IDP adalah terutama karena era perdagangan bebas yang menuntut keterbukaan pasar (tidak ada proteksi), tuntutan sertifikasi produk (seperti ecolabelling, fair trade, dll.), membuat produk lebih berkualitas, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonsia. Peran dari dinas perdagangan adalah melakukan aktivasi, pendataan, dan pembinaan industri kreatif di wilayahnya masing-masing.

Selain kedua pembicara di atas, seminar ini menampilkan empat pembicara lainnya. Gustaff H. Iskandar (Common Room Networks Foundation) yang menyajikan pemberdayaan jaringan pelaku ekonomi kreatif sebagai strategi pembentukan basis ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Achmad D. Tardiyana (Urbane Indonesia) menegaskan bahwa Jawa barat harus menjadi koridor ekonomi kreatif. Togar Simatupang (SBM ITB) menyampaikan konsep pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.

Salah satu pembicara pengusaha kreatif yang berhasil adalah Fiki Chikara Satari. Usahanya dimulai awal tahun 1998 dengan 3 orang staf dan penjualan perseorangan. Pada tahun 2006 sudah membuka toko dan outlet berjalan dengan nama Airbus One. Fiki bercerita tidak ada rumus pasti dalam bisnis distro. Ide bisa muncul dari mana saja dan perlu pergaulan yang luas untuk memperkaya pengetahuan. Tetapi, ide ini perlu disertai dengan keahlian manajerial seperti pemasaran, penganggaran, operasi, keuangan, kebijakan harga jual dan diskon, dan aspek legalitas usaha.

Sumbang saran

Peranan pemerintah masih sangat besar dalam meletakkan fondasi ekonomi kreatif. Tindak lanjut seminar dan kerjasama hendaknya terus digulirkan oleh para pemegang kepentingan. Dengan komunikasi yang intensif diharapkan pemerintah benar-benar berfungsi sebagai regulator, katalisator, dan fasilitator yang menumbuhkan industri kreatif. Supaya tidak kehilangan momentum, beberapa strategi yang dapat disarankan adalah sebagai berikut. Perlunya forum ekonomi kreatif yang dapat menghimpun pelaku industri kreatif supaya jangan jalan sendiri-sendiri.

Forum ini bertanggung jawab menjabarkan cetak biru ekonomi kreatif nasional ke dalam cetak biru industri kreatif Jawa Barat dan Kota Bandung. Dinas, asosiasi, perhotelan, dan pendidikan juga perlu duduk bersama membuat agenda tahunan apa yang perlu ditampilkan oleh Jabar atau Kota Bandung.

Ruang berekspresi perlu disediakan oleh pemerintah kota misalnya Gedung Sate atau kawasan Cilaki yang dapat digunakan hari Sabtu-Minggu untuk komunitas kreatif supaya gagasan dan pasar berkembang pesat. Gasasan lainnya adalah mencari kota yang cocok dengan komunitas Bandung sebagai sister city dalam mengembangkan industri kreatif.

Dewan kota juga perlu mengeluarkan payung hukum atau peraturan daerah kalau industri kreatif mau dijadikan salah satu komoditas unggulan Kota Bandung. Proteksi karya kreatif terutama warisan budaya perlu terus ditingkatkan melalui inventarisasi, pengkajian, direktori, promosi, pendaftaran ke lembaga dunia, dan penegakan hukum.

Sudah saatnya perguruan tinggi berbasis kreatif yang jumlahnya lebih dari 20 di Kota Bandung dapat bekerja sama dalam mendorong tumbuhnya komunitas kreatif melalui pengklasteran dan kolaborasi riset. Mereka perlu turut dalam memecahkan permasalahan teknis, modal, dan pasar industri kreatif. Sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai pelatihan kerja dapat diperkenalkan dengan industri kreatif untuk mendukung kegiatan produksi dan kreasi. Promosi media sangat penting terutama memberdayakan televisi daerah. Demikian juga dengan penyediaan beasiswa dan penghargaan perlu terus digulirkan oleh pemerintah daerah.

Oleh Dr. TOGAR M. SIMATUPANG
Penulis, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Bandung.
PIKIRAN RAKYAT - 28 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment