Sunday, June 22, 2008

Siapa Mau Gabung Industri Kreatif?

Source: Dataworks

Kendala keruwetan perizinan (red tape malfeasance) serta perilaku korup di jajaran birokrasi bisa menghambat tumbuhnya iklim kreatif yang kondusif. Ada pajak di bawah tangan segala, berarti kan tidak masuk negara.

PENUH energi dan gairah mengeksplorasi ide, kalangan muda berkarya dan berani terjun berbisnis meski awalnya hanya ”modal dengkul”. Disadari atau tidak, komunitas kreatif ini turut menjadi penggerak industri kreatif, yang kini ramai dibicarakan. Sebuah industri yang tidak lagi semata bermodal uang, tanah, atau hal-hal material, namun lebih berbasis pengetahuan atau intelektual.

Ingin desain ”tidak pasaran” dan jenuh dengan peniruan merek luar negeri di pasar lokal, Marcel, mahasiswa DKV Universitas Kristen Maranatha (UKM) 2004, terdorong memproduksi kaus bikinan sendiri. Itu dimulainya tahun 1999, ketika masih duduk di bangku kelas III SMP.

”Daripada cuma pesan satu kaus, waktu itu langsung bikin dua lusin saja, supaya jatuhnya lebih murah, terus dijualin ke teman-teman. Eh, keterusan sampai sekarang,” ungkap Marcel pada Kampus. Ia mengisahkan awal mula clothing line Oro, sampai akhirnya memiliki distro sendiri di bilangan Jalan Trunojoyo, Kota Bandung.

Hal serupa banyak menghiasi cerita para pionir ”perdistroan” di Kota Bandung. Sebab, alasan ekonomi--tidak mampu beli kaus idaman yang mahal-- sampai penunjang lifestyle, keisengan membuat sendiri produk yang digemari, ternyata potensial jika dikembangkan lebih jauh.

Uniknya, keterbatasan modal dan fasilitas yang ada malah menjadi motivasi untuk lebih baik. Sampai kini akhirnya clothing line dan distro mewabah gila-gilaan ke seluruh penjuru kota. Seiring ramainya merek pakaian lokal indie, semakin subur pula tumbuhnya musik indie, media indie, dsb., yang saling menunjang satu sama lain. Komunitas kreatif ini boleh dibilang terpengaruh budaya urban, di mana globalisasi informasi deras memasuki keseharian mereka, dari mulai fashion, musik, sampai olah raga ekstrem.

Perkembangan teknologi informasi yang pesat dalam dekade '90-an, juga menjadi faktor penting menggeliatnya industri kreatif. Dulu, profesi web designer mungkin tidak dikenal. Kini, segala profesi dari perluasan di internet menjadi pilihan banyak orang. Hadary Mallafi, mahasiswa STT Telkom 2004, bersama beberapa temannya, termasuk yang tertarik pada peluang berkreasi di internet. Mereka menjual layanan web design sampai migrasi ke Linux (www.kitaklik.com). ”Jadi, kita bukan pengguna internet saja, tapi bisa tambah-tambah penghasilan,” kata Hadary.

Orientasi bukan hanya jadi pekerja, tetapi ingin mempekerjakan, rupanya cukup kental di kalangan muda ini. Itu pula yang diniatkan Dennan Mujtahid, ketika mendirikan agensi iklan lokal One Communication, awal tahun 2007. Profesionalitas pekerja kreatif sebatas rambut gondrong atau gaya ”nyentrik” sudah cerita kuno, sebab banyak tantangan untuk survive di dunia nyata. Lulusan Periklanan Fikom Unpad 2003 ini pun melewati rupa-rupa proses pembelajaran, dari accounting, ditipu orang, penyusunan short term dan long term, sampai berhubungan dengan birokrasi.

Yang terakhir ini sekaligus jadi kritiknya, sebab kendala keruwetan perizinan (red tape malfeasance) serta perilaku korup di jajaran birokrasi bisa menghambat tumbuhnya iklim kreatif yang kondusif. ”Ada pajak di bawah tangan segala, berarti kan tidak masuk negara. Kita mah sebenarnya cuma perlu transparansi, segitu ya segitu,” kata Dennan.

Di luar soal hambatan yang ada, masih banyak potensi-potensi kreatif dari kalangan muda ini yang belum terkuak. Sementara yang sudah berjalan, baik berkiprah di Bandung, di luar Bandung, hingga di luar negeri, terus berdenyut dan mengalirkan pendapatan bagi pajak dan retribusi kota, langsung ataupun tidak langsung.

**

SOAL industri kreatif, beberapa penulis turut menuangkan pemikiran mereka. Sebut saja, Alvin Toffler dalam bukunya The Future Shock (1970). Ia memperkenalkan gelombang peradaban manusia (era pertanian, industrialisasi, dan informasi), dan istilah era pengetahuan sebagai era keempat (perpanjangan era informasi). Selain itu, ada juga John Howkins dengan bukunya The Creative Economy (2001), serta Richard Florida dengan bukunya The Rise of the Creative Class (2002). Inti bahasan dari para penggagas ekonomi kreatif itu adalah munculnya kelas baru dalam perekonomian, yaitu kelas kreatif. Kelas kreatif yang banyak diisi kalangan muda ini, ternyata berkorelasi positif menjadi penggerak ekonomi kreatif.

Wacana industri kreatif sendiri mulai mengemuka di tingkat global dalam beberapa tahun terakhir, ketika negara-negara seperti Inggris mulai mencari sumber perekonomian baru, yakni dari sektor kreatif. Pasalnya, sektor industri lainnya, seperti manufaktur, dsb., kurang bisa diharapkan lagi. Sektor-sektor industri yang melulu menggantungkan pada sumber daya alam memang harus menerima kenyataan, suatu saat sumber itu akan habis. Kini saatnya menyambut era knowledge-based economy, dengan ciri ilmu pengetahuan sebagai kunci dalam proses produksi. Bukan lagi tanah atau pabrik sebagai aset ekonomi paling berharga seperti di masa lampau.

Inggris termasuk negara yang gencar mem-booming-kan wacana industri kreatif ini. Pemerintah Inggris menetapkan 13 sektor usaha yang tergolong sebagai industri kreatif, yakni periklanan, kesenian dan barang antik, kerajinan tangan, desain, tata busana, film dan video, perangkat lunak hiburan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan, jasa komputer, televisi, dan radio.

Pertanyaan yang muncul, adakah industri yang tidak kreatif, mengingat pada dasarnya kreativitas adalah kemampuan krusial yang dibutuhkan tiap bidang industri? Menurut Gustaff Hariman Iskandar, pengelola komunitas kreatif Common Room, Kota Bandung, memang ada yang overlapping dalam kategorisasi itu, seperti desain fashion (tata busana). Namun, yang jelas pemerintah Inggris telah memberanikan diri membuat pemilahan itu dan serius mengembangkannya. Indonesia pun perlu melakukan hal sama, tanpa harus terjebak dalam pemikiran biner (binary), mana yang kreatif dan tidak. ”Mungkin saja di Indonesia belum tentu potensi kreatifnya seperti pemilahan itu. Kita harus cari potensi kita sebenarnya apa, itu perlu riset mendalam,” ucap Gustaff, yang juga mendapat International Young Design Entrepreneur of the Year Award (IYDEY) 2007, dari British Council.

Omong-omong riset, berikut ini temuan tentatif studi kontribusi ekonomi kreatif Indonesia , dari IDP (Indonesia Design Power) Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Tim Ekonomi Kreatif SBM ITB. Pertama, nilai tambah industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar Rp 86,917 triliun. Kedua, industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,71% dari PDB Indonesia pada tahun 2006, sudah berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih.

Ketiga, laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,28% per tahun (angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,14%). Keempat, penyerapan tenaga kerja tahun 2006 sebesar 4,48 juta orang dengan persentase terhadap total tenaga kerja adalah 4,71%. Kelima, produktivitas tenaga kerja tahun 2006 Rp 19,38 juta per orang. Terakhir, empat sektor industri kreatif teratas adalah, periklanan, desain fashion, kerajinan, dan arsitektur.

Dari titik itu terlihat bahwa kreativitas telah menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi. Riset-riset masih terus dibutuhkan agar temuan kondisi riil di lapangan bisa terpetakan. Kolaborasi pemerintah dengan dunia kampus juga diperlukan. Seperti yang juga tengah dilakukan oleh Center for Innovation, Enterpreneurship & Leadership (CIEL) SBM ITB bekerja sama dengan Deperindag Provinsi Jawa Barat, untuk merancang blue print pengembangan industri kreatif di Jawa Barat. ”Targetnya tahun ini bisa selesai,” ucap Direktur CIEL, Dwi Larso.

Berkaca pada pengalaman negara-negara maju dalam mengembangkan industri kreatif, yang amat diperlukan adalah dukungan sikap dari pemerintah terhadap industri itu. Pemerintah akhir-akhir ini memang terlihat rajin menyuarakan pentingnya industri kreatif sebagai salah satu upaya keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Gustaff berpendapat bahwa inisiatif itu dapat diartikan sebagai angin segar. Meski, wujud konkret kebijakannya masih ditunggu, misalnya, penghargaan, insentif, perizinan, dan prasarana, yang akan menghasilkan iklim industri kreatif itu.

Menurut Tarlen Handayani, pengelola komunitas kreatif Tobucil & Klabs, Kota Bandung, pemerintah kerap masih melihat sektor primadona saja. Cara pandangnya masih parsial, dan belum melihat keberkaitan antarsektor secara keseluruhan. Di sisi lain, jika industri kreatif dipandang penting bagi Indonesia--seperti halnya pemproyeksian Kota Bandung sebagai prototipe ”kota kreatif”, menurut Tarlen, harusnya pemerintah kota bisa mendukung dengan menyediakan infrastruktur lebih baik untuk terus menumbuhkembangkan komunitas kreatif itu. ”Bukan hanya gedung pertunjukan, galeri, dsb., tetapi juga penataan wilayah seperti lahan parkir atau bagaimana agar kemacetan bisa dikurangi sebab itu membuat tidak produktif,” kata Tarlen, yang tengah menyusun riset tentang industri kreatif ini.

Demi menumbuhkan iklim kreatif yang kondusif, menurut Tarlen, ada hal yang amat dibutuhkan, yaitu toleransi. Orang bisa lebih terangsang kreativitasnya dalam lingkungan di mana perbedaan bukan hal yang tabu untuk dirayakan. ”Saat orang-orang bisa mengapresiasi keragaman berpikir, keragaman inovasi, dsb., itu akan jadi lahan subur kreativitas,” kata Tarlen. ***

(Bandung, 25 Oktober 2007, Pikiran Rakyat, dewi irma, kampus_pr@yahoo.com).

No comments:

Post a Comment