Saturday, August 27, 2011

TouchTen, Studio Game yang Terima Angpao USD 1 Juta dari Ideosource

Sumber: Atoh




Wajah bahagia TouchTen (3 di kiri) dan Ideosource (3 di kanan).

Developer iOS asal Jakarta TouchTen menjalin kerja sama dengan venture capitalist Ideosource, dan meresmikannya Selasa, 23 Agustus di Jakarta. Tak tanggung-tanggung, puluhan undangan–pebisnis digital, investor, dan media–menghadiri acara di kantor baru mereka, di Epicentrum Walk Level 3, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Maklum, kucuran dana segar itu cukup membelalakkan mata: USD 1 juta!

Ini tentu saja deal besar untuk kedua pihak. Terutama TouchTen, yang mengaku kerja sama itu tidak akan menghambat proses kreativitas mereka. Ideosource notabene hanyalah salah satu pemegang saham dan pembimbing pengembangan bisnis. Bukan pilihan keliru.

Touchten terhitung produktif. Sejak April 2009, 16 aplikasi telah mereka rilis. Termasuk beberapa e-book Kho Ping Hoo dan 8 titel game.

Kedua, kualitas game mereka diakui gamer dari beragam negara. Hachiko HD Lite untuk iPad sempat bertengger di jejeran Top 10 Free Apps beberapa App Store, yaitu nomor 1 di Indonesia App Store, nomor 8 di Japan App Store, bahkan nomor 7 di US App Store. Kini seluruh game TouchTen telah mencapai total 2 juta unduhan.

Oke, kalau kita mau jujur, orang Indonesia punya kebiasaan aneh: Menyukai sebuah produk bukan karena memang bagus, tapi karena buatan anak negeri sendiri. Sah-sah saja. Cuma, di mata saya, itu patokan kurang kredibel. Hachiko dan karakternya, anjing legendaris Jepang, resep memikat untuk pasar Jepang dan karenanya lebih layak diacungi jempol. Ngetop di US App Store yang kelewat ramai dengan rip-off sehingga titel-titel emas susah terlihat? Walau sempat sedikit dibantu komunitas indie developer, itu prestasi!

TouchTen didirikan oleh Anton Soeharyo. Dia ajak sepupunya, Dede Indrapurna, dan adik kandungnya, Rokimas Putra Soeharyo, untuk ikut membesarkan studio itu.

TouchTen menyambut para undangan.

Saya sempat berbincang secara casual dengan Roki, yang saat ini masih intern. Malas mendengar kalimat klise yang terluncur dari bibir CEO dan investor, saya ajak lelaki berusia 24 tahun ini ngobrol lebih terbuka. Siapa sih TouchTen?
Jawabnya sungguh menarik.

Cinta Game dan Buku sedari Kecil


Adalah ayah kandung mereka, Rudi Haryo, yang telah menanamkan kecintaan pada dunia game. Saat istrinya, Peggy Puger, mengandung Anton, Rudi beli Atari 2600 dan main game hampir tiap hari. Saat mereka kecil, akses ke konsol dan game pun terbuka. Camkan bahwa akses semacam itu pada akhir 1970-an di Indonesia sungguh langka.

Akses pendidikan juga terbuka lebar. Mereka dihibahi buku-buku. Seisi rumah gemar membaca. Anton bahkan mengaku lewat situs resmi TouchTen, ”Saya beruntung bisa tidur di tengah geletakan buku-buku dan tugas sekolah.”

Anton kuliah di Peking University, China. Dia lanjutkan kuliahnya dan meraih Master Degree dari Waseda University, Jepang pada 2010.

Pendidikan Dede tak kalah menakjubkan. Memperoleh Diploma bidang Information Technology (IT) dari Monash College dengan Award of Excellent Certificate (nilai tertinggi di antara semua murid IT Monash College di Melbourne, Jakarta, dan Guangzhou), dia juga peroleh Bachelor Degree bidang Computer Science dari Monash University, dengan menyabet Top 15% Students. Tak heran kalau mantan IT Consultant di IBM Global Business Services ini kemudian didapuk jadi Chief Technology Officer TouchTen.

Roki hingga hari ini masih kuliah, mempelajari Physics and Computer Science, di University of Michigan, AS. Tapi dia mengaku lebih tertarik mengembangkan game dari elemen seninya. ”Saya suka visual. Saya suka musik. Saya ingin terlibat lebih jauh di TouchTen dengan mengelola keduanya,” jelasnya.

Di antara mereka bertiga, Dede termasuk yang paling hardcore main game. Roki setali tiga uang. Sementara Anton lebih terpikat dunia bisnis.



Dari kiri: Anton Soeharyo, Rokimas Putra Soeharyo, Dede Indrapurna.

 

Angpao dari Orang Tua dan Investor


Walau mereka beruntung soal akses fasilitas dan pendidikan, bukan berarti TouchTen tidak diwarnai kerja keras. Uang saku–dalam budaya keluarga China kerap disebut (amplop) angpao–yang Anton dan Roki terima semasa kuliah, mereka tabung. Bukan dihabiskan untuk mabuk-mabukan dan belanja. Dengan uang itu mereka sewa apartemen berkamar 3 di Jakarta, alias kantor lawas TouchTen. ”Yang sungguh tampak seperti warnet,” aku Roki sambil tertawa.

Tim pun belum lengkap. Hanya Dede yang jago coding. Belum ada UI designer sehingga mereka harus outsource peran itu ke teman-teman dekat.

Game pertama Touchten, iPhong, terhitung kurang laku dibandingkan kesuksesan Hachiko HD Lite. Hanya 2 ribu unduhan! Tapi mereka tidak menyerah. Terus belajar mengembangkan game dengan desain lebih cocok untuk mobile gaming. Dan resep yang lebih pas mulai mereka temukan sejak merilis Sushi Chain. Lalu Hachiko HD Lite. Dan Castle Runner yang sempat diulas di TUAW.


Kini mereka terima angpao tebal dari Ideosource, isinya mencapai USD 1 juta. Tentu mereka bisa manfaatkan uang itu untuk pengembangan, PR, dan marketing yang lebih baik.

Lalu, Mau Ngapain?


TouchTen bertekad terus mengembangkan game-game iOS. Menurut Anton, inilah platform yang saat ini paling mudah menghasilkan uang. Tapi bukan berarti mereka tidak mau merambah platform lainnya. ”Android juga memikat, tapi kami tentu butuh tim yang tepat,” jelas CEO yang juga desainer game itu.

TouchTen tidak ingin selamanya berada di jalur indie. Dirangkul publisher besar ada dalam wish list. Mereka bahkan berambisi bisa dikenal sebagai developer yang melahirkan game laris manis seperti Rovio Mobile dengan Angry Birds.

Sanggup Capai Impian?


Saya justru lebih berharap TouchTen berprestasi lebih baik ketimbang Rovio Mobile, yang portfolionya sesungguhnya lumayan tragis. FYI, mereka baru terkenal selewat 7 tahun, melambung berkat Angry Birds, bukan 51 game lain yang bahkan saya tidak bisa ingat titelnya, bahkan nyaris bangkrut.

Kalau boleh saya pribadi berpesan untuk Touchten, tetap dengarkan apa kata gamer. Gamer–berarti termasuk teman-teman developer–jauh lebih penting ketimbang investor dan publisher. Kalau arogan, tidak mau mendengar saran dan kritik dari gamer, titel apa pun yang kalian kembangkan takkan pernah abadi. Belajarlah dari Markus Persson (Minecraft), Masova (Parampaa), dan Blizzard (StarCraft, WarCraft) yang telaten mengelola komunitas gamer-nya. Tetaplah humble seperti yang sempat ditunjukkan Roki–sorot matanya berbinar antusias–saat saya memberikan sejumlah masukan untuk Hiyoko, game terbaru TouchTen.



Jurnalis main Hiyoko, game terbaru TouchTen.

Bagi kebanyakan developer, game yang diapresiasi oleh gamer adalah hadiah terbaik.

Kemarin kalian peroleh suntikan dana segar. Besok mungkin dirangkul publisher besar (amin!). Tapi andaikan suatu hari kerja sama itu bubar (ingat-ingat Infinity Ward dan Activision!), siapa yang akan tetap mendukung kalian kalau bukan gamer?

Selamat ya, Touchten! Dan teteup, traktiraaan… XD

No comments:

Post a Comment